92
menjadi ruang bagi pertumbuhan seseorang.
7
”Identitas kedua” yang digunakan para peselancar dunia maya dapat juga dilihat dalam sudut pandang ini, yaitu
sebagai upaya rekreasi dengan menarik diri dan mengenakan identitas lainnya selama menyusuri situs demi situs internet, tanpa perlu takut batasan-batasan yang
muncul jika mereka menggunakan identitas asli mereka.
5. Religiositas Online, Spiritualitas Konsumsi, dan Budaya Instan
Ketika membaca situs dan media sosial berbasis internet yang digunakan oleh gereja-gereja ini, penulis melihat kesejajaran antara wajah dan tampilan
teknologi yang digunakan dengan teologi serta ideologi yang dibangun oleh gereja-gereja ini. Secara implisit, desain situs-situs gereja yang menarik dan
dipenuhi oleh gambar memperlihatkan kompleksitas teknologi yang digunakan. Wallpaper yang menarik dan dapat berganti-ganti dengan sendirinya, tautan link
yang banyak menghiasi halaman, serta banyaknya halaman dalam sebuah situs menjadi tanda bahwa dibutuhkan teknologi terdepan untuk membuatnya. Hal ini
diakui sendiri oleh penanggung jawab IT dari GBI Glow FC yang mengatakan bahwa untuk membuat website yang terlihat menarik dengan teknologi visual
terkini, maka dibutuhkan sumber daya yang memadai untuk mengkreasikannya. Selain itu, website dan media sosial yang menarik harus dipenuhi oleh gambar dan
video yang menarik, yang harus dibuat dengan teknologi multimedia yang menarik. Dengan kata lain, jika ingin terlihat baik di dunia internet, maka gereja
itu juga harus mendekorasi ruangan ibadahnya dengan tampilan multimedia yang
7
Lorne L. dawson “Religion and The Internet: Presence, Problems, and Prospects” dalam Peter Antes, Armin W. Geertz Randi R. Warne ed.. New Approaches to The Study of Religion
Volume 1: Regional, Critical and Historical Approaches, New York: Walter de Gruyter, 2004 hlm. 391.
93
menarik. Menurutnya, gereja harus berani untuk membayar mahal untuk hal ini. Dengan kata lain, gereja harus mau berinvestasi agar dirinya dapat dikenal dan
menarik banyak orang untuk datang beribadah di tempatnya. Dari sini terlihat jelas bahwa situs dan media sosial yang dimiliki oleh
gereja-gereja besar yang mampu membiayai tenaga ahli desain dan informatika yang akan mengerjakannya. Informan penulis di atas adalah seorang sarjana
desain dan teknologi komputer. Sebelum menempati posisi saat ini, ia terlebih dahulu bekerja di sebuah perusahaan swasta yang mampu memberikan gaji besar.
Suatu saat, ia ditawari oleh pimpinan GBI Glow FC untuk menempati posisi ini. Dengan tawaran gaji yang hampir setara dengan yang diberikan oleh perusahaan
swasta tempat ia bekerja, serta tambahan label ”pelayanan”, maka ia
menerimanya. Hasilnya, gereja memiliki tenaga ahli khusus untuk membidangi internet dan multimedia dalam gerejanya.
Pembelanjaan gereja yang demikian besar tentu saja perlu didukung oleh pendapatan yang seimbang. Pendapatan gereja tentu saja didapatkan dari
persembahan syukur yang diberikan oleh jemaat di setiap ibadah Minggu. Semakin banyak jumlah jemaat yang hadir dalam ibadah, maka semakin besar
pula peluang untuk mendapatkan persembahan dalam jumlah yang besar setiap minggunya. Logika ”siapa yang menabur banyak akan menuai banyak” pun
diberlakukan dalam kegiatan operasional gereja. Ketika gereja berbelanja banyak bagi kepentingan ibadah dan persekutuan demi kemuliaan Tuhan, maka niscaya
Tuhan akan melipatgandakan pendapatannya. Teologi ini berakar pada semangat teologi kesuksesan yang sungguh
percaya bahwa setiap orang yang percaya kepada Yesus Kristus sebagai Tuhan
94
dan Juruselamat akan mendapatkan berkat yang melimpah, termasuk dalam hal keuangan. O
leh karena itu, ”mengembalikan” berkat yang melimpah dalam bentuk persembahan dalam jumlah yang besar pun seolah menjadi kredo bagi
jemaat-jemaat di gereja ini. Secara eksplisit, kaitan antara religiositas online dengan spirit konsumsi
pun terlihat dalam penggunaan gadget oleh jemaat di gereja-gereja ini. Gadget yang canggih sangat sering penulis jumpai ketika masuk dan ikut beribadah di
dalam gereja-gereja ini. Terlihat jelas bahwa jemaat di gereja-gereja ini menggunakan gadget yang canggih. Di sepanjang ibadah, penulis menemukan
banyak jemaat bermain dengan gadget-nya masing-masing. Hal yang menarik adalah kebutuhan untuk memiliki gadget yang canggih seolah dikampanyekan
secara tidak langsung oleh gereja ini. Hanya gadget canggih yang masuk dalam kategori smartphone yang dapat digunakan melakukan berbagai jenis kegiatan,
seperti bermain media sosial, mengambil foto dan video, berselancar dari website ke website, hingga membuat catatan khotbah. Ketika media sosial seperti Twitter,
Facebook, Instagram, YouTube, dan lain sebagainya telah menjadi media komunikasi di dalam gereja, maka memiliki smartphone bukan lagi menjadi
pilihan, melainkan keharusan. Jemaat yang tadinya tidak memiliki smartphone pun akan ikut membelinya supaya tidak tertinggal informasi.
8
Bahkan ada sebuah tagline iklan dari provider selular terbesar di Indonesia yang mengatakan
”internet
8
Penulis membandingkan penelitian yang dilakukan oleh Pew Research Center terhadap penggunaan smartphone oleh penduduk Amerika Serikat. Penelitian yang dilakukan pada Januari
2014 menunjukkan bahwa 58 dari total penduduk AS telah menggunakan smartphone. Pengguna terbesarnya adalah kelompok umur 18-29 tahun, yaitu 83. Demikian juga penduduk urban yang
menggunakan smartphone adalah sebesar 64 dari jumlah penduduk perkotaan. Walau tidak tepat jika dibandingkan dengan konteks Indonesia, tetapi data ini sekiranya dapat menunjukkan
bagaimana pengguna smartphone yang jumlahnya semakin besar, terutama di kota-kota besar. Sumber:
http:www.pewinternet.orgdata-trendmobilecell-phone-and-smartphone-ownership- demographics diakses pada 25 Juli 2014.
95
yang sukar akan menjadi mudah dioperasikan jika memiliki handphone yang canggih smartphone
.” Smartphone yang berharga mahal pun menjadi kebutuhan, baik bagi konektivitas internet yang lebih baik, pun sebagai penanda
sosial seseorang. Ada orang-orang yang akan menjadi orang yang akan melihat dan merasakan berbagai hal yang dapat
Dengan smartphone, jemaat pun tidak perlu membawa Alkitab. Mereka cukup menggunakan aplikasi Alkitab Online yang ada di smartphone-nya. Cukup
membuka Alkitab, mencari kitab, pasal, serta ayat yang akan dibaca, dan menekan tombol ”cari”, maka dengan segera bacaan Alkitab akan terbuka. Seorang
informan penulis mengatakan bahwa penggunaan Alkitab Online dalam gadget sudah menjadi trend di gereja-gereja saat ini. Tidak hanya jemaat yang
menggunakan Alkitab Online, tetapi juga para pendeta yang berkhotbah. Seorang informan penulis lainnya mengatakan bahwa ia lebih merasa nyaman untuk
menggunakan Alkitab dalam bentuk buku. Hanya saja, menurut pengakuannya, sudah setahun belakangan ini ia hampir selalu lupa untuk membawa Alkitab,
sehingga kerap menggunakan Alkitab yang ”tersimpan” di smartphone-nya.
Sebuah ironi terlihat, di satu sisi kurang nyaman, tetapi di sisi lain butuh sesuatu yang instan dan praktis.
Praktikalitas, yang menjadi spirit dari internet, juga menjadi kunci bagi pengembangan gereja-gereja saat ini. Di dalam ibadah-ibadahnya, gereja
menyodorkan hal-hal praktis bagi umat yang bertujuan membuat umat nyaman. Misalnya, ketiga gereja di atas menggunakan layar dan proyektor yang memandu
jemaat di sepanjang ibadah untuk bernyanyi memuji Tuhan dan menikmati khotbah. Lirik lagu sudah disediakan di dalam layar, sehingga umat tidak perlu
96
lagi susah-susah menghafalkan lirik lagu-lagu yang sedianya dinyanyikan di dalam ibadah. Khotbah pun tidak lagi hanya didengar, tetapi juga dilihat karena
tampilan visual khotbah dapat membantu jemaat untuk mengikuti dan mengingat khotbah dengan lebih baik, sehingga tidak perlu lagi terpaku pada apa yang
dikumandangkan. Jika jemaat tidak sempat melihat Warta Jemaat yang disampaikan pada saat ibadah melalui layar proyektor, maka jemaat dapat
membuka YouTube Channel dari gereja itu dan menontonnya kembali, bahkan berkali-kali. Contoh praktis lainnya adalah ketika JPCC, melalui website-nya,
memberikan kemudahan kepada jemaat yang ingin mendaftar untuk mengikuti kegiatan yang dilangsungkan oleh pihak gereja. Jemaat cukup masuk ke dalam
akun pribadi yang telah terdaftar di gereja dan mengklik. Maka ia pun sudah terdaftar untuk mengikuti kegiatan itu. Betapa praktisnya.
Lokasi gereja yang sebagian besar berada di pusat perbelanjaan juga semakin mempertegas tumbuhnya spiritualitas konsumsi di gereja-gereja ini.
Norita Sembiring menyimpulkan bahwa gereja yang berada di mal dan kegiatan konsumsi saling mempengaruhi satu sama lain, terjadi ketegangan berupa duel
nilai antara keduanya, tetapi di sisi lain juga tercipta duet mutual yang sama-sama memajukan keduanya.
9
Setiap jemaat yang datang beribadah dimanjakan dengan pemandangan barang-barang di sepanjang pusat perbelanjaan yang tentu dapat
dibeli oleh mereka. Umat yang beribadah disuguhkan firman Tuhan yang akan menguatkan mereka setiap hari, tetapi sekeluarnya mereka dari ruang ibadah,
maka yang disuguhkan kepada mereka adalah barang-barang kebutuhan yang
9
Norita Novalina Sembiring, Menggereja Dalam Masyarakat Konsumsi: Studi Atas Pengalaman Orang Beribadah di Gereja Mal, Tesis: Universitas Sanata Dharma, 2010., hlm.
129-132.
97
memuaskan keinginan pribadi. Hasrat akan Tuhan pun berjalan selaras dengan hasrat pribadi memiliki barang-barang kebutuhan.
6. Cybergnosis: Mencari Kepuasan Digital