Tujuan Perkawinan PENDIDIKAN IMAN DAN MORAL ANAK OLEH ORANGTUA
13
Iman datang dari pendengaran
fides ex auditu
dan pendengaran timbul dari pewartaan sabda dan karya Kristus Rom. 10:17.Oleh karena itu, tugas
orangtua adalah mewartakan Kristus kepada anak-anak mereka sejak dari kandungan hingga dewasa. Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Efesus
mengatakan bahwa “Orangtua terutama seorang ayah untuk mendidik anak berdasarkan
ajaran dan nasehat Tuhan” Ef. 6:4. PPK
31 mengatakan bahwa “Pendidikan dalam keluarga harus memperhatikan pendidikan iman dan moral katolik, karena keluarga adalah
sekolah nilai-nilai kemanusiaan dan iman katolik. ” Kemudian Pedoman Pastoral
keluarga art. 32 mengatakan “Salah satu aspek pendidikan iman adalah pemberian dan pengembangan pengetahuan iman melalui harta kekayaan Gereja, yakni Kitab
Suci, katekismus, dokumen Gereja dan buku-buku katekese. ”
Pada zaman Skolastik abad XIII-XI Thomas Aquino mengatakan bahwa menurut kodrat yang khas manusiawi, hubungan seks suami-istri juga terarah
kepada pendidikan anak yang dilahirkan Hadiwardoyo, 2015: 67-68. KHK 1917§ 1 menekankan tentang tujuan primer dalam sebuah perkawinan yaitu
prokreasi dan pendidikan untuk anak yang dilahirkan. Paus Yohanes Paulus II dalam surat kepada keluarga-keluarga artikel
16 mengatakan bahwa “Mendidik anak merupakan suatu sarana komunikasi yang hidup, bukan hanya menciptakan
suatu hubungan yang mendalam antara pendidik dengan orang yang dididik, tetapi juga
membuat mereka ikut ambil bagian dalam kebenaran dan kasih.” PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
Proses menurunkan anak tidak selesai pada saat kelahiran, tetapi hendaknya berlangsung terus melalui kehidupan sampai anak mencapai
kedewasaannya Eminyan, 2001: 152
.
Oleh karena itu setiap orangtua memiliki tanggungjawab mendidik iman anak, tidak hanya merawat dan memberi makan.
Orangtua bertanggungjawab mampu memberikan pendidikan iman kepada anak yang dilahirkan, karena pendidikan adalah konsekuensi dari kelahiran anak.
Manusia dipanggil untuk hidup dalam kebenaran dan kasih, serta menemukan pemenuhan melalui pemberian diri yang tulus, kebenaran itu
menyangkut dua hal, yaitu menjadi pendidik dan orang yang dididik.Manusia sebagai seorang pendidik bukan seorang yang hanya memberikan pengajaran
berupa materi, melainkan seorang pribadi yang dapat melahirkan dalam arti rohani.Paus Yohanes Paulus II dalam surat kepada keluarga-keluarga art.
16mengatakan bahwa “Mendidik anak dianggap sebagai suatu kerasulan yang
sejati, karena orangtua atau pendidik tidak hanya mempersiapkan pendidikan untuk anaknya, tetapi seka
ligus untuk generasi berikutnya.” Paus Yohanes Paulus II dalam surat kepada keluarga-keluarga 16
mengatakan bahwa “Tugas mendidik anak merupakan sarana yang digunakan
untuk komunikasi yang hidup, tidak hanya menciptakan hubungan yang mendalam antara orangtua dan anak, tetapi juga ikut ambil bagian dalam
kebenaran dan kasih yang bertujuan terakhir dimana setiap orang akan dipanggil oleh Allah Tri Tunggal
.” PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
1. Makna Pendidikan Iman
Iman merupakan hubungan pribadi manusia dengan Allah penciptanya karena iman lahir dari suatu pengalaman perjumpaan dengan Allah yang hidup
yang memanggil kita dan mewahyukan kasih-Nya LF 4. Maka pendidikan iman berarti usaha-usaha orang dewasa untuk membantu anak-anak agar mampu
menghormati dan mengasihi Allah sebagai Pencipta dan Penyelamat Pudjiono, 2007: 10. Iman membantu untuk memahami seluruh kedalaman dan kekayaan
arti melahirkan anak-anak sebagai tanda kasih Sang Pencipta yang mempercayakan kepada kita misteri seorang pribadi yang baru yang perlu kita
rawat, kembangkan dan cintai LF 52. Beriman berarti menerima atau mempercayai sesuatu yang dikatakan oleh orang lain. Iman memberi pengetahuan
akan Allah, diri kita, alam tempat kita hidup, namun sifat khas dari pengetahuan baru tersebut dapat kita miliki hanya dengan iman, tidak hanya dengan penalaran.
Paus Yohanes Paulus II mengatakan dalam suratnya kepada keluarga- keluarga 15 mengatakan bahwa
“Cinta yang dipercayakan Allah kepada laki-laki dan perempuan di dalam Sakramen Perkawinan sebagai prinsip dasar dari
kewajiban dan tanggung jawab timbal balik bagi mereka sebagai pasangan suami istri dan sebagai orangtua bagi anak-anak mereka. Oleh karena itu, dalam
sakramen perkawinan mereka saling memberi dan menerima dan menyatakan kesediaan mereka untuk menerima dan mendidik anak sesuai dengan iman
sebagai orang katolik .”
16
2. Tahap-Tahap Perkembangan Iman
Iman anak berkembang sesuai dengan tahap-tahap perkembangan usia. James W. Fowler adalah seorang psikolog dan teolog Amerika Serikat, teorinya
dipengaruhi oleh perkembangan masa kecilnya dan suasana keluarga dimana ia dibesarkan. Ia membedakan antara kepercayaan eksistensial iman dengan agama
dan juga membedakan iman dari kepercayaan Budiningsih, 2008: 34-35. Hasil analisis data yang diperoleh melalui wawancara semi klinisnya,
Fowler menemukan teori baru yang dikenal dengan istilah
Faith Development Theory
Teori Perkembangan Kepercayaan dengan tujuh tahap. James W. Fowler membagi teori perkembangan imannya ke dalam tujuh kategori yakni, awal-
elementer
Primal Faith
, intuitif-proyektif
Intuitive-ProjectiveFaith
, mistis- literal
Mithic-Literal Faith
, sintesis-konvensional
Synthetic-Conventional Faith
,individual-reflektif
Individuative-Reflective Faith
, eksistensial-konjungtif
Conjunctive Faith
, dan eksistensial-universalitas
Universalizing Faith
. Namun
penulis membahas tiga kategori sesuai dengan penelitian yang dilakukan,yaitu:
primal faith
,
intuitive-projective faith
dan
mithic-literal faith
.
a. Awal-Elementer
Primal Faith
Tahapan usia kanak-kanak 0- 2 atau 3 tahun disebut sebagai “Tahapan
Primal”, benih iman dalam diri anak terbentuk melalui rasa percaya terhadap orang yang merawat dan membesarkannya. Kepercayaan ini disebut pratahap
“kepercayaan yang belum terdiferensiasi”
Undifferentiated Faith
, karena ciri disposisi praverbal bayi terhadap lingkungannya belum dirasakan dan disadari
17
sebagai sesuatau yang terpisah dan berbeda dari dirinya serta daya kepercayaan, keberanian, cinta maupun harapannya belum dapat ia bedakan melalui proses
pertumbuhannya, melainkan masih tercampur dalam keadaan yang samar-samar Cremers, 1995: 27.
Kepercayaan
elementer
adalah rasa yang menyusun gambaran atau pragambaran. Fowler menyebut gambaran sebagai
preimages
, karena disatu pihak gambaran dibentuk oleh adanya perasaan sebelum kemampuan berbahasa
dan daya konseptual anak mulai berfungsi, namun dilainpihak telah terbentuk suatu kepercayaan diri dari seluruh kenyataan lainnya, sehingga pragambaran
tentang Allah dan lingkungannya akhirnya matriks ontogenetiknya pada gambaran anak tentang orang yang mengasuhnya Cremers, 1995: 99-100.
Pengalaman anak terhadap orang yang merawat, mengasuh dan memberikannya kehangatan serta kasih sayang, terutama ibu dan ayahnya akan
mempengaruhi gambaran asli tentang Allah Cremers, 1995: 101, sebaliknya pengalaman negatif sejak kanak-kanak dalam keluarga yang kurang harmonis
terlebih perlakuan oangtua yang keras akan membuat anak memiliki gambaran yang negatif pula terhadap Allah yang
transenden
. Dengan demikian sebagai pendidik utama dan pertama, orangtua menumbuhkan keyakinan dalam diri anak
bahwa sebagai manusia yang secitra dengan Allah, ia adalah insan yang dicintai dan dihargai.
18
b. Intuitif-Proyektif
Intuitive-Projective Faith
Tahapan usia 3-7 tahun disebut tahapan intuitif proyektif. Intuisi memungkinkan anak untuk menangkap nilai-nilai religius yang dipantulkan oleh
orang disekitarnya terutama kedua orangtua. Disini daya imajinasi dan dunia gambaran anak sangat berkembang, namun pada tahap ini anak belum memiliki
kemampuan operasi logis yang mantap, tetapi dengan timbulnya kemampuan simbolis dan bahasa maka imajinasi dan dunia gambaran dirangsang oleh cerita,
gerak, isyarat, upacara, simbol maupun kata-kata Budiningsih, 2008: 37. Dunia gambaran dan imajinasi berkembang secara bebas karena belum
dikontrol oleh pikiran logis dan operasi-operasi kognitif lain yang baru berkembang kemudian budiningsih, 2008: 37. Pada tahap inilah akan membuka
kepekaan anak terhadap dunia misteri dan Yang Ilahi serta tanda-tanda kekuasaannya Cremers, 1995: 28.
Pada tahap ini anak lebih banyak meniru tingkah laku orang dewasa baik vokal saat berbicara dan anak mulai menguasai dan menggunakan bahasa menurut
peraturan bahasa itu sendiri, sehingga memiliki medium untuk menyusun, mengatur dan mengantarai seluruh relasinya dengan dunia Cremers, 1995: 104-
105. Di sini cerita dari orangtua membentuk imajinasi dalam pikiran anak mengenai gambaran tentang Tuhan, misalnya ketika orangtua mengajarkan anak
menyebut Allah sebagai Bapa, maka dalam pikiran anak membayangkan Allah seperti bapa yang memiliki jenggot, baik, berambut putih seperti yang dilihatnya
dalam kartun atau bahkan anak membayangkan bahwa Allah seperti kakek atau ayahnya.
19
c. Mistis-Literal
Misthic-Literal Faith
Bentuk kepercayaan biasanya muncul pada usia 7 atau 8-12 tahun. Gambaran emosional dan imajinal masih berpengaruh kuat, tetapi muncul pula
operasi-operasi logis yang melampaui tingkat perasaan dan imajinasi pada tahap sebelumnya. Operasi-operasi tersebut masih bersifat konkret, tetapi sudah
memungkinkan suatu daya pikir logis mengunakan kategori-kategori sebab- akibat, ruang dan waktu Budiningsih: 2008:38. Tahapan mistis literal, peran
kelompok atau intuisi kemasyarakatan berperan penting dalam perkembangan iman anak, misalnya melalui sekolah, bina iman atau PIA, sekolah minggu atau
yang lebih di kenal dengan SEKAMI.
3. Faktor Pendukung Perkembangan Iman
Dalam Ensiklik Paus Fransiskus
Luman Fidei
52-53 mengatakan bahwa “Lingkungan pertama dimana iman menerangi kota manusia adalah keluarga.”
Iman menemani tahap setiap kehidupan, diawali dengan masa kanak-kanak ketika anak belajar percaya pada kasih orangtuanya. Iman tidak dapat bertumbuh dengan
sendirinya tanpa faktor pendukung dalam memperkembangankan iman, baik intern maupun ekstern. Perkembangan iman mengantar dan mendorong anak
semakin dekat dan mencintai Allah. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
Soerjanto 2007: 11-12 memaparkan beberapa faktor pendukung dalam perkembangan iman anak antara lain:
a. Keyakinan Bahwa Allah Mencintai Dan Menganugerahi Berbagai Talenta
Dalam keluarga perhatian khusus perlu diberikan kepada anak-anak, dengan mengembangkan penghargaan yang mendalam terhadap martabat pribadi
mereka, serta sikap sungguh menghormati dan memperhatikan hak-hak mereka, sehingga anak-anak merasakan cinta yang tulus dari keluarga. Sebagai citra Allah,
setiap anak dianugerahi berbagai talenta bagaikan benih yang masih dapat bertumbuh dan berkembang. Maka orangtua hendaknya membantu anak-anak
supaya memahami diri sebagai insan yang berpotensi Soerjanto, 2007:12. Oleh karena itu cinta dari orangtua merupakan gambaran cinta dari Allah kepada anak-
anak, sehinggaanak-anak sungguh merasakan bahwa Allah mencintai pribadi mereka dan menganugerahi berbagai talenta.
b. Teladan Iman Dari Orangtua
Teladan iman orangtua dan orang disekitar dapat membantu anak dalam proses beriman. Iman anak-anak dapat berkembang ketika mereka hidup bersama
dengan orangtua yang sungguh beriman Soerjanto, 2007: 12. Anak kecil adalah seorang peniru yang hebat, maka ketika orangtua memiliki teladan hidup yang
baik, terutama dalam hal teladan iman, maka anak dapat meneladani atau meniru orangtuanya. Gereja mewariskan seluruh kekayaan imannya kepada anak-anak
sebagai generasi muda penerus Gereja. Oleh karena itu, warisan iman diterima PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
anak-anak melalui keluarga. Pewarisan iman terjadi melalui pembaptisan sebagai pintu masuk bagi setiap orang dalam menerima sakramen-sakramen lainnya.
Orangtua sebagai figur untuk diteladani oleh anak. Allah sebagai Bapa, maka peran seorang ayah berpengaruh terhadap pandangan anak tentang Allah
Bapa.Ketika anak tidak mendapatkan cinta dari seorang ayah atau gambaran ayah yang keras, kejam, pemabuk, suka memukul, memaki dan suka membatasi
kebebasan anak, maka menjadi gambaran Allah yang ia yakini. Pada suatu kali Yesus sedang berdoa dan para murid memintaNya untuk
mengajari mereka berdoa, seperti halnya Yohanes mengajari para muridnya.Yesus mengajarkan para murid-
Nya memanggil Allah sebagai “Bapa” sebagaimana Yesus menyebut-Nya dengan sebutan Bapa Luk. 11:1-2. Ketika Yesus berada
diatas salib, Yesus mengatakan bahwa Bunda Maria adalah Ibu bagi mereka dan sejak saat itu para murid menerima Maria sebagai ibu Yoh. 19:27. Yesus
menunjukkan bahwa Allah yang diimani sungguh sangat dekat. Allah bersemayam dalam hati dan tinggal bersama kita, sehingga kita mengalami
kehadiran Allah setiap saat dalam figur seorang ayah dan seorang ibu. Maka teladan dari orangtua berpengaruh pada anak-anak untuk dapat
menerima dan mengimani Allah yang transenden, serta menghormati Bunda Maria. Dalam kehidupan keluarga, keteladanan seorang ayah lebih menjadi
perhatian, karena sosok ayah berpengaruh di dalam memandang Allah sebagai Bapa yang Maha Rahim, Maha Kasih, Maha Pengampun dan lain sebagainya.
22
c. Rasa Aman Untuk Mengagumi Dan Bertanya
Pada saat anak merasa aman dalam mengagumi sesuatu,dapat menimbulkan pertanyaan yang membantu untuk berkembang, terlebih ketika
anak-anak bertanya
untuk menambah
wawasannya mengenai
iman. Perkembangan iman membantu anak berkembang mendekati kebaikan dan
kebenaran, kebaikan dan kebenaran dapat dicapai bila anak lebih dahulu mengagumi segala sesuatu yang ia lihat Soerjanto, 2007: 12.
Anak-anak memiliki sikap ingin tahu yang sangat besar. Pada saat anak mengagumi sesuatu, maka menimbulkan banyak pertanyaan dalam pikirannya
mengenai sesuatu yang dikagumi. Maka orangtua diharapkan dapat menjalin relasi yang personal dan fungsional dengan anak.
PPK 25 mengatakan bahwa ”Orangtua hendaknya menjalin relasi yang
bersifat personal dan fungsional, oleh karena itu dalam membangun relasi personal orangtua menghargai kepribadian dan potensi anak dan tidak bertindak
sewenang-wenang, agar proses perkembangan kepribadian anak secara utuh dan menyeluruh sebab orangtua sebagai pendidik dapat mengarahkan dan membina
anak, ketika anak bertanya karena merasa kagum. Kemudian melalui relasi yang fungsional orangtua diharapkan menyadari dan melaksanakan tugasnya sebagai
pendidik utama dan pertama dengan mengarahkan, membina dengan menasehati atau keteladanan hidup.
Rasa kagum dapat berlanjut dengan aneka pertanyaan jujur yang menuntunnya menuju kebenaran Soerjanto, 2007: 12. Anak-anak memiliki rasa
ingin tahu yang besar, karena kagum terhadap sesuatu yang baru, sehingga PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
menimbulkan pertanyaan. Rasa ingin tahu mendorong anak untuk bertanya sampai ia mendapatkan jawaban yang memuaskan. Pertanyaan anak yang polos
dan kritis, kadang sikap orangtua mengabaikan bahkan memarahi, sebab tidak dapat menjawab. Hal ini terjadi pada Yesus ketika masih kanak-kanak. Pada saat
itu Yesus bersama dengan orangtuanya pergi ke Yerusalem merayakan paskah orang Yahudi. Yesus bertemu dengan para alim ulama sambil mendengarkan
perkataan mereka, Yesus mengajukan banyak pertanyaan, sehingga mereka tercengang Luk.2:46.
Pada saat Yusuf dan Maria mencari Yesus, Ia menanyakan alasan mengapa harus mencari-Nya. Orangtua akan melakukan hal yang sama, jika
anaknya hilang. Setelah orangtua susah mencari dan setelah menemukan mendapat pertanyaan alasan mencari, dapat menimbulkan sikap kurang sabar
bahkan marah serta mengatakan tidak sopan. Maria sebagai seorang ibu yang penuh kasih sayang, menyimpan semuanya dalam hati Luk. 2:49-51.
d. Dorongan Untuk Mencintai Alam Dan Segala Isinya
Perkembangan iman mengantar anak semakin dekat dengan Allah. Anak semakin dekat dengan Allah Sang Pencipta, pada saat anak diajarkan mencintai
dan menghargai alam dan segala isinya, terutama mahkluk-makhluk hidup terkhusus sesama manusia Soerjanto, 2007: 12. Orangtua mengajarkan anak
untuk mencintai sesama, maka secara tidak langsung telah mengajarkan anak mencintai Allah yang tak terlihat 1Yoh. 4:20.
24
Allah memberikan manusia segala tumbuh-tumbuhan, pepohonan, segala binatang baik di darat, air maupun di udara, agar manusia dapat memenuhi
kelangsungan hidupnya. Allah menciptakan segalanya dan menempatkan manusia dalam taman Eden. Allah menghendaki agar manusia merawat, menjaga dan
mencintai ciptaan yang diberikan-Nya itu Kej. 1:29-30, 2:15. Beberapa orang kudusyang akrab dan mencintai makhluk ciptaan Allah,
contohnya Santo Fransiskus dari Asisi. Orangtua dapat memperkenalkan kisah- kisah orang kudus kepada anak-anak, sehingga anak-anak semakin mencintai
alam dan segala isinya.
4. Faktor Penyebab Gagalnya Pendidikan Iman Dalam Keluarga
Pendidikan dalam keluarga dapat terlaksana, jika relasi orangtua dan anak- anak terjalin dengan baik. Pada saat kurangnya komunikasi antara orangtua dan
anak-anakdapat merugikan proses pendidikan. Pudjiono 2007: 5 mengatakan beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan orangtua dalam memberikan
pendidikan iman bagi anak dalam keluarga antara lain:
a. Orangtua Kurang Menghayati Iman
Iman lahir didalam hati manusia merupakan tindakan Allah.Iman berkembang melalui kaidah-kaidah tertentu, seperti perkembangan manusia
sendiri. Sebaliknya iman tidak bertumbuh dan berkembang, jika tidak dipeliharamelalui Sabda Allah dan doa kehidupan setiap hari. Hidup manusia
sama halnya seperti tanaman, jika tidak diberi pupuk dan kurang mendapat PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
sumber air yang cukup, maka tumbuhan menjadi kerdil bahkan mati. Demikian halnya dengan iman Powell, 1991: 130.
Dalam masyarakat dapat ditemukan orang katolik sejati, yang memiliki pengetahuan mengenai iman,melainkanjuga menghayati iman yang diwujudkan
dalam tindakan nyata hidup sehari-hari, Selain itu ditemukan keluarga katolik beriman KTP, maksudnya sebatas tanda pengenal sebagai orang katolik, tetapi
jarang pergi ke gereja dan kurang berdoa. Anak-anak memperhatikan tingkah laku orang dewasa, sehingga ketika orangtua menyuruh anak berdoa atau pergi ke
gereja, namun orangtua sendiri tidak melakukan, maka anak mengalami kesulitan melaksanakannya. Sebaliknya ketika orangtua menghayati imannya secara baik
dan benar,maka anak menuruti perkataan orangtua untuk mengikuti kegiatan hidup menggereja ataupun berdoa.
b. Orangtua Mempercayakan Tanggungjawab Pada Pihak Lain
Pendidikan pertama-tama diperoleh anak didalam keluarga, sedangkan pendidikan formal di sekolah sebagai pelengkap pendidikan yang diperoleh di
rumah dari orangtua. PPK 31 mengatakan bahwa “Pendidikan dalam keluarga
harus memperhatikan pendidikan iman dan moral katolik, karena keluarga adalah sekolah nilai-nilai kemanusiaan dan iman katolik
.” Kesibukan orangtua bekerja mencari nafkah, mendorong orangtua
menyerahkan tanggungjawab mendidik anak kepada pihak lain, misalnya pengasuh, guru agama atau lembaga sekolah, sehingga pendidikan iman anak
kurang diperhatikan. PPK 30 mengatakan bahwa “Pendidikan formal di sekolah
26
cenderung menekankan kemampuan intelektual, mengakibatkan anak-anak kurang memiliki kepekaan, solidaritas dan nilai-nilai hidup beriman
.”
c. Orangtua Kurang Mendidik Anak Hidup Di Jalan Tuhan
Orangtua mengajarkan anak-anak agar taat pada orangtua, sama dengan mengajarkan anak-anak taat kepada Allah, karena orangtua adalah gambaran
Allah yang nyata dalam keluarga Ef. 6:1. Orangtua hendaknya mendidik anak- anaknya dijalan Tuhan, karena Tuhan sebagai jalan dan menuntun, sehingga anak-
anak tidak menyimpang dari jalan itu Ams. 4:11, 22:6. Dalam kehidupan ditemukan orangtua kurang mendidik anak-anak hidup
dijalan Tuhan dan membiarkan anak-anak melakukan sesuai keinginan hatinya, sehingga ketika anak-anak menjadi dewasa, mereka dapat melakukan hal-hal yang
kurang baik dan salah. Yesus mengatakan bahwa orangtua yang menyesatkan pikiran anak-anak, maka lebih baik sebuah batu diikatkan pada lehernya,
kemudian ditenggelamkan ke dasar laut Mat. 18:6, Mrk. 9:42, Luk 17:2 misalnya, orangtua mengajarkan anak-anak mencuri, berbuat curang, menipu,
balas dendam dan perbuatan jahat lainnya. Orangtua yang salah dalam mendidik anak-anak, maka suatu saat anak-anak menjadi duri dalam daging orangtua
sendiri, karena itulah Yesus dengan keras mengatakan orang yang salah dalam mendidik anak lebih baik mati.
d. Perkembangan Jaman Media Menjauhkan Anak Dari Tuhan
Manusia jaman sekarang dari anak-anak, remaja, orang dewasa maupun orang lanjut usiatidak dapat dipisahkan dari budaya media. Budaya media sendiri
27
merupakan hasil dari proses yang panjang dari jaman oral ke literer, kemudian ke jaman elektronik Iswarahadi, 2013: 36. Perkembangan media khususnya
komunikasi memiliki banyak manfaat, namun penyalahgunaan media dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain, karena orang dapat mengakses
informasi dari berbagai sumber dari internet. Konsili Vatikan II menerbitkan dekrit mengenai upaya-upaya komunikasi
sosial atau
Inter Mirifica
. Gereja melihat bahwa media memiliki dampak positif maupun dampak negatif, tergantung cara memanfaatkannya. Penggunaan media
tanpa dibatasi dapat menyita waktu bersama dalam keluarga terhadap pasangan dan anak-anak. Selain itu ketika mengikuti perayaan ekaristi sibuk dengan
hand phone
, sehingga tidak dapat berdoa dengan sepenuh hati. Dirumah orangtua tidak bereaksi terhadap apa yang ditampilkan dilayar
televisi padahal anak-anak cenderung dipengaruhi oleh pesan-pesan televisi yang mereka terima, tidak semua stasiun televisi menampilkan acara-acara yang
bersifat mendidik Tondowidjojo, 1987: 8-9. Orangtua perlu mengontrol anak- anak dalam menonton acara di televisi di rumah, sehingga nilai-nilai yang
ditawarkan oleh media tidak dapat menggoncangkan nilai-nilai tradisional agama. Kehebatan bahasa televisi dalam menyampaikan pesan-pesan sangat
diakui oleh sebab itu orangtua di tantang untuk menggunakan bahasa televisi sebagai bahasa baru dalam mendidik iman Iswarahadi, 2013: 82. Maka orangtua
perlu bersikap kritis pada media dan memanfaatkan media sebagai pewartaan kepada anak-anak, misalnya menonton kartun yang mengisahkan tokoh-tokoh
dalam Kitab Suci, masa kecil Yesus, video-video katekese dan sebagainya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
5. Pendidikan Iman Dalam Keluarga
Keluarga adalah tempat iman dapat bertumbuh dan berkembang, namun suasana atau situasi dalam keluarga dapat membuat iman mengalami kesulitan
bertumbuh. Keluarga memiliki peran penting dalam perkembangan dan pendidikan anak. Yanto Raring mengatakan dalam sebuah artikel bahwa
pendidikan bagaikan sebuah bangunan dan keluarga menjadi fondasinya Beku, 2005: 18. Pedoman Pastoral Keluarga PPK 31-33 mengatakan beberapa contoh
memberikan pendidikan iman kepada anak dalam keluarga, antara lain: a.
Doa Pribadi Dan Doa Bersama Berdoa berarti berbicara dengan Tuhan dalam keheningan dari hati kehati.
Doa dapat dilaksanakan secara pribadi seperti dianjurkan Yesus Mat. 6:6. Doa bersama dan doa pribadi merupakan salah satu cara konkret memberikan
pendidikan iman kepada anak-anak. Yesus sendiri mengatakan bahwa dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka
Mat. 18:20. FC 60
mengatakan bahwa “Karena martabat dan perutusannya, maka keluarga katolik mempunyai tanggungjawab yang khas untuk membina anak
mereka dalam doa sebab rahmat sakramen pernikahan yang telah diterima menuntut orangtua untuk memperkenalkan kapada anak sejak dini tentang Allah.
” Orangtua dalam keluarga perlu membiasakan anak-anak berdoa, baik doa bersama
maupun doa pribadi. PPK 35.1 mengatakan bahwa “Orangtua harus memiliki
kebiasaan hidup doa yang baik, sehingga anak-anakpada awalnya hanya meniru PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
kebiasaan orangtua, namun sesuai dengan tahap perkembangan umur dan pemahamannya anak-anak perlu didorong untuk mengungkapkan isi hatinya
secara spontan dalam doa.” Doa bersama dalam keluarga, misalnya doa sebelum dan sesudah makan, doa malam, doa rosario dll.
b. Memperkenalkan Lagu-Lagu Rohani
B uku “Hatiku penuh nyanyian” 2005: 5-6 mengatakan bahwa lagu-lagu
rohani merupakan suatu pengajaran, khususnya lagu-lagu yang mengandung ajaran-ajaran Kristiani. Lagu-lagu rohani dapat menjadi sarana pewartaan
mengenai Allah dan karya-Nya. Lagu yang tepat dan gerakkan yang pantas dalam perayaan liturgis, membantu pertumbuhan iman anak.
Orangtua mendidik iman anak-anak dengan memperkenalkan lagu-lagu rohani, sehingga anak-anak menghayati iman dengan hati penuh nyanyian, doa,
pujian, syukur, tobat. Orangtua dapat memperkenalkan tokoh-tokoh dalam Kitab Suci melalui nyanyian, misalnya Bapa Abraham, Nabi Nuh, Yunus diperut ikan,
Dua belas Rasul dan sebagainya. Orang tua membantu anak-anak mengingat nasehat dengan menggunakan lagu-lagu, misalnya hati-hati gunakan tanganmu,
cintailah sesama, dalam Yesus kita bersaudara, didalam dunia ada dua jalan dan sebagainya. Pada saat orangtua mengajarkan anak-anakmenyanyikan lagu-lagu
rohani, maka orangtua secara tidak langsung telah berkatekese. c.
Ambil Bagian Dalam Perayaan Liturgi Anak perlu sejak dini ikut ambil bagian dalam perayaan liturgi, terutama
dalam perayaan ekaristi, agar anak-anaksemakin mengenal dan mencintai Tuhan. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
Orangtua perlu memperkenalkan Kitab Suci kepada anak-anak, sehingga anak- anak semakin mengenal Yesus melalui sabda dan karya dengan menjadikan Yesus
Kristus sebagai fokus utama dari semua pelajaran rohani bagi anak-anak. Pudjiono, 2007: 8. Ketika anak belum dapat menghayati makna perayaan yang
diikutinya,namun menjadi pembiasaan anak untuk terlibat aktif dalam kegiatan hidup menggereja. Keluarga katolik diharapkan ikut serta dalam perayaan Ekaristi
Suci, khususnya pada hari Minggu dan Hari Raya dalam gereja Katolik dan bila memungkinkan dapat melaksanakan ibadat harian bersama di rumah FC 61.
d. Membaca Dan Merenungkan Kitab Suci
PPK 35.3 mengatakan bahwa “Kitab Suci memuat kekayaan iman yang
sangat baik dan efektif untuk mengembangkan iman anak- anak.” Orangtua katolik
perlu membacakan Kitab Suci kepada anak-anak, sehinggaanak-anak menemukan dasar iman yaitu dan semakin mengenal Allah yang menyelamatkan manusia
dalam diri Yesus Kristus. Dalam Kitab Suci terdapat dasar iman yaitu ajaran- ajaran Tuhan Yesus.
Rasul Paulus mengatakan kepada jemaat di Roma “Iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.
” Maka kewajiban orangtua untuk mewartakan Kristus kepada anak-anak, dengan menceritakan kisah-kisah
dalam kitab suci menggunakan bahasa anak-anak, sehingga anak-anak semakin tertarik mendengarkannya. Keluarga menerima tugas perutusan dari Allah
menjadi sel pertama dan sangat penting bagi masyarakat, karena keluarga merupakan pewarta iman dan pendidik yang pertama AA 11.
31
e. Aktif Dalam Pembinaan Iman
PPK 35.4 mengatakan bahwa “Orangtua dapat mendorong anak untuk
terlibat aktif dalam kegiatan pembinaan iman sebagai usaha untuk memberikan pendidikan iman dan menumbuhkan sikap menggereja dalam diri anak
.” Hal itu bisa dilakukan dengan mengajak untuk bergabung di Sekolah Minggu, Sekami,
PIA, PIR. Dengan demikian anak terbantu untuk memperkembangkan iman dan dilatih untuk menghayati kebersamaan sebagai Gereja.
f. Ikut Ambil Bagian Dalam Rekoleksi, Retret Dan Ziarah
PPK 35.5 mengatakan bahwa “Rekoleksi, retret, ziarah dan lain
sebagainya merupakan salah satu metode yang dikembangkan dalam Gereja dan menghasilkan buah-buah yang baik, agar orang terbantu menghayati imannya,
oleh karena itu Gereja megharapkan agar orangtua memberikan dorongan dan dukungan pada anak-anaknya untuk ikut ambil bagian da
lam kegiatan tersebut.”
6. Penerapan Pendidikan Iman Berdasarkan Tahap Perkembangan Iman
Sebelum kelahiran, orangtua telah mempersiapkan berbagai macam keperluan lahiriah bayi, namun kurang mempersiapkan keperluan rohani.
Orangtua tidak memberikan pendidikan iman kepada anaknya sejak awal bukan karena tidak mau melainkan karena kurang mengetahui cara yang tepat dalam
mewariskan iman kepada anak-anak Pudjiono, 2007: 4. Tahap perkembangan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
iman anak sesuai dengan perkembangan usianya,sehinggamembantu orangtua dalam memberikan pendidikan iman kepada anak-anaknya di dalam kehidupan
sehari-hari. Tahap-tahap perkembangan iman anak sesuai usianya sebagai berikut: a.
Awal-Elementer Tahapan ini disebut tahapan
primal
, karena benih iman dalam diri anak terbentuk melalui rasa percaya terhadap orang yang merawat dan
membesarkannya. Anak memiliki rasa percaya pada orang-orang yang mengasuhnya, sehingga menumbuhkan suatu keyakinan dalam dirinya bahwa ia
begitu dicintai dan sangat dihargai. Orangtua dapat menumbuhkan iman pada anaknya, misalnya membelai penuh kasih sayang, mencium, menggendong,
merangkul, mengajaknya berbicara saat menyuapi atau mengganti pakaian, menjaga dan merawatnya, karena mata si anak bertatapan dengan sang ibu dan
menatap orang-orang yang merawatnya. b.
Intuitif-Proyektif Dalam tahapan
intuitif proyektif,
daya imajinasi dan dunia gambaran anak sangat berkembang. Pada tahapan ini, figur orangtua yang baik sangat penting
bagi perkembangan iman anak, karena anak membayangkan atau menggambarkan sosok Allah seperti tokoh-tokoh disekitarnya terutama bapa, ibu, guru agama dll.
Dalam mendidik anak, orangtua tidak perlu menyampaikan pengajaran dengan nasehat atau kata-kata saja,melainkan mendidik anak dengan menjadi figur atau
teladan bagi anak, sehingga anak dapat melihat dan meneladani yang dilakukan. Iman anak tahap ini diwarnai oleh rasa takut pada orang dewasa, namun
anak tetap aktif bertanya karena pikirannya dipengaruhi oleh suasana hati, simbol PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
dan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh orang dewasa. Oleh karena itu, pada tahap
intuitif proyektif,
orangtua dapat mengajarkan anak-anak dengan menperkenal simbol-simbol, misalnya Salib, patung Bunda Maria, Rosario, Kitab
Suci, sikap berdoa menutup mata dan tangan terkatup, membuat tanda salib, mengajak bernyanyi lagu-lagu rohani dan sebagainya.
c. Mistis-Literal
Pada tahapan
mistis literal,
peran kelompok atau intuisi kemasyarakatan berperan penting dalam perkembangan iman anak. Maka pengajaran paling
mengena ketika disampaikan dalam bentuk kisah-kisah. Orangtua atau pendidik lainnya dapat mengisahkan tokoh-tokoh dalam Kitab Suci, para martir dan orang
kudus dalam gereja katolik, ataupun mengajak anak menonton kartun mengisahkan tokoh-tokoh dalam Kitab Suci.
C. Pendidikan Moral
Moral berasal dari bahasa Latin “mos”
mores
yang berarti kebiasaan, adat istiadat, tata cara kehidupan. Magnis Suseno 1987: 18-19 mengatakan
bahwa “Moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia,
karena bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia”. Pendidikan moral adalah upaya membawa orang
34
hidup dan berperilaku dengan baik. Hal tersebut juga disinggung dalam Kitab Perjanjian Lama yang berbunyi:
“Didiklah orang muda menurut jalan yang patut
baginya, maka pada masa tuanya ia tidak akan menyimpang dari jalan itu ” Ams.
22:6. Gereja menyadari tugasnya mengusahakan pendidikan moral dan keagamaan bagi anak-anak dalam keluarga katolik. Oleh karena itu, Gereja hadir
dengan kasih keprihatinan serta bantuannya yang istimewa bagi anak-anak yang dididik dalam sekolah non-katolik sesuai dengan prinsip moral yang dianut oleh
keluarganya GE 7. KHK 1983 kanon 795 membicarakan mengenai pembinaan moral bagi
anak dan kaum muda isinya: “Karena pendidikan yang sejati harus meliputi pembentukan pribadi
manusia seutuhnya yang harus memperhatikan tujuan akhir dari manusia dan sekaligus pula kesejahteraan umum dari masyarakat, maka anak-anak
dan kaum muda hendaknya dibina sedemikian sehingga dapat mengembangkan bakat-bakat, fisik, moral, intelektual mereka secara
harmonis agar mereka memperoleh rasa tanggungjawab yang lebih sempurna dan dapat menggunakan kebebasan mereka dengan benar dan
terbina pula untuk berperan serta secara aktif dalam keh
idupan sosial”. Moral terbagi dua yakni segi batiniah dan segi lahiriah. Oleh karena itu,
orang dapat dikatakan sebagai orang baik, apabila memiliki sikap batin yang baik dan melakukan perbuatan lahiriah yang baik pula. Dengan demikian moral dapat
diukur dengan tepat jika memperhatikan kedua segi tersebut Hadiwardoyo, 1990: 113. Namun orang cenderung hanya melihat perbuatan lahiriah.
1. Makna Pendidikan Moral
Moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia. Norma hukum tidak sama dengan norma moral. Norma hukum ialah norma yang
35
tidak dibiarkan dilanggar. Orang yang melanggar pasti dikenakan hukuman sebagai sanksi. Bisa saja orang melanggar hukum karena mendengarkan suara hati
dan karena kesadaran moral sebab hukum tidak dipakai untuk mengukur baik buruknya seseorang sebagai manusia melainkan untuk menjamin ketertiban dalam
masyarakat Magnis-Suseno, 1987:19. Maka orantua perlu mengajarkan nilai- nilai moral yang baik kepada anak-anak, sehingga anak-anak bisa memahami dan
menerapkannya.
2. Tahap-Tahap Perkembangan Moral Menurut L. Kohlberg
Orangtua perlu mengetahui tahap-tahap perkembangan moral anak, karena bimbingan atau pendidikan diberikan sesuai dengan tingkat usia masing-masing
anak. Tahap-tahap perkembangan moral sesuai dengan usia anak dapat membantu orangtua dalam memberikan pendidikan moral kepada anaknya.
Lawrence Kohlberg seorang Amerika sebagai professor pendidikan dan psikologi sosial di Universitas Harvard. Di tempat itu ia mengadakan suatu
penelitian dan memimpin banyak penelitian di bidang perkembangan moral. Ronald Duska dan Mariellen Whelan menceritakan dalam bukunya yang berjudul
perkembangan moral bahwa Kohlberg melakukan penelitian pada 50 pria Amerika yang berumur 10-28 tahun selama 18 tahun dengan mewawancarai
mereka setiap 3 tahun. Ia mengidentifikasikan adanya 6 sikap perkembangan yang pada umumnya dapat dibedakan secara tegas yang disebut orientasi atau
perspektif. 6 orientasi itu menjadi dasar dari setiap tahap perkembangan moral Duska dan Whelan, 1982: 56.
36
Kohlberg dalam penelitiannya menggunakan sekumpulan cerita ilustrasi, yang membawa orang pada suatu dilema moral, salah satunya adalah cerita
ilustrasi yang dikenal sebagai dilemma Heinz, sebagai berikut: “ Di Eropa, ada seorang wanita yang mendekati ajalnya, karena mengidap
penyakit sejenis kanker. Para dokter berpendapat bahwa hanya ada satu macam obat yang mungkin dapat menyembuhkan penyakit tersebut. obat
itu sejenis radium hasil temuan seorang apoteker. Namun biaya pembuatan obat tersebut sangat mahal sehingga sang apoteker melipatkan harga obat
tersebut sepuluh kali lipat dari biaya pembuatannya. Untuk membuat obat tersebut sang apoteker mengeluarkan 200 dan untuk satu dosis kecil obat
tersebut dijual seharga 2,000. Sedangkan Heinz pergi ke semua kenalannya untuk meminjam uang tetapi yang ia peroleh hanya 1,000
separuh dari harga obat yang ingin dibeli. Heinz mengatakan kepada sang apoteker bahwa istrinya hampir meninggal dan membutuhkan obat itu. Ia
meminta agar sang apoteker menjualnya lebih murah atau kalau boleh membayar kekurangannya dikemudian hari. Namun sang apoteker
mengatakan “ jangan begitu, saya sudah menemukan obat itu dan saya ingin mendapatkan keuntungan dari hasil penemuan saya itu.” Heinz
menjadi putus harapan, dan kemudian menggedor toko orang itu dan mencuri obat tersebut untuk istrinya”. Duska dan Whelan,1987:58.
Kohlberg menemukan dari jawaban responden sebagai tahap-tahap
perkembangan moral. Tahap perkembangan moral anak ada tiga tingkat dan dengan dua tahap setiap tingkatan sebagai berikut:
a. Tingkat Pra-Konvensional
Pada tingkat pra-konvensional, anak sangat peka terhadap berbagai peraturan berlatarbelakang budaya dan penilaian baik-buruk, benar-salah, namun
mengartikannya dari sudut akibat-akibat fisik suatu tindakan yang dilakukan Duska dan Whelan, 1982: 60. Pada tingkat ini, terjadi pada anak-anak berusia
empat sampai sepuluh tahun. Kecenderungan utama anak dalam berinteraksi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
dengan orang lain adalah menghindari hukuman atau mencapai maksimalisasi kenikmatan
hedonistis
. Dalam tingkat pra- konvensional ini dibagi menjadi dua tahap yaitu:
1 Tahap Satu: Hukuman dan ketaatan
Orientasi pada hukuman dan rasa hormat yang tak dipersoalkan terhadap kekuasan yang lebih tinggi sedangkan nilai manusiawi tidak diperhatikan. Akibat
fisik tindakan, terlepas arti atau nilai manusiawinya, menentukan sifat baik dan sifat buruk dari tindakan Kohlberg, 1995: 81, misalnya ketika anak berusaha
keras belajar bukan karena ingin menambah ilmu, namun semata-mata supaya mendapat nilai yang tinggi, sehingga mendapat pujian atau apresiasi dari orangtua
dan orang sekitarnya. Anak menaati suatu peraturan bukan didasarkan hormat, melainkan menghindari suatu hukuman, misalnya anak tidak pulang sampai larut
malam bukan karena mengetahui itu kurang baik, melainkan ketika pulang ia tidak mendapatkan hukuman dari ayahnya maupun ibunya.
2 Tahap Dua : Relativisme-Instrumental
Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang secara instrumental memuas- kan kebutuhan individu sendiri dan kadang-kadang memperalat orang lain
. Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan di tempat umum atau
hubungan dagang. Terdapat unsur-unsur kewajaran, timbal-balik, dan persamaan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
pembagian, akan tetapi semuanya itu selalu ditafsirkan secara
fisis pragmatis
. Kohlberg memberikan contoh: ketika kamu menggaruk punggungku, maka aku
melakukan hal yang sama Duska dan Whelan, 1982: 60. Pada tahap ini, anak melakukan sesuatu agar mendapatkan yang sama, ada
unsur balas budi. Kohlberg memberikan contoh lain: seorang siswa mempunyai sebuah pekerjaan rumah dari gurunya, dia meminta kakak membantunya dan
apabila kakak membantu, dia akan membantu kakaknya membersihkan pekerjaan rumah.
b. Tingkat Konvensional
Pada tingkat ini, memenuhi harapan-harapan keluarga, kelompok atau bangsa dianggap sebagai sesuatu yang berharga pada dirinya sendiri, tanpa
mengindahkan akibat yang segera dan nyata, karena ketika menyimpang dari harapan kelompok, maka akan terisolasi. Ia berusaha menyesuaikan diri dengan
tatanan sosial untuk mempertahankan, mendukung dan membenarkan tatanan sosial itu. Maka pada tingkat konvensional perasaan yang lebih dominan adalah
rasa takut dan malu Duska dan Whelan,1982:60.
3 Tahap Tiga: Kesepakatan Antara Pribadi Atau Orientasi Anak Manis
Kohlberg mengatakan bahwa perilaku yang baik adalah perilaku yang dapat menyenangkan atau membantu orang lain, dan yang disetujui oleh mereka.
Anak berusaha bersikap baik atau manis, agar dapat diterima dalam kelompok dan lingkungan ia tinggal, misalnya: seorang anak terlibat aktif dalam kerja bakti di
39
desanya, dengan maksud agar warga di desanya memiliki pandangan baik tentang dirinya dengan kata lain anak mencari persetujuan dengan berprilaku baik
Kholberg, 1995:81.
4 Tahap Empat: Hukuman Dan Ketertiban
Pada tahap ini, orientasi terhadap otoritas, peraturan yang pasti dan pemeliharaan tata aturan sosial. Perbuatan yang benar adalah menjalankan tugas,
memperlihatkan rasa hormat terhadap otoritas, dan pemeliharaan tata aturan sosial tertentu demi tata aturan itu sendiri. Orang mendapatkan rasa hormat dengan
berperilaku menurut kewajibannya, misalnya seorang siswa mematuhi tata tertib disekolah dengan memakai seragam lengkap dalam upacara bendera, demi
mematuhi aturan dan menghindari hukuman karena pelanggaran Kholberg, 1995:82.
c. Tingkat Pasca-Konvensional
Pada tingkat pasca-konvensional, orang bertindak sebagai subyek hukum dengan mengatasi hukum yang ada. Pada tahap ini, orang mulai menyadari bahwa
hukum merupakan kontrak sosial demi ketertiban dan kesejahteraan. Maka ketika hukum tidak sesuai dengan martabat manusia, maka hukum dapat dirumuskan
kembali. Perasaan cenderung pada rasa bersalah, sehingga ukuran yang dipakai untuk suatu keputusan moral adalah mendengarkan suara hati atau hati nurani
Budiningsih, 2008: 30. Pada tingkat pasca-konvensional ini dibagi kedalam dua tahap yaitu:
40
5 Tahap Lima: Kontrak Sosial Legalistis
Suatu orientasi kontrak sosial, umumnya bernada dasar
legalistis
dan
utilitarian
. Perbuatan benar cenderung didefinisikan dari segi hak-hak bersama dan ukuran-ukuran yang telah diuji secara kritis dan disepakati oleh seluruh
masyarakat, terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativisme nilai-nilai dan pendapat-pendapat pribadi serta suatu tekanan pada prosedur yang sesuai untuk
mencapai kesepakatan Kohlberg, 1995: 82. Maka jika hukum menghalangi kemanusiaan, maka hukum dapat diubah Budiningsih, 2008: 31.
6 Tahap Enam: Prinsip Etika Universal
Pada tahap terakhir ini, orientasi terletak pada keputusan suara hati dan pada prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri, yang mengacu pada pemaham logis,
menyeluruh, universalitas dan konsistensi. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis. Prinsip-prinsip itu adalah prinsip-prinsip universal mengenai keadilan,
timbal-balik, dan persamaan hak asasi manusia, serta rasa hormat terhadap martabat manusia sebagai person individual Kholberg, 1995:82.
Budiningsih 2008: 31 mengatakan bahwa ”Prinsip moral pada tahap ini
sangat abstrak, misalnya soal perintah Yesus tentang mencintai sesama manusia seperti kita mencintai diri sendiri
”. Kohlberg menceritakan dalamdilema Heinz: seorang suami tidak mempunyai uang, dia mencuri untuk membeli obat demi
keselamatan nyawa istrinya dengan keyakinan menyelematkan kehidupan seseorang merupakan kewajiban moral yang lebih tinggi dari pada mencuri
Duska dan Whelan, 1982: 58. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
3. Bentuk-Bentuk Pendidikan Moral
Orangtua melaksanakan pendidikan moral dengan melatih kepekaan anak terhadap suara hati dan bertindak berdasarkan suara hati. PPK 36 menjelaskan
bahwa “Pendidikan moral mencakup suara hati, kebebasan, tanggung jawab dan norma-norma moral.
” Dapiyanta 2013: 1-36 juga dalam buku teologi moral katolik menuliskan mengenai suara hati, kehendak bebas dan tanggung jawab.
PPK 36. 2 mengatakan kebebasan kehendak adalah prasyarat perbuatan moral. Bentuk-bentuk pendidikan moral meliputi:
a. Suara hati
Suara hati adalah inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya, dimana seseorang hanya seorang diri bersama dengan Allah sehingga Allah dapat
menggemakan sapaan-Nya dalam batin manusia GE 16. PPK 36.1 mengatakan bahwa ”Suara hati sering disebut juga hati nurani adalah sanggar suci manusia,
tempat Allah bersemayam dalam hati manusia dan menjadi penuntun perilaku karena suara hati mrnuntun orang pada kebenaran.
” Maka hati nurani dikenal sebagai mata hati.
Perjumpaan manusia dengan Allah dalam hati nurani merupakan peristiwa yang penuh misteri, karena hanya Allah sendiri yang lebih mengenal hati manusia.
Oleh karena itu, perbuatan yang sifatnya melawan suara hati adalah dosa Kieser, 1987: 112.
Magnis Seseno 1987: 53 mengatakan bahwa “ Suara hati adalah kesadaran moral dalam situasi konkret”.Norma-norma dalam kehidupan diperoleh
melalui orangtua, guru, tetangga, teman dan masyarakat,agar dapat memahami dan berbuat kebaikan. Suara hati senantiasa mendorong untuk melakukan
42
kebaikan, namun suara hati dapat tumpul, ketika manusia melalaikan bisikan suara hati.
1 Fungsi Suara Hati
Pada saat mengambil keputusan, membutuhkan pertimbangan, baik pikiran maupun hati. Suara hati adalah inti dari kepribadian manusia dalam membedakan
baik dan buruk, serta mendorong kearah kebaikan. Suara hati muncul pada saat akan melakukan suatu tindakan, baik perbuatan baik maupun buruk. Pada saat
melakukan perbuatan salah atau dosa, suara hati terus terusik dan hati merasa tidaktenang dan tidak damai. Sebaliknya pada saat melakukan perbuatan baik atau
benar, hati merasa tenang, damai dan bahagia. Ketika mengabaikan bisikan suara hati, menyebabkan manusia jatuh pada
konkupisensi
kecenderungan jatuh dalam dosa. Maka perlu pembinaan suara hati.
2 Pembinaan suara hati
Pembinaan suara
hati tidak
sama dengan
penyadaran akan
norma.Pembinaan suara hati menuntut orang untuk semakin sadar pada kondisi individual dari hidupnya, pandangan nilai-nilai yang telah diinternalisasikan,
kepentingan pribadi dan kelompok yang mengarahkan pengertian akan kondisi sosial yang membatasi pertimbangan dan keputusan Kieser,1987:140.
Pembinaan suara hati bagi orang beriman pertama-tama ditekankan ialah PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
keterbukaan dan harapan hati manusia pada Allah. Suara hati dibina melalui pengalaman hidup rohani yang disebut pembedaan Roh Kieser, 1987: 150.
3 Kemutlakan Suara Hati
Kemutlakan tuntutan suara hati tidak berarti bahwa suara hati pasti benar, karena yang mutlak dalam suara hati adalah tuntutan tidak menyeleweng dari
yang disadari sebagai kewajiban. Suara hati mutlak dalam arti bahwa tuntutannya tidak dapat ditiadakan kembali oleh pertimbangan untung rugi, senang tidak
senang oleh pendapat orang lain, dan pendapat pelbagai otoritas atau oleh perasaan kita sendiri Magnis Suseno,1987:56-57.
b. Kebebasan Kehendak
PPK 35 mengatakan bahwa”Kebebasan kehendak adalah prasyarat
per buatan moral’. Kebebasan itu memungkinkan orang untuk melakukan atau
mengabaikan tindakan yang baik maupun buruk. Ketika orang memiliki kehendak bebas untuk berbuat dan bertindak berarti lepas dari tekanan dan pemaksaan.
Manusia dapat berpaling dari kebaikan, karena kehendak bebas. Kebebasan telah rusak karena disalahartikan dengan tindakan sewenang-wenang. Manusia hanya
dapat berpaling pada kebaikan apabila ia bebas namun orang-orang yang mendukung kebebasan dengan cara yang salah, dan cenderung mengartikan
kebebasan dengan kesewenang-wenangan untuk melakukan suatu tindakan sesuka hati bahkan juga kejahatan, akibatnya kebebasan manusia terluka oleh dosa, maka
44
hanya dengan berkat Allah mampu mewujudkannya secara konkret hatinya kepada Allah GS 17.
c. Tanggungjawab
PPK 36.3 mengatakan bahwa“Tanggung jawab sebagai keberanian
melakukan apa yang diyakini dan memikul konsekuensinya ”. Dapiyanta
2013:34 mengatakan bahwa“Tanggung jawab sebagai kemampuan seseorang
untuk memberikan tanggapan atas tindakannya ”.
d. Norma Moral
Norma moral adalah tolok ukur yang digunakan dalam masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang Magnis Suseno, 1987: 19. Keluarga memberikan
pemahaman kepada anak mengenai norma-norma katolik sesuai dengan tahap- tahap perkembangan pribadi. Perkembangan moral seorang anak dipengaruhi oleh
lingkungan. Masyarakat memperngaruhi perkembangan kepribadian individu, demikian juga dengan aspek moral pada anak Singgih Gunarsa, 1983:61.
Orangtua perlu menanamkan nilai-nilai moral kepada anak sejak dini. Anak sejak dini telah menerima berbagai norma dari orangtua, orang lain,
masyarakat dan guru di sekolah. Norma-norma yang diajarkan orangtua kepada anak di rumah,misalnya, ketika seorang anak menerima sesuatu dari pastor atau
suster, orangtua mengajarkan mengucapkan terima kasih dan menerima pemberian menggunakan tangan kanan; orangtua memberikan pakaian sesuai
45
dengan jenis kelamin; orangtua mengajarkan sikap berjalan di depan orang yang lebih tua.
e. Norma Moral Kristiani
Pada perjanjian lama, bangsa Israel taat pada Tradisi dan Hukum Taurat.Orang beriman kristiani menggunakan sepuluh perintah Allah sebagai
norma moral sebagai berikut: 1
Larangan Menyembah allah-allah Lain Kel. 20: 3.5-6, Ul. 5: 7.9-10 Keluaran 20:3 “Jangan ada padamu allah lain dihadapan-Ku”.Teks
menegaskan kepada bangsa Israel, agar percaya pada Allah yang satu dan esa seperti terdapat dalam syahadat para rasul.
2
Larangan Menyebut Nama Allah Dengan Tidak Hormat Kel. 20:7, Ul.
5:11 Allah boleh disebut dengan nama-Nya namun tidak boleh dikuasai
Kieser, 1987: 179. Jangan menyebut nama TUHAN, Allahmu dengan sembarangan, sebab TUHAN akan memandang bersalah orang yang menyebut
nama-Nya dengan sembarangan Kel. 20:7.Maka orang Yahudi tidak menyebut nama YHWH dan menggantinya dengan sebutan
Adonai
atau
Hashshem
.
3 Perintah Menguduskan Hari Sabat Kel. 20:8-11, Ul. 5:12-15
Hari Sabat merupakan peringatan akan kemerdekaan Israel dan karya Allah yang membebaskan Kieser, 1987: 177. Perintah menguduskan hari Sabat
bukan semacam larangan, melainkan suatu pemberian Allah sebagai perlindungan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
bagi hidup manusia, terutama bagi mereka yang lemah. Allah telah bekerja selama enam hari menciptakan bumi berserta segala isinya dan kemudian pada hari
ketujuh Ia beristirahat, dan Allah memberkati hari ketujuh dan menguduskannya, karena pada hari itulah Ia berhenti dari segala pekerjaan penciptaan yang telah Ia
kerjakan Kel. 1:4-31, 2:1-3. “Janganlah melakukan pekerjaan pada hari ketujuh”, perintah untuk hari
Sabat mengenai pekerjaan dan istirahat. Allah menghendaki supaya manusia beristirahat dari segala aktivitas bekerja. Perintah ini bukan sepenuhnya
beribadat, tetapi pada keseimbangan antara bekerja dan beristirahat
.
Waktu beristirahat supaya lembu ataupun binatang yang digunakan meringankan pekerjaan dapat beristirahat dan orang lain dipekerjakan dapat
melepas lelah. Oleh karena itu,hari Sabat merupakan hari kemerdekaan yang diberikan kepada Bangsa Israel. Maka hari kemerdekaan juga berlaku bagi setiap
orang. Oleh karena itu, bagi orang Israel perayaan Hari Sabat yang semula adalah pemberian bagi manusia yang lemah, akhirnya menjadi hari ibadat dan tuntunan
agama bagi orang Israel Kieser, 1987: 176-177.
4 Perintah Menghormati Orangtua Kel. 20:12; Ul. 5:16
B uku “Kasih setia dalam suka duka”1994: 77 mengatakan bahwa
“Menghormati dan menaati kehendak orangtua merupakan kewajiban sebagai anak, namun setelah dewasa kewajiban anak ialah membantu dan merawat
orangtuanya. ”Kewajiban tidak bersifat statis dan tidak selalu sama, karena
dipengaruhi oleh perkembangan maupun situasi dan kondisi. Beberapa hal yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
perlu diperhatikan dan dikembangkan oleh anak terhadap orangtua, yaitu; mengasihi, sikap penuh syukur dan sikap hormat pada orangtua.
B uku “Kasih setia dalam suka duka” 1994: 114 mengatakan bahwa
“Ketaatan terhadap orangtua bersifat dinamis, karena dengan perkembangan anak yang semakin mampu menata hidup dan bersikap mandiri, sehingga keperluan
ketaatan berkurang secara proporsional .”
Perintah menghormati orangtua berlaku untuk anak kecil sampai dewasa. Kitab Amsal menuliskan mengenai orangtua dan anak
”Siapa mengutuki ayah atau ibunya, pelitanya akan padam pada waktu gelap” dan “anak yang
menganiaya ayahnya atau mengusir ibunya, memburukkan dan memalukan diri” Ams. 19:26.20:20. Kedua teks menegaskan bahwa sebagai anak kita harus
memberikan perlakuan baik kepada ibu maupun ayah, dengan menghormati dan memberikan perlakuan baik kepada orangtua, berarti menghormati Allah, karena
orangtua merupakan gambaran Allah yang nyata dalam keluarga. Perintah menghormati orangtua secara tidak langsung menyampaikan
kepada para orantua untuk menghormati anak-anaknya baik laki-laki maupun perempuan. Paus Yohanes Paulus II dalam surat kepada keluarga-keluarga 15
mengatakan bahwa “Mereka pantas untuk dihormati, sebab mereka hidup, sebab
mereka ada seperti adanya sekarang ini, dan hal ini benar mulai sejak pertama kali mereka berada dalam kandungan. Dan memiliki ikatan mendalam yang
mempersatukan keluarga, menyoroti dasar dari kes atuan batin keluarga.”
48
5 Larangan Membunuh Kel. 20:13; Ul. 5:17
Membunuh berarti meniadakan kehidupan. Allah sebagai pemberi kehidupan, maka Allah yang berhak mengambil kehidupan, maksudnya manusia
tidak mempunyai hak meniadakan kehidupan. Beberapa arti “membunuh”kata
Ibrani: membunuh orang atau membunuh hewan, menjatuhkan hukuman mati atau membunuh dalam suatu perang. Membunuh sudah jelas menumpahkan darah
Kieser, 1987: 172. Manusia dilarang membunuh, karena Allah pemberi kehidupan dan Allah selalu melindungi ciptaan-Nya.
6 Larangan mencuri Kel. 20:15; Ul. 5:19
Perbuatan mencuri milik orang lain sama dengan merampas hak milik orang yang bukan miliknya. Tindakan mencuri terjadi karena mengingini sesuatu
atau barang yang bukan milik atau hak pribadi. Larangan ini diajarkan keluarga- keluarga kristiani kepada anak-anak, agar mampu menghargai barang milik orang
lain, sehingga ketika dewasa, tidak mencuri barang milik orang lain.
7 Larangan Bersaksi Dusta Kel. 20:16; Ul. 5:20
Istilah saksi dusta berasal dari lingkungan pengadilan dan hukum Kieser, 1987: 175. Larangan mengucapkan saksi dusta untuk melindungi kepastian
hukum dan keamanan sosial. Bersaksi dusta berarti omong kosong sama dengan berbohong. Maka orangtua mengajarkan anak-anak untuk berkata jujur.
49
f. Norma Moral Umum
Penilaian terhadap norma moral berbobot, karena norma moral merupakan tolok ukur yang dipakai dalam masyarakat dalam mengukur kebaikan seseorang
Magnis Suseno, 1987: 19. Selain norma moral kristiani, terdapat beberapa keutamaan moral pada umumnya, antara lain:
1 Sikap Menghargai Orang Lain Dan Kehidupan
Konsili Vatikan II dalam GS 27 menekankan sikap hormat terhadap pribadi manusia, sehingga memandang orang lain sebagai sesamanya. Orang lain
sebagai pribadi yang lain “dia adalah aku yang lain”, sehinggasemakin
menghargai orang lain, seperti kata Yesus “segala sesuatu yang dilakukan pada
orang lain, dilakukan untuk Dia, sebab Allah hadir dalam setiap pribadi kita masing-masing, entah ia miskin atau pun kaya Mat. 25: 40.
2 Kejujuran
Kejujuran terdapat dalam perintah Allah kedelapan Kel. 20:16. Allah tidak menghendaki manusia berkata dusta, karena orang tidak jujur, ibarat pedang
atau panah tajam bagi orang lain Ams. 25:18, namun sebaliknya Allah lebih mengasihi orang jujur Ams. 16:13.
3 Kerendahan Hati Dan Menolong Orang Lain
Kerendahan hati berawal dari kisah penciptaan, saat manusia dibentuk dari tanah dan akan kembali menjadi tanah Kej 3:19. Yesus menghendaki agar
manusia belajar kelemahlembutan dan kerendahan hatiNya Mat 11:29. Yesusbersikap rendah hati dan menolong orang lain melalui mukjizat-mukjizat-
Nya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
4 Penuh Cinta Dan Kasih
Hukum utama dan pertama adalah hukum kasih. Ketika seorang ahli taurat datang mencobai Yesus, mengenai hukum mana yang paling utama dalam
Hukum Taurat, maka Yesus menjawab bahwa hukum pertama ialah mengasihi Tuhan Allah dengan segenap hati, jiwa dan akal budi, dan hukum kedua ialah
mengasihi sesama manusia sama seperti diri kita sendiri, sebab tidak ada orang yang menyakiti dirinya sendiri Mat. 22:37-39; Mrk. 20:30-31; Luk. 10:27; Gal
5:14; Yak. 2:8.
g. Penerapan Pendidikan Moral Berdasarkan Tahap Perkembangan Moral Anak
1 Pra-Konvensional
Pra-konvensional merupakan tingkat pada saat anak berusaha patuh, agar tidak mendapatkan suatu hukum.
Pada tahap ini, orangtua atau pendidik lainnya diharapkan mampu membimbing dan mengarahkan anak serta memiliki
kemampuan untuk memberikan pujian dan penghargaan yang tepat sebagai sumber motivasi. Orangtua hendaknya memiliki metode tepat pada saat
menasihati anak ketika melakukan suatu kesalahan, tanpa mengeluarkan perkataan yang menjatuhkan mental anak, misalnya Nak, jadilah anak yang tenang kamu
jangan nakal.
2 Konvensional
Pada tingkat konvensional, anak cenderung menuruti yang diharapkan oleh keluarga atau masyarakat. Maka menjadi anak baik, perbuatan harus diterima di
51
masyarakat dan mendapat penghargaan dari orang lain, karena anak menyadari kewajiban dalam melaksanakan norma-norma dan penting mempertahankan
norma-norma. Maka tahap ini, orangtua memberikan bimbingan dan nasehat, agar anak tidak hanya mengejar pujian dan penghargaan, namun memberikan
motivasi agar moral baik tetap terjaga dan terus berkembang, misalnya Nak, caramu berbicara pada orangtua sudah cukup baik, namun perlu memperhalus
ucapannya jangan berkata kasar pada orang yang lebih tua.
3 Pasca-Konvensional
Pada tingkat ini,anak menyadari bahwa hukum merupakan kontrak sosial demi ketertiban dan kesejahteraan. Maka ketika hukum tidak sesuai dengan
martabat manusia, maka hukum dapat dirumuskan kembali. Pada tingkat pasca- konvensional, kata hati menentukan perbuatan moral dengan prinsip universal
yang terwujud dalam tingkah laku anak, misalnya menghargai atau memperlakukan orang lain dengan baik, agar hati atau perasaan tidak merasa
bersalah, ditegur hati nurani. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI