3. Simulacrum dan Konsumsi Tanda

22 mengirimnya dan membuat semua orang membacanya sehingga membentuk sebuah kebenaran baru. Penggunaan teknologi internet ini telah menciptakan realitas baru dalam kehidupan bergereja. Gereja dianggap mengikuti perkembangan zaman dan cocok bagi masyarakat perkotaan adalah gereja yang ”high- tech ”. Gereja seperti ini pun dinilai mampu berkembang di kalangan anak muda. Penggunaan media internet pun akhirnya membentuk dan mendikte arah perkembangan gereja. Jikalau ingin menjadi gereja yang besar dan ramai, maka fasilitas-fasilitas yang berkaitan dengan internet dan teknologi informasi harus disediakan, contohnya terlibat aktif dalam media sosial, membuat website resmi gereja yang lengkap, atraktif dan interaktif, juga menyediakan fasilitas video streaming sehingga ibadah pun bisa dinikmati semua orang yang berada di luar tembok gereja. Khusus bagi video streaming, awalnya ia hanya sebagai syarat mutlak jika sebuah gereja ingin mendapatkan label ”high-tech” yang mengakomodir perkembangan zaman, dan tidak ada maksud untuk membentuk suatu subversi dalam ibadah Kristen. Akan tetapi, proses decoding dari ibadah seperti ini justru dapat menghasilkan makna baru yang berbeda. Sebagian pemirsa dan jemaat melihatnya sebagai ibadah sebenarnya, yang dapat diikuti sebagaimana mengikuti ibadah di gedung gereja.

VI. 3. Simulacrum dan Konsumsi Tanda

Jean Baudrillard mengatakan bahwa dunia saat ini adalah dunia hiperrealitas, sebuah realitas yang dilebih-lebihkan oleh imaji yang 23 terbentuk dari gambar dan kata-kata yang terkandung dalam suatu informasi. Suatu simbol dan tanda bukanlah realitas yang sebenarnya, tetapi merupakan gambaran dari simbol dan tanda yang lainnya. Dunia ini menjadi seperti simulacrum, sebuah simulasi tanda-tanda yang tidak memiliki asal dan pangkal, sebuah sirkuit besar tanpa referensi awal. 20 Simulacrum dan dunia hiperrealitas ini termanifestasi dalam media. Media pun dianggap menghadirkan realitas yang ”lebih real” dari realitas yang sebenarnya. Imaji media adalah imaji kebenaran. Saat ini muncul sebuah anggapan bahwa bagi seorang Kristen yang akrab dengan teknologi internet menggunggah kalimat-kalimat yang berasal dari Alkitab di dalam media sosial adalah sebuah keharusan. Seolah ada semboyan tak tertulis, ”gak ngetwit ayat alkitab berarti kurang Kristennya” atau ”Anak Tuhan harus memposting renungan di Facebook”. Sebaliknya juga, jika seorang Kristen melakukan hal yang dianggap tidak baik, seperti mencela di akun media sosialnya, maka ia akan dianggap sebagai seorang Kristen yang tidak baik, yang mungkin sedang menjauh dari Tuhan. Media sosial yang berbasis internet pun menjadi sarana untuk mengidentifikasi seseorang saat ini, termasuk tingkat keimanannya. Akhirnya, orang pun hanya mengkonsumsi tanda-tanda yang hadir sebagai realitas. Pemaknaan terhadap suatu benda hanya sebatas pemaknaan terhadap tanda dari realitas itu dan bukan kepada realitas yang sesungguhnya. Di dalam ibadah yang memfungsikan internet terlihat jelas bagaimana tanda-tanda dipermainkan dan membentuk suatu realitas baru 20 Kelton Cobb, The Blackwell Guide to Theology and Popular Culture, Oxford: Blackwell Publishing, 2005, hlm. 72. 24 yang hiperreal. Suara dari pengkhotbah terdengar lebih keras dan jelas. Pada ibadah live streaming, visualisasi pun diambil dari sudut-sudut yang terbaik, yang menghasilkan gambar yang enak untuk dinikmati dan membawa permirsa ke dalam ibadah yang sesungguhnya. Website dan media sosial gereja pun menjadi sebuah lahan bagi

VII. Metode Penelitian