Pelaksanaan tujuan perkawinan pendidikan iman dan moral anak oleh orang tua yang usia perkawinan 7 15 tahun di Paroki Santa Maria Bunda Karmel Mansalong

(1)

PELAKSANAAN TUJUAN PERKAWINAN PENDIDIKAN IMAN DAN MORAL

ANAK OLEH ORANGTUA

YANG USIA PERKAWINAN 7-15 TAHUN

DI PAROKI SANTA MARIA BUNDA KARMEL MANSALONG

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Agama Katolik

Oleh: Lidwina Santi NIM: 121124034

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2017


(2)

(3)

(4)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini dipersembahkan kepada:

Kedua orangtua tercinta: S. Lukas. J dan Brigita Saini, serta


(5)

v MOTTO

“Aku cinta pada-Mu, Tuhan, Dan satu-satunya rahmat yang kuminta

Ialah mencintai Engkau selamanya,

Allahku, jika lidahku tidak dapat mengatakan setiap saat Bahwa aku mencintai Engkau,

Aku ingin agar hatiku mengulanginya kepada-Mu Sesering tarikan nafasku.”


(6)

(7)

(8)

viii

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul PELAKSANAAN TUJUAN PERKAWINAN: PENDIDIKAN IMAN DAN MORAL ANAK OLEH ORANGTUA YANG USIA PERKAWINAN 7–5 TAHUN DI PAROKI SANTA MARIA BUNDA KARMEL MANSALONG, dipilih penulis untuk membantu para orangtua katolik dalam melaksanakan tujuan perkawinan, yaitu pendidikan iman dan moral anak dalam keluarga. Pada hakekatnya perkawinan adalah persekutuan seluruh hidup yang terarah pada kesejahteraan suami istri serta kelahiran dan pendidikan anak, oleh karena itu orangtua adalah pendidik utama dan pertama bagi putra-putrinya terutama dibidang iman dan moral.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap orangtua-orangtua katolik yang usia perkawinan 7-15 tahun, beberapa orangtua memahami pendidikan iman dan moral anak merupakan tugas dari guru agama atau katekis, mereka cenderung memberikan tanggungjawab mendidik kepada pihak lain karena keterbatasan pendidikan orangtua dan keterbatasan pengetahuan terutama dalam bidang rohani. Beberapa orangtua yang melaksanakan tugas dan tanggungjawab mendidik anak secara katolik dibidang iman dan moral, misalnya mengajarkan anak untuk mencintai lingkungan hidup beserta segala isinya terutama mencintai sesama manusia sebagaimana Allah mencintai manusia, mengajari anak sopan santun, mengajari anak untuk berkata lembut dan rendah hati, Mereka mengetahui tugas sebagai orangtua mewartakan Kristus kepada anak sejak dari kandungan sampai dewasa, karena menyadari bahwa keluarga adalah sekolah nilai-nilai kemanusiaan dan iman. Dalam penelitian juga ditemukan pendidikan iman dan moral yang sudah dilaksanakan oleh orangtua namun belum maksimal, orangtua belum mengajarkan kepada anak bahwa menyontek saat ulangan adalah perbuatan yang salah, mereka juga belum mengajarkan bahwa mengambil barang milik orang lain merupakan dosa, mereka kurang mengajak anaknya berdoa bersama dan doa pribadi setiap hari. Ada juga yang belum dilaksanakan oleh orangtua yaitu: menceritakan kisah dalam Kitab Suci, kisah para martir dan orang kudus dalam gereja katolik, serta mengajak anak menonton kartun yang menceritakan tentang tokoh-tokoh dalam Kitab Suci dan membacakan Kitab Suci.

Berdasarkan hasil penelitian itu maka penulis dalam skripsi ini mengusulkan program pendampingan kepada keluarga katolik , yakni dalam bentuk katekese model Shared Christian Praxis (SCP) agar para orangtua katolik dapat saling meneguhkan dan saling memperkaya melalui sharing pengalaman dari masing-masing peserta. Selain itu diteguhkan melalui sabda Tuhan serta membangun niat dalam melaksanakan tujuan perkawinan untuk mendidik iman dan moral anak. Dengan demikian para orangtua katolik dapat mendidik iman dan moral secara katolik serta tetap setia dalam iman katolik sampai dewasa walaupun menghadapi tantangan dan godaan zaman.


(9)

ix ABSTRACT

The title of the thesis is “ THE IMPLEMENTATION OF MARRIAGE PURPOSE: FAITH AND MORAL EDUCATION FOR THE CHILDREN OF THE PARENTS OF WHICH 7-15 YEAR MARRIAGE PERIOD IN SAINT MARRY MOTHER OF CARMEL PARISH AT MANSALONG”. The title is chosen selected by the author to help Catholic families to carry out the purpose of marriage, concerning with the faith and moral education of children in the family. Marriage essentially is an alliance of life that is directed for the welfare of husband and wife, the birth and the education of children. Therefore the parents are the first and primary educators for their children especially in faith and moral.

Based on research conducted on Catholic parents with are 7-15 year marriage period, some parents in that parish think that children education on faith and moral is the duty of the religion teacher and catechist. They shift the responsibility the lach of education and poor knowleg in religion. Some parents carry out the duties and responsibilities in educating children with Catholic values in faith and moral, for seen as teaching children to love the environment and all its creature, to love fellow human beings as God loves humans, teaching children as politeness, teaching children to speak softly and humbly. The parents the realize their duty as to proclaiming Christ to their children, from womb until adulthood, because they realize that the family is a school of human values and faith. In the research the author also finds the education of faith and moral have been implemented by in the parents but not maximally, such as: the parents have not been teaching children yet cheating during the examination is a wrong act, taking the property of others is a sin, the family never invites their children to pray together and to pray personally. There parents also have not been: telling stories in the Bible, the stories of martyrs and saints in the Catholic church and inviting children to watch cartoons about the characters in the Bible and read the Bible.

Based on the results of this research, the author in this thesis proposes an ministry program to the Catholic family, in the form of catechesis Shared Christian Praxis (SCP) so that the Catholic families can mutually reinforce and enrich each other through sharing experiences of each participant and are confirmed through the word of God.Then building an intention to carry out the purpose of marriage in educating the children on faith and moral. Thus Catholic parents can educate the faith and moral of the children and remain faithful in the Catholic faith until adulthood even though they face many challenges and temptations at this era.


(10)

viii

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul PELAKSANAAN TUJUAN PERKAWINAN: PENDIDIKAN IMAN DAN MORAL ANAK OLEH ORANGTUA YANG USIA PERKAWINAN 7–5 TAHUN DI PAROKI SANTA MARIA BUNDA KARMEL MANSALONG, dipilih penulis untuk membantu para orangtua katolik dalam melaksanakan tujuan perkawinan, yaitu pendidikan iman dan moral anak dalam keluarga. Pada hakekatnya perkawinan adalah persekutuan seluruh hidup yang terarah pada kesejahteraan suami istri serta kelahiran dan pendidikan anak, oleh karena itu orangtua adalah pendidik utama dan pertama bagi putra-putrinya terutama dibidang iman dan moral.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap orangtua-orangtua katolik yang usia perkawinan 7-15 tahun, beberapa orangtua memahami pendidikan iman dan moral anak merupakan tugas dari guru agama atau katekis, mereka cenderung memberikan tanggungjawab mendidik kepada pihak lain karena keterbatasan pendidikan orangtua dan keterbatasan pengetahuan terutama dalam bidang rohani. Beberapa orangtua yang melaksanakan tugas dan tanggungjawab mendidik anak secara katolik dibidang iman dan moral, misalnya mengajarkan anak untuk mencintai lingkungan hidup beserta segala isinya terutama mencintai sesama manusia sebagaimana Allah mencintai manusia, mengajari anak sopan santun, mengajari anak untuk berkata lembut dan rendah hati, Mereka mengetahui tugas sebagai orangtua mewartakan Kristus kepada anak sejak dari kandungan sampai dewasa, karena menyadari bahwa keluarga adalah sekolah nilai-nilai kemanusiaan dan iman. Dalam penelitian juga ditemukan pendidikan iman dan moral yang sudah dilaksanakan oleh orangtua namun belum maksimal, orangtua belum mengajarkan kepada anak bahwa menyontek saat ulangan adalah perbuatan yang salah, mereka juga belum mengajarkan bahwa mengambil barang milik orang lain merupakan dosa, mereka kurang mengajak anaknya berdoa bersama dan doa pribadi setiap hari. Ada juga yang belum dilaksanakan oleh orangtua yaitu: menceritakan kisah dalam Kitab Suci, kisah para martir dan orang kudus dalam gereja katolik, serta mengajak anak menonton kartun yang menceritakan tentang tokoh-tokoh dalam Kitab Suci dan membacakan Kitab Suci.

Berdasarkan hasil penelitian itu maka penulis dalam skripsi ini mengusulkan program pendampingan kepada keluarga katolik , yakni dalam bentuk katekese model Shared Christian Praxis (SCP) agar para orangtua katolik dapat saling meneguhkan dan saling memperkaya melalui sharing pengalaman dari masing-masing peserta. Selain itu diteguhkan melalui sabda Tuhan serta membangun niat dalam melaksanakan tujuan perkawinan untuk mendidik iman dan moral anak. Dengan demikian para orangtua katolik dapat mendidik iman dan moral secara katolik serta tetap setia dalam iman katolik sampai dewasa walaupun menghadapi tantangan dan godaan zaman.


(11)

ix ABSTRACT

The title of the thesis is “ THE IMPLEMENTATION OF MARRIAGE PURPOSE: FAITH AND MORAL EDUCATION FOR THE CHILDREN OF THE PARENTS OF WHICH 7-15 YEAR MARRIAGE PERIOD IN SAINT MARRY MOTHER OF CARMEL PARISH AT

MANSALONG”. The title is chosen selected by the author to help Catholic

families to carry out the purpose of marriage, concerning with the faith and moral education of children in the family. Marriage essentially is an alliance of life that is directed for the welfare of husband and wife, the birth and the education of children. Therefore the parents are the first and primary educators for their children especially in faith and moral.

Based on research conducted on Catholic parents with are 7-15 year marriage period, some parents in that parish think that children education on faith and moral is the duty of the religion teacher and catechist. They shift the responsibility the lach of education and poor knowleg in religion. Some parents carry out the duties and responsibilities in educating children with Catholic values in faith and moral, for seen as teaching children to love the environment and all its creature, to love fellow human beings as God loves humans, teaching children as politeness, teaching children to speak softly and humbly. The parents the realize their duty as to proclaiming Christ to their children, from womb until adulthood, because they realize that the family is a school of human values and faith. In the research the author also finds the education of faith and moral have been implemented by in the parents but not maximally, such as: the parents have not been teaching children yet cheating during the examination is a wrong act, taking the property of others is a sin, the family never invites their children to pray together and to pray personally. There parents also have not been: telling stories in the Bible, the stories of martyrs and saints in the Catholic church and inviting children to watch cartoons about the characters in the Bible and read the Bible.

Based on the results of this research, the author in this thesis proposes an ministry program to the Catholic family, in the form of catechesis Shared Christian Praxis (SCP) so that the Catholic families can mutually reinforce and enrich each other through sharing experiences of each participant and are confirmed through the word of God.Then building an intention to carry out the purpose of marriage in educating the children on faith and moral. Thus Catholic parents can educate the faith and moral of the children and remain faithful in the Catholic faith until adulthood even though they face many challenges and temptations at this era.


(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat dan kasih serta pernyertaan-Nya sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul PELAKSANAAN TUJUAN PERKAWINAN PENDIDIKAN IMAN DAN MORAL ANAK OLEH ORANGTUA YANG USIA PERKAWINAN

7-15 TAHUN DI PAROKI SANTA MARIA BUNDA KARMEL

MANSALONG tepat pada waktunya. Melalui skripsi ini Penulis hendak memberikan sumbangan pemikiran, gagasan, dan inspirasi bagi siapapun yang memiliki kerinduan dalam mengembangkan Gereja Katolik di manapun berada.

Dalam menyelesaikan skripsi ini Penulis mengalami banyak tantangan, namun berkat dukungan dan doa serta motivasi yang terus mengalir dari pembimbing, keluarga, serta teman-teman sehingga penyusunan skripsi ini selesai sesuai harapan. Penulis mengalami pendampingan, dukungan, motivasi, serta perhatian, yang diyakini sebagai karya Tuhan dalam membimbing serta memampukan penulis menyelesaikan skripsi dengan penuh kesetiaan. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. CB. Kusmaryanto, SCJ, selaku dosen pembimbing utama dan dosen penelitian yang telah setia meluangkan waktu untuk membimbing dan mendampingi penulis dengan penuh perhatian, motivasi dan kesabaran, memberi masukan-masukan dan kritikan-kritikan, sehingga penulis termotivasi dalam penyusunan skripsi dari awal sampai selesai.


(13)

xi

2. Yoseph Kristianto, SFK.,M.Pd selaku dosen pembimbing akademik dan dosen penguji II yang telah meluangkan waktu untuk mempelajari dan memberi masukan sehubungan dengan skripsi ini.

3. Martinus Ariya Seta, S.Pd, Mag. Theol selaku dosen penguji III yang telah meluangkan waktu untuk mempelajari dan memberikan masukan sehubungan dengan skripsi ini.

4. Para dosen Program Studi Pendidikan Agama Katolik, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, yang telah mendidik dan membimbing penulis selama belajar hingga selesainya skripsi ini dengan penuh kasih dan sepenuh hati.

5. Kedua orangtua penulis Bapak S. Lukas J. dan Brigita Saini yang selalu memberikan dukungan baik doa maupun biaya kuliah bagi penulis selama studi sampai selesainya skripsi ini.

6. Ketiga saudari dan ipar yang memberikan dukungan dan motivasi bagi penulis selama studi.

7. Sr. Anastasia, SdC; Sr. Marsiana, SdC; Sr. Laeti, SdC; Sr. Virgiana PK; Sr. Martha, KSFL, Julierni dan Luci Manalu yang mendukung dan menyemangati penulis.

8. Sahabat karibku Sr. Vianney Caroline, KKS (Njo Mei Fang); Fr. Rian, Pr; Fr Rafael, Pr yang selalu menyemangati, mendoakan, memotivasi dan mendukung penulis selama menjalani studi.

9. Pastor FX. Wahyu Tri Wibowo, Pr yang telah mendukung penulis studi di PAK.


(14)

(15)

xiii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL . ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xiv

DAFTAR SINGKATAN ... xx

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 3

C. Tujuan Penulisan ... 3

D. Manfaat Penulisan ... 4

E. Metode Penulisan ... 5

F. Sistematika Penulisan ... 6

BAB II. PENDIDIKAN IMAN DAN MORAL ANAK OLEH ORANGTUA 8

A. Tujuan Perkawinan ... 8

1. Kesejahteraan Suami Istri ... 9

2. Kelahiran Anak ... 10

3. Pendidikan Anak ... 11

B. Pendidikan Iman ... 12

1. Makna Pendidikan Iman ... 15


(16)

xiv

a. Awal-Elementer (Primal Faith) ... 16

b. Intuitif-Proyektif (Intuitif-Projective Faith) ... 18

c. Mistis-Literal (Misthic-Literal Faith) ... 19

3. Faktor Pendukung Perkembangan Iman ... 19

a. Keyakinan Bahwa Allah Mencintai Dan Menganugerahi Talenta .. 20

b. Teladan Iman Orang Tua ... 20

c. Rasa Aman Untuk Mengagumi Dan Bertanya ... 22

d. Dorongan Untuk Mencintai Alam Dan Segala Isinya ... 23

4. Faktor Penyebab Gagalnya Pendidikan Iman dalam Keluarga ... 24

a. Orangtua Kurang Menghayati Iman ... 24

b. Orangtua Mempercayakan Tanggung Jawab Kepada Pihak Lain ... 25

c. Orangtua Kurang Mendidik Anak Hidup Di Jalan Tuhan ... 26

d. Perkembangan Jaman (Media) Menjauhkan Anak Dari Tuhan ... 27

5. Pendidikan Iman dalam Keluarga ... 28

a. Doa Pribadi Dan Doa Bersama ... 28

b. Memperkenalkan Lagu-Lagu Rohani ... 29

c. Ambil Bagian Dalam Perayaan Liturgi ... 30

d. Membaca Dan Merenungkan Kitab Suci ... 30

e. Aktif Dalam Pembinaan Iman ... 31

f. Ikut Ambil Bagian Dalam Rekoleksi, Retret Dan Ziarah ... 31

6. Penerapan Pendidikan Iman Berdasarkan tahap Perkembangan Iman . 32 a. Awal-Elemneter ... 32

b. Intuitif -Proyektif ... 32

c. Mistis-Literal ... 33

C. Pendidikan Moral ... 34

1. Makna Pendidikan Moral ... 35

2. Tahap-Tahap Perkembangan Moral Menurut L. Kohlberg ... 35

a. Tingkat Pra-Konvensional ... 37

b. Tingkat Konvensional ... 38


(17)

xv

3. Bentuk-Bentuk Pendidikan Moral ... 41

a. Suara Hati ... 41

1) Fungsi Suara Hati ... 42

2) Pembinaan Suara Hati ... 43

3) Kemutlakan Suara Hati ... 43

b. Kebebasana Kehendak ... 43

c. Tanggungjawab ... 44

d. Norma Moral ... 44

e. Norma Moral Kristiani ... 45

1) Larangan Menyembah allah-allah Lain ... 45

2) Larang Menyebut Nama Allah Dengan Tidak Hormat ... 45

3) Perintah Menguduskan Hari Sabat ... 46

4) Perintah Menghormati Orangtua ... 47

5) Larangan Membunuh ... 48

6) Larangan Mencuri ... 48

7) Larangan Bersaksi Dusta ... 49

f. Norma Moral ... 49

1) Sikap Menghargai Orang Lain Dan Kehidupan ... 49

2) Kejujuran ... 49

3) Kerendahan Hati Dan Menolong Orang Lain ... 50

4) Penuh Cinta Kasih ... 50

g. Penerapan pendidikan moral berdasarkan tahap perkembangan moral anak ... 50

1) Pra-Konvensional ... 50

2) Konvensional ... 51


(18)

xvi

BAB III PENELITIAN MENGENAI PELAKSANAAN TUJUAN

PERKAWINAN: PENDIDIKAN IMAN DAN MORAL ANAK OLEH ORANGTUA YANG USIA PERKAWINAN 7-15 TAHUN DI

PAROKI SANTA MARIA

BUNDA KARMEL MANSALONG ... 52

A.Gambaran Situasi Umum Paroki Maria Bunda Karmel Mansalong ... 52

1. Sejarah Singkat Paroki Santa Maria Bunda Karmel Mansalong ... 53

2. Situasi Geografis Paroki Mansalong ... 56

3. Situasi Umat di Paroki Santa Maria Bunda Karmel Mansalong ... 57

a. Mata Pencarian Umat ... 58

1) Segi Ekonomi ... 59

2) Segi Pendidikan ... 59

3) Segi Kebudayaan ... 60

4. Visi, Misi dan Strategi Paroki Santa Maria Bunda Karmel Mansalong .... 61

a. Visi ... 62

b. Misi ... 62

c. Strategi ... 63

B. Penelitian mengenai Pelaksanaan Tujuan Perkawinan: Pendidikan Iman dan Pendidikan Moral bagi Anak oleh Keluarga yang Usia Perkawinan 7–15 Tahun di Paroki Santa Maria Bunda Karmel Mansalong ... 64

1. Metodologi Penelitian ... 64

a. Latarbelakang Penelitian ... 64

b. Tujuan Penelitian ... 66

c. Manfaat Penelitian ... 66

d. Jenis Penelitian ... 67

e. Tempat dan Waktu Penelitian ... 67

f. Responden ... 68

g. Instrumen Penelitian ... 68

h. Variabel penelitian ... 69


(19)

xvii

a. Gambaran pelaksanaan tujuan perkawinan pendidikan iman dan moral anak di Paroki St. Maria Bunda Karmel

Mansalong ... 71

a) Tujuan Perkawinan ... 71

b) Pendidikan Iman ... 73

(1) Alasan Pentingnya Pendidikan Iman Untuk Anak ... 73

(2) Tujuan Pendidikan Iman Untuk Anak ... 76

(3) Cara Memberikan Pendidikan Dalam Keluarga ... 77

(4) Pendidikan Iman Dalam Keluarga ... 80

(5) Faktor Pendukung Pendidikan Iman Dalam Keluarga ... 86

(6) Faktor Penyebab Kegagalan Dalam Memberikan Pendidikan Iman Dalam Keluarga ... 90

c) Pendidikan Moral ... 91

(1) Norma Moral Katolik ... 91

(2) Pembinaan Suara Hati Dalam Keluarga ... 98

(3) Pendidikan Moral Dalam Keluarga ... 101

C. Pengolahan Hasil Penelitian Pelaksanaan Tujuan Perkawinan Pendidikan Iman Dan Moral Bagi Anak………109

1. Keterbatasan Penelitian ... 115

2. Kesimpulan Penelitian ... 116

BAB IV PROGRAM KATEKESE MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP): KATEKESE BAGI ORANGTUA KATOLIK YANG USIA PERKAWINAN 7-15 TAHUN DI PAROKI MANSALONG ... 118

A.Latar Belakang Pemilihan Program dalam Bentuk Katekese Model Shared Christian Praxis (SCP) ... 119

B. Usulan Program Pendampingan bagi Orangtua Katolik di Paroki Santa Maria Bunda Karmel Mansalong ... 122

C. Tema dan Tujuan Pendampingan ... 123

D. Matriks Program ... 127


(20)

xviii

F. Contoh Salah Satu Pelaksanaan Program: Pendampingan Katekese

Umat Model Shared Christian Praxis (SCP) ... 132

BAB V PENUTUP ... 144

A. KESIMPULAN . ... 144

B. SARAN ... 146

DAFTAR PUSTAKA ... 149

Lampiran 1: Surat Izin Melakukan Penelitian ... (1)

Lampiran 2: Surat Telah Melakukan Penelitian ... (2)

Lampiran 3: Kuisioner Penelitian ... (3)

Lampiran 4: Salah Satu Contoh Jawaban Responden Penelitian ... (9)


(21)

xix

DAFTAR SINGKATAN

A.Singkatan Kitab Suci

Seluruh singkatan Kitab Suci dalam skripsi ini mengikuti singkatan Kitab Suci Perjanjian Baru: dengan Pengantar dan Catatan Singkat. (Dipersembahkan kepada Umat Katolik Indonesia oleh Ditjen Bimas Katolik Departemen Agama Republik Indonesia dalam rangka PELITA IV). Ende: Arnoldus, 1984/1985, hal. 8.

Kej : Kejadian Kel : Keluaran Ul : Ulangan Ayb : Ayub Ams : Amsal Mat : Matius Mrk : Markus Luk : Lukas Yoh : Yohanes Gal : Galatia Rom : Roma Ef : Efesus Kor : Korintus Yak : Yakobus


(22)

xx B.Singkatan Dokumen Resmi Gereja

DV : Dei Verbum. Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II tentang Wahyu Ilahi, 18 November 1965.

FC : Familiaris Consortio. Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II tentang Peranan Keluarga Kristen dalam Dunia Modern, 22 November 1981.

GS : Gaudium et Spes. Konstitusi Pastoral Konsili Vatikan II tentang Gereja dalam Dunia Modern, 7 Desember 1965.

GE : Gravissium Educationis. Dekrit Konsili Vatikan II tentang Pendidikan Kristen.

IM : Inter Mirifica. Dekrit Konsili Vatikan II tentang Upaya-Upaya Komunikasi Sosial, 4 Desember 1963.

LG : Lumen Gentium. Konstitusi Dogmatis Konsili Vatikan II tentang Gereja. Tanggal 21 November 1964.

LF : Lumen Fidei. Ensiklik Paus Fransiskus tentang Iman.

KHK : Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici), diundangkan oleh Paus Yohanes Paulus II, 25 Januari 1983.

C.Singkatan Lain Alm : Almarhum Bdk : Bandingkan Dok : Dokumen

HPN : Hatiku Penuh Nyanyian KEK : Kidung Ekaristi Kotabaru


(23)

xxi KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia KTP : Kartu Tanda Pengenal

KKI : Karya Kepausan Indonesia KWI : Konferensi Waligereja Indonesia Lih : Lihat

MBK : Maria Bunda Karmel

No : Nomor

OMI : Oblat Maria Imaculata OMK : Orang Muda Katolik SD : Sekolah Dasar

SCP : Shared Christian Praxis SMP : Sekolah Menengah Pertama

SEKAMI : Serikat Kepausan Anak-anak dan remaja Misioner Sr : Suster

SSpS : Congregatio Missionalis Servarum Spiritus Sancti atau Kongregasi Suster Misi Abdi Roh Kudus

St : Santo/ Santa TV : Televisi

TOP : Tahun Orientasi Pastoral PPK : Pedoman Pastoral Keluarga PPL : Praktek Program Lapangan PAK : Pendidikan Agama Katolik Reff : Reffren


(24)

BAB I PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG

Perkawinan mempunyai beberapa tujuan sesuai dengan pemahaman dan agama yang dianut (Ketut Adi Hardana, 2013: 11). Pendidikan anak merupakan konsekuensi logis dan natural dari kelahiran anak (Catur Raharso, 2006: 41). Hal ini menegaskan bahwa ketika sepasang suami istri memutuskan memiliki anak, berarti menjadi tanggung jawab mereka memberikan pendidikan yang baik untuk anaknya, terutama dalam bidang iman dan bidang moral. Pedoman Pastoral Keluarga (PPK) 30 menegaskan bahwa orangtua memiliki tanggungjawab dan kewajiban untuk memberikan pendidikan iman dan moral kepada anak-anak mereka namun kadang orangtua lebih mempercayakan pendidikan anak kepada lembaga pendidikan. Pendidikan formal lebih menekankan kemampuan intelektual, sehingga kurang memperhatikan hal iman. Pendidikan pertama-tama diperoleh anak di dalam keluarga, sedangkan pendidikan formal di sekolah sebagai pelengkap pendidikan yang sudah diperoleh di rumah dari orangtua.

Beberapa alasan orangtua sebagai pendidik utama dan pertama menyerahkan tugas dan tanggungjawab kepada orang luar, misalnya karena kurang pengetahuan iman orangtua, kesibukan kerja, orangtua kurang terlibat dari kehidupan menggereja. Hal ini mendorong penulis tertarik mendalami mengenai tujuan perkawinan terutama pendidikan anak.


(25)

Keluarga yang menjadi fokus perhatian adalah keluarga yang usia perkawinan 7–15 tahun, alasannya keluarga tersebut memiliki keturunan, mungkin juga ditemukan keluarga muda belum memiliki anak.

Paroki Santa Maria Bunda Karmel Mansalong adalah paroki baru dengan jumlah umat sekitar 3.770 jiwa. Umat katolik di Paroki berasal dari agama Protestan dan agama kepercayaan, sehingga belum memahami ajaran iman Gereja Katolik. Penulis menemukan beberapa alasan orang muda belum menikah, misalnya belum memiliki kesiapan mental untuk berkeluarga, belum memiliki pekerjaan, pasangan tidak seiman, masih muda, tidak siap mengurus anak dan ingin bebas, salah pilih pasangan. Pernyataan-pernyataan di atas tidak ditemukan di paroki Santa Maria Bunda Karmel Mansalong, karena banyak orang muda setelah lulus SMA, bahkan lulus SMP dan SD sudah menikah.

Penulis berpikir apakah pasangan yang menikah muda dapat memenuhi tuntutan gereja terkait dengan tujuan perkawinan terdapat dalam Kitab Hukum Kanonik ? Selain itu, penulis menemukan bahwa banyak orang muda katolik di paroki Santa Maria Bunda Karmel Mansalong, meninggalkan iman katolik ketika menikah. Penulis berpikir, bahwa salah satu penyebab utama orang muda meninggalkan iman katolik, karena orangtua kurang memberikan pendidikan iman dalam keluarga, sehingga ajaran-ajaran iman kurang melekat dalam hati anak, mengakibatkan ketika menikah mereka dengan mudah pindah keyakinan atau pindah gereja.

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka penulis tertarik melaksanakan penelitian lebih lanjut mengenai pelaksanaan tujuan


(26)

perkawinan mengenai pendidikan iman dan pendidikan moral, dengan mengambil judul skripsi “Pelaksanaan Tujuan Perkawinan Pendidikan Iman Dan Moral Anak Oleh Orangtua Yang Usia Perkawinan 7-15 Tahun Di Paroki Santa Maria Bunda Karmel Mansalong.”

B.RUMUSAN MASALAH

Penulis mengidentifikasikan beberapa permasalahan yang muncul sebagai berikut:

1. Bagaimana orangtua dapat memaknai tujuan perkawinan untuk pendidikan iman dan moral anak ?

2. Bagaimana pemahaman keluarga mengenai pendidikan iman dan moral anak? 3. Bagaimana pelaksanaan tujuan perkawinan mengenai pendidikan iman dan moral anak di Paroki Santa Maria Bunda Karmel Mansalong?

4. Upaya apa yang dapat dilakukan agar orangtua-orangtua katolik melaksanakan tujuan perkawinan dalam bidang pendidikan iman dan moral ?

C.TUJUAN PENULISAN

1. Menambah wawasan penulis mengenai tujuan perkawinan katolik mengenai pendidikan iman dan moral anak.

2. Mengetahui pelaksanaan tujuan perkawinan mengenai pendidikan iman dan moral anak di Paroki Santa Maria Bunda Karmel Mansalong.


(27)

3. Memberikan sumbangan program pendampingan iman kepada orangtua-orangtua katolik di Paroki Maria Bunda Karmel Mansalong, mengenai pendidikan iman dan moral anak.

4. Memenuhi salah satu syarat kelulusan Sarjana Strata 1 Program Studi Ilmu Pendidikan Agama Katolik Jurusan Ilmu Pendidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma.

D.MANFAAT PENULISAN

Adapun manfaat dari penulisan ini adalah: 1. Bagi Orangtua-orangtua Katolik

a. Orangtua-orangtua Katolik diharapkan semakin memahami tujuan perkawinan Katolik, khususnya mengenai pendidikan iman dan moral anak.

b. Orangtua-orangtua Katolik diharapkan semakin mengupayakan perwujudan tujuan perkawinan, khususnya pendidikan iman dan moral anak dalam hidup sehari-hari.

2. Bagi penulis

a. Penulis semakin diperkaya dalam pemahaman mengenai tujuan perkawinan Katolik, khususnya mengenai pendidikan iman dan moral anak.

b. Penulis semakin dibantu dalam mendampingi orangtua-orangtua katolik untuk mewujudkan tujuan perkawinan mengenai pendidikan iman dan moral anak di Paroki Santa Maria Bunda Karmel Mansalong.


(28)

3. Bagi Pembaca

Pembaca semakin memahami tujuan perkawinan katolik, khususnya mengenai pendidikan iman dan moral anak.

4. Bagi Kampus

Memberikan ide-ide dan pengetahuan bagi mahasiswa prodi PAK dalam mencari bahan mengenai tujuan perkawinan Katolik, khususnya mengenai pendidikan iman dan moral anak..

E.METODE PENULISAN

Metode Penulisan yang akan digunakan penulis dengan penelitian kualitatif dan studi pustaka. Penulis mengumpulkan data dengan menyebarkan kuisioner kepada orangtua-orangtua katolik berupa pertanyaan tertutup (memilih jawaban yang sudah tersedia) dan pertanyaan terbuka (jawaban menurut pendapat sendiri), agar memperoleh data yang lengkap mengenai pelaksanaan tujuan perkawinan mengenai pendidikan iman dan moral anak dalam keluarga di Paroki St. Maria Bunda Karmel Mansalong. Penulis menggunakan teknik sampling random yaitu dengan menyebarkan kuisioner secara acak kepada orangtua yang usia perkawinan 7-15 tahun di Paroki Santa Maria Bunda Karmel Mansalong.


(29)

Defenisi metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati (Moleong, 1989: 3). Studi Pustaka digunakan untuk memperkuat teori mengenai tujuan perkawinan katolik, khususnya mengenai pendidikan iman dan moral.

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Gambaran umum mengenai sistematika penulisan yang akan dibahas di dalam penulisan skripsi, sebagai berikut:

Bab I berisikan pendahuluan, meliputi: latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, manfaat penulisan dan sistematika penulisan.

Bab II berisikan tujuan perkawinan katolik, khususnya mengenai pendidikan iman dan moral anak.

Bab III berisikan penelitian mengenai pelaksanaan tujuan perkawinan khususnya pendidikan iman dan moral anak oleh keluarga katolik yang usia perkawinan 7-15 di paroki Santa Maria Bunda Karmel Mansalong, meliputi gambaran situasi umum Paroki Maria Bunda Karmel Mansalong dan penelitian mengenai pelaksanaan tujuan perkawinan: pendidikan iman dan moral anak oleh orangtua katolik yang usia perkawinan 7–15 tahun di Paroki Santa Maria Bunda Karmel Mansalong.

Bab IV berisikan pengolahan hasil penelitian tentang pelaksanaan tujuan perkawinan mengenai pendidikan iman dan moral anak


(30)

Bab V berisikan program pendampingan iman: Katekese Model Shared Christian Praxis (SCP) bagi orangtua katolik yang usia perkawinan 7-15 tahun di Paroki Santa Maria Bunda Karmel Mansalong, meliputi: latar belakang pemilihan program, usulan program dalam bentuk katekese, tema dan tujuan katekese, matriks program, gambaran pelaksanaan program, contoh pelaksanaan program.

Bab VI Penutup berisikan kesimpulan dan saran.

Demikian proses berpikir penulis yang dituangkan dalam skripsi ini. Penulis berharap penulisan mengenai pelaksanaan tujuan perkawinan, khususnya mengenai pendidikan iman dan moral anak berguna bagi orangtua-orangtua katolik khususnya dan Gereja pada umumnya.


(31)

BAB II

PENDIDIKAN IMAN DAN MORAL ANAK OLEH ORANGTUA

Pada bab II, penulis menguraikan dua pokok bahasan, yaitu pertama, menjelaskan mengenai pendidikan iman anak, kedua, menjelaskan mengenai moral anak. Sebelum pembahasan mengenai pendidikan iman dan moral, penulis menjelaskan mengenai tujuan perkawinan dalam Gereja katolik.

A.Tujuan Perkawinan

KHK 1983 kanon 1055 menegaskan bahwa “Perkawinan menurut ciri kodratinya memiliki tiga tujuan, yaitu kesejahteraan suami istri (bonum coniugum) dan kelahiran serta pendidikan anak (bonum prolis). Kemudian Familiaris Consortio art. 36 menjelaskan mengenai tugas orangtua dalam mendidik anaknya. Tugas mendidik berakar dalam panggilan utama suami istri untuk berperan serta dalam karya penciptaan Allah. Hak maupun kewajiban orangtua dalam mendidik bersifat hakiki, pertama dan utama, karena keistimewaan hubungan cinta kasih antara orangtua anak. Perkawinan memiliki beberapa tujuan sesuai dengan pemahaman, adat-istiadat dan kepercayaan atau agama yang dianut (I Ketut Adi Hardana, 2013: 11). Gereja Katolik menetapkan tiga tujuan perkawinan yaitu:


(32)

1. Kesejahteraan Suami Istri

Kitab Suci menuliskan tujuan pokok perkawinan adalah kesatuan dan kebahagiaan suami-istri, dengan saling mencintai dan menyerahkan diri secara utuh (totalitas), yakni seorang laki-laki dan seorang perempuan dipersatukan oleh Allah dalam ikatan perkawinan, maka mereka bukan lagi dua melainkan menjadi satu daging (Kej. 2:24; Mat. 19:5; Mrk. 10:8, Ef. 5:31).

Gaudium et Spes 48 mengatakan bahwa “Persekutuan hidup dan kasih suami istri yang mesra, yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukumnya, dibangun oleh janji perkawinan yang tidak dapat ditarik kembali.” Kemudian PPK 17.a mengatakan bahwa “Keluarga adalah persekutuan seluruh hidup (consortium totius vitae) antara seorang laki-laki dan seorang perempuan berlandaskan perjanjian antara kedua pihak dan diteguhkan melalui kesepakatan perkawinan”. Demikianlah karena tindakan manusiawi yakni saling memberi dan menerima, menimbulkan suatu hubungan yang erat menurut kehendak Ilahi dan bersifat kekal.

Kesejahteraan suami istri menyangkut dua hal yaitu kesejahteraan lahir dan kesejahteraan batin. Kesejahteraan lahir maksudnya suami bertanggung jawab dalam menafkahi keluarganya baik sandang, papan dan pangan. Sedangkan kesejahteraan batin maksudnya suami-istri mempunyai kewajiban suci untuk saling memenuhi kebutuhan seksual pasangannya.

Perkawinan merupakan kesatuan yang amat erat antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan bahwa perkawinan memberikan hak prerogatif kepada suami-istri atas hubungan seksual antara keduanya (Hadiwardoyo, 2014: 25).


(33)

Paulus menasehati umat di Korintus supaya mereka tidak berhubungan seksual dengan orang yang bukan pasangan mereka sendiri, karena tubuh suami adalah milik istri dan sebaliknya tubuh istri adalah milik suami, Hal ini ditegaskan di dalam 1Kor. 7:4 mengatakan “Isteri tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi suaminya, demikian pula suami tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri, tetapi isterinya.”

2. Kelahiran anak

Pasangan suami istri ikut serta dalam karya penciptaan, seperti yang dikatakan Allah saat selesai menciptakan manusia dan memberkatinya serta memberikan perintah kepada manusia "Beranakcuculah dan bertambah banyak (Kej. 1:28). Oleh karena itu 1096§ 1 mengharapkan bahwa sebelum menikah calon pasangan suami istri sekurang-kurangnya mengetahui bahwa perkawinanan merupakan suatu perkawinan yang tetap dan terarah pada kelahiran anak melalui kerja sama seksual (consummatum). Seorang laki-laki dan seorang perempuan yang menikah secara alamiah mempunyai kerinduan menurunkan anak atau generasi baru. Perkawinan yang sah adalah satu-satunya lembaga yang sah menurunkan anak. Walaupun demikian anak bukanlah tujuan utama dari perkawinan. Anak adalah anugerah dari Tuhan yang tidak boleh dimutlakkan keberadaannya (Ketut Adi Hardana, 2013: 12).


(34)

3. Pendidikan anak

Pendidikan anak merupakan konsekuensi moral dan pemenuhan dari kelahiran anak (prokreasi). Konsili Vatikan II, di dalam Gravissimum Educationis (GE) 50 a mengatakan bahwa “Hakekat perkawinan dan cinta kasih suami istri tertuju pada keturunan serta pendidikan untuk anak”. Kemudian KHK 1983 kanon 1136 mengatakan bahwa “Orangtua mempunyai kewajiban yang sangat berat dan hak primer untuk sekuat tenaga mengusahakan pendidikan anak, baik fisik, sosial, dan kultural maupun moral dan religius.” Oleh karena itu orangtua adalah pendidik utama dan pertama bagi putra-putrinya, terutama nilai-nilai dasar, nilai kehidupan dan nilai-nilai religius. Pendidikan anak mencakup banyak hal, namun penulis memfokuskan pada pendidikan iman dan pendidikan moral dalam keluarga. Dengan demikian orangtua ikut membangun Gereja melalui pendidikan anak-anak secara manusiawi an kristiani sepenuhnya dan menjadi Gereja Rumah Tangga (ecclesia domestica) dalam menjalankan tugas-tugas ilahi dan gerejawi terhadap anak-anak, sehingga dapat menemukan guru iman sejati dalam diri orangtua mereka (Catur Raharso, 2006: 62).

Tugas menyelenggarakan pendidikan pertama-tama menjadi tanggung jawab orangtua, memerlukan bantuan seluruh masyarakat (GE 3). Orangtua hendaknya mendidik anak dengan sungguh-sungguh dan jangan sampai menyesatkan pikiran anak terdapat pada Matius 18:6 mengatakan bahwa ”Barangsiapa menyesatkan salah satu dari anak-anak kecil ini yang percaya kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya


(35)

lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut.” Hal ini menegaskan bahwa dalam pengajaran jangan sampai menyesatkan pikiran anak.

B.Pendidikan Iman

Kata pendidikan berasal dari kata “pedagogi” yakni “paid” artinya anak dan “agogos” artinya membimbing. Pedagogi adalah ilmu dalam membimbing anak. Pendidikan yaitu sebuah proses pembelajaran bagi setiap individu untuk mencapai pengetahuan dan pemahaman yang lebih tinggi mengenai obyek tertentu dan spesifik. Pengetahuan yang diperoleh secara formal tersebut berakibat pada setiap individu yaitu memiliki pola pikir, perilaku dan akhlak yang sesuai dengan pendidikan yang diperolehnya (KBBI).

Proses pertumbuhan adalah proses penyesuaian pada setiap fase dan menambah kecakapan dalam perkembangan seseorang melalui pendidikan. Iman merupakan tanggapan manusia atas wahyu Allah dalam ketaatan iman, dengan penuh kebebasan. Kebebasan dimaksud agar manusia dapat menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah dengan mempersembahkan kepatuhan akal budi, kehendak dan dengan sukarela menerima sebagai kebenaran wahyu yang dikaruniakan oleh-Nya. Dalam beriman kepada Allah, manusia membutuhkan rahmat Allah yang menolong untuk menyadari kehadiran Allah di dalam kehidupan sehari-hari dan Roh Kudus akan menyempurnakan iman manusia melalui kurnia-kurnia-Nya (DV 5). Allah adalah Sang Pencipta dan sumber kehidupan dan sesuatu yang berkaitan dengan Allah itu ialah iman, maka perlulah orangtua mendidik iman anaknya, sehingga anak mengenal siapa itu Allah dan segala karya-Nya serta mampu menjalin relasi intim dengan Allah.


(36)

Iman datang dari pendengaran (fides ex auditu) dan pendengaran timbul dari pewartaan sabda dan karya Kristus (Rom. 10:17).Oleh karena itu, tugas orangtua adalah mewartakan Kristus kepada anak-anak mereka sejak dari kandungan hingga dewasa. Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Efesus mengatakan bahwa “Orangtua terutama seorang ayah untuk mendidik anak berdasarkan ajaran dan nasehat Tuhan” (Ef. 6:4).

PPK 31 mengatakan bahwa “Pendidikan dalam keluarga harus memperhatikan pendidikan iman dan moral katolik, karena keluarga adalah sekolah nilai-nilai kemanusiaan dan iman katolik.” Kemudian Pedoman Pastoral keluarga art. 32 mengatakan “Salah satu aspek pendidikan iman adalah pemberian dan pengembangan pengetahuan iman melalui harta kekayaan Gereja, yakni Kitab Suci, katekismus, dokumen Gereja dan buku-buku katekese.”

Pada zaman Skolastik (abad XIII-XI) Thomas Aquino mengatakan bahwa menurut kodrat yang khas manusiawi, hubungan seks suami-istri juga terarah kepada pendidikan anak yang dilahirkan (Hadiwardoyo, 2015: 67-68). KHK 1917§ 1 menekankan tentang tujuan primer dalam sebuah perkawinan yaitu prokreasi dan pendidikan untuk anak yang dilahirkan. Paus Yohanes Paulus II dalam surat kepada keluarga-keluarga artikel 16 mengatakan bahwa “Mendidik anak merupakan suatu sarana komunikasi yang hidup, bukan hanya menciptakan suatu hubungan yang mendalam antara pendidik dengan orang yang dididik, tetapi juga membuat mereka ikut ambil bagian dalam kebenaran dan kasih.”


(37)

Proses menurunkan anak tidak selesai pada saat kelahiran, tetapi hendaknya berlangsung terus melalui kehidupan sampai anak mencapai kedewasaannya (Eminyan, 2001: 152). Oleh karena itu setiap orangtua memiliki tanggungjawab mendidik iman anak, tidak hanya merawat dan memberi makan. Orangtua bertanggungjawab mampu memberikan pendidikan iman kepada anak yang dilahirkan, karena pendidikan adalah konsekuensi dari kelahiran anak.

Manusia dipanggil untuk hidup dalam kebenaran dan kasih, serta menemukan pemenuhan melalui pemberian diri yang tulus, kebenaran itu menyangkut dua hal, yaitu menjadi pendidik dan orang yang dididik.Manusia sebagai seorang pendidik bukan seorang yang hanya memberikan pengajaran berupa materi, melainkan seorang pribadi yang dapat melahirkan dalam arti rohani.Paus Yohanes Paulus II dalam surat kepada keluarga-keluarga art. 16mengatakan bahwa “Mendidik anak dianggap sebagai suatu kerasulan yang sejati, karena orangtua atau pendidik tidak hanya mempersiapkan pendidikan untuk anaknya, tetapi sekaligus untuk generasi berikutnya.”

Paus Yohanes Paulus II dalam surat kepada keluarga-keluarga 16 mengatakan bahwa “Tugas mendidik anak merupakan sarana yang digunakan untuk komunikasi yang hidup, tidak hanya menciptakan hubungan yang mendalam antara orangtua dan anak, tetapi juga ikut ambil bagian dalam kebenaran dan kasih yang bertujuan terakhir dimana setiap orang akan dipanggil oleh Allah Tri Tunggal.”


(38)

1. Makna Pendidikan Iman

Iman merupakan hubungan pribadi manusia dengan Allah penciptanya karena iman lahir dari suatu pengalaman perjumpaan dengan Allah yang hidup yang memanggil kita dan mewahyukan kasih-Nya (LF 4). Maka pendidikan iman berarti usaha-usaha orang dewasa untuk membantu anak-anak agar mampu menghormati dan mengasihi Allah sebagai Pencipta dan Penyelamat (Pudjiono, 2007: 10). Iman membantu untuk memahami seluruh kedalaman dan kekayaan arti melahirkan anak-anak sebagai tanda kasih Sang Pencipta yang mempercayakan kepada kita misteri seorang pribadi yang baru yang perlu kita rawat, kembangkan dan cintai (LF 52). Beriman berarti menerima atau mempercayai sesuatu yang dikatakan oleh orang lain. Iman memberi pengetahuan akan Allah, diri kita, alam tempat kita hidup, namun sifat khas dari pengetahuan baru tersebut dapat kita miliki hanya dengan iman, tidak hanya dengan penalaran. Paus Yohanes Paulus II mengatakan dalam suratnya kepada keluarga-keluarga 15 mengatakan bahwa “Cinta yang dipercayakan Allah kepada laki-laki dan perempuan di dalam Sakramen Perkawinan sebagai prinsip dasar dari kewajiban dan tanggung jawab timbal balik bagi mereka sebagai pasangan suami istri dan sebagai orangtua bagi anak-anak mereka. Oleh karena itu, dalam sakramen perkawinan mereka saling memberi dan menerima dan menyatakan kesediaan mereka untuk menerima dan mendidik anak sesuai dengan iman sebagai orang katolik.”


(39)

2. Tahap-Tahap Perkembangan Iman

Iman anak berkembang sesuai dengan tahap-tahap perkembangan usia. James W. Fowler adalah seorang psikolog dan teolog Amerika Serikat, teorinya dipengaruhi oleh perkembangan masa kecilnya dan suasana keluarga dimana ia dibesarkan. Ia membedakan antara kepercayaan eksistensial (iman) dengan agama dan juga membedakan iman dari kepercayaan (Budiningsih, 2008: 34-35).

Hasil analisis data yang diperoleh melalui wawancara semi klinisnya, Fowler menemukan teori baru yang dikenal dengan istilah Faith Development Theory (Teori Perkembangan Kepercayaan) dengan tujuh tahap. James W. Fowler membagi teori perkembangan imannya ke dalam tujuh kategori yakni, awal- elementer (Primal Faith), intuitif-proyektif (Intuitive-ProjectiveFaith), mistis-literal (Mithic-Literal Faith), sintesis-konvensional (Synthetic-Conventional Faith),individual-reflektif (Individuative-Reflective Faith), eksistensial-konjungtif (Conjunctive Faith), dan eksistensial-universalitas (Universalizing Faith). Namun penulis membahas tiga kategori sesuai dengan penelitian yang dilakukan,yaitu: primal faith, intuitive-projective faith dan mithic-literal faith.

a. Awal-Elementer (Primal Faith)

Tahapan usia kanak-kanak 0-2 atau 3 tahun disebut sebagai “Tahapan Primal”, benih iman dalam diri anak terbentuk melalui rasa percaya terhadap orang yang merawat dan membesarkannya. Kepercayaan ini disebut pratahap “kepercayaan yang belum terdiferensiasi” (Undifferentiated Faith), karena ciri disposisi praverbal bayi terhadap lingkungannya belum dirasakan dan disadari


(40)

sebagai sesuatau yang terpisah dan berbeda dari dirinya serta daya kepercayaan, keberanian, cinta maupun harapannya belum dapat ia bedakan melalui proses pertumbuhannya, melainkan masih tercampur dalam keadaan yang samar-samar (Cremers, 1995: 27).

Kepercayaan elementer adalah rasa yang menyusun gambaran atau pragambaran. Fowler menyebut gambaran sebagai preimages, karena disatu pihak gambaran dibentuk oleh adanya perasaan sebelum kemampuan berbahasa dan daya konseptual anak mulai berfungsi, namun dilainpihak telah terbentuk suatu kepercayaan diri dari seluruh kenyataan lainnya, sehingga pragambaran tentang Allah dan lingkungannya akhirnya matriks ontogenetiknya pada gambaran anak tentang orang yang mengasuhnya (Cremers, 1995: 99-100).

Pengalaman anak terhadap orang yang merawat, mengasuh dan memberikannya kehangatan serta kasih sayang, terutama ibu dan ayahnya akan mempengaruhi gambaran asli tentang Allah (Cremers, 1995: 101), sebaliknya pengalaman negatif sejak kanak-kanak dalam keluarga yang kurang harmonis terlebih perlakuan oangtua yang keras akan membuat anak memiliki gambaran yang negatif pula terhadap Allah yang transenden. Dengan demikian sebagai pendidik utama dan pertama, orangtua menumbuhkan keyakinan dalam diri anak bahwa sebagai manusia yang secitra dengan Allah, ia adalah insan yang dicintai dan dihargai.


(41)

b. Intuitif-Proyektif (Intuitive-Projective Faith)

Tahapan usia 3-7 tahun disebut tahapan intuitif proyektif. Intuisi memungkinkan anak untuk menangkap nilai-nilai religius yang dipantulkan oleh orang disekitarnya terutama kedua orangtua. Disini daya imajinasi dan dunia gambaran anak sangat berkembang, namun pada tahap ini anak belum memiliki kemampuan operasi logis yang mantap, tetapi dengan timbulnya kemampuan simbolis dan bahasa maka imajinasi dan dunia gambaran dirangsang oleh cerita, gerak, isyarat, upacara, simbol maupun kata-kata (Budiningsih, 2008: 37).

Dunia gambaran dan imajinasi berkembang secara bebas karena belum dikontrol oleh pikiran logis dan operasi-operasi kognitif lain yang baru berkembang kemudian (budiningsih, 2008: 37). Pada tahap inilah akan membuka kepekaan anak terhadap dunia misteri dan Yang Ilahi serta tanda-tanda kekuasaannya (Cremers, 1995: 28).

Pada tahap ini anak lebih banyak meniru tingkah laku orang dewasa baik vokal saat berbicara dan anak mulai menguasai dan menggunakan bahasa menurut peraturan bahasa itu sendiri, sehingga memiliki medium untuk menyusun, mengatur dan mengantarai seluruh relasinya dengan dunia (Cremers, 1995: 104- 105). Di sini cerita dari orangtua membentuk imajinasi dalam pikiran anak mengenai gambaran tentang Tuhan, misalnya ketika orangtua mengajarkan anak menyebut Allah sebagai Bapa, maka dalam pikiran anak membayangkan Allah seperti bapa yang memiliki jenggot, baik, berambut putih seperti yang dilihatnya dalam kartun atau bahkan anak membayangkan bahwa Allah seperti kakek atau ayahnya.


(42)

c. Mistis-Literal (Misthic-Literal Faith)

Bentuk kepercayaan biasanya muncul pada usia 7 atau 8-12 tahun. Gambaran emosional dan imajinal masih berpengaruh kuat, tetapi muncul pula operasi-operasi logis yang melampaui tingkat perasaan dan imajinasi pada tahap sebelumnya. Operasi-operasi tersebut masih bersifat konkret, tetapi sudah memungkinkan suatu daya pikir logis mengunakan kategori-kategori sebab-akibat, ruang dan waktu (Budiningsih: 2008:38). Tahapan mistis literal, peran kelompok atau intuisi kemasyarakatan berperan penting dalam perkembangan iman anak, misalnya melalui sekolah, bina iman atau PIA, sekolah minggu atau yang lebih di kenal dengan SEKAMI.

3. Faktor Pendukung Perkembangan Iman

Dalam Ensiklik Paus Fransiskus Luman Fidei 52-53 mengatakan bahwa “Lingkungan pertama dimana iman menerangi kota manusia adalah keluarga.” Iman menemani tahap setiap kehidupan, diawali dengan masa kanak-kanak ketika anak belajar percaya pada kasih orangtuanya. Iman tidak dapat bertumbuh dengan sendirinya tanpa faktor pendukung dalam memperkembangankan iman, baik intern maupun ekstern. Perkembangan iman mengantar dan mendorong anak semakin dekat dan mencintai Allah.


(43)

Soerjanto (2007: 11-12) memaparkan beberapa faktor pendukung dalam perkembangan iman anak antara lain:

a. Keyakinan Bahwa Allah Mencintai Dan Menganugerahi Berbagai Talenta Dalam keluarga perhatian khusus perlu diberikan kepada anak-anak, dengan mengembangkan penghargaan yang mendalam terhadap martabat pribadi mereka, serta sikap sungguh menghormati dan memperhatikan hak-hak mereka, sehingga anak-anak merasakan cinta yang tulus dari keluarga. Sebagai citra Allah, setiap anak dianugerahi berbagai talenta bagaikan benih yang masih dapat bertumbuh dan berkembang. Maka orangtua hendaknya membantu anak-anak supaya memahami diri sebagai insan yang berpotensi (Soerjanto, 2007:12). Oleh karena itu cinta dari orangtua merupakan gambaran cinta dari Allah kepada anak-anak, sehinggaanak-anak sungguh merasakan bahwa Allah mencintai pribadi mereka dan menganugerahi berbagai talenta.

b. Teladan Iman Dari Orangtua

Teladan iman orangtua dan orang disekitar dapat membantu anak dalam proses beriman. Iman anak-anak dapat berkembang ketika mereka hidup bersama dengan orangtua yang sungguh beriman (Soerjanto, 2007: 12). Anak kecil adalah seorang peniru yang hebat, maka ketika orangtua memiliki teladan hidup yang baik, terutama dalam hal teladan iman, maka anak dapat meneladani atau meniru orangtuanya. Gereja mewariskan seluruh kekayaan imannya kepada anak-anak sebagai generasi muda penerus Gereja. Oleh karena itu, warisan iman diterima


(44)

anak-anak melalui keluarga. Pewarisan iman terjadi melalui pembaptisan sebagai pintu masuk bagi setiap orang dalam menerima sakramen-sakramen lainnya.

Orangtua sebagai figur untuk diteladani oleh anak. Allah sebagai Bapa, maka peran seorang ayah berpengaruh terhadap pandangan anak tentang Allah Bapa.Ketika anak tidak mendapatkan cinta dari seorang ayah atau gambaran ayah yang keras, kejam, pemabuk, suka memukul, memaki dan suka membatasi kebebasan anak, maka menjadi gambaran Allah yang ia yakini.

Pada suatu kali Yesus sedang berdoa dan para murid memintaNya untuk mengajari mereka berdoa, seperti halnya Yohanes mengajari para muridnya.Yesus mengajarkan para murid-Nya memanggil Allah sebagai “Bapa” sebagaimana Yesus menyebut-Nya dengan sebutan Bapa (Luk. 11:1-2). Ketika Yesus berada diatas salib, Yesus mengatakan bahwa Bunda Maria adalah Ibu bagi mereka dan sejak saat itu para murid menerima Maria sebagai ibu (Yoh. 19:27). Yesus menunjukkan bahwa Allah yang diimani sungguh sangat dekat. Allah bersemayam dalam hati dan tinggal bersama kita, sehingga kita mengalami kehadiran Allah setiap saat dalam figur seorang ayah dan seorang ibu.

Maka teladan dari orangtua berpengaruh pada anak-anak untuk dapat menerima dan mengimani Allah yang transenden, serta menghormati Bunda Maria. Dalam kehidupan keluarga, keteladanan seorang ayah lebih menjadi perhatian, karena sosok ayah berpengaruh di dalam memandang Allah sebagai Bapa yang Maha Rahim, Maha Kasih, Maha Pengampun dan lain sebagainya.


(45)

c. Rasa Aman Untuk Mengagumi Dan Bertanya

Pada saat anak merasa aman dalam mengagumi sesuatu,dapat menimbulkan pertanyaan yang membantu untuk berkembang, terlebih ketika anak-anak bertanya untuk menambah wawasannya mengenai iman. Perkembangan iman membantu anak berkembang mendekati kebaikan dan kebenaran, kebaikan dan kebenaran dapat dicapai bila anak lebih dahulu mengagumi segala sesuatu yang ia lihat (Soerjanto, 2007: 12).

Anak-anak memiliki sikap ingin tahu yang sangat besar. Pada saat anak mengagumi sesuatu, maka menimbulkan banyak pertanyaan dalam pikirannya mengenai sesuatu yang dikagumi. Maka orangtua diharapkan dapat menjalin relasi yang personal dan fungsional dengan anak.

PPK 25 mengatakan bahwa ”Orangtua hendaknya menjalin relasi yang bersifat personal dan fungsional, oleh karena itu dalam membangun relasi personal orangtua menghargai kepribadian dan potensi anak dan tidak bertindak sewenang-wenang, agar proses perkembangan kepribadian anak secara utuh dan menyeluruh sebab orangtua sebagai pendidik dapat mengarahkan dan membina anak, ketika anak bertanya karena merasa kagum. Kemudian melalui relasi yang fungsional orangtua diharapkan menyadari dan melaksanakan tugasnya sebagai pendidik utama dan pertama dengan mengarahkan, membina dengan menasehati atau keteladanan hidup.

Rasa kagum dapat berlanjut dengan aneka pertanyaan jujur yang menuntunnya menuju kebenaran (Soerjanto, 2007: 12). Anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang besar, karena kagum terhadap sesuatu yang baru, sehingga


(46)

menimbulkan pertanyaan. Rasa ingin tahu mendorong anak untuk bertanya sampai ia mendapatkan jawaban yang memuaskan. Pertanyaan anak yang polos dan kritis, kadang sikap orangtua mengabaikan bahkan memarahi, sebab tidak dapat menjawab. Hal ini terjadi pada Yesus ketika masih kanak-kanak. Pada saat itu Yesus bersama dengan orangtuanya pergi ke Yerusalem merayakan paskah orang Yahudi. Yesus bertemu dengan para alim ulama sambil mendengarkan perkataan mereka, Yesus mengajukan banyak pertanyaan, sehingga mereka tercengang (Luk.2:46).

Pada saat Yusuf dan Maria mencari Yesus, Ia menanyakan alasan mengapa harus mencari-Nya. Orangtua akan melakukan hal yang sama, jika anaknya hilang. Setelah orangtua susah mencari dan setelah menemukan mendapat pertanyaan alasan mencari, dapat menimbulkan sikap kurang sabar bahkan marah serta mengatakan tidak sopan. Maria sebagai seorang ibu yang penuh kasih sayang, menyimpan semuanya dalam hati (Luk. 2:49-51).

d. Dorongan Untuk Mencintai Alam Dan Segala Isinya

Perkembangan iman mengantar anak semakin dekat dengan Allah. Anak semakin dekat dengan Allah Sang Pencipta, pada saat anak diajarkan mencintai dan menghargai alam dan segala isinya, terutama mahkluk-makhluk hidup terkhusus sesama manusia (Soerjanto, 2007: 12). Orangtua mengajarkan anak untuk mencintai sesama, maka secara tidak langsung telah mengajarkan anak mencintai Allah yang tak terlihat (1Yoh. 4:20).


(47)

Allah memberikan manusia segala tumbuh-tumbuhan, pepohonan, segala binatang baik di darat, air maupun di udara, agar manusia dapat memenuhi kelangsungan hidupnya. Allah menciptakan segalanya dan menempatkan manusia dalam taman Eden. Allah menghendaki agar manusia merawat, menjaga dan mencintai ciptaan yang diberikan-Nya itu (Kej. 1:29-30, 2:15).

Beberapa orang kudusyang akrab dan mencintai makhluk ciptaan Allah, contohnya Santo Fransiskus dari Asisi. Orangtua dapat memperkenalkan kisah-kisah orang kudus kepada anak-anak, sehingga anak-anak semakin mencintai alam dan segala isinya.

4. Faktor Penyebab Gagalnya Pendidikan Iman Dalam Keluarga

Pendidikan dalam keluarga dapat terlaksana, jika relasi orangtua dan anak-anak terjalin dengan baik. Pada saat kurangnya komunikasi antara orangtua dan anak-anakdapat merugikan proses pendidikan. Pudjiono (2007: 5) mengatakan beberapa faktor yang menyebabkan kegagalan orangtua dalam memberikan pendidikan iman bagi anak dalam keluarga antara lain:

a. Orangtua Kurang Menghayati Iman

Iman lahir didalam hati manusia merupakan tindakan Allah.Iman berkembang melalui kaidah-kaidah tertentu, seperti perkembangan manusia sendiri. Sebaliknya iman tidak bertumbuh dan berkembang, jika tidak dipeliharamelalui Sabda Allah dan doa kehidupan setiap hari. Hidup manusia sama halnya seperti tanaman, jika tidak diberi pupuk dan kurang mendapat


(48)

sumber air yang cukup, maka tumbuhan menjadi kerdil bahkan mati. Demikian halnya dengan iman (Powell, 1991: 130).

Dalam masyarakat dapat ditemukan orang katolik sejati, yang memiliki pengetahuan mengenai iman,melainkanjuga menghayati iman yang diwujudkan dalam tindakan nyata hidup sehari-hari, Selain itu ditemukan keluarga katolik beriman KTP, maksudnya sebatas tanda pengenal sebagai orang katolik, tetapi jarang pergi ke gereja dan kurang berdoa. Anak-anak memperhatikan tingkah laku orang dewasa, sehingga ketika orangtua menyuruh anak berdoa atau pergi ke gereja, namun orangtua sendiri tidak melakukan, maka anak mengalami kesulitan melaksanakannya. Sebaliknya ketika orangtua menghayati imannya secara baik dan benar,maka anak menuruti perkataan orangtua untuk mengikuti kegiatan hidup menggereja ataupun berdoa.

b. Orangtua Mempercayakan Tanggungjawab Pada Pihak Lain

Pendidikan pertama-tama diperoleh anak didalam keluarga, sedangkan pendidikan formal di sekolah sebagai pelengkap pendidikan yang diperoleh di rumah dari orangtua. PPK 31 mengatakan bahwa “Pendidikan dalam keluarga harus memperhatikan pendidikan iman dan moral katolik, karena keluarga adalah sekolah nilai-nilai kemanusiaan dan iman katolik.”

Kesibukan orangtua bekerja mencari nafkah, mendorong orangtua menyerahkan tanggungjawab mendidik anak kepada pihak lain, misalnya pengasuh, guru agama atau lembaga sekolah, sehingga pendidikan iman anak kurang diperhatikan. PPK 30 mengatakan bahwa “Pendidikan formal di sekolah


(49)

cenderung menekankan kemampuan intelektual, mengakibatkan anak-anak kurang memiliki kepekaan, solidaritas dan nilai-nilai hidup beriman.”

c. Orangtua Kurang Mendidik Anak Hidup Di Jalan Tuhan

Orangtua mengajarkan anak-anak agar taat pada orangtua, sama dengan mengajarkan anak-anak taat kepada Allah, karena orangtua adalah gambaran Allah yang nyata dalam keluarga (Ef. 6:1). Orangtua hendaknya mendidik anaknya dijalan Tuhan, karena Tuhan sebagai jalan dan menuntun, sehingga anak-anak tidak menyimpang dari jalan itu (Ams. 4:11, 22:6).

Dalam kehidupan ditemukan orangtua kurang mendidik anak-anak hidup dijalan Tuhan dan membiarkan anak-anak melakukan sesuai keinginan hatinya, sehingga ketika anak-anak menjadi dewasa, mereka dapat melakukan hal-hal yang kurang baik dan salah. Yesus mengatakan bahwa orangtua yang menyesatkan pikiran anak-anak, maka lebih baik sebuah batu diikatkan pada lehernya, kemudian ditenggelamkan ke dasar laut (Mat. 18:6, Mrk. 9:42, Luk 17:2) misalnya, orangtua mengajarkan anak-anak mencuri, berbuat curang, menipu, balas dendam dan perbuatan jahat lainnya. Orangtua yang salah dalam mendidik anak-anak, maka suatu saat anak-anak menjadi duri dalam daging orangtua sendiri, karena itulah Yesus dengan keras mengatakan orang yang salah dalam mendidik anak lebih baik mati.

d. Perkembangan Jaman (Media) Menjauhkan Anak Dari Tuhan

Manusia jaman sekarang dari anak-anak, remaja, orang dewasa maupun orang lanjut usiatidak dapat dipisahkan dari budaya media. Budaya media sendiri


(50)

merupakan hasil dari proses yang panjang dari jaman oral ke literer, kemudian ke jaman elektronik (Iswarahadi, 2013: 36). Perkembangan media khususnya komunikasi memiliki banyak manfaat, namun penyalahgunaan media dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain, karena orang dapat mengakses informasi dari berbagai sumber dari internet.

Konsili Vatikan II menerbitkan dekrit mengenai upaya-upaya komunikasi sosial atau Inter Mirifica. Gereja melihat bahwa media memiliki dampak positif maupun dampak negatif, tergantung cara memanfaatkannya. Penggunaan media tanpa dibatasi dapat menyita waktu bersama dalam keluarga terhadap pasangan dan anak-anak. Selain itu ketika mengikuti perayaan ekaristi sibuk dengan hand phone, sehingga tidak dapat berdoa dengan sepenuh hati.

Dirumah orangtua tidak bereaksi terhadap apa yang ditampilkan dilayar televisi padahal anak-anak cenderung dipengaruhi oleh pesan-pesan televisi yang mereka terima, tidak semua stasiun televisi menampilkan acara-acara yang bersifat mendidik (Tondowidjojo, 1987: 8-9). Orangtua perlu mengontrol anak-anak dalam menonton acara di televisi di rumah, sehingga nilai-nilai yang ditawarkan oleh media tidak dapat menggoncangkan nilai-nilai tradisional (agama). Kehebatan bahasa televisi dalam menyampaikan pesan-pesan sangat diakui oleh sebab itu orangtua di tantang untuk menggunakan bahasa televisi sebagai bahasa baru dalam mendidik iman (Iswarahadi, 2013: 82). Maka orangtua perlu bersikap kritis pada media dan memanfaatkan media sebagai pewartaan kepada anak-anak, misalnya menonton kartun yang mengisahkan tokoh-tokoh dalam Kitab Suci, masa kecil Yesus, video-video katekese dan sebagainya.


(51)

5. Pendidikan Iman Dalam Keluarga

Keluarga adalah tempat iman dapat bertumbuh dan berkembang, namun suasana atau situasi dalam keluarga dapat membuat iman mengalami kesulitan bertumbuh. Keluarga memiliki peran penting dalam perkembangan dan pendidikan anak. Yanto Raring mengatakan dalam sebuah artikel bahwa pendidikan bagaikan sebuah bangunan dan keluarga menjadi fondasinya (Beku, 2005: 18). Pedoman Pastoral Keluarga (PPK) 31-33 mengatakan beberapa contoh memberikan pendidikan iman kepada anak dalam keluarga, antara lain:

a. Doa Pribadi Dan Doa Bersama

Berdoa berarti berbicara dengan Tuhan dalam keheningan dari hati kehati. Doa dapat dilaksanakan secara pribadi seperti dianjurkan Yesus (Mat. 6:6). Doa bersama dan doa pribadi merupakan salah satu cara konkret memberikan pendidikan iman kepada anak-anak. Yesus sendiri mengatakan bahwa dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka" (Mat. 18:20).

FC 60 mengatakan bahwa “Karena martabat dan perutusannya, maka keluarga katolik mempunyai tanggungjawab yang khas untuk membina anak mereka dalam doa sebab rahmat sakramen pernikahan yang telah diterima menuntut orangtua untuk memperkenalkan kapada anak sejak dini tentang Allah.” Orangtua dalam keluarga perlu membiasakan anak-anak berdoa, baik doa bersama maupun doa pribadi. PPK 35.1 mengatakan bahwa “Orangtua harus memiliki kebiasaan hidup doa yang baik, sehingga anak-anakpada awalnya hanya meniru


(52)

kebiasaan orangtua, namun sesuai dengan tahap perkembangan umur dan pemahamannya anak-anak perlu didorong untuk mengungkapkan isi hatinya secara spontan dalam doa.” Doa bersama dalam keluarga, misalnya doa sebelum dan sesudah makan, doa malam, doa rosario dll.

b. Memperkenalkan Lagu-Lagu Rohani

Buku “Hatiku penuh nyanyian” (2005: 5-6) mengatakan bahwa lagu-lagu rohani merupakan suatu pengajaran, khususnya lagu-lagu yang mengandung ajaran-ajaran Kristiani. Lagu-lagu rohani dapat menjadi sarana pewartaan mengenai Allah dan karya-Nya. Lagu yang tepat dan gerakkan yang pantas dalam perayaan liturgis, membantu pertumbuhan iman anak.

Orangtua mendidik iman anak-anak dengan memperkenalkan lagu-lagu rohani, sehingga anak-anak menghayati iman dengan hati penuh nyanyian, doa, pujian, syukur, tobat. Orangtua dapat memperkenalkan tokoh-tokoh dalam Kitab Suci melalui nyanyian, misalnya Bapa Abraham, Nabi Nuh, Yunus diperut ikan, Dua belas Rasul dan sebagainya. Orang tua membantu anak-anak mengingat nasehat dengan menggunakan lagu-lagu, misalnya hati-hati gunakan tanganmu, cintailah sesama, dalam Yesus kita bersaudara, didalam dunia ada dua jalan dan sebagainya. Pada saat orangtua mengajarkan anak-anakmenyanyikan lagu-lagu rohani, maka orangtua secara tidak langsung telah berkatekese.

c. Ambil Bagian Dalam Perayaan Liturgi

Anak perlu sejak dini ikut ambil bagian dalam perayaan liturgi, terutama dalam perayaan ekaristi, agar anak-anaksemakin mengenal dan mencintai Tuhan.


(53)

Orangtua perlu memperkenalkan Kitab Suci kepada anak, sehingga anak-anak semakin mengenal Yesus melalui sabda dan karya dengan menjadikan Yesus Kristus sebagai fokus utama dari semua pelajaran rohani bagi anak-anak. (Pudjiono, 2007: 8). Ketika anak belum dapat menghayati makna perayaan yang diikutinya,namun menjadi pembiasaan anak untuk terlibat aktif dalam kegiatan hidup menggereja. Keluarga katolik diharapkan ikut serta dalam perayaan Ekaristi Suci, khususnya pada hari Minggu dan Hari Raya dalam gereja Katolik dan bila memungkinkan dapat melaksanakan ibadat harian bersama di rumah (FC 61).

d. Membaca Dan Merenungkan Kitab Suci

PPK 35.3 mengatakan bahwa “Kitab Suci memuat kekayaan iman yang sangat baik dan efektif untuk mengembangkan iman anak-anak.” Orangtua katolik perlu membacakan Kitab Suci kepada anak-anak, sehinggaanak-anak menemukan dasar iman yaitu dan semakin mengenal Allah yang menyelamatkan manusia dalam diri Yesus Kristus. Dalam Kitab Suci terdapat dasar iman yaitu ajaran-ajaran Tuhan Yesus.

Rasul Paulus mengatakan kepada jemaat di Roma “Iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.” Maka kewajiban orangtua untuk mewartakan Kristus kepada anak-anak, dengan menceritakan kisah-kisah dalam kitab suci menggunakan bahasa anak-anak, sehingga anak-anak semakin tertarik mendengarkannya. Keluarga menerima tugas perutusan dari Allah menjadi sel pertama dan sangat penting bagi masyarakat, karena keluarga merupakan pewarta iman dan pendidik yang pertama (AA 11).


(54)

e. Aktif Dalam Pembinaan Iman

PPK 35.4 mengatakan bahwa “Orangtua dapat mendorong anak untuk terlibat aktif dalam kegiatan pembinaan iman sebagai usaha untuk memberikan pendidikan iman dan menumbuhkan sikap menggereja dalam diri anak.” Hal itu bisa dilakukan dengan mengajak untuk bergabung di Sekolah Minggu, Sekami, PIA, PIR. Dengan demikian anak terbantu untuk memperkembangkan iman dan dilatih untuk menghayati kebersamaan sebagai Gereja.

f. Ikut Ambil Bagian Dalam Rekoleksi, Retret Dan Ziarah

PPK 35.5 mengatakan bahwa “Rekoleksi, retret, ziarah dan lain sebagainya merupakan salah satu metode yang dikembangkan dalam Gereja dan menghasilkan buah-buah yang baik, agar orang terbantu menghayati imannya, oleh karena itu Gereja megharapkan agar orangtua memberikan dorongan dan dukungan pada anak-anaknya untuk ikut ambil bagian dalam kegiatan tersebut.”

6. Penerapan Pendidikan Iman Berdasarkan Tahap Perkembangan Iman

Sebelum kelahiran, orangtua telah mempersiapkan berbagai macam keperluan lahiriah bayi, namun kurang mempersiapkan keperluan rohani. Orangtua tidak memberikan pendidikan iman kepada anaknya sejak awal bukan karena tidak mau melainkan karena kurang mengetahui cara yang tepat dalam mewariskan iman kepada anak-anak (Pudjiono, 2007: 4). Tahap perkembangan


(55)

iman anak sesuai dengan perkembangan usianya,sehinggamembantu orangtua dalam memberikan pendidikan iman kepada anak-anaknya di dalam kehidupan sehari-hari. Tahap-tahap perkembangan iman anak sesuai usianya sebagai berikut: a. Awal-Elementer

Tahapan ini disebut tahapan primal, karena benih iman dalam diri anak terbentuk melalui rasa percaya terhadap orang yang merawat dan membesarkannya. Anak memiliki rasa percaya pada orang-orang yang mengasuhnya, sehingga menumbuhkan suatu keyakinan dalam dirinya bahwa ia begitu dicintai dan sangat dihargai. Orangtua dapat menumbuhkan iman pada anaknya, misalnya membelai penuh kasih sayang, mencium, menggendong, merangkul, mengajaknya berbicara saat menyuapi atau mengganti pakaian, menjaga dan merawatnya, karena mata si anak bertatapan dengan sang ibu dan menatap orang-orang yang merawatnya.

b. Intuitif-Proyektif

Dalam tahapan intuitif proyektif, daya imajinasi dan dunia gambaran anak sangat berkembang. Pada tahapan ini, figur orangtua yang baik sangat penting bagi perkembangan iman anak, karena anak membayangkan atau menggambarkan sosok Allah seperti tokoh-tokoh disekitarnya terutama bapa, ibu, guru agama dll. Dalam mendidik anak, orangtua tidak perlu menyampaikan pengajaran dengan nasehat atau kata-kata saja,melainkan mendidik anak dengan menjadi figur atau teladan bagi anak, sehingga anak dapat melihat dan meneladani yang dilakukan.

Iman anak tahap ini diwarnai oleh rasa takut pada orang dewasa, namun anak tetap aktif bertanya karena pikirannya dipengaruhi oleh suasana hati, simbol


(56)

dan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh orang dewasa. Oleh karena itu, pada tahap intuitif proyektif, orangtua dapat mengajarkan anak-anak dengan menperkenal simbol-simbol, misalnya Salib, patung Bunda Maria, Rosario, Kitab Suci, sikap berdoa (menutup mata dan tangan terkatup), membuat tanda salib, mengajak bernyanyi lagu-lagu rohani dan sebagainya.

c. Mistis-Literal

Pada tahapan mistis literal, peran kelompok atau intuisi kemasyarakatan berperan penting dalam perkembangan iman anak. Maka pengajaran paling mengena ketika disampaikan dalam bentuk kisah-kisah. Orangtua atau pendidik lainnya dapat mengisahkan tokoh-tokoh dalam Kitab Suci, para martir dan orang kudus dalam gereja katolik, ataupun mengajak anak menonton kartun mengisahkan tokoh-tokoh dalam Kitab Suci.

C.Pendidikan Moral

Moral berasal dari bahasa Latin “mos” (mores) yang berarti kebiasaan, adat istiadat, tata cara kehidupan. Magnis Suseno (1987: 18-19) mengatakan bahwa “Moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia, karena bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikannya sebagai manusia”. Pendidikan moral adalah upaya membawa orang


(57)

hidup dan berperilaku dengan baik. Hal tersebut juga disinggung dalam Kitab Perjanjian Lama yang berbunyi: Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya ia tidak akan menyimpang dari jalan itu” (Ams. 22:6). Gereja menyadari tugasnya mengusahakan pendidikan moral dan keagamaan bagi anak-anak dalam keluarga katolik. Oleh karena itu, Gereja hadir dengan kasih keprihatinan serta bantuannya yang istimewa bagi anak-anak yang dididik dalam sekolah non-katolik sesuai dengan prinsip moral yang dianut oleh keluarganya (GE 7).

KHK 1983 kanon 795 membicarakan mengenai pembinaan moral bagi anak dan kaum muda isinya:

“Karena pendidikan yang sejati harus meliputi pembentukan pribadi manusia seutuhnya yang harus memperhatikan tujuan akhir dari manusia dan sekaligus pula kesejahteraan umum dari masyarakat, maka anak-anak dan kaum muda hendaknya dibina sedemikian sehingga dapat mengembangkan bakat-bakat, fisik, moral, intelektual mereka secara harmonis agar mereka memperoleh rasa tanggungjawab yang lebih sempurna dan dapat menggunakan kebebasan mereka dengan benar dan terbina pula untuk berperan serta secara aktif dalam kehidupan sosial”. Moral terbagi dua yakni segi batiniah dan segi lahiriah. Oleh karena itu, orang dapat dikatakan sebagai orang baik, apabila memiliki sikap batin yang baik dan melakukan perbuatan lahiriah yang baik pula. Dengan demikian moral dapat diukur dengan tepat jika memperhatikan kedua segi tersebut (Hadiwardoyo, 1990: 113). Namun orang cenderung hanya melihat perbuatan lahiriah.

1. Makna Pendidikan Moral

Moral selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia. Norma hukum tidak sama dengan norma moral. Norma hukum ialah norma yang


(58)

tidak dibiarkan dilanggar. Orang yang melanggar pasti dikenakan hukuman sebagai sanksi. Bisa saja orang melanggar hukum karena mendengarkan suara hati dan karena kesadaran moral sebab hukum tidak dipakai untuk mengukur baik buruknya seseorang sebagai manusia melainkan untuk menjamin ketertiban dalam masyarakat (Magnis-Suseno, 1987:19). Maka orantua perlu mengajarkan nilai-nilai moral yang baik kepada anak-anak, sehingga anak-anak bisa memahami dan menerapkannya.

2. Tahap-Tahap Perkembangan Moral Menurut L. Kohlberg

Orangtua perlu mengetahui tahap-tahap perkembangan moral anak, karena bimbingan atau pendidikan diberikan sesuai dengan tingkat usia masing-masing anak. Tahap-tahap perkembangan moral sesuai dengan usia anak dapat membantu orangtua dalam memberikan pendidikan moral kepada anaknya.

Lawrence Kohlberg seorang Amerika sebagai professor pendidikan dan psikologi sosial di Universitas Harvard. Di tempat itu ia mengadakan suatu penelitian dan memimpin banyak penelitian di bidang perkembangan moral. Ronald Duska dan Mariellen Whelan menceritakan dalam bukunya yang berjudul perkembangan moral bahwa Kohlberg melakukan penelitian pada 50 pria Amerika yang berumur 10-28 tahun selama 18 tahun dengan mewawancarai mereka setiap 3 tahun. Ia mengidentifikasikan adanya 6 sikap perkembangan yang pada umumnya dapat dibedakan secara tegas yang disebut orientasi atau perspektif. 6 orientasi itu menjadi dasar dari setiap tahap perkembangan moral (Duska dan Whelan, 1982: 56).


(59)

Kohlberg dalam penelitiannya menggunakan sekumpulan cerita ilustrasi, yang membawa orang pada suatu dilema moral, salah satunya adalah cerita ilustrasi yang dikenal sebagai dilemma Heinz, sebagai berikut:

“ Di Eropa, ada seorang wanita yang mendekati ajalnya, karena mengidap penyakit sejenis kanker. Para dokter berpendapat bahwa hanya ada satu macam obat yang mungkin dapat menyembuhkan penyakit tersebut. obat itu sejenis radium hasil temuan seorang apoteker. Namun biaya pembuatan obat tersebut sangat mahal sehingga sang apoteker melipatkan harga obat tersebut sepuluh kali lipat dari biaya pembuatannya. Untuk membuat obat tersebut sang apoteker mengeluarkan $200 dan untuk satu dosis kecil obat tersebut dijual seharga $2,000. Sedangkan Heinz pergi ke semua kenalannya untuk meminjam uang tetapi yang ia peroleh hanya $1,000 separuh dari harga obat yang ingin dibeli. Heinz mengatakan kepada sang apoteker bahwa istrinya hampir meninggal dan membutuhkan obat itu. Ia meminta agar sang apoteker menjualnya lebih murah atau kalau boleh membayar kekurangannya dikemudian hari. Namun sang apoteker mengatakan “ jangan begitu, saya sudah menemukan obat itu dan saya ingin mendapatkan keuntungan dari hasil penemuan saya itu.” Heinz menjadi putus harapan, dan kemudian menggedor toko orang itu dan mencuri obat tersebut untuk istrinya”. (Duska dan Whelan,1987:58). Kohlberg menemukan dari jawaban responden sebagai tahap-tahap perkembangan moral. Tahap perkembangan moral anak ada tiga tingkat dan dengan dua tahap setiap tingkatan sebagai berikut:

a. Tingkat Pra-Konvensional

Pada tingkat pra-konvensional, anak sangat peka terhadap berbagai peraturan berlatarbelakang budaya dan penilaian baik-buruk, benar-salah, namun mengartikannya dari sudut akibat-akibat fisik suatu tindakan yang dilakukan (Duska dan Whelan, 1982: 60). Pada tingkat ini, terjadi pada anak-anak berusia empat sampai sepuluh tahun. Kecenderungan utama anak dalam berinteraksi


(60)

dengan orang lain adalah menghindari hukuman atau mencapai maksimalisasi kenikmatan (hedonistis). Dalam tingkat pra- konvensional ini dibagi menjadi dua tahap yaitu:

(1) Tahap Satu: Hukuman dan ketaatan

Orientasi pada hukuman dan rasa hormat yang tak dipersoalkan terhadap kekuasan yang lebih tinggi sedangkan nilai manusiawi tidak diperhatikan. Akibat fisik tindakan, terlepas arti atau nilai manusiawinya, menentukan sifat baik dan sifat buruk dari tindakan (Kohlberg, 1995: 81), misalnya ketika anak berusaha keras belajar bukan karena ingin menambah ilmu, namun semata-mata supaya mendapat nilai yang tinggi, sehingga mendapat pujian atau apresiasi dari orangtua dan orang sekitarnya. Anak menaati suatu peraturan bukan didasarkan hormat, melainkan menghindari suatu hukuman, misalnya anak tidak pulang sampai larut malam bukan karena mengetahui itu kurang baik, melainkan ketika pulang ia tidak mendapatkan hukuman dari ayahnya maupun ibunya.

(2) Tahap Dua : Relativisme-Instrumental

Perbuatan yang benar adalah perbuatan yang secara instrumental memuas- kan kebutuhan individu sendiri dan kadang-kadang memperalat orang lain. Hubungan antar manusia dipandang seperti hubungan di tempat umum atau hubungan dagang. Terdapat unsur-unsur kewajaran, timbal-balik, dan persamaan


(61)

pembagian, akan tetapi semuanya itu selalu ditafsirkan secara fisis pragmatis. Kohlberg memberikan contoh: ketika kamu menggaruk punggungku, maka aku melakukan hal yang sama (Duska dan Whelan, 1982: 60).

Pada tahap ini, anak melakukan sesuatu agar mendapatkan yang sama, ada unsur balas budi. Kohlberg memberikan contoh lain: seorang siswa mempunyai sebuah pekerjaan rumah dari gurunya, dia meminta kakak membantunya dan apabila kakak membantu, dia akan membantu kakaknya membersihkan pekerjaan rumah.

b. Tingkat Konvensional

Pada tingkat ini, memenuhi harapan-harapan keluarga, kelompok atau bangsa dianggap sebagai sesuatu yang berharga pada dirinya sendiri, tanpa mengindahkan akibat yang segera dan nyata, karena ketika menyimpang dari harapan kelompok, maka akan terisolasi. Ia berusaha menyesuaikan diri dengan tatanan sosial untuk mempertahankan, mendukung dan membenarkan tatanan sosial itu. Maka pada tingkat konvensional perasaan yang lebih dominan adalah rasa takut dan malu (Duska dan Whelan,1982:60).

(3) Tahap Tiga: Kesepakatan Antara Pribadi Atau Orientasi Anak Manis

Kohlberg mengatakan bahwa perilaku yang baik adalah perilaku yang dapat menyenangkan atau membantu orang lain, dan yang disetujui oleh mereka. Anak berusaha bersikap baik atau manis, agar dapat diterima dalam kelompok dan lingkungan ia tinggal, misalnya: seorang anak terlibat aktif dalam kerja bakti di


(62)

desanya, dengan maksud agar warga di desanya memiliki pandangan baik tentang dirinya dengan kata lain anak mencari persetujuan dengan berprilaku baik (Kholberg, 1995:81).

(4) Tahap Empat: Hukuman Dan Ketertiban

Pada tahap ini, orientasi terhadap otoritas, peraturan yang pasti dan pemeliharaan tata aturan sosial. Perbuatan yang benar adalah menjalankan tugas, memperlihatkan rasa hormat terhadap otoritas, dan pemeliharaan tata aturan sosial tertentu demi tata aturan itu sendiri. Orang mendapatkan rasa hormat dengan berperilaku menurut kewajibannya, misalnya seorang siswa mematuhi tata tertib disekolah dengan memakai seragam lengkap dalam upacara bendera, demi mematuhi aturan dan menghindari hukuman karena pelanggaran (Kholberg, 1995:82).

c. Tingkat Pasca-Konvensional

Pada tingkat pasca-konvensional, orang bertindak sebagai subyek hukum dengan mengatasi hukum yang ada. Pada tahap ini, orang mulai menyadari bahwa hukum merupakan kontrak sosial demi ketertiban dan kesejahteraan. Maka ketika hukum tidak sesuai dengan martabat manusia, maka hukum dapat dirumuskan kembali. Perasaan cenderung pada rasa bersalah, sehingga ukuran yang dipakai untuk suatu keputusan moral adalah mendengarkan suara hati atau hati nurani (Budiningsih, 2008: 30). Pada tingkat pasca-konvensional ini dibagi kedalam dua tahap yaitu:


(63)

(5) Tahap Lima: Kontrak Sosial Legalistis

Suatu orientasi kontrak sosial, umumnya bernada dasar legalistis dan utilitarian. Perbuatan benar cenderung didefinisikan dari segi hak-hak bersama dan ukuran-ukuran yang telah diuji secara kritis dan disepakati oleh seluruh masyarakat, terdapat kesadaran yang jelas mengenai relativisme nilai-nilai dan pendapat-pendapat pribadi serta suatu tekanan pada prosedur yang sesuai untuk mencapai kesepakatan (Kohlberg, 1995: 82). Maka jika hukum menghalangi kemanusiaan, maka hukum dapat diubah (Budiningsih, 2008: 31).

(6) Tahap Enam: Prinsip Etika Universal

Pada tahap terakhir ini, orientasi terletak pada keputusan suara hati dan pada prinsip-prinsip etis yang dipilih sendiri, yang mengacu pada pemaham logis, menyeluruh, universalitas dan konsistensi. Prinsip-prinsip ini bersifat abstrak dan etis. Prinsip-prinsip itu adalah prinsip-prinsip universal mengenai keadilan, timbal-balik, dan persamaan hak asasi manusia, serta rasa hormat terhadap martabat manusia sebagai person individual (Kholberg, 1995:82).

Budiningsih (2008: 31) mengatakan bahwa ”Prinsip moral pada tahap ini sangat abstrak, misalnya soal perintah Yesus tentang mencintai sesama manusia seperti kita mencintai diri sendiri”. Kohlberg menceritakan dalamdilema Heinz: seorang suami tidak mempunyai uang, dia mencuri untuk membeli obat demi keselamatan nyawa istrinya dengan keyakinan menyelematkan kehidupan seseorang merupakan kewajiban moral yang lebih tinggi dari pada mencuri (Duska dan Whelan, 1982: 58).


(64)

3. Bentuk-Bentuk Pendidikan Moral

Orangtua melaksanakan pendidikan moral dengan melatih kepekaan anak terhadap suara hati dan bertindak berdasarkan suara hati. PPK 36 menjelaskan bahwa “Pendidikan moral mencakup suara hati, kebebasan, tanggung jawab dan norma-norma moral.” Dapiyanta (2013: 1-36) juga dalam buku teologi moral katolik menuliskan mengenai suara hati, kehendak bebas dan tanggung jawab. PPK 36. 2 mengatakan kebebasan kehendak adalah prasyarat perbuatan moral. Bentuk-bentuk pendidikan moral meliputi:

a. Suara hati

Suara hati adalah inti manusia yang paling rahasia, sanggar sucinya, dimana seseorang hanya seorang diri bersama dengan Allah sehingga Allah dapat menggemakan sapaan-Nya dalam batin manusia (GE 16). PPK 36.1 mengatakan bahwa ”Suara hati sering disebut juga hati nurani adalah sanggar suci manusia, tempat Allah bersemayam dalam hati manusia dan menjadi penuntun perilaku karena suara hati mrnuntun orang pada kebenaran.” Maka hati nurani dikenal sebagai mata hati.

Perjumpaan manusia dengan Allah dalam hati nurani merupakan peristiwa yang penuh misteri, karena hanya Allah sendiri yang lebih mengenal hati manusia. Oleh karena itu, perbuatan yang sifatnya melawan suara hati adalah dosa (Kieser, 1987: 112). Magnis Seseno (1987: 53) mengatakan bahwa “ Suara hati adalah kesadaran moral dalam situasi konkret”.Norma-norma dalam kehidupan diperoleh melalui orangtua, guru, tetangga, teman dan masyarakat,agar dapat memahami dan berbuat kebaikan. Suara hati senantiasa mendorong untuk melakukan


(65)

kebaikan, namun suara hati dapat tumpul, ketika manusia melalaikan bisikan suara hati.

1) Fungsi Suara Hati

Pada saat mengambil keputusan, membutuhkan pertimbangan, baik pikiran maupun hati. Suara hati adalah inti dari kepribadian manusia dalam membedakan baik dan buruk, serta mendorong kearah kebaikan. Suara hati muncul pada saat akan melakukan suatu tindakan, baik perbuatan baik maupun buruk. Pada saat melakukan perbuatan salah atau dosa, suara hati terus terusik dan hati merasa tidaktenang dan tidak damai. Sebaliknya pada saat melakukan perbuatan baik atau benar, hati merasa tenang, damai dan bahagia.

Ketika mengabaikan bisikan suara hati, menyebabkan manusia jatuh pada konkupisensi (kecenderungan jatuh dalam dosa). Maka perlu pembinaan suara hati.

2) Pembinaan suara hati

Pembinaan suara hati tidak sama dengan penyadaran akan norma.Pembinaan suara hati menuntut orang untuk semakin sadar pada kondisi individual dari hidupnya, pandangan nilai-nilai yang telah diinternalisasikan, kepentingan pribadi dan kelompok yang mengarahkan pengertian akan kondisi sosial yang membatasi pertimbangan dan keputusan (Kieser,1987:140). Pembinaan suara hati bagi orang beriman pertama-tama ditekankan ialah


(1)

(18) Lampiran 5: Rekap Hasil Kuisioner Penelitian


(2)

(3)

(20)


(4)

(5)

(22)


(6)