Uji toksikologi dibagi menjadi dua, yaitu uji ketoksikan tak khas dan uji ketoksikan khas.
1. Uji ketoksikan tak khas
Uji ketoksikan tak khas merupakan uji toksikologi yang dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan efek toksik suatu senyawa pada aneka ragam jenis
hewan uji. Uji ketoksikan tak khas terdiri dari tiga, yaitu uji ketoksikan akut, subkronis subakut, dan kronis Donatus, 2001.
a. Uji ketoksikan akut. Uji toksisitas akut, yaitu uji yang dirancang
untuk menentukan efek toksik suatu senyawa yang terjadi dalam waktu yang singkat setelah pemejanan atau pemberian dalam jumlah tertentu.
Biasanya pengamatan dilakukan selama kurang dari 24 jam. Data kuantitatif yang diperoleh adalah nilai LD
50
sedangkan data kualitatif berupa penampakan klinis gejala dan morfologis efek toksik senyawa
uji Klaassen, 2001. b.
Uji ketoksikan subakut subkronis. Uji toksisitas subakut adalah uji ketoksikan suatu senyawa yang diberikan dengan dosis berulang pada
hewan uji tertentu selama kurang dari tiga bulan. Uji ini ditujukan untuk mengungkapkan spektrum efek toksik senyawa uji dan untuk
memperlihatkan apakah spektrum efek toksik tersebut berkaitan dengan takaran dosis. Hasil uji memberikan informasi tentang efek toksik utama
senyawa uji dan organ-organ yang dipengaruhi, efek toksik lambat yang tidak diamati pada uji ketoksikan akut, kekerabatan antara dosis dan efek
toksik, dan reversibilitas Donatus, 2001.
c. Uji ketoksikan kronis. Uji ketoksikan kronis merupakan uji
ketoksikan suatu senyawa yang diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji selama lebih dari tiga bulan selama sebagian besar masa hidup
hewan uji Klaassen, 2001.
2. Uji ketoksikan khas
Uji ketoksikan khas merupakan uji toksikologi yang dirancang untuk mengevaluasi secara rinci efek toksik yang khas dari suatu senyawa pada semua
hewan uji. Uji ketoksikan khas meliputi uji potensiasi, uji kekarsinogenetikan, uji kemutagenetikan, uji keteratogenetikan, reproduksi, kulit dan mata, dan perilaku
Donatus, 2001. Berdasarkan atas alur peristiwa timbulnya efek toksik maka terdapat
empat asas utama yang perlu dipahami dalam mempelajari toksikologi. Empat asas tersebut, yaitu:
a. Kondisi efek toksik. Kondisi efek toksik adalah keadaan atau
faktor yang mempengaruhi keefektifan absorpsi, distribusi, dan eliminasi zat beracun didalam tubuh sehingga menentukan keberadaan kadar dan
lama tinggal senyawa atau metabolitnya ditempat aksi dan keefektifan antar aksinya mekanisme aksi. Keadaan ini bergantung pada kondisi
pemejanan dan kondisi makhluk hidup Priyanto, 2009. b.
Mekanisme efek toksik. Mekanisme zat beracun dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu mekanisme berdasarkan sifat dan tempat kejadian,
berdasarkan sifat antaraksi antara racun dan tempat aksinya dan
berdasarkan risiko penumpukan racun dalam tubuh. Mekanisme aksi berdasarkan sifat dan tempat kejadian dibedakan menjadi mekanisme
luka intrasel dan mekanisme luka ekstrasel. Mekanisme luka intrasel merupakan luka sel yang diawali oleh aksi racun pada tempat aksinya di
dalam sel sasaran. Mekanisme luka intrasel disebut juga mekanisme langsung atau primer, sedangkan mekanisme luka ekstrasel terjadi secara
tidak langsung atau sekunder, dimana tempat kejadian awalnya di lingkungan ekstrasel. Mekanisme aksi berdasarkan sifat antaraksi
digolongkan menjadi dua, yaitu aksi toksik yang didasarkan atas antaraksi yang terbalikkan dan yang tak terbalikkan antara racun dan
tempat aksinya. Antaraksi yang terbalikkan artinya bila kadar racun yang ada di dalam reseptor habis, maka reseptor akan kembali pada kedudukan
semula normal, sehingga efek toksik yang ditimbulkan oleh racun akan hilang bila pemejanan dihentikan. Antaraksi tak terbalikkan
memungkinkan penumpukan efek. Artinya kerusakan yang terjadi sifatnya sama sehingga akan terjadi penumpukan efek toksik, maka
pemejanan dengan takaran yang sangat kecil dalam jangka yang panjang akan menimbulkan efek toksik yang seefektif dengan yang ditimbulkan
oleh pemejanan racun dengan takaran besar dalam jangka waktu yang pendek. Mekanisme aksi berdasarkan penumpukan senyawa-senyawa
yang sangat lipofil dan sulit dimetabolisme di dalam tubuh akan cenderung untuk disimpan di dalam gudang penyimpanan kompartemen
lemak dalam keadaan tidak aktif sehingga relatif tidak membahayakan.
Namun secara perlahan senyawa racun tersebut akan terlepas menuju ke sirkulasi darah dan akan meningkatkan kadar senyawa yang ada di dalam
cairan tubuh. Apabila kadar senyawa dalam darah melebihi kadar toksik minimum KTM maka dapat menimbulkan efek toksik yang tidak
diinginkan Donatus, 2001. c.
Wujud efek toksik. Wujud efek toksik merupakan hasil akhir dari aksi dan respon toksik. Respon toksik merupakan proses dimana sel,
jaringan, atau organ menanggapi adanya luka dalam komponen tubuh. Wujud efek toksik terdiri dari perubahan biokimia, perubahan fisiologi
fungsional dan perubahan struktural. Respon yang terjadi merupakan hasil akhir dari perubahan biokimia, yaitu perubahan kadar SGPT dan
SGOT darah terhadap luka sel akibat antaraksi racun dan tempat aksinya, yang termasuk wujud efek toksik jenis ini diantaranya penghambatan
respirasi seluler, perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit, dan gangguan pasok energi. Perubahan biokimia berupa perubahan kadar
SGPT dan SGOT ini bersifat terbalikkan. Respon yang lain dilihat dari perubahan fisiologi fungsional yang berkaitan dengan antaraksi racun
dengan reseptor sehingga dapat mempengaruhi fungsi homeostasis. Perubahan ini bersifat terbalikkan, yang termasuk wujud efek toksik jenis
ini diantaranya anoksia, gangguan pernafasan, perubahan kontraksi dan relaksasi otot, gangguan sistem saraf pusat. Wujud efek toksik yang
ketiga adalah perubahan struktural, yang biasanya sudah diawali oleh perubahan biokimia dan perubahan fungsional, yang masuk dalam wujud
efek toksik ini, yaitu nekrosis, perlemakan, karsinogenesis dan teratogenesis Donatus, 2001.
d. Sifat efek toksik. Sifat efek toksik terdiri dari sifat terbalikkan
reversibilitas dan sifat tak terbalikkan irreversibilitas. Dikatakan sifat efek toksik yang terbalikkan jika kerusakan dapat kembali seperti
keadaan normal. Keterbalikkan ini bergantung pada berbagai faktor, yaitu tingkat paparan waktu dan jumlah racun dan kemampuan jaringan
yang terkena untuk memperbaiki diri. Dikatakan mengalami sifat tak terbalikkan jika efek toksik yang terjadi tidak dapat kembali seperti
keadaan normal Donatus, 2001. Sifat efek toksik yang tak terbalikkan adalah apabila kerusakan yang terjadi sifatnya menetap, pemejanan
berikutnya akan menimbulkan kerusakan yang sifatnya sama sehingga menimbulkan terjadinya penumpukan efek toksik sehingga efek yang
ditimbulkan antara pemejanan dengan takaran kecil jangka panjang sebanding dengan pemejanan dosis besar jangka pendek. Zat atau racun
yang dapat menimbulkan efek toksik tak terbalikkan adalah zat racun yang terakumulasi atau sangat sulit di eliminasi Priyanto, 2009.
C. Toksisitas Subakut