Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

Bab I membahas tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan definisi operasional.

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan Negara UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003. Untuk mewujudkan tujuan pendidikan, dibutuhkan guru atau pengajar yang berkualitas, sehingga diharapkan menghasilkan siswa yang berkualitas pula. Salah satu cara mencapai tujuan tersebut, terutama untuk mengembangkan keterampilan siswa dapat dilatih melalui mata pelajaran IPA. IPA merupakan salah satu mata pelajaran yang sudah diajarkan dari tingkat Sekolah Dasar. James dalam Samatowa 2011: 1 mengatakan bahwa IPA atau sains adalah suatu deretan konsep serta skema konseptual yang berhubungan satu sama lain, dan yang tumbuh sebagai hasil eksperimentasi dan observasi, serta berguna untuk diamati dan dieksperimentasi lebih lanjut. Melalui pelajaran IPA siswa dilatih untuk berpikir tingkat tinggi, dengan berbagai metode ilmiah dan sikap ilmiah yang diajarkan, dimana semuanya itu sangat berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Namun, sangat disayangkan prestasi Indonesia di bidang Sains cenderung menurun. Hal itu terlihat dari hasil Trends in Mathematics and Science Study TIMSS pada tahun 2011. Penilaian yang dilakukan International Association for the Evaluation of Educational Achievement Study Center Boston College ini diikuti 600.000 siswa dari 63 negara. Dalam bidang Sains, Indonesia berada di urutan ke-40 dari 42 negara sumber: surat kabar Kompas, tanggal 14 Desember 2012. Hal tersebut menunjukkan rendahnya prestasi belajar siswa di bidang IPA. Selain itu, dari penelitian yang dilakukan oleh Wardani 2014, menunjukkan bahwa dari 34 butir soal, 85 butir soal konsep dijawab salah dan hanya 15 butir soal konsep dijawab benar. Miskonsepsi adalah salah konsep atau kesalahan anak dalam mempelajari suatu konsep. Miskonsepsi banyak dialami oleh siswa, mulai dari siswa Sekolah Dasar SD sampai dengan tingkat Perguruan Tinggi. Miskonsepsi dapat disebabkan oleh banyak hal, mulai dari siswa itu sendiri, guru, buku teks, konteks, dan cara mengajar. Penyebab dari siswa dapat disebabkan oleh banyak hal yaitu: prakonsepsi, pemikiran assosiatif, pemikiran humanistik, reasoning yang tidak lengkapsalah, intuisi yang salah, tahap perkembangan kognitif siswa, kemampuan siswa, dan minat belajar siswa Suparno, 2005:29. Begitu juga untuk penyebab yang lain, dimana dalam suatu penyebab tersebut masih ada penyebab khusus yang membuat siswa mengalami miskonsepsi. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Peneliti memilih meneliti siswa kelas V SD untuk mencari tahu ada tidaknya miskonsepsi yang dialami oleh siswa. Siswa kelas V SD dipilih karena siswa kelas V berada pada tahap operasional konkret yaitu pada umur 7-11 tahun. Menurut Piaget, pada tahap ini anak sudah dapat membentuk operasi-operasi mental atas pengetahuan yang mereka miliki Yusuf, 2009: 7. Mereka dapat menambah, mengurangi, dan mengubah sehingga memungkinkannya untuk dapat memecahkan masalah secara logis. Miskonsepsi dialami oleh siswa kelas V SD, hal itu dilihat berdasarkan hasil wawancara dengan dua orang guru SD Negeri di Kecamatan Depok. Wawancara pertama dilakukan dengan Ibu Kanthy Lestari guru kelas V di SD Negeri Nanggulan pada tanggal 14 Juli 2015, jam 10.42 WIB. Beliau mengatakan bahwa siswa masih banyak yang mengalami miskonsepsisalah konsep pada beberapa materi. Miskonsepsi yang dialami siswa tersebut menyebabkan prestasi belajar IPAnya rendah. Dari KKM yang ditentukan oleh sekolah untuk mata pelajaran IPA yaitu 75, hanya sebesar 61,5 saja yang memenuhi KKM atau dari 26 siswa hanya 16 siswa yang memenuhi KKM. Sementara itu, beliau mengatakan konsep yang rentan mengalami miskonsepsi adalah konsep tentang cahaya dan cermin. Pada tanggal 2 Juli 2015 jam 08.55 WIB, peneliti melakukan wawancara dengan Ibu Resti, guru kelas V di SD Negeri Karangwuni. Menurut beliau, dari 9 siswa hanya 4 siswa atau hanya 44,4 yang mencapai KKM saat ulangan harian IPA untuk materi pesawat sederhana. KKM yang ditentukan adalah 70. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Berdasarkan wawancara dengan dua orang guru SD Negeri di Kecamatan Depok, dapat disimpulkan bahwa masih banyak siswa SD kelas V yang mengalami miskonsepsi. Hal itu terlihat dari rendahnya prestasi belajar IPA dan penguasaan konsep IPA yang kurang baik. Rata-rata nilai IPA siswa kelas V dari data yang diperoleh adalah 67. Terjadinya miskonsepsi juga diperkuat melalui hasil wawancara dengan beberapa siswa kelas V SD. Mereka mengatakan bahwa mereka masih belum memahami beberapa materi yang diajarkan. Materi yang paling sulit dan susah untuk dipahami adalah materi tentang cahaya dan cermin. Sifat-sifat cahaya, cermin dan penerapannya sering kali membuat siswa bingung dan susah dipahami, meskipun sudah dijelaskan oleh guru. Miskonsepsi yang terjadi sebenarnya dapat dideteksi atau diidentifikasi. Dengan mengetahui miskonsepsi apa saja yang dialami oleh siswa dan penyebab terjadinya miskonsepsi tersebut, maka dapat dengan lebih mudah dalam membantu menangani miskonsepsi. Cara yang dapat digunakan untuk mendeteksi miskonsepsi adalah dengan peta konsep, tes multiple choice dengan reasoning terbuka, tes esai tertulis, wawancara diagnosis, diskusi dalam kelas, dan praktikum dengan tanya jawab Suparno, 2005: 121. Berdasarkan hal di atas, miskonsepsi merupakan hal yang harus segera diatasi. Miskonsepsi selain dapat menyebabkan rendahnya prestasi belajar siswa juga dapat menjadi kesalahan yang fatal, yaitu salah konsep sejak kecil dan akan berlanjut sampai ia dewasa jika tidak segera diatasidibenarkan. Hal tersebut menjadi hal yang sangat penting bagi guru SD, karena mereka yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI mengajarkan konsep dari tingkat pendidikan paling rendah yaitu tingkat SD. Oleh karena itu, guru sebaiknya harus memahami konsep yang benar, sehingga ia tidak salah konsep dalam mengajarkan ke siswa dan tidak menyebabkan terjadinya miskonsepsi. Untuk mengatasi miskonsepsi bukan merupakan hal yang mudah. Sebelumnya harus diketahui penyebab siswa mengalami miskonsepsi. Dengan demikian, dapat ditemukan cara yang cocok untuk membantu siswa mengatasi miskonsepsi yang dialaminya. Miskonsepsi terjadi di semua jenjang pendidikan dan dapat terjadi di mana-mana Suparno, 2005: 135. Miskonsepsi yang terjadi dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai dan kemampuan yang akan dikembangkan Ihsan, 2001: 22. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, ilmu pengetahuan yang dimilikinya pastinya akan semakin bertambah Wulandari, 2014:21. Namun tingginya tingkat pendidikan orang tua siswa, tidak sepenuhnya menjamin siswa tersebut tidak akan mengalami miskonsepsi. Miskonsepsi yang terjadi dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu siswa, guru, buku teks, konteks, dan metode mengajar Suparno, 2005: 29. Bisa saja meskipun tingkat pendidikan orang tua tinggi, tetapi kemampuan dan minat anak dalam belajar kurang, maka hal itu dapat menyebabkan terjadinya miskonsepsi. Pada penelitian ini, peneliti akan meneliti tentang miskonsepsi IPA Fisika pada siswa kelas V SD di Kecamatan Depok. Tujuannya adalah untuk mengetahui ada tidaknya miskonsepsi yang dialami siswa kelas V SD di Kecamatan Depok dan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan miskonsepsi dilihat dari tingkat pendidikan orang tua siswa kelas V SD di Kecamatan Depok.

B. Identifikasi Masalah