1. Makna Ritual Kerangka Teori

15 biasa disebut sebagai pengalaman religius. Pengalaman-pengalaman akan Allah inilah yang nantinya membentuk religiositas – rasa dan kesadaran akan hubungan dan ikatan manusia dengan Tuhannya. 12 Pengalaman religius saat ini juga dirasakan di dalam internet. Konten religius yang ada di dalam internet seolah membuat manusia berada dalam ruang maha kudus yang maya dan tak berujung. Pengalaman iman komunitas Kristen tidak lagi hanya dijumpai di dalam gereja, tetapi di dalam internet yang menjadi gereja virtual bagi mereka. Sekularisasi dan modernitas, yang menjadi cikal bakal pengembangan teknologi mutakhir, ternyata tidak berujung pada negasi religiositas supra natural. Saat ini, teknologi malah menjadi medium bagi munculnya religiositas virtual di dalam internet.

VI. 1. Makna Ritual

Agama selalu sarat akan makna. Di dalam agama setiap orang berusaha untuk memaknai seluruh eksistensi dirinya dalam pengalaman hidup sehari-hari. Makna di dalam agama pun akhirnya tersimpan dalam simbol. Menurut Mircea Eliade, Yang Kudus adalah pusat di dalam agama. 13 Inti dari setiap agama adalah Yang Kudus itu sendiri. Akan tetapi, manusia tidak dapat menjangkau Yang Kudus itu. Di sini simbol berfungsi sebagai ”pagar” yang membatasi Yang Kudus itu ke dalam realitas eksistensial manusia. Yang Kudus itu menjadi nampak dan 12 Agus M. Hardjana, Religiositas, Agama, dan Spiritualitas, Yogyakarta: Kanisius, 2005, hlm. 28-29. 13 PS Hary Susanto, Mitos Menurut Pemikiran Mircea Eliade, Yogyakarta: Kanisius, 1987, hlm. 44. 16 tersentuh di dalam simbol. Lain halnya dengan Emile Durkheim yang melihat inti agama bukan pada Yang Kudus di luar manusia itu sendiri, tetapi kepada hubungan sosial yang membentuk suatu tindakan di dalam agama. Tujuan agama yang sebenarnya bukanlah intelektual, tetapi sosial. Agama bertindak sebagai pembawa sentimen sosial, memberi simbol dan ritual yang memungkinkan orang mengungkapkan ekspresi yang dalam, yang melabuhkan mereka pada komunitas mereka. 14 Dengan mensintesakan kedua pemikiran ini, maka agama merupakan suatu sistem kepercayaan yang menghayati realitas Yang Kudus di luar diri manusia, sekaligus juga menyertakan unsur sosialitas sebagai wilayah penghayatan makna Yang Kudus itu dalam kehidupan sehari-hari. Penghayatan makna ini terdapat di dalam ritual-ritual keseharian manusia. Lebih lanjut menurut Durkheim, ritual adalah suatu hal yang penting posisinya di dalam agama karena ia menentukan sentimen dan emosi agama. 15 Bahkan, Durkheim mengatakan bahwa di dalam suatu agama bukan kepercayaannya yang penting, melainkan ritualnya. Jadi menurut Durkheim, ritual itu sendiri adalah agama. Tanpa sebuah ritual, maka tidak akan ada agama. Ritual menjadi sesuatu yang sakral, Yang Kudus itu sendiri. Ia merupakan suatu tindakan simbolik, sebagai perwujudan dari makna religius dan sarana untuk mengungkapkan sikap- sikap religius. Bila seseorang beragama mesti mempertahankan pengalaman asli religiusnya dengan relasinya yang melampaui pengalaman biasa dengan yang Ilahi, ia harus mengungkapkan ini lewat 14 Diktat Mata Kuliah Fenomenologi Religi IRB 2010. 15 Teori Agama Emile Durkheim, Diktat Mata Kuliah Fenomenologi Religi. 17 bentuk-bentuk simbolis yang bersifat empiris dan menjadi bagian dari wilayah profan, sebagai perpanjangan dari penampakan yang ilahi. 16 Menurut Rudolf Otto, di dalam ritual, setiap orang melihat yang Ilahi itu sebagai sesuatu ”tremendum et fascinosum”. Ada sikap ambivalen di dalam ritual: takut tetapi sekaligus tertarik, negatif dan positif, sikap tabu tetapi juga preservasi dan proteksi. Di dalam ritual, seseorang merasa takjub, yaitu dengan sikap takut dan hormat, tetapi sekaligus juga terus menerus melakukannya sebagai ketertarikan personal terhadap kuasa yang Ilahi itu. Dalam kaitannya dengan kesadaran kolektif masyarakat, ritual bertujuan untuk mempromosikan kesadaran klan, membuat orang merasa menjadi bagiannya, dan untuk memeliharanya dalam cara yang terpisah dari yang profan. Tanpa klan ruang sosial sebuah ritual tidak akan memiliki makna transenden secara kolektif. Oleh karena itu, suatu ritual harus berakar dan menjadi bagian dari sosialitas tertentu, sekaligus memaknai kembali masyarakat itu. Di dalam kekristenan, mulai dari kemunculannya sampai dengan saat ini, ritual masih menempati posisi penting bahkan sentral. Kekristenan adalah sebuah agama ritual, yang kaya akan simbol dan makna. Ritual membawa umat ke dalam perjumpaan dengan Sang Khalik, yang menciptakan dunia dan segala isinya. Di dalam kenyataan ini, gereja sebagai perwujudan orang-orang yang percaya kepada Kristus dilihat sebagai sebuah persekutuan yang beribadah. Ibadah mengajak setiap orang 16 Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1995, hlm. 167. 18 percaya untuk masuk ke dalam misteri karya penciptaan dan penyelamatan oleh Allah secara bersekutu. Dalam konteks penelitian ini, ibadah melalui media elektronik menjadi suatu varian lain yang muncul. Persekutuan dengan umat yang lain tidak lagi penting. Segala ornamen dan simbol dalam ruang ibadah pun dihilangkan. Dengan mengikuti ibadah di radio, televisi, dan internet, umat menarik diri dari kebersamaan dengan orang lain. Ibadah tidak lagi menjadi suatu hal komunal, melainkan telah menjadi sesuatu yang individual. Jemaat memang hadir di ruang ibadah, ikut bernyanyi dan bertepuktangan, tetapi di waktu yang sama ia pun sedang berinteraksi dengan temannya yang berada ratusan kilometer darinya melalui chatting di Facebook dari smartphone yang canggih. Alkitab, yang menjadi simbol Firman Tuhan di dalam ibadah, digantikan oleh ”gadget suci” yang dapat membukakan ayat-ayat Alkitab sekaligus catatan-catatan para ahli kitab tentang ayat-ayat yang dibaca. Pemberian persembahan yang menjadi sebuah ritual kolektif pun telah digantikan dengan transfer secara individual.

VI. 2. Internet dan Pembentukan Realitas