Sumbangan katekese umat sebagai upaya untuk meningkatkan keterlibatan umat dalam hidup menggereja di Stasi Mansalong Paroki Maria Bunda Karmel Mansalong Kabupaten Nunukan.

(1)

viii

 

ABSTRAK

Judul skripsi SUMBANGAN KATEKESE UMAT SEBAGAI UPAYA UNTUK MENINGKATKAN KETERLIBATAN UMAT DALAM HIDUP MENGGEREJA DI STASI MANSALONG, PAROKI MARIA BUNDA KARMEL MANSALONG, KABUPATEN NUNUKAN dipilih berdasarkan kenyataan bahwa pemahaman umat stasi Mansalong akan hidup menggereja perlu ditingkatkan. Stasi Mansalong merupakan satu-satunya stasi yang berada di pusat paroki yang memiliki tanggungjawab besar dalam mengembangkan paroki. Untuk itu stasi Mansalong mempunyai harapan besar pada keterlibatan umat dalam hidup menggereja. Namun kenyataannya keterlibatan umat tersebut masih sangat kurang. Umat stasi Mansalong mengikuti kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di basis, stasi, maupun paroki hanya sekedar rutinitas belaka tanpa ada dampak positif yang ditimbulkan dari kegiatan-kegiatan yang diikuti. Dan yang lebih memprihatinkan adalah jumlah umat yang terlibat dalam kegiatan tersebut sangat sedikit sekitar 10-15 orang dari ± 200 jiwa jumlah umat stasi Mansalong.

Persoalan pokok pada skripsi ini adalah bagaimana umat stasi Mansalong bisa dibantu dalam upaya meningkatkan keterlibatan hidup menggerejanya melalui katekese umat. Umat stasi Mansalong sebagai stasi induk mempunyai kewajiban untuk mengembangkan Gerejanya melalui suatu bentuk pendampingan iman secara terus menerus yang dapat membantu perkembangan iman mereka. Oleh karena itu, untuk mengkaji lebih lanjut persoalan yang dihadapi umat stasi Mansalong, penulis melakukan studi pustaka yang bersumber dari Kitab Suci, dokumen-dokumen Gereja, dan juga pandangan para ahli mengenai katekese umat guna mengetahui peran katekese umat dalam hidup menggereja umat. Kemudian, untuk memperoleh gambaran kehidupan menggereja umat stasi Mansalong maka penulis melakukan penelitian dengan cara pengamatan, penyebaran kuesioner, dan wawancara.

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa keterlibatan umat dalam hidup menggereja sangat kurang oleh karena berbagai alasan, mulai dari pekerjaan, urusan pribadi, kurangnya pengetahuan, pengaruh teknologi, dan ada pula yang beranggapan bahwa kegiatan gereja tidak mendatangkan materi. Namun demikian, umat stasi Mansalong memiliki harapan melalui kegiatan katekese demi peningkatan hidup menggereja mereka. Maka dari itu, penulis dalam skripsi ini mengusulkan program pendampingan iman melalui katekese umat model SCP (Shared Christian Praxis) sebagai upaya untuk meningkatkan keterlibatan umat dalam hidup menggereja baik di basis, stasi, paroki, maupun di masyarakat. Dengan demikian cita-cita stasi Mansalong dapat tercapai dan nilai-nilai Kerajaan Allah dapat terwujud di tengah-tengah masyarakat.


(2)

ix

 

ABSTRACT

 

The thesis title is THE CONTRIBUTION OF COMMUNITY CATECHESIS AS AN EFFORT TO IMPROVE CATHOLIC COMMUNITY PARTICIPATION IN THE CHURCH LIFE IN MANSALONG DISTRICT, MARY MOTHER OF CARMEL PARISH IN MANSALONG, NUNUKAN REGENCY was chosen based on the fact that Catholic community of Mansalong district understanding about the church life needs to be improved. Mansalong district which located at the parish center to is the only district which has great responsibility in parish development. Hence, Mansalong district have great expectations on the Catholic community involvement in the church life. In fact the involvement of Catholic community is still very less. The Catholic community of Mansalong district only follows activities at the base, district, and parish as routinity without any positive impact. And the more concern is the number of Catholic community who involved in these activities is very few only about 10-15 people from ± 200 souls the number Catholic community of Mansalong district.

Basic problem in this thesis is how the Catholic community of Mansalong district could be assisted in order to increase the involvement of the church life through community catechesis. The Catholic community of Mansalong district as district parent has an obligation to develop his Church through a constantly faith assistance that can help the development of their faith. Therefore, to further examine the problem which is faced by the Catholic community of Mansalong district, the author conducted a literature that comes from Scripture, Church documents, and also the views of experts on community catechesis to determine the role of community catechesis in the church life. Then, to obtain a picture of the church life in Catholic community of Mansalong district the author conducted research by observation, questionnaires, and interviews.

Based on the research, the author found that the involvement of Catholic community in the church life very less by various reasons, starting from works, personal affairs, the lack of knowledge, the influence of technology, and some opinions say that the church doesn’t bring matters. But the Catholic community of Mansalong district has hope through the activities of catechesis for improving the church life. Therefore, the author is proposing a mentoring program faith through community catechesis model SCP (Shared Christian Praxis) as an effort to improve the involvement of Catholic community in the church life within at the base, district, parish, and in the society. Thus, the aims of Mansalong district can be achieved and the Kingdom of God values can be achieved in the midst of the socities.


(3)

  K Program   SEBA KETERLIB PAROK Diaj M

m Studi Ilm

PR KEKHU FAKULT SUMBAN AGAI UPAY BATAN UM DI ST KI MARIA KABU jukan untu Memperole mu Pendidi Didi ROGRAM USUSAN P JURUSA TAS KEGU UNIVERS Y i NGAN KAT YA UNTUK MAT DALA TASI MAN BUNDA K UPATEN N    

S K R I P

uk Memenu

h Gelar Sa

ikan Kekhu               Oleh imus Math NIM: 1111 STUDI ILM ENDIDIKA AN ILMU P URUAN DA SITAS SAN YOGYAKA 2015 TEKESE U K MENING AM HIDUP NSALONG KARMEL M NUNUKAN

P S I

uhi Salah Sa

arjana Pend ususan Pen   : eus Nurak 124010 MU PEND AN AGAM PENDIDIK AN ILMU NATA DHA ARTA 5 UMAT GKATKAN P MENGG G MANSALO N atu Syarat didikan ndidikan A IDIKAN MA KATOL KAN PENDIDIK ARMA N EREJA ONG  gama Kato LIK KAN olik 


(4)

(5)

(6)

iv

 

HALAMAN PERSEMBAHAN

Dengan penuh rasa syukur skripsi ini saya persembahkan

Kepada Allah Bapa, Putera, dan Roh Kudus

Kepada Bunda Maria

Untuk Ayah dan Ibu yang selalu mendoakan saya

Untuk Umat Stasi Mansalong Paroki Maria Bunda Karmel Mansalong


(7)

v

 

MOTTO

“Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.”


(8)

(9)

(10)

viii

 

ABSTRAK

Judul skripsi SUMBANGAN KATEKESE UMAT SEBAGAI UPAYA UNTUK MENINGKATKAN KETERLIBATAN UMAT DALAM HIDUP MENGGEREJA DI STASI MANSALONG, PAROKI MARIA BUNDA KARMEL MANSALONG, KABUPATEN NUNUKAN dipilih berdasarkan kenyataan bahwa pemahaman umat stasi Mansalong akan hidup menggereja perlu ditingkatkan. Stasi Mansalong merupakan satu-satunya stasi yang berada di pusat paroki yang memiliki tanggungjawab besar dalam mengembangkan paroki. Untuk itu stasi Mansalong mempunyai harapan besar pada keterlibatan umat dalam hidup menggereja. Namun kenyataannya keterlibatan umat tersebut masih sangat kurang. Umat stasi Mansalong mengikuti kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di basis, stasi, maupun paroki hanya sekedar rutinitas belaka tanpa ada dampak positif yang ditimbulkan dari kegiatan-kegiatan yang diikuti. Dan yang lebih memprihatinkan adalah jumlah umat yang terlibat dalam kegiatan tersebut sangat sedikit sekitar 10-15 orang dari ± 200 jiwa jumlah umat stasi Mansalong.

Persoalan pokok pada skripsi ini adalah bagaimana umat stasi Mansalong bisa dibantu dalam upaya meningkatkan keterlibatan hidup menggerejanya melalui katekese umat. Umat stasi Mansalong sebagai stasi induk mempunyai kewajiban untuk mengembangkan Gerejanya melalui suatu bentuk pendampingan iman secara terus menerus yang dapat membantu perkembangan iman mereka. Oleh karena itu, untuk mengkaji lebih lanjut persoalan yang dihadapi umat stasi Mansalong, penulis melakukan studi pustaka yang bersumber dari Kitab Suci, dokumen-dokumen Gereja, dan juga pandangan para ahli mengenai katekese umat guna mengetahui peran katekese umat dalam hidup menggereja umat. Kemudian, untuk memperoleh gambaran kehidupan menggereja umat stasi Mansalong maka penulis melakukan penelitian dengan cara pengamatan, penyebaran kuesioner, dan wawancara.

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa keterlibatan umat dalam hidup menggereja sangat kurang oleh karena berbagai alasan, mulai dari pekerjaan, urusan pribadi, kurangnya pengetahuan, pengaruh teknologi, dan ada pula yang beranggapan bahwa kegiatan gereja tidak mendatangkan materi. Namun demikian, umat stasi Mansalong memiliki harapan melalui kegiatan katekese demi peningkatan hidup menggereja mereka. Maka dari itu, penulis dalam skripsi ini mengusulkan program pendampingan iman melalui katekese umat model SCP (Shared Christian Praxis) sebagai upaya untuk meningkatkan keterlibatan umat dalam hidup menggereja baik di basis, stasi, paroki, maupun di masyarakat. Dengan demikian cita-cita stasi Mansalong dapat tercapai dan nilai-nilai Kerajaan Allah dapat terwujud di tengah-tengah masyarakat.


(11)

ix

 

ABSTRACT

 

The thesis title is THE CONTRIBUTION OF COMMUNITY CATECHESIS AS AN EFFORT TO IMPROVE CATHOLIC COMMUNITY PARTICIPATION IN THE CHURCH LIFE IN MANSALONG DISTRICT, MARY MOTHER OF CARMEL PARISH IN MANSALONG, NUNUKAN REGENCY was chosen based on the fact that Catholic community of Mansalong district understanding about the church life needs to be improved. Mansalong district which located at the parish center to is the only district which has great responsibility in parish development. Hence, Mansalong district have great expectations on the Catholic community involvement in the church life. In fact the involvement of Catholic community is still very less. The Catholic community of Mansalong district only follows activities at the base, district, and parish as routinity without any positive impact. And the more concern is the number of Catholic community who involved in these activities is very few only about 10-15 people from ± 200 souls the number Catholic community of Mansalong district.

Basic problem in this thesis is how the Catholic community of Mansalong district could be assisted in order to increase the involvement of the church life through community catechesis. The Catholic community of Mansalong district as district parent has an obligation to develop his Church through a constantly faith assistance that can help the development of their faith. Therefore, to further examine the problem which is faced by the Catholic community of Mansalong district, the author conducted a literature that comes from Scripture, Church documents, and also the views of experts on community catechesis to determine the role of community catechesis in the church life. Then, to obtain a picture of the church life in Catholic community of Mansalong district the author conducted research by observation, questionnaires, and interviews.

Based on the research, the author found that the involvement of Catholic community in the church life very less by various reasons, starting from works, personal affairs, the lack of knowledge, the influence of technology, and some opinions say that the church doesn’t bring matters. But the Catholic community of Mansalong district has hope through the activities of catechesis for improving the church life. Therefore, the author is proposing a mentoring program faith through community catechesis model SCP (Shared Christian Praxis) as an effort to improve the involvement of Catholic community in the church life within at the base, district, parish, and in the society. Thus, the aims of Mansalong district can be achieved and the Kingdom of God values can be achieved in the midst of the socities.


(12)

x

 

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah atas rahmat dan kasih-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul SUMBANGAN KATEKESE UMAT SEBAGAI UPAYA UNTUK MENINGKATKAN KETERLIBATAN UMAT

DALAM HIDUP MENGGEREJA DI STASI MANSALONG PAROKI

MARIA BUNDA KARMEL MANSALONG KABUPATEN NUNUKAN. Skripsi ini diajukan guna memberikan sumbangan pemikiran, gagasan, dan inspirasi bagi siapapun yang memilki kerinduan dalam mengembangkan Gereja Katolik di manapun berada.

Selama proses penyusunan skripsi ini, penulis mengalami pendampingan, dukungan, motivasi, serta perhatian. Di mana semuanya ini, penulis yakini sebagai karya Tuhan dalam membimbing serta memampukan penulis hingga pada tahap akhir dengan penuh kesetiaan. Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:

1. Drs. F.X. Heryatno Wono Wulung, S.J., M.Ed., selaku dosen pembimbing utama dan dosen penelitian yang telah setia membimbing, mengarahkan, dan selalu memotivasi penulis dalam penyusunan skripsi dari awal hingga akhir. 2. Dr. B. Agus Rukiyanto, S.J., selaku dosen pembimbing akademik dan dosen

penguji II yang telah meluangkan waktu untuk mempelajari dan memberi masukan sehubungan dengan skripsi ini.


(13)

xi

 

3. Yoseph Kristianto, SFK., M.Pd., selaku dosen penguji III dan sekretaris panitia penguji yang telah meluangkan waktu untuk mempelajari dan memberikan masukan demi semakin baiknya skripsi ini.

4. Para dosen Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang setia membagikan cinta kasih, pengetahuan serta pengorbanan selama penulis menjalani masa studi.

5. Staf dan karyawan Prodi IPPAK yang turut memberi perhatian dan dukungan bagi penulis.

6. Romo Yulius Dainang Waja, Pr., Romo Paulus Wirasmohadi Soerjo, Pr., dan Romo Agustinus Darwanto, Pr yang telah memberikan dukungan materi dan pengetahuan selama penulis menjalani studi.

7. Ibu Haryati sebagai donatur utama dan Ibu Emil sebagai sekretaris yang telah berkenan membantu membiayai penulis dalam hal pembayaran uang kuliah selama studi.

8. Romo Dionesius Adi Tejo Saputra, Pr selaku Romo paroki Maria Bunda Karmel Mansalong yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian.

9. Bapak Meleanus, S.Ag dan Bapak Yohanes Pera, S.S. sebagai ketua stasi Mansalong dan bendahara yang telah berkenan memberikan izin kepada penulis untuk menjalankan penelitian serta informasi berkaitan dengan kehidupan menggereja umat stasi Mansalong.


(14)

xii

 

9. Umat stasi Mansalong yang telah meluangkan waktu memberikan jawaban dan mencurahkan perasaan sewaktu penulis melakukan penelitian.

10. Mama, papa, kakak, dan adik yang selalu mendukung, mendoakan dan berkorban bagi penulis selama menjalani masa studi.

11. Sayang dan cintaku Agnes Garlosi Kusumaningrum yang selalu setia menemani dan menyemangati penulis serta memberikan dukungan sarana dan prasarana selama studi dan proses penyelesaian skripsi ini.

12. Saudara dan sahabat Bonny Prima Saputra yang telah memberikan ide, gagasan maupun motivasi selama penulis studi dan menyelesaikan skripsi. 13. Teman-teman seperjuangan angkatan 2011 yang telah berjuang bersama-sama

dan turut membentuk pribadi serta menjadi bagian dalam hidup penulis. 14. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang selama ini

dengan ketulusan hati memberikan motivasi, doa maupun kerjasama sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari keterbatasan dan kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, dengan rendah hati dan penuh ketulusan, penulis menerima segala kritik dan saran yang membangun. Penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapa pun, terkhusus umat stasi Mansalong paroki Maria Bunda Karmel.

Yogyakarta, 16 November 2015 Penulis


(15)

(16)

xiii

 

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xviii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penulisan ... 7

D. Manfaat Penulisan ... 8

E. Metode Penulisan ... 9

F. Sistematika Penulisan ... 9

BAB II KATEKESE UMAT SEBAGAI UPAYA UNTUK MENINGKATKAN KETERLIBATAN UMAT DALAM HIDUP MENGGEREJA ... 11

A. Katekese Umat ... 12

1. Sejarah Katekese Umat ... 12

2. Arti Katekese Umat ... 13

3. Tujuan Katekese Umat ... 15

4. Proses Katekese Umat ... 17

5. Kekhasan Katekese Umat ... 18


(17)

xiv

 

a. Kepribadian dan Spiritualitas Pendamping Ketekese

Umat ... 21

b. Pengetahuan Seorang Pendamping Katekese Umat ... 23

c. Keterampilan Seorang Pendamping Katekese Umat ... 25

7. Shared Christian Praxis (SCP) sebagai Salah Satu Model Katekese Umat ... 27

a. Shared Christian Praxis sebagai Model Katekese Umat ... 27

1) Pengertian Shared Christian Praxis (SCP) ... 28

2) Langkah-langkah Shared Christian Praxis (SCP) ... 31

B. Sumbangan Katekese Umat sebagai Upaya Meningkatkan Keterlibatan Umat dalam Hidup Menggereja melalui Empat Tugas Gereja ... 38

1. Membangun Persaudaraan (Koinonia) ... 40

2. Mengembangkan Pewartaan Kabar Gembira (Kerygma) ... 41

3. Menghidupkan Peribadatan yang Menguduskan (Leiturgia) ... 43

4. Memajukan Karya Cinta Kasih/Pelayanan (Diakonia) ... 44

C. Rangkuman Peran Katekese Umat dalam Hidup Menggereja ... 46

BAB III GAMBARAN KETERLIBATAN UMAT STASI MANSALONG PAROKI MARIA BUNDA KARMEL MANSALONG KABUPATEN NUNUKAN DALAM HIDUP MENGGEREJA ... 47

A. Gambaran Situasi Umum Stasi Mansalong Paroki Maria Bunda Karmel Mansalong Kabupaten Nunukan ... 48

1. Situasi Geografis Stasi Mansalong ... 48

2. Sejarah Singkat Stasi Mansalong ... 48

3. Situasi Umat Stasi Mansalong ... 52

a. Mata Pencaharian Umat ... 52

b. Segi-segi Kehidupan Umat ... 53

4. Karya-karya Pastoral Stasi Mansalong ... 54

a. Bidang Persekutuan (Koinonia) ... 55

b. Bidang Pewartaan (Kerygma) ... 56

c. Bidang Liturgi/Perayaan (Leiturgia) ... 56


(18)

xv

 

5. Visi, Misi, dan Strategi Stasi Mansalong ... 58

a. Visi ... 58

b. Tantangan-tantangan yang Harus Dihadapi ... 60

c. Misi ... 60

d. Strategi ... 61

B. Penelitian mengenai Keterlibatan Hidup Menggereja Umat Stasi Mansalong Paroki Maria Bunda Karmel Mansalong Kabupaten Nunukan ... 61

1. Persiapan Penelitian ... 62

a. Latar Belakang Penelitian ... 62

b. Tujuan Penelitian ... 63

c. Jenis Penelitian ... 64

d. Instrumen Pengumpulan Data ... 65

e. Responden Penelitian ... 66

f. Tempat Penelitian dan Alokasi Waktu ... 67

g. Variabel yang Diteliti dan Kisi-kisi ... 68

h. Definisi Konseptual ... 68

i. Definisi Operasional ... 68

2. Laporan dan Pembahasan Hasil Penelitian ... 70

a. Identitas Responden ... 72

b. Pemahaman akan Keterlibatan Hidup Menggereja ... 73

c. Keterlibatan Umat dalam Hidup Menggereja ... 76

d. Kesulitan Umat untuk Terlibat dalam Kegiatan Gereja ... 80

e. Kegiatan Katekese yang Diharapkan Umat ... 83

3. Pendalaman Lebih Lanjut terhadap Hasil Penelitian menurut masing-masing Variabel ... 87

a. Identitas Responden ... 88

b. Pemahaman akan Keterlibatan Hidup Menggereja ... 89

c. Keterlibatan Umat dalam Hidup Menggereja ... 90

d. Kesulitan Umat untuk Terlibat dalam Kegiatan Gereja ... 94

e. Kegiatan Katekese yang Diharapkan Umat ... 95


(19)

xvi

 

BAB IV UPAYA MENINGKATKAN KETERLIBATAN HIDUP MENGGEREJA UMAT STASI MANSALONG

PAROKI MARIA BUNDA KARMEL MANSALONG

KABUPATEN NUNUKAN ... 100

A. Pentingnya Keterlibatan dalam Hidup Menggereja bagi Umat Stasi Mansalong Paroki Maria Bunda Karmel Mansalong Kabupaten Nunukan ... 101

B. Upaya Meningkatkan Keterlibatan Hidup Menggereja Umat Stasi Mansalong Paroki Maria Bunda Karmel Mansalong Kabupaten Nunukan melalui Katekese Umat ... 103

1. Alasan Pemilihan Bentuk Katekese Umat Model Shared Christian Praxis (SCP) ... 103

2. Katekese Umat Model Shared Christian Praxis (SCP) ... 104

a. Tujuan Kegiatan ... 104

b. Waktu, Tempat, dan Peserta ... 106

C. Usulan Program Katekese Umat Model Shared Christian Praxis (SCP) untuk Meningkatkan Hidup Menggereja Umat Stasi Mansalong Paroki Maria Bunda Karmel Mansalong Kabupaten Nunukan ... 107

1. Latar Belakang Program ... 107

2. Tema dan Tujuan Program ... 108

3. Matriks Usulan Katekese Umat Model Shared Christian Praxis (SCP) ... 111

4. Contoh Satuan Pendamping Katekese Umat Model Shared Christian Praxis (SCP) ... 115

BAB V PENUTUP ... 130

A. Kesimpulan ... 130

B. Saran ... 132

DAFTAR PUSTAKA ... 134

LAMPIRAN Lampiran 1: Surat Permohonan Izin Penelitian ... (1)

Lampiran 2: Surat Keterangan Selesai Penelitian ... (2)

Lampiran 3: Kuesioner Tertutup dan Semi Terbuka ... (3)

Lampiran 4: Contoh Jawaban Responden ... (12)


(20)

xvii

 

Lampiran 6: Transkip Hasil Wawancara 2 Dengan Pengurus Stasi ... (24)

Lampiran 7: Daftar Lagu-lagu Pendalaman Iman Model SCP ... (27)

Lampiran 8: Cerita Daun-daun dan Orang ... (28)

Lampiran 9: Teks Kitab Suci ... (29)


(21)

xviii

 

DAFTAR SINGKATAN

A. Singkatan Teks Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti Kitab Suci Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang diselenggarakan oleh Lembaga Alkitab Indonesia.

Kis : Kisah Para Rasul Mat : Matius

Yoh : Yohanes

Yeh : Yehezkiel

B. Singkatan Dokumen Gereja

AA : Apostolicam Actuositatem

Dekrit Konsili Vatikan II tentang Kerasulan Awam. Tanggal 18 November 1965.

CT : Catechesi Tradendae

Anjuran Apostolik Sri Paus Yohanes Paulus II kepada para uskup, klerus, dan segenap umat beriman tentang katekese masa kini. Tanggal 16 Oktober 1979.

EG : Evangelii Gaudium

Seruan Apostolik Paus Fransiskus tentang Sukacita Injil. Tanggal 24 November 2013.


(22)

xix

 

KGK : Katekismus Gereja Katolik

Terjemahan Indonesia dikerjakan berdasarkan edisi Jerman oleh P. Herman Embuiri, SVD. Tahun 2007.

LG : Lumen Gentium

Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II tentang Gereja. Tanggal 21 November 1964

SC : Sacrosanctum Concilium

Konstitusi Konsili Vatikan II tentang Liturgi Suci. Tanggal 4 Desember 1963

C. Singkatan Lain

Alm : Almarhum

APP : Aksi Puasa Pembangunan BKSN : Bulan Kitab Suci Nasional D III : Diploma III

HP : Hand Phone

KBG : Komunitas Basis Gereja KK : Kepala Keluarga

KomKat : Komisi Kateketik

KomSos : Komisi Komunikasi Sosial KU : Katekese Umat

KWI : Konferensi Waligereja Indonesia OMI : Oblat Maria Imaculata


(23)

xx

 

PAK : Pendidikan Agama Katolik PIA : Pembinaan Iman Anak

PKK : Pembinaan Kesejahteraan Keluarga

PKKI : Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia SCP : Shared Christian Praxis

SD : Sekolah Dasar

SEKAMI : Serikat Kepausan Anak-anak Misioner SK : Surat Keputusan

SLTA : Sekolah Lanjutan Tingkat Atas SLTP : Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama SMA : Sekolah Menengah Atas

SMP : Sekolah Menengah Pertama Sr : Suster

SSpS : Congregatio Missionalis Servarum Spiritus Sancti atau Kongregasi Suster Misi Abdi Roh Kudus

S1 : Sarjana

TNI : Tentara Nasional Indonesia

TV : Televisi


(24)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Iman Katolik sejati adalah iman yang berdasarkan pada Kitab Suci dan Tradisi Gereja yang telah dihidupi oleh Jemaat Perdana sejak dahulu. Mereka telah mewarisi iman akan Yesus Kristus dengan bertekun dalam pengajaran dan dalam persekutuan. Mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa (Kis 2:42). Mereka bersekutu dan saling berbagi. Inilah bagian dari iman kita sampai saat ini. Dengan beriman berarti manusia menyerahkan dirinya kepada Allah (DV, a. 5 dan KWI, 1996: 127). Penyerahan diri ini mengandung konsekuensi nyata bahwa manusia itu terlibat penuh dalam segala aspek hidup demi tercapai tujuan hidupnya. Orang beriman tidak cukup hanya dengan rajin beribadat dan hidup baik tetapi ia dituntut lebih daripada itu. Orang beriman berarti ia harus mau dipanggil Allah, mau dipakai Allah sebagai alat-Nya dan mau menerima Allah sebagai satu-satunya penyelamat sampai pada kehidupan kekal. Oleh karena itu, iman juga perlu diwujudnyatakan dalam hidup sehari-hari lewat suatu bentuk cinta kasih yang aktif. Di sinilah iman mampu mencapai kesempurnaan itu. Sebab tanpa cinta kasih iman tidaklah menjadi sempurna.

“Iman adalah rasional bukan karena dibuktikan, tetapi karena dipertanggungjawabkan” (KWI, 1996: 131). Iman orang Katolik dipertanggungjawabkan melalui wujud hidup menggereja. Dalam arti apa hidup menggereja tersebut? Dalam arti hidup yang senantiasa berpusat pada Yesus Kristus. Di mana setiap sikap, kegiatan dan aktivitas yang dilakukan seseorang


(25)

dalam hidup menggerejanya selalu menampakkan iman akan Yesus Kristus. Dapat dilihat juga melalui tindakan seseorang apabila ia menunjukkan imannya dalam hidup bermasyarakat, maka ia menggereja dalam lingkup masyarakat dan sebaliknya jika ia menunjukkan imannya di dalam lingkup Gereja maka ia menggereja dalam lingkup Gereja. Perlu diingat bahwa batasan hidup menggereja tidak hanya terbatas pada lingkup wilayah teritorial paroki saja. Melainkan hidup menggereja perlu dipahami dalam arti luas dan universal terlebih bukan hanya pada Gereja Katolik saja, tetapi bagi masyarakat umumnya.

Sacrosanctum Consilium (SC) artikel 48, Konstitusi tentang Liturgi Suci menyinggung keterlibatan aktif kaum beriman dalam menghadiri misteri iman (misalnya, perayaan Ekaristi, Ibadat Sabda, dan doa bersama) dan tidak menganggap hanya sebatas rutinitas belaka. Umat dituntut untuk aktif ikut ambil bagian dalam perayaan itu, sebagai pemimpin maupun pendukung (koor, lektor, misdinar, pemazmur), sehingga umat benar-benar memahami misteri itu dengan baik dan penuh khidmat. Dengan demikian umat semakin mampu mempersembahkan diri mereka dalam hidup sehari-hari demi kemuliaan Allah.

Selain itu, Dekrit Apostolicam Actuositatem (AA) artikel 2, tentang Kerasulan Awam juga menyinggung keterlibatan umat dalam hidup menggereja. Kaum awam dipanggil untuk merasul sesuai dengan kemampuannya melalui Gereja dengan pelbagai cara. Sebagai Umat Allah yang berpusat pada Yesus Kristus, mereka dituntut berperan aktif dalam hidup menggereja, baik dalam lingkup Gereja maupun lingkup masyarakat.

Gereja adalah Umat Allah yang hidup di tengah-tengah dunia, maka dari itu Gereja tidak terpisahkan dari dunia. Gereja dan dunia masing-masing


(26)

mengambil bagiannya sendiri untuk saling bahu-membahu mewujudkan Kerajaan Allah di dalam kehidupannya. Dunia adalah tempat tinggal manusia dan di situlah manusia sebagai subyek otonom dunia menyatakan apa yang diimaninya bersama Gereja. Untuk menata dunia menuju pada kesejahteraan umum, Gereja dipanggil oleh Allah sebagai partner kerja dengan semua orang tanpa batas. Artinya mencakup segala aspek hidup manusia dari lingkup kecil hingga lingkup yang paling besar sekalipun. Buku Iman Katolik (KWI, 1996: 452) memberikan gambaran bahwa “Gereja adalah suatu lembaga keagamaan yang mempunyai tempat dan peranannya dalam masyarakat, sehingga sebagai keseluruhan, Gereja juga dituntut memperlihatkan sikap pelayanan Kristus”. Artinya, jika Gereja ingin memperlihatkan sikap pelayanan Kristus kepada masyarakat, Gereja semestinya tampil sebagai Gereja yang memasyarakat. Visi ini perlu direalisasikan oleh Gereja sebagai Umat Allah dalam bentuknya yang konkret yakni dalam hidup menggereja itu sendiri di tengah-tengah masyarakat.

Berbicara mengenai Gereja yang memasyarakat tentu tidak lepas dari keberadaan sebuah paroki. Mengapa demikian? Karena paroki itu sendiri berada di dalam masyarakat dan di situlah Gereja tersebut mampu mewujudnyatakan jati diri sesungguhnya. Paroki Maria Bunda Karmel Mansalong merupakan salah satu paroki yang berada di wilayah Keuskupan Tanjung Selor Kabupaten Nunukan dengan jumlah stasi terbanyak (ada 24 stasi) yang jaraknya cukup jauh dari satu stasi ke stasi yang lainnya. Sebagai paroki yang memiliki banyak stasi, paroki ini ditantang mewujudkan Gereja yang sesuai dengan visi Gereja Indonesia. Gereja tidak hanya mengusahakan perkembangan secara internal tetapi juga ditantang


(27)

untuk memberikan kesaksian demi perkembangan hidup bersama di tengah-tengah masyarakat.

Paroki Maria Bunda Karmel Mansalong hingga sekarang telah berusia 25 tahun, namun selama usia ini tidak banyak mengalami perkembangan, khususnya dalam hal iman yang tampak dalam perwujudan nyata. Selama tinggal di paroki ini, penulis mendapat kesan bahwa pemahaman umat mengenai keterlibatan dalam hidup menggereja masih sangat terbatas. Kegiatan hidup menggereja hanya sebatas kegiatan Gereja yang kudus, khususnya bidang intern gerejani. Kesan ini penulis jumpai dalam setiap kegiatan yang dilakukan oleh umat stasi Mansalong yang juga menjadi pusat paroki. Dapat dibayangkan, jika di stasi yang berada satu wilayah dengan pusat paroki saja keadaannya seperti itu, apalagi di stasi-stasi lain yang letaknya lebih jauh dari pusat paroki. Di stasi Mansalong, kehidupan umat masih berorientasi pada kegiatan-kegiatan di sekitar altar, antara lain: doa Rosario, Misa Mingguan hanya sekali, Misa pada hari-hari besar saja, dan pendalaman iman hanya pada saat Bulan Kitab Suci Nasional. Corak kehidupan umat seperti ini menunjukkan bahwa bentuk hidup menggereja umat belum mengarah pada pembangunan Gereja yang memasyarakat.

Stasi Mansalong merupakan stasi yang letaknya ada di pusat paroki, tentunya stasi ini memiliki tanggungjawab yang besar. Stasi ini harus mampu memberikan teladan bagi stasi-stasi lain karena faktor letaknya yang satu wilayah dengan paroki dan dianggap sebagai stasi tuan rumah. Oleh karena itu, stasi ini ditantang untuk menjadi ragi di tengah-tengah masyarakat. Masalah ekonomi, pendidikan, perbedaan etnis pribumi dan pendatang, kemiskinan, lingkungan


(28)

hidup, pengangguran, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi tantangan bagi hidup menggereja umat setempat.

Melihat permasalahan di atas, maka perlu dilakukan sebuah usaha guna meningkatkan pemahaman umat di stasi Mansalong paroki Maria Bunda Karmel Mansalong berkaitan dengan hidup menggereja. Hidup menggereja tidak hanya sebatas terlibat di dalam gereja melainkan secara nyata dalam hidup menggereja yang terbuka bagi “masyarakat luas”. Jika kedua hal berjalan dengan seimbang maka apa yang menjadi harapan Gereja dapat terwujud.

Peningkatan kualitas hidup menggereja umat dapat dilakukan melalui katekese sebagai salah satu bentuk pembinaan iman demi menjawab keprihatinan tersebut. Tujuan katekese bukan hanya membantu umat memiliki dasar iman yang kuat, memperkembangkan hidup spiritual umat, dan membangun communio umat. Memang ketiga aspek di atas penting tetapi yang lebih dari itu, yakni mengarah pada reformasi dan transformasi sosial di tengah-tengah hidup umat dan masyarakat demi terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah.

Dalam tugas pembinaan iman, katekese merupakan salah satu pokok yang menjadi proses pembinaan iman itu sendiri. Katekese yang menjadi tonggak utama meluasnya Gereja di tengah dunia ini, muncul dan hidup di tengah-tengah umat, di mana katekese adalah dari umat, oleh umat dan untuk umat. Katekese ini sering disebut sebagai katekese umat yang juga menjadi proses yang terus berkelanjutan dalam PKKI (Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia).

Hal ini juga menjadi kelanjutan dari gambaran Gereja masa kini yang di antaranya adalah Gereja sebagai Umat Allah. Umat Allah dipanggil dan dipilih untuk Tuhan dan dunia (Lalu, 2007: 70). Dan dalam katekese umat diwujudkan


(29)

secara konkret persekutuan umat yang berbeda status sosial, budaya, fungsi, tetapi sama dalam martabatnya (Lalu, 2007: 71). Katekese umat merupakan katekese yang berbicara tentang umat yang menjadi subyek dalam proses katekese dan semua peserta katekese adalah sederajat. Artinya bahwa tidak ada yang diunggulkan ataupun yang direndahkan. Oleh karena itu, diharapkan dalam katekese umat ini terjadi suatu komunikasi iman dari tiap umat yang pada akhirnya akan semakin memperteguh dan memperdalam iman serta menjadikannya sebagai saksi Kristus. Inilah yang perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh agar proses katekese selalu mengarah pada perwujudan iman umat dalam keterlibatan hidup menggereja.

Selama tinggal di stasi Mansalong, kesan penulis bahwa pelaksanaan katekese di stasi Mansalong kurang mendapat tempat. Pelaksanaan katekese dilaksanakan pada saat Bulan Kitab Suci Nasional saja. Tema yang diangkat tidak sesuai dengan kondisi hidup umat setempat melainkan mengikuti tema yang disiapkan oleh Keuskupan. Sarana yang digunakan sangat terbatas. Tenaga maupun pengetahuan akan katekese pun masih terbatas. Padahal kita tahu bahwa suksesnya pelaksanaan katekese umat tergantung pada beberapa aspek yang disebutkan di atas.

Berdasarkan latar belakang dan keprihatinan yang ada, penulis tertarik untuk menyumbangkan sebuah pemikiran demi meningkatkan arah hidup menggereja umat agar lebih memasyarakat melalui penulisan skripsi ini dengan judul “SUMBANGAN KATEKESE UMAT SEBAGAI UPAYA UNTUK MENINGKATKAN KETERLIBATAN UMAT DALAM HIDUP


(30)

KARMEL MANSALONG KABUPATEN NUNUKAN”. Penulis ingin memberikan sumbangan pemikiran bagi pelaksanaan katekese di stasi Mansalong. Penulis berharap pelaksanaan katekese dapat membawa perubahan sikap umat yang diwujudkan melalui keterlibatan umat dalam hidup menggereja sesuai dengan visi dan misi Gereja.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka ada beberapa permasalahan yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Apa sumbangan katekese umat untuk hidup menggereja umat?

2. Sejauh mana umat stasi Mansalong paroki Maria Bunda Karmel Mansalong Kabupaten Nunukan terlibat dalam hidup menggereja?

3. Bagaimana katekese model Shared Christian Praxis (SCP) digunakan sebagai jalan untuk meningkatkan keterlibatan umat stasi Mansalong paroki Maria Bunda Karmel Mansalong Kabupaten Nunukan dalam hidup menggereja?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan permasalahan yang diungkapkan di atas, maka ada beberapa rumusan tujuan:

1. Menguraikan sumbangan katekese umat untuk hidup menggereja umat. 2. Mengungkapkan permasalahan yang dihadapi umat stasi Mansalong paroki

Maria Bunda Karmel Mansalong dalam hidup menggerejanya.

3. Memberi sumbangan pemikiran melalui katekese umat model Shared Christian Praxis (SCP) untuk membantu meningkatkan keterlibatan umat


(31)

stasi Mansalong paroki Maria Bunda Karmel Mansalong Kabupaten Nunukan dalam hidup menggereja.

D. Manfaat Penulisan

1. Manfaat Praktis

Skripsi ini, diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

a. Secara akademis, skripsi ini memberikan kontribusi bagi pengetahuan dan pengembangan ilmu yang berkaitan dengan katekese umat yang nantinya akan membawa dampak positif terhadap keterlibatan umat dalam hidup menggereja.

b. Skripsi ini sebagai masukan bagi paroki khususnya para katekis untuk memacu mereka dalam usaha meningkatkan keterlibatan umat dalam hidup menggereja.

c. Paroki diharapkan mampu mempergunakan hasil-hasil pemikiran dalam skripsi ini yaitu sebagai bahan untuk memperluas wawasan para katekis sehingga memiliki kemampuan lebih dalam berkatekese.

d. Sebagai calon katekis, penulis semakin diperkaya sehingga mampu mendesain katekese umat yang sungguh kontekstual dan menarik.

2. Manfaat Teoritis

Skripsi ini, diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

a. Berguna untuk penelitian lebih lanjut mengenai katekese umat guna meningkatkan keterlibatan umat dalam hidup menggereja


(32)

E. Metode Penulisan

Dalam penulis ini, penulis menggunakan metode deskriptif analitis yang bertujuan untuk memaparkan cara hidup menggereja secara umum yang diangkat melalui studi pustaka. Penulis juga akan mengungkapkan situasi umat stasi Mansalong paroki Maria Bunda Karmel Mansalong dalam keterlibatan hidup menggereja. Guna mengetahuinya, penulis akan melaksanakan penelitian di stasi Mansalong paroki Maria Bunda Karmel Mansalong. Melalui data yang diperoleh tersebut, penulis mencoba menganalisis dan merumuskan sumbangan pemikiran mengenai katekese umat yang dapat membantu umat guna meningkatkan keterlibatan dalam hidup menggereja mereka.

F. Sistematika Penulisan

Pada bab I, penulis akan menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab II membahas ketekese umat sebagai upaya meningkatkan keterlibatan umat dalam hidup menggereja. Bab ini berisi sejarah katekese umat, arti katekese umat, tujuan katekese umat, proses katekese umat, kekhasan katekese umat, pendamping katekese umat, Shared Christian Praxis (SCP) sebagai salah satu model katekese umat, dan sumbangan katekese umat untuk hidup menggereja umat melalui pembangunan persaudaraan (koinonia), mengembangkan pewartaan Kabar Gembira (kerygma), menghidupkan peribadatan yang menguduskan (leiturgia), dan memajukan karya cinta kasih/pelayanan (diakonia). Kemudian, rangkuman peran katekese umat dalam hidup menggereja.


(33)

Bab III memberikan gambaran keterlibatan umat stasi Mansalong dalam hidup menggereja. Bab ini berisi gambaran situasi umum umat stasi Mansalong, penelitan mengenai cara hidup menggereja umat stasi Mansalong paroki Maria Bunda Karmel Mansalong, penelitian mengenai keterlibatan hidup menggereja umat stasi Mansalong, laporan dan pembahasan hasil penelitian, pendalaman lebih lanjut terhadap hasil penelitian menurut masing-masing variabel, dan kesimpulan hasil penelitian.

Bab IV membahas upaya meningkatkan keterlibatan hidup menggereja umat stasi Mansalong yang dibagi dalam tiga bagian. Bagian pertama mendalami pentingnya keterlibatan dalam hidup menggereja. Bagian kedua menguraikan upaya meningkatkan keterlibatan hidup menggereja melalui katekese umat. Bagian ketiga berisi usulan program katekese umat model SCP untuk meningkatkan hidup menggereja umat stasi Mansalong, yang di dalamnya terdapat latar belakang program, tema dan tujuan program, matriks usulan katekese umat model SCP, dan contoh satuan pendampingan katekese umat model SCP.

Bab V berisikan penutup yang mencakup dua bagian. Bagian pertama membahas kesimpulan untuk menjawab rumusan permasalahan, tujuan penulisan skripsi serta didukung oleh data hasil penelitian. Bagian kedua berisikan saran yang ditujukan kepada pihak stasi Mansalong paroki Maria Bunda Karmel Mansalong.

   


(34)

BAB II

KATEKESE UMAT SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KETERLIBATAN UMAT DALAM HIDUP MENGGEREJA

Pada bab II ini, penulis akan menguraikan mengenai katekese umat sebagai upaya meningkatkan keterlibatan umat dalam hidup menggereja. Pokok permasalahan yang akan diangkat dalam bab II ini adalah apa sumbangan katekese umat untuk hidup menggereja umat.

Bab II merupakan kajian pustaka. Penulis pada bab ini membagi menjadi tiga pokok bahasan, yakni pada pokok bahasan pertama menjelaskan tentang katekese umat. Pokok bahasan kedua menjelaskan tentang fungsi katekese umat, dan ketiga rangkuman peran katekese umat dalam hidup menggereja.

Pokok bahasan pertama berisi penjelasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan katekese umat, yakni sejarah katekese umat, arti, tujuan, proses, kekhasan, peserta, pendamping, dan Shared Christian Praxis (SCP) sebagai salah satu model katekese umat beserta pengertian dan langkah-langkahnya. Pokok bahasan kedua, penulis akan menjelaskan sumbangan katekese umat mencakup empat tugas Gereja, yakni menghadirkan dan membangun persekutuan (koinonia), mengembangkan pewartaan Kabar Gembira (kerygma), menghidupkan peribadatan yang menguduskan (leiturgia), serta memajukan karya cinta kasih atau pelayanan (diakonia). Dan ketiga menguraikan rangkuman peran ketekese umat dalam hidup menggereja umat.


(35)

A. Katekese Umat

1. Sejarah Katekese Umat

Gagasan utama yang menyertai pemikiran tentang katekese yang dibicarakan pada rapat MAWI 1976 adalah “Kayakinan, bahwa iman kita pada hakikatnya adalah jawaban manusia kepada tawaran serta tindakan penyelamatan Allah” (Setyakarjana, 1997: 1). Pernyataan ini mengandung arti bahwa dalam setiap keadaan hidup manusia selalu menerima tawaran penyelamatan dari Allah yang mengharapkan jawaban manusia. Keadaan hidup masyarakat, dalam setiap masa terus berganti, baik di masa silam, kini, dan akan datang. Oleh karena itu, sudah menjadi tugas Gereja, umat beriman seluruhnya untuk terus-menerus memupuk dan membina iman saudara-saudaranya agar betul-betul merupakan jawaban terhadap tawaran dan tindakan penyelamatan Allah yang selalu bermakna dan memadai. Usaha pelayanan iman seperti itu dilaksanakan oleh Gereja melalui katekese sebagai karya pendidikan iman.

Majelis Agung Waligereja Indonesia mengajak seluruh Umat Allah di Indonesia bersama-sama memikirkan mengenai katekese yang dipahami sebagai pendidikan iman Kristiani. Para bapak dan ibu, pemuda dan pemudi, para imam, para katekis, guru agama dan saudara-saudari Katolik semuanya, tidak ada yang dikecualikan, semua diajak untuk bertukar pikiran mengenai pendidikan iman Kristiani. Maka, pada tahun 1977 diselenggarakan oleh Komisi Kateketik MAWI pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia pertama (PKKI I), guna mencari dan membahas arah katekese yang cocok sesuai dengan konteks hidup Gereja di Indonesia. Pertemuan ini dihadiri oleh para utusan dari masing-masing keuskupan di Indonesia dan dilaksanakan di Sindanglaya. Lewat diskusi-diskusi


(36)

yang hangat dari para peserta, akhirnya mulai muncul gagasan tentang suatu bentuk katekese yang melibatkan seluruh umat “katekese oleh umat, dari umat, dan untuk umat” (Lalu, 2007: 10). Dengan kata lain bentuk katekese yang melibatkan seluruh umat. Umatlah yang menjadi penggagas, pelaksana, dan sekaligus penikmat hasilnya.

Hasil dari pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia pertama (PKKI I) ini, kemudian mulai digalakkan di masing-masing Keuskupan, namun belum sampai menemukan kejelasan arti katekese itu sendiri. Segala hal yang berkaitan dengan pendidikan iman semuanya disebut katekese umat.

Oleh karena itu, pada tahun 1980 diadakan pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia kedua (PKKI II) di Klender demi memperjelas arti katekese umat itu sendiri. Dari hasil pertemuan PKKI II ini, disepakati rumusan katekese untuk Indonesia yakni “Katekese Umat” yang diartikan sebagai komunikasi iman atau tukar menukar pengalaman iman antar anggota jemaat/kelompok. Dalam katekese umat tekanan terutama diletakan pada penghayatan iman, meskipun pengetahuan tidak dilupakan.

2. Arti Katekese Umat

Kesepakatan tentang arti katekese umat yang dijadikan arah katekese di Indonesia ditegaskan dalam Pertemuan Kateketik Antar Keuskupan se-Indonesia II di Klender 29 Juni – 5 Juli 1980 (KomKat KWI, 1993: 9). Dalam pertemuan ini, katekese umat dimengerti sebagai: “Komunikasi iman atau tukar pengalaman iman (penghayatan iman) antara anggota jemaat atau kelompok. Melalui


(37)

kesaksian para peserta saling membantu sedemikian rupa, sehingga iman masing-masing diteguhkan dan dihayati semakin sempurna”.

Rumusan di atas menegaskan bahwa katekese umat merupakan komunikasi iman. Komunikasi iman ini bukan saja antara pembimbing dengan peserta, tetapi lebih-lebih komunikasi antar peserta itu sendiri. Yang dikomunikasikan dalam katekese umat adalah penghayatan iman, bukan pengetahuan akan rumusan iman yang sering kali tidak relevan dengan keadaan atau situasi umat pada saat itu.

Arti katekese umat di atas juga menunjukkan bahwa yang berkatekese itu adalah umat, artinya semua orang beriman yang secara pribadi memilih Kristus saling percaya dan menghargai. Katekese umat merupakan komunikasi iman atau pengamalam hidup umat yang saling bersaksi satu sama lain akan iman mereka, dan di situ diharapkan peserta berdialog dalam suasana penuh keterbukaan, saling mendengarkan dan menghargai.

Rumusan katekese umat dalam PKKI II tersebut, dikembangkan lagi oleh Afra Siauwarjaya melalui buku Membangun Gereja Indonesia II sebagai berikut: “Usaha umat secara terencana untuk saling menolong mengartikan hidup nyata dalam terang Yesus Kristus sebagaimana telah dihayati dalam Tradisi Gereja, agar kelompok makin mampu mengungkapkan dan mewujudkan imannya dalam hidup nyata” (Siauwarjaya, 1987: 38-39)

Katekese umat itu sendiri adalah usaha umat. Dalam arti mengajak umat untuk saling tolong menolong, bersikap bebas, terbuka dan jujur menyadari kehadiran Tuhan dalam kehidupan mereka yang konkret. Iman personal yang dikembangkan dalam katekese umat adalah iman yang dihayati Gereja dalam


(38)

Tradisi. Maka dari itu, dalam usaha saling tolong menolong, secara bebas, terbuka dan jujur mengartikan hidup nyata, Kitab Suci perlu mendapat tempat yang sentral. Katekese umat juga mengajak peserta untuk saling tolong menolong menyadari kehadiran Allah maupun kehendak Allah dalam hidup konkret. Hidup konkret ini merupakan medan penghayatan iman kalau dimaknai dengan terang iman arahnya jelas yakni menuju pada perwujudan iman. Dengan demikian iman yang dihayati Gereja dalam Tradisi Gereja semakin bermakna dan berkembang baik secara pribadi maupun secara bersama dalam masyarakat (Siauwarjaya, 1987: 40)

Pada dasarnya, di dalam katekese umat hidup konkret diartikan sebagai penghayatan relasi umat dengan Yesus Kristus. Relasi itu sekaligus menuntut keterlibatan umat dalam pelaksanaan pengutusan Allah dalam segala dimensi hidup manusia (Siauwarjaya, 1987: 42). Berangkat dari relasi itu, umat diajak untuk senantiasa memusatkan perhatian dan solider dengan kaum tertindas, miskin serta mampu menegakkan keadilan bagi mereka dengan perkataan dan tindakan. Melalui keterlibatan konkret itulah umat menjadi tanda keselamatan bagi semua orang.

3. Tujuan Katekese Umat

Katekese umat yang dipahami sebagai komunikasi iman atau tukar pengalaman iman memiliki tujuan yang dirumuskan pada saat pelaksanaan PKKI II. Tujuan katekese umat (KomKat KWI, 1993: 10) tersebut adalah sebagai berikut:


(39)

1) Supaya dalam terang Injil kita semakin meresapi arti pengalaman-pengalaman kita sehari-hari;

2) Dan kita bertobat (metanoia) kepada Allah dan semakin menyadari kehadiran-Nya dalam kenyataan hidup sehari-hari;

3) Dengan demikian kita semakin sempurna beriman, berharap mengamalkan cinta kasih, dan semakin dikukuhkan hidup Kristiani kita;

4) Pula kita semakin bersatu dengan Kristus, makin menjemaat, makin tegas mewujudkan tugas Gereja setempat dan mengokohkan Gereja semesta;

5) Sehingga kita sanggup memberi kesaksian tentang Kristus dalam hidup kita di tengah masyarakat

.

Rumusan tujuan di atas merupakan rumusan yang memiliki sorotan pandangan tujuan katekese umat dengan sudut pandang yang berbeda-beda. Jika dilihat dengan saksama maka akan nampak tiga bagian penting alur tujuan yang hendak dikembangkan. Pada bagian pertama dan poin satu sampai tiga lebih menyoroti iman peserta secara pribadi. Kemudian pada bagian kedua poin empat menyoroti perkembangan iman dalam komunitas. Dan bagian ketiga atau poin lima lebih menegaskan tujuan Gereja berpuncak pada hidup di tengah-tengah masyarakat.

Dengan demikian, tujuan katekese umat bukan hanya bersifat personal tetapi juga bersifat eklesial yakni demi kepentingan bersama dan Gereja universal. Dan yang menjadi tugas orang Kristiani adalah mewujudnyatakan suatu tindakan konkret di tengah-tengah dunia yang didasari oleh sikap dan tindakan Yesus Kristus sebagai pusatnya. Tindakan umat diharapkan juga sampai pada suatu perubahan atau transformasi sosial sehingga nilai-nilai Kerajaan Allah yang diperjuangkan oleh Yesus sebagai pusat iman umat benar-benar nyata di dunia. Ini adalah sebuah tugas dan tanggungjawab sebagai saksi Kristus di tengah-tengah masyarakat yang serba kompleks. Dengan demikian umat diharapkan semakin sadar dalam menempatkan pengalaman religius ke dalam hidupnya sebagai bagian


(40)

sejarah penyelamatannya. Selain itu, umat juga disadarkan untuk senantiasa terlibat dalam pembangunan Gereja. Betul melakukan tugas pewartaan mengenai Kristus yakni dengan melaksanakan tugas-tugas Gereja tetapi ingat bahwa Gereja sendiri bukanlah tujuan itu sendiri, melainkan sebagai sarana bagi umat untuk memberi kesaksian tentang Kristus. Yang terpenting adalah tercapainya cita-cita surgawi di dunia yakni terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah.

Tujuan katekese umat juga ditegaskan oleh Afra Siauwarjaya (1987: 42), sebagai usaha umat untuk saling menolong agar semakin mampu mengungkapkan dan melaksanakan imannya dalam hidup nyata. Penghayatan iman tidak hanya dinyatakan dalam ungkapan saja, tetapi lebih-lebih dilaksanakan dalam tindakan konkret. Iman yang sungguh-sungguh dihayati semakin membuat orang terdorong untuk ambil bagian dalam hidup menggereja juga sekaligus dalam setiap usaha mewujudkan keadilan, perdamaian, cinta kasih dan kerukunan. Iman betul-betul real jika iman tersebut dilaksanakan dalam hidup nyata dengan demikian cita-cita akan pembangunan hidup beriman jemaat berdasarkan nilai-nilai injili baik secara personal maupun bersama akan tercapai.

4. Proses Katekese Umat

Proses katekese umat mengikuti siklus pastoral yang ada pada umumnya yakni lebih pada mengolah pengalaman umat yang diharapkan menjadi pengalaman iman yang luar biasa, yang dapat menguatkan dan meneguhkan satu sama lain. Pengalaman iman umat ini kemudian diwujudkan dalam hidup sehari-hari selanjutnya. Menurut Yosef Lalu ada tiga langkah besar dalam pelaksanaan katekese umat yakni: pemetaan masalah, merefleksikan dengan terang Injil; dan


(41)

terakhir mengusahakan aksi (Lalu, 2007: 98-100). Untuk lebih jelasnya ketiga langkah tersebut akan dibahas di bawah ini.

a. Langkah Pertama

Langkah ini bertujuan mengamati dan menyadari fenomena yang telah terjadi dalam masyarakat atau pengalaman konkret umat. Pengalaman konkret ini hendaknya diamati, didalami dan dianalisis supaya sungguh-sungguh disadari secara utuh.

b. Langkah Kedua

Langkah ini bertujuan menyadari dan merefleksikan fenomena tersebut atau pengalaman konkret dan menganalisis dalam terang Injil.

c. Langkah Ketiga

Langkah ini bertujuan memikirkan dan merencanakan suatu aksi atau tindakan nyata untuk dilaksanakan setelah menganalisis melalui terang Injil.

Ketiga langkah di atas tentunya menyangkut proses katekese umat itu sendiri. Sifat dari proses itu adalah dinamis. Artinya proses tersebut berjalan dengan mantap, penuh semangat, mengalir dan tidak ada yang sia-sia tetapi penuh makna. Jadi, proses akan berkembang apabila tetap mengikuti langkah-langkah yang ada secara bertahap. Antara tahap pertama dan seterusnya akan saling berhubungan serta mempunyai relasi dengan tahap yang lain dan juga tidak dapat dipisahkan antara tahap yang satu dengan lainnya.

5. Kekhasan Katekese Umat

Telah diuraikan dengan jelas di atas bahwa katekese umat merupakan komunikasi iman. Komunikasi iman adalah salah satu kekhasan katekese umat.


(42)

Ini merupakan usaha umat untuk saling mengarahkan, mengembangkan, dan menumbuhkan imannya. Komunikasi iman seperti apakah itu? Tentu komunikasi iman yang melibatkan peserta (umat). Melalui sharing pengalaman, peserta yang hadir saling berbagi dan melengkapi pengalaman iman mereka sehingga iman mereka semakin diteguhkan dan diperkaya. Mereka berkumpul bersama-sama untuk menggali dan menanggapi pengalaman hidupnya. Pengalaman hidup inilah yang dihayati sebagai pengalaman iman akan Yesus Kristus.

Katekese umat memiliki kekhasan tersendiri yakni komunikasi iman dari umat, oleh umat, dan untuk umat. Hasil PKKI II merumuskan bahwa “yang berkatekse adalah umat itu sendiri...” (KomKat KWI, 1993: 9), ini berarti bahwa yang menjadi kekhasan katekese umat maupun pesertanya adalah umat itu sendiri. Kedua hal tersebut sama-sama menempatkan umat sebagai subjek utama dalam katekese. Umat harus terlibat aktif dan memiliki inisiatif, sehingga proses katekese umat menjadi lebih hidup dan menarik. Tentunya, sebagai pelaku utama dalam katekese umat, umat ditantang mengolah dan menanggapi persoalan yang dihadapi. Melalui komunikasi, situasi yang dihadapi akan ditanggapi bersama dalam iman yang Kristosentris. Peserta katekese saling membantu manggali makna hidup dalam terang Kitab Suci dan diperkaya melalui sharing pengalaman. Dengan demikian setiap umat semakin dapat menemukan karya keselamatan Allah yang nampak dalam diri Yesus Kristus melalui pengalaman konkret mereka.

PKKI II merumuskan “yang berkatekese ialah umat, artinya semua orang beriman yang secara pribadi memilih Kristus; Kristus menjadi pola hidup pribadi, pun pula pola kehidupan kelompok; jadi seluruh umat baik yang berkumpul dalam


(43)

kelompok-kelompok basis maupun di sekolah atau perguruan tinggi” (KomKat KWI, 1993: 9).

Rumusan di atas memperjelas siapa peserta katekese umat itu. Semua orang beriman sama artinya dengan seluruh Gereja, yang mana kita pun tahu bahwa katekese itu sendiri tidak ditujukan hanya kepada sebagian umat saja. Tetapi katekese ditujukan kepada semua umat yang terpanggil untuk mendalami imannya secara terus-menerus. Dan di dalam katekese umat, umat mengambil perannya masing-masing, baik sebagai peserta maupun pendamping yang bertugas mengarahkan jalannya proses katekese umat tersebut. Tentu peran pendamping katekese umat ini tidak bisa dikesampingkan begitu saja, sebab tanpa pendamping proses katekese umat tidak akan berjalan dengan lancar.

Selain itu, rumusan peserta katekese umat tidak selalu menuntut adanya pengelompokan tertentu, tetapi dalam setiap kesempatan umat berkumpul dalam lingkup apapun itu, di situ dapat dilakukan katekese umat. Jadi ditegaskan kembali bahwa peserta katekese umat adalah siapa saja tanpa terkecuali yakni seluruh umat yang telah memilih Kristus sebagai pola hidupnya dan ingin memperkembangkan imannya, mereka dapat mengambil bagian dalam katekese umat itu sendiri. Penekanan pada seluruh umat ini justru merupakan salah satu unsur yang memberi arah pada katekese sekarang (KomKat KWI, 1993: 9).

6. Pendamping Katekese Umat

PKKI II menyampaikan hal yang berhubungan dengan pendamping katekese umat demikian: “yang berkatekese ialah umat, artinya semua orang beriman yang secara pribadi memilih Kristus dan secara bebas berkumpul untuk


(44)

lebih memahami Kristus” (Lalu, 2007: 94). Dalam katekese umat, yang bertugas sebagai pendamping adalah umat itu sendiri yang dipilih sebagai pendamping, pemimpin, pengarah atau sering juga disebut sebagai fasilitator guna menciptakan pelayanan katekese umat yang komunikatif.

Lokakarya “Pembinaan Pembina Katekese Umat” yang dilaksanakan di Wisma Kinasih, Caringin Jawa Barat, pada tanggal 16-21 Februari 1998 membahas tiga unsur pokok yang harus dimiliki seorang pendamping katekese umat, yaitu kepribadian dan spiritualitas pembina katekese umat, pengetahuan pembina katekese umat, dan keterampilan pembina katekese umat (Lalu, 2007: 148). Memang, unsur keterampilan menjadi penting tetapi alangkah baiknya pendamping ketekese umat memiliki keseluruhan hal-hal yang berkaitan dengan pasionnya sebagai seorang pendamping katekese umat. Tiga hal pokok yang ditekankan bagi seorang pendamping katekese umat adalah:

a. Kepribadian dan Spiritualitas Pendamping Katekese Umat

Kepribadian yang baik dari seorang pendamping katekese umat merupakan cerminan bagi umat. Kepribadian merupakan modal dasar bagi pendamping katekese umat dalam menjalankan tugas perutusannya. Yosef Lalu dalam buku “Katekese Umat” mengatakan bahwa ada 5 hal yang berkaitan dengan kepribadian seorang pendamping katekese umat, yaitu: 1) Terhadap diri sendiri, seorang pendamping katekese umat hendaknya bersikap jujur, menerima diri seadanya, tidak angkuh, tetapi juga tidak rendah diri. Ia harus mampu menahan diri, misalnya tidak terlalu banyak berbicara supaya umat bisa lebih banyak berbicara. 2) Terhadap sesama, seorang pendamping katekese umat hendaknya


(45)

terbuka, jujur dan rendah hati, memiliki kepekaan dan komitmen, suka membantu sesama, suka mendengar, penuh pengertian, ramah, komunikatif, dan tahu membawa diri. 3) Terhadap situasi, hendaknya kritis tidak terbawa arus, tetapi terbuka, mampu menyesuaikan diri, cekatan membaca tanda zaman, tahan bantingan pada situasi kritis dan sulit. 4) Terhadap tugas, hendaknya mencintai tugas dan merasa terpanggil untuk itu, senantiasa loyal (setia) dan terlibat pada tugas, dan berusaha untuk menjadi professional dalam menjalankan tugas. 5) Terhadap Tuhan, hendaknya percaya pada Tuhan dalam situasi apa saja, akrab dengan Kitab Suci dan kekayaan iman Gereja, senantiasa bersyukur kepada Tuhan dalam untung dan malang, senantiasa berharap pada Tuhan dan penuh semangat optimisme (Lalu, 2007: 149-150).

Lokakarya “Pembinaan Pembina Katekese Umat” yang dilaksanakan di Caringin Jawa Barat, tanggal 16-21 Februari 1998, merumuskan spiritualitas pendamping katekese umat sebagai “Roh (semangat) membantu sesama peserta katekese umat melalui pewartaan iman yang komunikatif, agar bersama-sama mampu mewujudkan Kerajaan Allah, karena kepedulian terhadap Allah dan terhadap sesama” (Lalu, 2007: 154).

Semangat yang dimiliki oleh pendamping katekese umat harus senantiasa dikembangkan secara terus-menerus sehingga mempunyai kedekatan relasi dengan Allah yang nampak dalam diri Putra-Nya Yesus Kristus. Melalui misteri Paskah yang setiap kali ia rayakan dalam kurban Ekaristi kudus, pendamping katekese umat dilahirkan kembali oleh Roh. Dengan dilahirkan kembali ia memperoleh semangat baru untuk melayani Tuhan dan sesamanya. Maka spiritualitas seorang pendamping katekese umat senantiasa mengikuti jejak


(46)

Kristus, yaitu keterlibatan pada dunia demi membangun Kerajaan Allah (Lalu, 2007: 154).

“Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya;...” (Yoh 10:11-15). Ayat ini mengandung arti bahwa di dalam jiwa seorang pendamping katekese umat tertanam sikap melayani seperti yang diteladankan oleh Yesus sebagai Gembala yang baik terhadap domba-dombanya, seperti mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran demi umat, meninggalkan kepentingan pribadi dan mengutamakan kepentingan umat yang dilayani, dan dekat dengan yang dibimbing sampai-sampai tahu persis apa yang menjadi keluhannya. Dengan demikian sikap-sikap seperti inilah yang dapat membuat seorang pendamping katekese umat menjadi sahabat umat di dalam peziarahan hidup.

“Yang hilang akan Kucari, yang tersesat akan Kubawa pulang, yang luka akan Kubalut, yang sakit akan Kukuatkan, serta yang gemuk dan yang kuat akan Kulindungi; Aku akan menggembalakan mereka sebagaimana seharusnya” (Yeh 34:16). Kutipan ayat ini memberikan gambaran seorang pendamping katekese umat sebagai pelayan yang betul-betul memiliki relasi mendalam.

b. Pengetahuan Seorang Pendamping Katekese Umat

Hal yang kedua berkaitan dengan pengetahuan seorang pendamping katekese umat. Ini merupakan dasar yang memang harus dimiliki oleh seorang pendamping katekese umat. Bagaimana mungkin ia dapat mendampingi katekese umat sedangkan ia sama sekali tidak memiliki pengetahuan yang menunjang pendampingan proses katekese umat dengan benar. Jadi setidak-tidaknya seorang


(47)

pendamping katekese umat memiliki juga pengetahuan yang menyangkut isi, metode, peserta dan konteks peserta katekese umat (Lalu, 2007: 155). Artinya bahwa pendamping betul-betul menguasai segala segi yang berkaitan dengan katekese umat itu sendiri. Dari segi isinya ia dituntut memiliki pengetahuan berkaitan ajaran iman Katolik, misalnya pengetahuan akan isi katekese umat seperti Kitab Suci, Kristologi, Eklesiologi (Gereja), dan Ajaran Sosial Gereja. Namun tidak semua pokok menyangkut iman Katolik direfleksikan tetapi dapat dipilih salah satunya saja yang memang berkaitan dengan konteks hidup umat. Kemudian, dari segi pengetahuan yang menyangkut metode seperti kreatif dalam memilih metode yang bisa digunakan dalam berkatekese, mampu menganalisis situasi, mampu menafsirkan Kitab Suci, dan dapat menyusun rencana tindak lanjut. Dari segi pengetahuan menyangkut peserta katekese umat seperti mampu melihat apa yang menjadi kebutuhan umat sehingga dalam proses ketekese, umat menjadi tertarik mendalaminya. Kemudian, bagaimana daya nalar, perasaan dan intuisi umat ketika menghadapi suatu persoalan hidup, apakah mereka mampu atau tidak? Di sini pendamping harus tanggap sehingga dapat membantu dan mengarahkan umat sampai benar-benar paham akan persoalan yang dihadapi. Kemudian, pendamping juga perlu melihat bagaimana latar belakang kehidupan status sosial, ekonomi, dan budaya umat. Apabila beberapa hal menyangkut peserta ini benar-benar dimiliki oleh pendamping katekese umat maka jelas proses katekese umat akan menjadi sesuatu yang menarik bagi umat. Dan terakhir pengetahuan menyangkut konteks hidup yang bersifat nasional dan global yang memang membawa dampak negatif bagi perkembangan iman umat, seperti pengaruh globalisasi dalam wujud sikap materialisis, konsumerisis, individualisis, dan sebagainya (Lalu, 2007: 158). Pendamping katekese umat harus mampu


(48)

memaknai konteks hidup umat dan yang terpenting senantiasa membangun relasi serta dekat dengan umat sehingga umat merasa tersapa dan menjadi teman seperjuangan dalam iman.

c. Keterampilan Seorang Pendamping Katekese Umat

Hal ketiga berkaitan dengan keterampilan pendampingan Katekese Umat: 1) Keterampilan Berkomunikasi

Komunikasi yang terjadi dalam sebuah proses katekese umat adalah komunikasi antar pribadi dengan pengalaman tertentu pada situasi tertentu yang dilatarbelakangi kebudayaan tertentu. Maka yang perlu ditekankan antara lain: keterampilan berkomunikasi dan berelasi sehingga katekis mampu mengumpulkan, menyatukan dan mengarahkan kelompok sampai kepada suatu tindakan nyata, keterampilan mengungkapkan diri berbicara dan mendengarkan, kemampuan menciptakan suasana yang memudahkan peserta untuk mengungkapkan diri dan mendengarkan pengalaman orang lain (Lalu, 2007: 158-159).

Keterampilan berkomunikasi tidak dapat dipandang sepele oleh pendamping. Keterampilan ini merupakan daya kekuatan untuk mengolah proses katekese umat sehingga dapat berjalan dengan baik dan lancar dan sampai pada tujuan yang hendak dicapai bersama.

2) Keterampilan Berefleksi

Komunikasi yang terjadi dalam katekese umat adalah komunikasi iman yang adalah suatu kesaksian iman. Diartikan bahwa seorang pendamping katekese umat mampu merefleksikan pengalaman imannya yang berpusat pada Yesus


(49)

Kristus kemudian mensharingkan kepada peserta lainnya. Seorang pendamping yang terampil membaca dan merefleksikan serta memaknai pengalaman sehari-harinya menjadi pengalaman iman, tentu mampu menuntun peserta bagaimana berefleksi yang baik. Maka dari itu, pendamping katekese umat dilatih untuk terampil menemukan nilai-nilai manusiawi dalam pengalaman hidup sehari-hari, terampil menemukan nilai-nilai Kristiani dalam Kitab Suci, ajaran Gereja dan Tradisi Kristiani lainnya, terampil memadukan nilai-nilai Kristiani dengan nilai-nilai manusiawi dalam pengalaman hidup sehari-hari (Lalu, 2007: 159).

3) Keterampilan yang lebih spesifik berkaitan dengan langkah-langkah proses katekese umat. Misalnya sadar akan situasi dengan topik yang diangkat, menafsirkan kenyataan hidup umat menurut terang Kitab Suci, dan membulatkan tekat guna rencana aksi.

4) Kemampuan atau keterampilan mengekspresikan diri, bertutur kata dan bertindak, berbicara dan mendengarkan orang lain.

5) Kemampuan dan keterampilan dalam menciptakan suasana yang mendukung proses katekese sehingga peserta merasakan kenyamanan dalam mengikutinya.

Jika ketiga hal pokok di atas betul-betul telah dimiliki oleh seorang pendamping, niscaya setiap pelaksanaan katekese umat yang dilakukan akan menjadi hal yang membahagiakan bagi siapa saja yang ikut berproses di dalamnya dan bahkan manfaatnya pun dapat dialami bersama, baik yang dilayani maupun yang melayani.


(50)

7. Shared Christian Praxis (SCP) sebagai Salah Satu Model Katekese Umat

Model merupakan sebuah kontruksi teoritis dan skematis yang menawarkan pokok-pokok pemikiran realitas. Model ini juga menawarkan suatu bentuk analisa untuk memahami realita yang menerangkan dan menelusuri suatu tindakan manusia.

Katekese umat memiliki berbagai model dengan kekhasannya masing-masing. Model-model ini biasanya kita temukan dalam pendalaman iman yakni dalam buku panduan APP, Adven dan pada BKSN yang dibuat oleh keuskupan untuk dipakai sebagai bentuk pelaksanaan katekese umat. Oleh karena itu, bertolak dari mana awal model katekese umat pada umumnya terdapat satu model yang cocok dengan katekese umat, yakni model Shared Christian Praxis (SCP).

Pada bagian awal telah dibahas bahwa katekese umat adalah komunikasi iman umat. Apa yang dikomunikasikan? Tentu yang dikomunikasikan adalah pengalaman hidup umat itu sendiri yang sudah direfleksikan dan dimaknai menjadi pengalaman iman. Berkaitan dengan pengalaman hidup maka sangat cocok digunakan model katekese umat Shared Christian Praxis (SCP), sebab model ini juga berpusat pada pengalaman hidup atau selalu bermula dari pengalaman menuju refleksi iman dan sampai pada pengalaman baru. Maka dari itu, di bawah ini akan dibahas secara lengkap apa itu Shared Christian Praxis (SCP), komponen, dan langkah-langkahnya.

a. Shared Christian Praxis sebagai Model Katekese Umat

Katekese dengan model Shared Christian Praxis ini pertama kali diperkenalkan oleh Thomas H. Groome. Ia adalah seorang ahli katekese yang


(51)

berusaha mencari pendekatan katekese yang handal dan efektif, yaitu suatu model yang sungguh-sungguh mempunyai dasar teologis yang kuat, mampu memanfaatkan perkembangan ilmu pendidikan dan memiliki keprihatinan pastoral yang aktual. Model ini ditawarkan untuk menjawab kebutuhan para katekis dalam membantu umat demi perkembangan iman mereka. Untuk memahami lebih dalam tentang katekese umat model SCP ini serta langkah-langkahnya, maka secara khusus akan diuraikan di bawah ini lima langkah yang saling beruntun (Heryatno WW, 1997: 5), sebagai berikut:

1) Pengertian Shared Christian Praxis (SCP)

Model SCP merupakan salah satu model katekese umat yang menekankan proses yang bersifat dialogis partisipatif. Tujuan dari proses ini adalah agar dapat mendorong peserta untuk mampu mengomunikasikan antara Tradisi dan visi hidup peserta dengan Tradisi dan visi Kristiani. Dan pada akhirnya, peserta baik secara pribadi maupun bersama mampu mengadakan penegasan dan pengambilan keputusan demi makin terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah.

Model katekese ini dapat dikatakan sebagai model praksis, karena bermula, berproses dan berakhir dari praksis hidup peserta. Pengalaman hidup peserta tersebut, direfleksikan secara kritis sehingga peserta mampu menemukan maknanya, kemudian dikonfrontasikan dengan Tradisi atau visi Kristiani supaya muncul pemahaman sikap dan kesadaran baru yang memberi motivasi pada praksis baru. Orientasi model SCP ini adalah praksis peserta sebagai subyek yang bebas dan bertanggungjawab (Heryatno WW, 1997: 1).


(52)

Model SCP ini memiliki tiga komponen yaitu praksis, Kristiani dan sharing. Untuk memahami lebih dalam model ini, maka akan dijelaskan masing-masing komponen itu sebagai berikut:

a) Praksis

Praksis adalah suatu tindakan manusia yang sudah direfleksikan. Sebagai tindakan, praksis meliputi seluruh keterlibatan manusia dalam dunia yang mampunyai tujuan untuk mencapai perubahan hidup yang meliputi kesatuan antara praktek dan teori, antara refleksi kritis dan kesadaran historis. Proses kesatuan antara praktek dan teori akan membentuk suatu kreatifitas, sedangkan refleksi dan kesadaran historis akan mengarah pada keterlibatan baru.

Praksis mempunyai tiga unsur yaitu: aktifitas, refleksi dan kreatifitas. Ketiga unsur ini memiliki fungsi yakni mampu membangkitkan berkembangnya imajinasi, meneguhkan kehendak dan mendorong praksis baru yang dapat dipertanggungjawabkan secara etis dan moral. Berikut ini penjelasan mengenai ketiga unsur tersebut, sebagai berikut:

Unsur pertama, aktifitas meliputi kegiatan mental dan fisik, kesadaran, tindakan personal dan sosial, hidup pribadi dan kegiatan publik yang merupakan medan untuk perwujudan diri sebagai manusia. Kedua, refleksi menekankan refleksi kritis terhadap tindakan historis pribadi dan sosial terhadap kehidupan bersama serta terhadap “Tradisi” dan “visi” iman Kristiani sepanjang sejarah. Ketiga, kreatifitas merupakan perpaduan antara aktifitas dan refleksi yang menekankan transendensi manusia dalam dinamika menuju masa depan yang terus berkembang sehingga melahirkan praksis baru (Heryatno WW, 1997: 2).


(53)

b) Kristiani

Maksud dari Kristiani dalam Shared Christian Praxis adalah mengusahakan agar kekayaan iman Kristiani sepanjang sejarah dan visinya makin terjangkau dan relevan untuk kehidupan umat. Namun jangan lupa bahwa yang ditekankan di sini mengenai kekayaan iman Kristiani adalah pengalaman iman Tradisi Kristiani sepanjang sejarah dan visinya.

Tradisi Kristiani mengungkapkan realitas iman jemaat yang hidup dan sungguh dihidupi. Sedangkan visi Kristiani menegaskan tuntutan dan janji Allah yang terkandung di dalam Tradisi, tanggung jawab dan pengutusan orang Kristiani sebagai jalan untuk menghidupi semangat dan sikap kemuridan. Artinya bahwa Tradisi Kristiani mengungkapkan tanggapan manusia terhadap Allah yang terlaksana dalam hidup mereka sebagai realitas iman, Tradisi senantiasa mengundang keterlibatan praktis. Sedangkan visi Kristiani menegaskan tuntutan dan janji Allah yang terkandung dalam Tradisi, tanggung jawab dan pengutusan orang Kristiani sebagai jalan untuk menghidupi semangat dan sikap kemuridan. Visi Kristiani yang paling hakiki adalah terwujudnya nilai-nilai Kerajaan Allah di dalam kehidupan manusia (Heryatno WW, 1997: 3).

c) Sharing

Istilah shared atau sharing mengandung pengertian komunikasi timbal balik, partisipasi aktif dan kritis dari semua peserta. Istilah ini juga merupakan proses katekese yang menekankan unsur dialog-partisipatif peserta yang ditandai dengan suasana kebersamaan, persaudaraan, keterbukaan, keterlibatan, dan solidaritas. Dalam sharing semua peserta diharapkan untuk ikut aktif, terbuka, siap


(54)

mendengarkan dengan hati pengalaman orang lain dan berkomunikasi dengan kebebasan hati juga (Heryatno WW, 1997: 4).

Dalam sharing orang dapat berbagi rasa, pengetahuan serta saling mendengarkan pengalaman orang lain. Tentu, ada dua hal penting di dalamnya yakni membicarakan dan mendengarkan. Membicarakan di sini lebih menekankan pada menyampaikan atau mengungkapkan pengalaman hidup yang didasari oleh sikap keterbukaan, kerendahan hati, kepercayaan satu dengan lainnya dalam mengungkapkan pengalaman dan pengetahuan yang nyata dalam dirinya. Sedangkan mendengarkan berarti mendengarkan dengan hati tentang apa yang disharingkan oleh para peserta. Mendengarkan berarti juga melibatkan keseluruhan diri untuk menangkap pesan atau intisari dari apa yang disharingkan peserta sehingga dalam mendengarkan timbullah gerak hati, empati terhadap apa yang dikomunikasikan oleh orang lain (Sumarno Ds, 2014: 17).

2) Langkah-langkah Shared Christian Praxis (SCP)

Menurut Thomas H. Groome, SCP merupakan suatu model berkomunikasi tentang makna pengalaman hidup antar peserta, yang mana dalam prosesnya terdapat lima langkah pokok. Namun sebelumnya didahului langkah awal atau pendahuluan sebagai berikut:

a) Langkah Awal: Pemusatan Aktivitas

Tujuan dari langkah ini adalah mendorong peserta sebagai subyek utama menemukan topik pertemuan yang bertolak pada kehidupan konkret berkaitan


(55)

dengan tema dasar pertemuan. Dengan demikian, tema dasar tersebut dapat mewakili pokok-pokok permasalahan dalam hidup, keprihatinan, serta kebutuhan peserta. Dalam memilih tema, perlu juga diperhatikan situasi konkret peserta, tujuannya, dinamika pendekatan yang bersifat dialogis, dan sumber-sumber iman Kristiani (Heryatno WW, 1997: 10). Tema dasar harus sungguh-sungguh menggerakkan peserta agar aktif terlibat dalam pertemuan, menekankan partisipasi dan dialog, dan tidak bertentangan dengan iman Kristiani. Maka seorang pendamping harus mampu membantu peserta merumuskan prioritas tema yang tepat dengan konteks hidup umat.

Perlu juga diperhatikan bahwa pada tahap ini, pendamping dapat menggunakan sarana-sarana seperti simbol, foto, cerita, film, video, poster, cergam dan lain-lain yang dapat mendukung dalam pemilihan tema bersama. Maka dengan itu, seorang pendamping harus dapat memilih sarana yang tepat. Di samping itu pendamping harus dapat menciptakan lingkungan psikososial dan fisik yang mendukung supaya peserta dapat berpartisipasi aktif dan kreatif dalam suasana dialog dan kebersamaan (Heryatno WW, 1997: 10).

b) Langkah I: Pengungkapan Praksis Faktual

Langkah ini bertujuan membantu peserta agar mengungkapkan pengalaman hidup faktual. Peserta menyadari pengalaman hidupnya, membahasakan dan mengomunikasikannya pada peserta lain. Pengungkapan pengalaman hidup faktual ini bisa berupa pengalaman peserta sendiri, atau kehidupan dan permasalahan yang terjadi dalam masyarakat, ataupun gabungan


(56)

keduanya yang dia pandang cocok dengan tema yang sudah digali bersama (Heryatno WW, 1997: 11).

Langkah ini diawali dengan tuntunan pertanyaan sesuai dengan tema. Perumusan pertanyaan pun harus jelas, terarah dan tidak terkesan menyinggung perasaan peserta lain, sesuai dengan situasi peserta dan bersifat terbuka dan obyektif. Setelah itu, peserta membagikan pengalamannya dan pada saat ini tidak boleh ada komentar atau tanggapan. Selain dari itu, peserta juga diberi kebebasan untuk mengungkapkan pengalamannya dengan gaya dan pilihannya. Mereka dapat mengemukakannya melalui puisi, nyanyian, tarian, gambar, lambang, atau simbol, dll (Heryatno WW, 1997: 12).

Penekanan pada langkah ini adalah proses dan kehidupan konkret yang menjadi pokok penting dalam proses katekese. Oleh karena itu, pendamping perlu menyadari tujuan dan pokok pemikiran dasarnya. Pokok pemikiran dasar perlu diajukan secara jelas dan terbuka serta berhubungan dengan tema utama dan menggaris bawahi aspek-aspek pokok dari praksis keterlibatan faktual peserta.

Pada langka ini, pendamping berperan sebagai fasilitator dengan tujuan menciptakan suasana hangat dan mendukung sehingga peserta dengan hati gembira mau membagikan pengalamannya tanpa merasa tertekan. Pendamping perlu bersikap ramah, bersahabat dan meyakinkan peserta bahwa komunikasi pengalaman mereka sangat penting untuk seluruh proses katekese (Heryatno WW, 1997: 13).

c) Langkah II: Refleksi Kritis pada Komunikasi Praksis Faktual

Langkah ini bertujuan membantu peserta supaya berdasar pengalaman hidupnya sampai pada tingkat kesadaran terdalam guna mengolah dan


(57)

menemukan makna baru hingga ia terdorong melangkah pada praksis baru. Ada beberapa perspektif yang perlu diperhatikan dalam langkah ini yaitu refleksi kritis pada pengalaman peserta, interpretasi kritis dan kreatif pada komunikasi pengalaman faktual, serta komunikasi Tradisi dan visi oleh para peserta (Heryatno WW, 1997: 14).

Refleksi kritis pada tahap ini dimaksudkan agar peserta berpikir secara sungguh-sungguh akan setiap pengalamannya. Kemudian peserta dapat menemukan atau mengambil nilai-nilai apa yang mau dilaksanakan dan dengan demikian dapat mengarah pada perubahan sikap yang konkret. Pada hakekatnya ingin membantu peserta merefleksikan secara kritis praksis faktual apa yang mereka komunikasikan dengan memperdalam, mempertajam dan mengolah pengalaman mereka yang menekankan segi pemahaman, kenangan, dan imajinasi. Sedangkan interpretasi bertujuan memberi arti dan nilai pada praksis faktual, menanamkan unsur-unsur yang dapat memperteguh, serta yang harus ditolak dan dikembangkan lebih lanjut.

Pada langkah ini, pendamping dituntut agar dapat menciptakan suasana pertemuan yang saling menghormati dan mendukung setiap gagasan dari peserta. Pendamping harus dapat mendorong peserta untuk mengadakan dialog dan penegasan bersama yang bertujuan memperdalam, menguji pemahaman, kenangan dan imajinasi peserta. Setiap peserta diajak untuk mengomunikasikan pengalamannya, namun jangan sampai menimbulkan kesan pemaksaan. Oleh karena itu, pendamping perlu menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat analitis dan tidak mengganggu harga diri peserta. Pendamping perlu juga menyadari keadaan peserta karena refleksi merupakan tahap yang sulit yang


(58)

membutuhkan kesabaran dan keterampilan untuk memperkembangkannya (Heryatno WW, 1997: 18).

d) Langkah III: Mengusahakan Tradisi dan Visi Kristiani lebih Terjangkau Langkah ini menekankan agar Tradisi dan visi Kristiani menjadi lebih terjangkau dan lebih mengena untuk kehidupan peserta yang konteks dan latar belakang kebudayaannya berbeda. Tradisi Kristiani mengungkapkan iman jemaat Kristiani sepanjang sejarah pewahyuan Ilahi. Tradisi hadir dalam Kitab Suci, liturgi, adat-kebiasaan Jemaat Perdana, doa, credo, dogma, teologi, sakramen, bahasa religius, seni, dan kepemimpinan kehidupan jemaat. Visi Kristiani merupakan suatu konsekuensi dari janji dan tanggungjawab yang muncul pada Tradisi. Visi Kristiani mengungkapkan janji keselamatan dan kepenuhan yang mendorong peserta pada tanggungjawab mereka untuk menjadi partner Allah dalam mewujudkan kehendak-Nya yaitu menyelamatkan manusia (Heryatno WW, 1997: 20).

Pada langkah ini, pendamping menginterpretasikan dan mengomunikasikan aspek Tradisi dan visi Kristiani kepada peserta. Dalam menginterpretasikan dan mengomunikasikan nilai-nilai Tradisi dan visi Kristiani, pendamping perlu memiliki latar belakang yang cukup dalam hal penafsiran, menghormati Tradisi dan visi Kristiani yang otentik dan normatif, kritis mengambil nilai-nilai yang terkandung dalam Tradisi dan visi Kristiani, menggunakan metode interpretasi yang sifatnya menegaskan, meneguhkan, mempertanyakan dan mengundang keterlibatan peserta.


(1)

BAB V

PENUTUP

Pada bagian akhir dari karya tulis ini, penulis mencoba melihat secara keseluruhan berdasarkan rumusan permasalahan dan tujuan penulisan ini, dengan dikuatkan oleh hasil penelitian dan wawancara. Kemudian pada bagian berikutnya berisi saran bagi semua pihak yang terkait dengan penulisan karya tulis ini.

A. Kesimpulan

Sumbangan katekese umat untuk hidup menggereja umat meliputi 4 aspek yaitu: koinonia, kerygma, leiturgia, dan diakonia. Di dalam 4 aspek tersebut katekese umat membantu umat untuk meneruskan nilai-nilai Kerajaan Allah. Keempat aspek tersebut yakni: pertama, katekese umat membantu mengembangkan semangat persekutuan umat sebagai suatu paguyuban umat beriman yang mengimani Kristus (koinonia). Kedua, katekese umat mengambil peran membantu umat mewartakan Kabar Gembira, mendalami kebenaran Firman Allah, menumbuhkan semangat untuk menghayati hidup dan melaksanakannya berdasarkan semangat injili sebagai saksi Kristus bagi dunia (kerygma). Ketiga, katekese umat membantu menghidupkan kembali perayaan ibadat resmi yang dilakukan Yesus Kristus dalam Gereja-Nya kepada Allah Bapa sehingga peribadatan menjadi sumber dan pusat hidup beriman (leiturgia). Dan yang keempat, katekese umat menyadarkan tanggungjawab pribadi sebagai umat beriman terhadap kesejahteraan sesamanya atas dasar cinta kasih, saling melayani dan berbagi satu sama, sehingga cita-cita Kerajaan Allah dapat terwujud di dunia


(2)

(diakonia). Tentunya katekese umat mempunyai sumber inspirasi untuk hidup menggereja umat dari kehidupan Jemaat Perdana (Kis 2:41-47). Gambaran kehidupan Jemaat Perdana menjadi cerminan bagi hidup menggereja umat yang sangat relevan dengan situasi umat zaman sekarang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat pemahaman dan penghayatan hidup menggereja umat di stasi Mansalong sudah baik. Hanya saja pada prakteknya kurang maksimal sehingga perlu ditingkatkan. Dari segi keterlibatan, dapat dikatakan bahwa keterlibatan umat stasi Mansalong dalam hidup menggereja sangat kurang. Sebab penghayatan aspek koinonia (persekutuan) dan ketiga aspek lainnya belum nampak dalam hidup menggereja umat stasi Mansalong. Permasalahan lain adalah kesulitan umat untuk terlibat misalnya urusan pribadi, keluarga serta pekerjaan, kurang cocok dengan kegiatannya maupun usulan atau ide tidak diterima, menganggap bahwa kegiatan Gereja tidak menghasilkan materi dan sebagainya. Permasalahan dari segi pelaksanaan katekese seperti tenaga pemandu kurang, sarana, materi, cara penyampaian dan sebagainya.

Keseluruhan permasalahan di atas perlu ditanggapi dalam suatu bentuk kegiatan pendampingan iman umat yang sesuai dengan corak kehidupan umat. Maka penulis menawarkan bentuk pendampingan iman umat melalui katekese umat model SCP (Shared Christian Praxis) demi menjawab kebutuhan mereka. Sebab katekese umat model ini dapat masuk ke dalam segi-segi kehidupan umat (petani, pedagang, dan lain-lain) dan dapat dilaksanakan pula sesuai corak kehidupan umat. Katekese model SCP tidak harus dilaksanakan di dalam gereja atau dalam komunitas basis, stasi, maupun paroki, tetapi dapat pula dilaksanakan


(3)

di tempat lain sesuai dengan konteksnya. Misalnya di dalam keluarga, di ladang, dalam perkumpulan para pengusaha, dan lain sebagainya. Di sinilah katekese umat tersebut menemukan bentuk-bentuk-bentuk barunya demi meningkatkan pertumbuhan iman umat dan hal ini juga menjadi harapan kita bersama sebagai Umat Allah.

Penulis melihat bahwa program ini bukan sekedar program pribadi penulis tetapi program ini adalah milik bersama, kepunyaan umat stasi Mansalong. Maka tepatlah bahwa katekese umat dari umat, oleh umat dan untuk umat. Umatlah yang menggagas, mengarahkan dan melaksanakan katekese umat ini sekaligus penikmat hasilnya. Dengan program ini umat semakin menyadari tugas dan tanggungjawabnya dalam kegiatan-kegiatan Gereja dan masyarakat sebagai wujud iman Kristianinya demi tercapainya Kerajaan Allah di dunia.

B. Saran

Berdasarkan beberapa kesimpulan di atas, penulis memberikan beberapa saran sebagai hasil refleksi selama ini bagi umat stasi Mansalong. Pihak pengurus stasi harus menindaklanjuti program yang telah penulis usulkan yaitu katekese umat model Shared Christian Praxis (SCP). Program ini diyakini mampu memotivasi umat untuk sungguh-sungguh terlibat aktif dan bertanggungjawab dalam berbagai kegiatan stasi, paroki maupun di masyarakat. Hal ini didasari bahwa pertumbuhan dan perkembangan Gereja tergantung dari keterlibatan umat dalam dinamika kehidupan Gereja itu sendiri. Maka Gereja harus berani keluar dari kenyamanannya dan pergi ke luar mencari dan menemukan sesuatu yang baru demi menghidupkan kembali iman umat yang padam.


(4)

Bagi pihak pengurus stasi maupun paroki perlu menyadari pentingnya pendampingan umat dan melibatkan diri dalam usaha pendampingan tersebut. Selain itu, pihak pengurus stasi juga diharapkan untuk senantiasa membangun kerjasama dengan pihak paroki serta kerjasama dengan umat baik di basis, stasi maupun paroki. Wujud kerjasama guna menindaklanjuti program tersebut bisa dengan kegiatan sarasehan atau pembinaan pembina katekese umat dan lain sebagainya. Dan tidak lupa bahwa pihak pengurus stasi perlu membuat suatu pendampingan khusus bagi anak-anak dan orang muda (SEKAMI dan OMK) seperti rekoleksi atau retret berkaitan dengan pemahaman serta penghayatan dalam hidup menggereja.

Berkaitan dengan katekese yang dilaksanakan di stasi Mansalong, hendaknya pihak stasi mengkader pendamping katekese lebih banyak lagi sehingga katekese dapat dilaksanakan secara rutin dan terprogram. Dan perlu diingat bahwa katekese dilaksanakan dalam suasana hati yang penuh kegembiraan, terbuka dan bukan keterpaksaan sehingga masing-masing orang dapat mengungkapkan pengalaman imannya secara bebas.

Pengurus stasi maupun paroki perlu mengevaluasi dan merefleksikan kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan. Apakah kegiatan-kegiatan tersebut sungguh berdayaguna dan berdampak positif atau tidak. Di sisi lain umat stasi Mansalong pun perlu meningkatkan kesadaran diri dalam memberikan prioritas dan totalitas pada Gereja.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Adisusanto, FX., Drs., SJ. (2000). Katekese Sebagai Pendidikan Iman (Seri Puskat no 372). Yogyakarta: LPKP.

Afra Siauwarjaya. (1987). Membangun Gereja Indonesia 2. Yogyakarta: Kanisius.

Dapiyanta (2011). Evaluasi Pembelajaran Pendidikan Agama Katolik di Sekolah. Yogyakarta: Penerbitan Universitas Sanata Dharma.

DokPen KWI. (2013). Dokumen Konsili Vatikan II. (R. Hardawiryana, SJ. Penterjemah dalam angka tahun 1993). Jakarta: Obor.

Fransiskus, Paus. (2013). Evangelii Gaudium (Sukacita Injil): Seruan Apostolik Paus Fransiskus kepada para uskup, imam dan diakon, kaum religius dan segenap umat beriman tentang pewartaan Injil kepada dunia dewasa ini (24 November 2013). Seri Dokumen Gerejawi no. 94. Diterjemahkan oleh F.X. Adisusanto, SJ. Jakarta: DOKPEN KWI.

Heryatno Wono Wulung, FX., SJ. (1997). Shared Christian Praxis: Suatu Model Berkatekese (Seri Puskat no. 356). (Saduran bebas dari Thomas H. Groome, Sharing Faith: A Comprehensive Approach to Religious Education and Pastoral Ministry, New York: Harper Collins, 1990, hal 133-197). Yogyakarta: LPKP.

___________________ (2014) “Katekese Umat: Katekese demi Pembangunan Iman Jemaat” Makalah PAK III, Bahan Kuliah semester VII. Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Komisi Kateketik KWI. (1993). Arah Katekese Gereja Indonesia: Perkembangan

dari Pertemuan Kateketik Antar Keuskupan se Indonesia (PKKI I-V 1977-1992), Malang: Dioma.

Komsos Keuskupan Tanjung Selor. Jejak Langkah Keuskupan Tanjung Selor, Gerak Membangun Gereja yang Hidup dan Mengakar, Yogyakarta: Kanisius.

Konferensi Waligereja Regio Nusa Tenggara. (2007). Katekismus Gereja Katolik, Ende: Nusa Indah.

KWI. (1996). Iman Katolik. Buku Informasi dan Referensi. Yogyakarta: Kanisius. Lalu, Yosef Pr. (2007). Katekese Umat. Jakarta: Komisi Kateketik KWI; kerja

sama dengan Yogyakarta: Kanisius.

Moleong (1991). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit PT. Remaja Rosdakarya.

____________. (2007). Dasar Penelitian Kualitatif. Perbedaan Antara Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, (Seri Pastoral no 393), Yogyakarta: Puspas. Riduwan, Dr. MBA. 2011. Belajar Mudah Penelitian untuk Guru-Karyawan dan

Peneliti Pemula. Bandung: Alfabeta.

Setyakarjana, JS., SJ. (1997). Arah Katekese di Indonesia, (dari Mencari Arah Katekese 1976 sampai dengan Pertemuan Kateketik antar Keuskupan se-Indonesia VI 1996),Yogyakarta: Puskat.


(6)

Sumarno Ds, M, Drs., MA., SJ. (2014). “Program Pengalaman Lapangan Pendidikan Agama Katolik Paroki”. Diktat Mata Kuliah PPL PAK Paroki bagi semester VI, Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Sutrisno Hadi, Prof., Drs., MA. (1982). Metodologi Research 1. Yogyakarta: Andi Offset.

Yohanes Paulus II, Paus. (1979). Catechesi Tradendae (Penyelenggaraan Katekese): Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II kepada para uskup, klerus dan segenap umat beriman tentang katekese masa kini (16 Oktober 1079). Seri Dokumen Gerejawi no. 28. Diterjemahkan oleh R. Hardawiryana, SJ. Jakarta: DOKPEN KWI.


Dokumen yang terkait

Pengaruh perayaan ekaristi terhadap keterlibatan umat dalam hidup menggereja di stasi pusat Paroki Salib Suci Nanga Tebidah Kalimantan Barat.

2 26 124

Upaya meningkatkan keterlibatan umat dalam hidup menggereja di Stasi Santo Lukas, Sokaraja, Paroki Santo Yosep Purwokerto Timur, Jawa Tengah melalui katekese umat model shared christian praxis.

29 354 137

Penghayatan spiritualitas keterlibatan umat berinspirasi pada Santa Maria dalam hidup menggereja di Paroki Santa Maria Kota Bukit Indah Purwakarta.

0 0 189

Katekese hijau sebagai wujud keterlibatan umat dalam upaya menjaga keutuhan alam ciptaan di Paroki Santo Thomas Rasul Bedono Kabupaten Semarang.

0 8 161

Upaya meningkatkan keterlibatan kaum muda stasi Gembala yang Baik Paroki Santo Yusuf Batang dalam hidup menggereja melalui katekese kaum muda.

6 40 156

Pelaksanaan tujuan perkawinan pendidikan iman dan moral anak oleh orang tua yang usia perkawinan 7 15 tahun di Paroki Santa Maria Bunda Karmel Mansalong

0 11 197

Pengaruh perayaan ekaristi terhadap keterlibatan umat dalam hidup menggereja di stasi pusat Paroki Salib Suci Nanga Tebidah Kalimantan Barat

1 1 122

Upaya meningkatkan keterlibatan kaum muda stasi Gembala yang Baik Paroki Santo Yusuf Batang dalam hidup menggereja melalui katekese kaum muda

2 2 154

Upaya menumbuhkan hidup doa dalam keluarga-keluarga kristiani umat lingkungan Santa Maria stasi Majenang paroki Santo Stefanus Cilacap melalui katekese umat - USD Repository

0 0 137

Upaya meningkatkan dialog antar umat beriman dalam masyarakat yang plural di Stasi St. Maria Cikampek Paroki Kristus Raja Karawang Jawa Barat melalui katekese - USD Repository

0 0 180