Miskonsepsi IPA Fisika siswa kelas V semester 2 SD negeri se-Kecamatan Ngemplak Kabupaten Sleman.

(1)

ABSTRAK

MISKONSEPSI IPA FISIKA SISWA KELAS V SD NEGERI SEMESTER 2 SE-KECAMATAN NGEMPLAK

Yohana Puji Asri Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2016

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rendahnya prestasi belajar siswa kelas V semester 2 SD Negeri se-Kecamatan Ngemplak terhadap mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Tujuan penelitian untuk mendeskripsikan miskonsepsi IPA siswa kelas V SD semester 2 se-Kecamatan Ngemplak.

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif deskriptif dengan menggunakan metode survei. Populasi penelitian adalah seluruh siswa kelas V semester 2 SD Negeri se-Kecamatan Ngemplak yang berjumlah 563 siswa, sedangkan sampel penelitian berjumlah 221 siswa. Seluruh populasi tersebar di 21 SD Negeri se-Kecamatan Ngemplak. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik random sampling. Data dikumpulkan melalui wawancara, studi dokumenter, dan kuesioner.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi miskonsepsi pada siswa kelas V semester 2 SD Negeri se-Kecamatan Ngemplak. Miskonsepsi yang dialami siswa terjadi pada 4 konsep IPA, yaitu konsep gaya, pesawat sederhana, sifat-sifat cahaya, dan pelapukan. Persentase tertinggi miskonsepsi pada instrumen pilihan ganda terjadi pada konsep pelapukan, yaitu 65% sedangkan persentase miskonsepsi terendah terjadi pada konsep pesawat sederhana yaitu 10%. Persentase tertinggi miskonsepsi pada instrumen uraian terjadi pada konsep pelapukan, yaitu 78,28% sedangkan persentase miskonsepsi terendah terjadi pada konsep pesawat sederhana jenis bidang miring, yaitu 30,77%.


(2)

ABSTRACT

THE FIFTH GRADE OF STUDENTS’ MISCONCEPTION

ABOUT SCIENCE - PHYSICS IN SEMESTER 2 IN NGEMPLAK DISTRICT

Yohana Puji Asri Sanata Dharma University

Yogyakarta 2016

This research is conducted based on the low achievement of fifth grade elementary school students in Ngemplak District in learning science in semester two. This research aims to describe the misconception about science lesson made by the fifth grade elementary school students in semester two in Ngemplak District.

This research was a quantitative – descriptive research with survey method. The research population was all of the fifth grade elementary school students in Ngemplak District. It consisted of 563 students, while the research sample consisted of 221 students. This research used random sampling technique, which the data colected from interview, documenter study, and questionnaire.

The result of the research showed that the fifth grade elementary school students in Ngemplak District made misconception. The misconception occured in four scientific concepts, such as force, lever, visible light, and disintegration concept. In multiple choice instrument, the highest presentage of misconception occured in the disintegration concept, which was 65%, while the lowest presentage occured in the lever concept, which was 10%. Besides, in essay instrument, the highest presentage of misconception occured in the disintegration concept, which was 78,28%, whereas the lowest presentage occured in inclined plane of lever, which was 30,77%.


(3)

MISKONSEPSI IPA FISIKA SISWA KELAS V SEMESTER 2 SD NEGERI SE-KECAMATAN NGEMPLAK KABUPATEN SLEMAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar

Oleh: Yohana Puji Asri

NIM: 121134046

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2016


(4)

i

MISKONSEPSI IPA FISIKA SISWA KELAS V SEMESTER 2 SD NEGERI SE-KECAMATAN NGEMPLAK KABUPATEN SLEMAN

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar

Oleh: Yohana Puji Asri

NIM: 121134046

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2016


(5)

(6)

(7)

iv

PERSEMBAHAN

Karya tulisanku ini dipersembahkan untuk:

 Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria yang selalu menuntun setiap langkahku dan tiada henti memberikan berkat yang melimpah.

 Kedua orang tuaku, Bp. Alexius Hartono dan Ibu Ch. Suyani yang selalu memberiku semangat dan tidak pernah lupa untuk mendoakanku.

 Kakakku tercinta Ch. Ratna Hastuti dan adikku terkasih Afra Woro Dhuwarti yang selalu memberikan semangat dan selalu memberikan waktunya 24 jam.  Dionisius Ryan Widyastoro yang selalu memberikan semangat, motivasi, dan

selalu siap sedia untuk membantu ketika aku menghadapi kesulitan.  Seluruh keluargaku yang selalu mendoakan untuk kesuksesanku.

 Para sahabatku sekalikus teman seperjuangan yang selalu ada untuk memberikan semangat, motivasi, dan bantuannya, yaitu Ratna, Dita, Rani, Dika, Luky, dan mbak Titan.

 Teman-teman sepayung yang selalu berjuang dan bertukar pikiran bersama-sama: Dita, Ratna, Rani, Dika, Luky, Puput, Vero, Pungki, Ones, Pipin, Marsel, Ardi, Anas, dan Lukas.

 Teman-teman alumni PGSD A.  Para dosen pembimbingku.


(8)

v

MOTTO

“When you’ve done everything you can do, that’s when God

will step in and do what you can’t do.”


(9)

(10)

(11)

viii

ABSTRAK

MISKONSEPSI IPA FISIKA SISWA KELAS V SD NEGERI SEMESTER 2 SE-KECAMATAN NGEMPLAK

Yohana Puji Asri Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2016

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rendahnya pemahaman konsep IPA Fisika pada siswa kelas V yang mengakibatkan terjadinya miskonsepsi. Tujuan penelitian untuk mendeskripsikan miskonsepsi IPA siswa kelas V SD semester 2 se-Kecamatan Ngemplak.

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif deskriptif dengan menggunakan metode survei. Populasi penelitian adalah seluruh siswa kelas V semester 2 SD Negeri se-Kecamatan Ngemplak yang berjumlah 563 siswa, sedangkan sampel penelitian berjumlah 221 siswa. Seluruh siswa tersebut tersebar di 21 SD Negeri se-Kecamatan Ngemplak. Pengambilan sampel dilakukan dengan membuat undian. Data dikumpulkan melalui wawancara, studi dokumenter, dan tes tertulis.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi miskonsepsi pada siswa kelas V semester 2 SD Negeri se-Kecamatan Ngemplak. Miskonsepsi yang dialami siswa terjadi pada 4 konsep IPA, yaitu konsep gaya, pesawat sederhana, sifat-sifat cahaya, dan pelapukan. Persentase tertinggi miskonsepsi pada instrumen pilihan ganda terjadi pada konsep pelapukan, yaitu 65% sedangkan persentase miskonsepsi terendah terjadi pada konsep pesawat sederhana yaitu 10%. Persentase tertinggi miskonsepsi pada instrumen uraian terjadi pada konsep pelapukan, yaitu 78,28% sedangkan persentase miskonsepsi terendah terjadi pada konsep pesawat sederhana jenis bidang miring, yaitu 30,77%.


(12)

ix

ABSTRACT

THE FIFTH GRADE OF STUDENTS’ MISCONCEPTION

ABOUT SCIENCE - PHYSICS IN SEMESTER 2 IN NGEMPLAK DISTRICT

Yohana Puji Asri Sanata Dharma University

Yogyakarta 2016

This research was conducted based on the low comprehension about physics concept on students fifth grade, which lead to misconception. This research aims to describe the misconception about science lesson made by the fifth grade elementary school students in semester two in Ngemplak District.

This research was a quantitative – descriptive research with survey method. The research population was all of the fifth grade elementary school students in Ngemplak District. It consisted of 563 students, while the research sample consisted of 221 students. This research used random sampling technique, which the data colected from interview, documenter study, and paper tests.

The result of the research showed that the fifth grade elementary school students in Ngemplak District made misconception. The misconception occured in four scientific concepts, such as force, lever, visible light, and disintegration concept. In multiple choice instrument, the highest presentage of misconception occured in the disintegration concept, which was 65%, while the lowest presentage occured in the lever concept, which was 10%. Besides, in essay instrument, the highest presentage of misconception occured in the disintegration concept, which was 78,28%, whereas the lowest presentage occured in inclined plane of lever, which was 30,77%.


(13)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan tepat waktu. Peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Miskonsepsi IPA Fisika Siswa Kelas V Semester 2 SD Negeri Se-Kecamatan Ngemplak Kabupaten Sleman” disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma.

Peneliti menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan berhasil tanpa bimbingan dan bantuan dari beberapa pihak. Pada kesempatan ini, perkenankanlah peneliti mengucapkan terima kasih dengan tulus hati kepada:

1. Rohandi, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma.

2. Christiyanti Aprinastuti, S.Si., M.Pd., selaku Ketua Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Sanata Dharma.

3. Apri Damai Sagita Krissandi, S.S., M.Pd., selaku Wakil Ketua Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Sanata Dharma.

4. Maria Melani Ika Susanti, S.Pd., M.Pd., selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan ide, saran, kritik, dan bimbingan yang sangat berguna selama penelitian.


(14)

xi

5. Kintan Limiansih, S.Pd., M.Pd., selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan ide, saran, kritik, dan bimbingan yang sangat berguna selama penelitian.

6. Kepala UPT Pelayanan Pendidikan Kecamatan Ngemplak yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di SD Negeri se-Kecamatan Ngemplak.

7. Kepala Sekolah Dasar Negeri se-Kecamatan Ngemplak yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di SD yang bersangkutan. 8. Bapak dan Ibu wali kelas V SD Negeri se-Kecamatan Ngemplak yang telah

bersedia menyempatkan waktu untuk menunggui siswa mengisi instrumen penelitian.

9. Siswa-siswi kelas V SD Negeri se-Kecamatan Ngemplak yang telah bersedia menyempatkan waktu untuk mengerjakan instrumen penelitian.

10.Prof. Dr. Paulus Suparno, SJ., M.ST., dan Ir. Sri Agustini, M.Si., selaku Dosen Pendidikan Fisika, Universitas Sanata Dharma sekaligus validator instrumen penelitian yang memberikan saran dan kritik dalam penyusunan instrumen penilitian.

11.Ari Trisnawati, S.Pd., selaku Guru SD Negeri Denggung sebagai validator instrumen penelitian yang memberikan saran dan kritik dalam penyusunan instrumen penilitian.


(15)

xii

12.Agustinus Tarmadi, S.Pd., selaku Guru SD di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, sebagai validator instrumen penelitian yang memberikan saran dan kritik dalam penyusunan instrumen penilitian.

13.Orangtuaku tercinta, Alexius Hartono dan Ch. Suyani yang dengan tulus hati memberikan doa, dukungan, serta motivasi.

14.Kakakku dan adikku tercinta Ch. Ratna Hastuti dan Afra Woro Dhuwarti serta penyemangatku Dionisius Ryan Widyastoro yang selalu memberi motivasi dan selalu siap sedia untuk memberikan bantuannya.

15.Sahabatku Dita, Ratna, Rani, Luky, Dika, mbak Titan yang telah memberikan dukungan selama proses studi dan penyusunan penelitian.

16.Teman- teman satu kelompok studi Miskonsepsi IPA Fisika kelas V semester 2 SD Negeri se-Kabupaten Sleman yang telah memberikan dukungan, semangat dan motivasi selama pelaksanaan penelitian.

17.Teman-teman PGSD angkatan 2012, yang telah memberikan dukungan dan doa selama pelaksanaan penelitian.


(16)

(17)

xiv

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ...i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBINGAN ...ii

HALAMAN PENGESAHAN ...iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ...iv

HALAMAN MOTTO ...v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vii

ABSTRAK ...viii

ABSTRACT ...ix

KATA PENGANTAR ...x

DAFTAR ISI ...xiv

DAFTAR TABEL ...xvii

DAFTAR GAMBAR ...xix

DAFTAR LAMPIRAN ...xxi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ...1

B. Identifikasi Masalah ...7

C. Batasan Masalah ...7

D. Rumusan Masalah ...8

E. Tujuan Penelitian...8

F. Manfaat Penelitian ...9

G. Definisi Operasional ...10

BAB II LANDASAN TEORI A. Kajian Pustaka ...12

1. Konsep ... 12


(18)

xv

3. Miskonsepsi ...16

4. Hakikat Pembelajaran IPA ...29

5. Pembelajaran IPA di Kelas V ...33

6. Miskonsepsi IPA ... 42

B. Hasil Penelitian yang Relevan ...43

C. Kerangka Berpikir ... 51

D. Hipotesis Penelitian ...53

BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ...54

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 55

1. Tempat Penelitian ...55

2. Waktu Penelitian ...56

C. Populasi dan Sampel ... 57

1. Populasi ...57

2. Sampel ... 58

E. Teknik Pengumpulan Data ...63

1. Wawancara ...63

2. Tes Tertulis ...64

3. Studi Dokumenter ...65

F. Instrumen Penelitian ...66

1. Instrumen Tes...66

2. Kisi-kisi Wawancara ...70

3. Daftar Cek ... 71

G. Teknik Pengujian Instrumen ...72

1. Validitas ...72

2. Reliabilitas ...83


(19)

xvi

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian ...89

1. Deskripsi Pelaksanaan Penelitian ...89

2. Deskripsi Responden Penelitian ...92

3. Deskripsi Miskonsepsi ...93

a. Deskripsi Soal Pilihan Ganda ...94

b. Deskripsi Soal Uraian ...117

B. Pembahasan ... 128

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...130

B. Keterbatasan Penelitian ...130

C. Saran...131

DAFTAR REFERENSI ...133


(20)

xvii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Standar Isi Sekolah Dasar ...33

Tabel 2.2 Jenis-jenis Tuas ...37

Tabel 2.3 Jenis-jenis Katrol ...39

Tabel 2.4 Sifat-sifat Cermin ...40

Tabel 3.1 Jumlah Populasi Penelitian ...58

Tabel 3.2 Penentuan Sampel dari Populasi ...59

Tabel 3.3 Perhitungan Penentuan Sampel ...61

Tabel 3.4 Kisi-kisi Soal Pilihan Ganda ...68

Tabel 3.5 Kisi-kisi Soal Uraian ...69

Tabel 3.6 Pedoman Wawancara Guru ...70

Tabel 3.7 Daftar Cek Dokumentasi ... 71

Tabel 3.8 Ketentuan Pelaksanaan Revisi Instrumen ...75

Tabel 3.9 Rekapitulasi Hasil Validitas Isi Instrumen Soal Pilihan Ganda ...76

Tabel 3.10 Rekapitulasi Hasil Valisitas Isi Instrumen Soal Uraian ...77

Tabel 3.11 Pedoman Wawancara Validitas Muka ... 79

Tabel 3.12 Hasil Wawancara Siswa ...79

Tabel 3.13 Rekapitulasi Hasil Uji Validitas Konstruk Instrumen Soal Pilihan Ganda ...81

Tabel 3.14 Rekapitulasi Hasil Uji Validitas Konstruk Instrumen Soal Uraian ...82

Tabel 3.15 Koefisien Reliabilitas ...84

Tabel 3.16 Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Soal Pilihan Ganda ...84

Tabel 3.17 Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Soal Uraian ...84

Tabel 4.1 Jadwal Pelaksanaan Penelitian ...91

Tabel 4.2 KD dan Aitem yang Termuat dalam Instrumen Soal Pilihan Ganda ...94


(21)

xviii

Tabel 4.4 Data Miskonsepsi Siswa Tentang Konsep Pesawat Sederhana

Jenis Tuas ...119

Tabel 4.5 Data Miskonsepsi Siswa Tentang Konsep Pesawat Sederhana Jenis Bidang Miring ...121

Tabel 4.6 Data Miskonsepsi Siswa Tentang Konsep Pelapukan ...123

Tabel 4.7 Data Miskonsepsi Tentang Konsep Sifat-sifat Cahaya ...125


(22)

xix

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1 Seorang anak sedang melempar bola ke atas ... 35 Gambar 2.2 Model alur pada ban mobil ...36 Gambar 2.3 Linggis untuk memudahkan memindahkan batu besar ...37 Gambar 2.4 a. Jalannya sinar dari medium rapat ke kurang rapat... 41 Gambar 2.4 b. Jalannya sinar dari medium kurang rapat ke rapat ...41 Gambar 2.5 Literature Map Penelitian yang Relevan ... 50

Gambar 3.1 Rumus Menghitung Sampel Penelitian ...60 Gambar 4.1 Persentase Miskonsepsi IPA Fisika Siswa Kelas V SD

Negeri Semester 2 se-Kecamatan Ngemplak untuk Seluruh KD ...95 Gambar 4.2 Persentase Miskonsepsi IPA Fisika pada Aitem

Soal 1 ...96 Gambar 4.3 Persentase Miskonsepsi IPA Fisika pada Aitem

Soal 2 ...97 Gambar 4.4 Persentase Miskonsepsi IPA Fisika pada Aitem

Soal 3 ...98 Gambar 4.5 Persentase Miskonsepsi IPA Fisika pada Aitem

Soal 6 ...99 Gambar 4.6 Persentase Miskonsepsi IPA Fisika pada Aitem

Soal 18 ...100 Gambar 4.7 Persentase Miskonsepsi IPA Fisika pada Aitem

Soal 4 ...102 Gambar 4.8 Persentase Miskonsepsi IPA Fisika pada Aitem

Soal 5 ...103 Gambar 4.9 Persentase Miskonsepsi IPA Fisika pada Aitem

Soal 7 ...104 Gambar 4.10 Persentase Miskonsepsi IPA Fisika pada Aitem


(23)

xx

Soal 8 ...105 Gambar 4.11 Persentase Miskonsepsi IPA Fisika pada Aitem

Soal 9 ...106 Gambar 4.12 Persentase Miskonsepsi IPA Fisika pada Aitem

Soal 20 ...107 Gambar 4.13 Persentase Miskonsepsi IPA Fisika pada Aitem

Soal 10 ...108 Gambar 4.14 Persentase Miskonsepsi IPA Fisika pada Aitem

Soal 11 ...109 Gambar 4.15 Persentase Miskonsepsi IPA Fisika pada Aitem

Soal 12 ...110 Gambar 4.16 Persentase Miskonsepsi IPA Fisika pada Aitem

Soal 13 ...111 Gambar 4.17 Persentase Miskonsepsi IPA Fisika pada Aitem

Soal 14 ...112 Gambar 4.18 Persentase Miskonsepsi IPA Fisika pada Aitem

Soal 15 ...113 Gambar 4.19 Persentase Miskonsepsi IPA Fisika pada Aitem

Soal 16 ...114 Gambar 4.20 Persentase Miskonsepsi IPA Fisika pada Aitem

Soal 19 ...115 Gambar 4.21 Persentase Miskonsepsi IPA Fisika pada Aitem

Soal 17 ...116 Gambar 4.22 Persentase Miskonsepsi Siswa pada Soal Uraian ...118


(24)

xxi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1a. Kisi-kisi Instrumen Soal Pilihan Ganda sebelum Expert

Judgments ... 137 Lampiran 1b. Kisi-kisi Instrumen Soal Uraian sebelum Expert Judgment ... 138 Lampiran 2a. Hasil Validitas Isi Instrumen Soal Pilihan Ganda ... 139 Lampiran 2b. Hasil Validitas Isi Instrumen Soal Uraian ... 147 Lampiran 2c. Pedoman Wawancara dan Hasil Validitas Muka ... 149 Lampiran 2d. Sampel Pekerjaan Siswa Uji Validitas Muka ... 150 Lampiran 2e. Jawaban Wawancara Guru... 157 Lampiran 3a. Identitas Responden Penelitian ... 158 Lampiran 3b. Prosedur Pengerjaan Soal ... 159 Lampiran 3c. Pedoman Penskoran Soal Uraian ... 160 Lampiran 4a. Instrumen Soal Pilihan Ganda sebelum Uji Empiris ... 166 Lampiran 4b. Instrumen Soal Uraian sebelum Uji Empiris ... 177 Lampiran 5a. Hasil Uji Validitas Instrumen Soal Pilihan Ganda ... 179 Lampiran 5b. Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Soal Pilihan Ganda ... 181 Lampiran 5c. Hasil Uji Validitas Instrumen Soal Uraian ... 182 Lampiran 5d. Hasil Uji Reliabilitas Instrumen Soal Uraian ... 183 Lampiran 6a. Instrumen Soal Pilihan Ganda setelah Uji Empiris ... 184 Lampiran 6b. Instrumen Soal Uraian setelah Uji Empiris ... 189 Lampiran 6c. Sampel Hasil Pekerjaan Siswa ... 190 Lampiran 6d. Koding Sampel Penelitian... 194 Lampiran 7. Hasil Rekapitulasi Miskonsepsi IPA Fisika Instrumen Soal

Pilihan Ganda ... 195 Lampiran 8a. Surat Izin Melakukan Penelitian dari Universitas Sanata

Dharma ... 205 Lampiran 8b. Surat Izin Melakukan Penelitian dari Kesatuan Bangsa ... 206


(25)

xxii

Lampiran 8c. Surat Izin Penelitian dari BAPPEDA ... 207 Lampiran 8d. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian dari UPT

Pelayanan Pendidikan Kecamatan Ngemplak ... 208 Lampiran 9. Dokumentasi Penelitian ... 209 Biodata Penulis ... 210


(26)

1

BAB I PENDAHULUAN

Pada bagian BAB I, peneliti membahas tentang latar belakang yang menjadi landasan diadakannya penelitian ini, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan definisi operasional.

A.Latar Belakang

Kemajuan suatu bangsa erat sekali dipengaruhi oleh kualitas pendidikan yang ada di negara tersebut. Ahmadi (dalam UNESCO 2014: 48) menegaskan bahwa pendidikan menjadi agen utama transformasi ke arah pembangunan yang berkelanjutan. Pendidikan adalah pengalaman-pengalaman yang didapatkan dari pendidikan formal, non formal, dan informal akan berlangsung seumur hidup guna menjadikan seorang individu yang lebih berkualitas agar dikemudian hari mampu menjalankan peran hidupnya secara tepat Mudyaharjo (dalam Triwiyanto, 2014: 22). Proses pendidikan pada setiap orang akan berlangsung secara berkesinambungan dan memiliki korelasi antara pendidikan yang didapatkan dengan kualitas hidup.

Pendidikan memiliki peran penting untuk hidup di masa depan, baik bagi setiap individu maupun bagi suatu negara. Pendapat tersebut didukung oleh Mudyahardjo (2006: 506-508) yang menyebutkan bahwa pendidikan memiliki lima peranan dalam pembangunan. Pertama, orang yang berpendidikan dapat mengembangkan teknologi baru. Kedua, orang terdidik mampu secara aktif


(27)

bekerja di perusahaan dan pabrik yang menghasilkan barang dan jasa bagi kebutuhan hidup. Ketiga, orang terdidik dapat menjadi masukan bagi pabrik-pabrik dan perusahaan sebagai tenaga kerja produktif. Keempat, seorang yang terdidik mampu melakukan perbaikan dan menciptakan unsur-unsur budaya baru berdasarkan budaya lama yang telah dimilikinya. Kelima, orang terdidik mampu mengkritisi produk barang dan jasa yang dihasilkan oleh pabrik dan perusahaan bila dibandingkan dengan orang yang kurang terdidik.

Proses pendidikan formal yang paling mendasar dimulai pada pendidikan sekolah dasar (SD). Pendidikan pada jenjang SD menekankan pada lima pelajaran pokok, yaitu Matematika, IPA, IPS, Bahasa Indonesia, dan PKn. Ilmu Pendidikan Alam (IPA) merupakan salah satu mata pelajaran pokok yang diberikan pada setiap jenjang pendidikan. IPA adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam ini. Pembelajaran IPA berusaha menumbuhkembangkan ketertarikan manusia untuk meningkatkan kepandaian dan pemahamannya mengenai alam semesta beserta misteri di dalamnya (Samatowa, 2011: 4). Selain itu melalui pembelajaran IPA diharapkan dapat menanamkan sikap ilmiah mengenai konsep dasar Ilmu Pengetahuan Alam (Sutanto, 2013: 170). Konsep adalah gagasan atau ide berdasarkan pengalaman yang relevan dan yang dapat digeneralisasi (Amien, 1987: 15). Pembelajaran IPA juga diharapkan dapat menimbulkan pembelajaran yang hidup dan aktif.

Samatowa (2011: 4) menyebutkan empat alasan IPA perlu diajarkan di SD. Pertama, IPA merupakan dasar teknologi atau sering disebut-sebut sebagai


(28)

tulang punggung pembangunan. Persentase kesejahteraan suatu bangsa banyak dipengaruhi oleh kemampuan bangsa itu dalam menguasai bidang IPA, karena IPA berperan penting dalam tonggak pembangunan suatu bangsa. Kedua, IPA memberikan kesempatan bagi anak untuk berlatih dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Ketiga, IPA menjadi sebuah mata pelajaran yang menyenangkan bagi anak-anak bila dikemas menggunakan metode pembelajaran yang tepat. IPA tidak selalu bersifat hafalan saja, karena pada hakikatnya pembelajaran IPA dikemas menggunakan pembelajaran secara langsung. Keempat, IPA mengandung nilai-nilai pendidikan yaitu mempunyai potensi yang dapat membentuk kepribadian anak secara keseluruhan. Ketika seorang anak sedang mempelajari IPA, anak tersebut secara tidak langsung sedang dilatih untuk berpikir secara kritis dan objektif. Anak dilatih untuk mencari pengetahuan baru berdasarkan tolak ukur kebenaran ilmu yang rasional (masuk akal dan dapat diterima akal sehat).

Pembelajaran IPA yang ada di SD lebih mengajarkan tentang pemahaman konsep sehari-hari. Setiap harinya siswa selalu mendapatkan pengalaman baru yang berhubungan tentang peristiwa kehidupan sehari-hari. Salah satu contohnya adalah perubahan waktu siang dan malam. Peristiwa itu menunjukkan bahwa bumi berotasi atau berputar terhadap porosnya sehingga menyebabkan adanya perubahan waktu siang dan malam. Konsep IPA penting untuk dipahami siswa, namum faktanya pemahaman konsep ketika siswa berada di sekolah masih rendah. Fakta tersebut diperkuat dengan hasil wawancara yang dilakukan terhadap


(29)

beberapa guru kelas V di SD Negeri Kecamatan Ngemplak, yang menuturkan bahawa prestasi belajar siswa kelas V masih rendah, hal tersebut ditunjukkan melalui nilai hasil ulangan harian ataupun semesteran, masih banyak siswa yang mendapatkan nilai di bawah KKM.

Rendahnya prestasi belajar siswa terhadap IPA juga diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Trends in International Mathematics and Science

Study (TIMSS) tahun 2007 melakukan penelitian tentang pencapaian kemampuan

pelajar Indonesia dalam mata pelajaran sains, hasi penelitian menunjukkan bahwa Indonesia berada pada posisi ke-35 dari 49 negara peserta, skor rata-rata yang diperoleh Indonesia yaitu 427. Tahun 2006 Programme Internationale for Student

Assesment (PISA) menyatakan bahwa kemampuan sains pelajar Indonesia berada

pada peringkat ke-50 dari 75 negara peserta. Skor rata-rata yang diperoleh pelajar Indonesia, yaitu 393.

Rendahnya prestasi belajar siswa Indonesia pada bidang IPA dipengaruhi karena pemahaman konsep tentang IPA masih rendah. Hal tersebut terjadi karena dipengaruhi adanya miskonsepsi IPA di berbagai jenjang pendidikan. Hal ini didukung oleh Gill-Perez (dalam Suparno, 2005: 7) yang menyatakan bahwa miskonsepsi menghinggapi semua level siswa, mulai dari siswa sekolah dasar sampai dengan mahasiswa. Miskonsepsi adalah salah konsep yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima para pakar dalam bidang itu (Suparno, 2005: 4). Pendapat lain tentang miskonsepsi diungkapkan oleh Fowler (dalam Suparno, 2005: 5) menjelaskan bahwa miskonsepsi adalah


(30)

penertian yang tidak akurat akan konsep, penggunaan konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang salah, kekacauan konsep yang berbeda. Pemahaman tentang konsep IPA masih rendah karena prakonsepsi siswa tentang konsep IPA berperan untuk memberikan makna atas pengalaman nyata melalui proses belajar informal dalam membetuk konsepsi ilmiah Trumper (dalam Suniati,

2013: e-Jurnal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Volume 4 tahun). Prakonsepsi yang secara terus menurus terjadi dapat mengganggu

pembentukan ilmiah. Dampak yang ditimbulkan adalah siswa akan mengalami kesulitan belajar. Pernyataan tersebut diperkuat dengan adanya penelitian yang dilakukan di negara-negara maju selama dua dasa warsa terakhir menunjukkan bahwa salah satu sumber kesulitan belajar siswa adalah adanya miskonsepsi siswa (Van Den Berg, 1991).

Suparno (2005) juga menjelaskan bahwa bentuk miskonsepsi dapat berupa konsep awal, kesalahan, hubungan yang tidak benar antara konsep-konsep dan gagasan intuitif. Faktor yang menyebabkan terjadinya miskonsepsi dapat berasal dari siswa, guru, buku teks, konteks, dan metode mengajar (Suparno, 2005: 29). Miskonsepsi IPA yang terjadi pada siswa terjadi karena pemahaman konsep IPA masih rendah. Apabila miskonsepsi terjadi sejak pendidikan sekolah dasar, maka akan berdampak pada kesalahan pemahaman konsep sains di jenjang pendidikan selanjutnya. Miskonsepsi IPA yang dialami siswa akan berdampak pada rendahnya prestasi siswa terhadap sains, karena kesalahan dalam memahami konsep. Selain itu, dampak jangka panjang karena adanya miskonsepsi dapat terjadi pada


(31)

pembangungan teknologi yang ada dilingkungan sekitar, karena seperti yang telah disebutkan di atas bahwa IPA merupakan tulang punggung dari pembangunan teknologi.

Banyak penelitian terdahulu yang meneliti tentang miskonsepsi. Beberapa diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Pujayanto (2006) meneliti tentang miskonsepsi IPA Fisika pada guru. Pada tahun 2011 Nurazizah melakukan penelitian tentang analisis miskonsepsi tumbuhan tingkat tinggi pada buku teks IPA SMP Negeri se-Kota Medan. Selain itu Saputra (2011) melakukan penelitian tentang upaya mengatasi miskonsepsi siswa melalui model pembelajaran Children

Learning in Science (CLIS) berbasis simulasi komputer pada pokok bahasan listrik

dinamis. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Taufiq (2012) yang meneliti tentang remidiasi miskonsepsi calon guru Fisika pada konsep gaya melalui penerapan model siklus belajar Learning Cycle (LC). Penelitian yang terakhir, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Iriyanti (2012) meneliti tentang identifikasi miskonsepsi pada materi pokok wujud zat siswa kelas VII SMP Negeri 1 Bawang tahun ajaran 2009/2010.

Berdasarkan kelima penelitian terdahulu sudah ada tiga penelitian yang meneliti tentang miskonsepsi IPA Fisika, namun belum ada penelitian yang meneliti tentang miskonsepsi IPA Fisika pada siswa kelas V semester 2. Selain itu berdasarkan paparan wawancara tentang rendahnya prestasi belajar IPA pada siswa kelas V di SD Negeri Kecamatan Ngemplak, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang miskonsepsi IPA Fisika pada siswa kelas V dengan


(32)

judul penelitian sebagai berikut ini “Miskonsepsi IPA Fisika Siswa Kelas V Semester 2 SD Negeri se-Kecamatan Ngemplak”.

B.Identifikasi Masalah

Penelitian ini didasari pada beberapa masalah, adapun masalah-masalah tersebut adalah:

1. Prestasi belajar IPA yang masih tergolong rendah pada siswa kelas V semester 2 SD Negeri se-Kecamatan Ngemplak.

2. Penggunaan konsep IPA yang masih kurang tepat pada siswa kelas V semester 2 SD Negeri se-Kecamatan Ngemplak.

C.Batasan Masalah

Batasan masalah bertujuan agar penelitian dapat dilakukan secara terarah dan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Populasi dan sampel pada penelitian ini adalah siswa kelas V SD Negeri se-Kecamatan Ngemplak. Materi pelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah mata pelajaran IPA kelas V semester 2. Tidak semua Kompetensi Dasar (KD) yang terdapat pada semester 2 digunakan dalam penelitian. Pertimbangan yang digunakan oleh peneliti dalam memilih KD, yaitu berdasarkan tingkat kesulitan materi yang terdapat dalam KD tersebut. Pemilihan KD didasarkan pada hasil hasil validitas yang dilakukan oleh

expert judgments dan validitas empiris serta reliabilitas pada instrumen penelitian

yang telah dibuat. Pelaksanaan penelitian ini tidak terlepas dari beberapa kendala, yaitu keterbatasan tenaga dan waktu, maka peneliti mengambil beberapa


(33)

sampel penelitian dengan menggunakan random sampling. Adapun KD yang digunakan oleh peneliti dalam membuat instrumen penelitian yaitu KD 5.1 Mendeskripsikan hubungan antara gaya, gerak, dan energi melalui percobaan (gaya gravitasi, gaya gesek, dan gaya magnet), KD 5.2 Menjelaskan pesawat sederhana yang dapat membuat pekerjaan lebih mudah dan lebih cepat, KD 6.1 Mendeskripsikan sifat-sifat cahaya, dan KD 7.1 Mendeskripsikan proses pembentukan tanah karena pelapukan.

D.Rumusan Masalah

Latar belakang masalah dan batasan masalah yang dikemukakan melandasi rumusan masalah dalam penelitian ini. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana miskonsepsi IPA Fisika siswa kelas V SD semester 2 se-Kecamatan Ngemplak?”.

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan miskonsepsi IPA Fisika siswa kelas V SD semester 2 se-Kecamatan Ngemplak.


(34)

F. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut ini: 1. Manfaat Praktis

a. Bagi Guru

Bagi guru penelitian ini dapat menjadi sumber pengetahuan mengenai tingkat miskonsepsi yang dialami siswa kelas V pada mata pelajaran IPA semester 2.

b. Bagi Sekolah

Bagi sekolah penelitian ini dapat menjadi masukan supaya sekolah dapat meningkatkan kualitas pembelajaran yang ada selama ini.

c. Manfaat bagi peneliti

Bagi peneliti, penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengalaman tentang penelitian. Selain itu penelitian ini dapat mengetahui tingkat miskonsepsi IPA Fisika pada siswa, sehingga kelak jika menjadi guru dapat merancang sebuah pembelajaran yang mampu menekan tingkat miskonsepsi pada siswa.

2. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan yang berkaitan dengan miskonsepsi yang terjadi pada siswa SD kelas V terutama pada mata pelajaran IPA semester 2.


(35)

G.Definisi Operasional

Ada beberapa istilah yang perlu disepakati bersama agar tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda dalam penelitian ini. Beberapa istilah tersebut adalah:

1. Miskonsepsi adalah keadaan dimana seseorang telah memiliki suatu pemahaman awal tentang sesuatu, namun pemahaman tersebut tidak sesuai dengan teori yang telah diakui oleh para ahli.

2. Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) adalah ilmu yang mempelajari tentang fenomena-fenomena alam yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari. IPA menjadi salah satu mata pelajaran wajib yang ada disetiap jenjang pendidikan mulai dari SD, SMP, dan SMA.

3. Miskonsepsi IPA adalah keadaan dimana seseorang telah memiliki sebuah pemahaman tentang IPA, namun pemahaman tersebut tidak sesuai dengan teori yang telah disepakati oleh para ahli yang berkompeten dalam bidang IPA. Siswa dikatakan mengalami miskonsepsi jika menjawab soal dengan salah, namun ia memiliki keyakinan bahwa jawabannya benar (yakin benar).

4. Siswa kelas V SD adalah siswa yang sedang duduk ditingkatan satuan pendidikan kelas V Sekolah Dasar dengan rentang usia 11-12 tahun.

5. Kecamatan Ngemplak adalah salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Sleman. Luas daerah dari kecamatan ini adalah 35,71 km² atau sekitar 6,21% dari luas seluruh wilayah Kabupaten Sleman. Secara geografis bagian utara dari kecamatan ini berbatasan dengan Kecamatan Pakem dan Kecamatan


(36)

Cangkringan, bagian barat berbatasan dengan Kecamatan Ngaglik, sedangkan bagian selatan berbatasan dengan Kecamatan Depok, dan di bagian timur berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah. Mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai buruh, pedagang, karyawan swasta, dan pegawai negeri. Kecamatan Ngemplak mempunyai 23 Sekolah Dasar yang terdiri dari 21 Sekolah Dasar berstatus Negeri dan 2 Sekolah Dasar berstatus Swasta.


(37)

12

BAB II

LANDASAN TEORI

Bab II pada penelitian ini akan membahas empat sub bab, yaitu kajian pustaka, hasil penelitian yang relevan, kerangka berpikir, dan hipotesis penelitian.

A.Kajian Pustaka 1. Konsep

a. Pengertian Konsep

Konsep adalah suatu kelas atau kategori stimuli yang memiliki ciri-ciri umum (Hamalik, 1990: 198). Hamalik menjelaskan bahwa stimuli adalah obyek-obyek atau orang. Konsep yang dimiliki antar pribadi tidak selalu sama karena berkaitan dengan pengalaman yang dialaminya, tetapi melalui konsep dapat mengklasifikasikan beberapa pengalaman.

Pendapat serupa juga diungkapkan oleh Rosser (dalam Dahar, 1984) yang menjelaskan bahwa konsep adalah suatu abstraksi yang mewakili satu kelas objek, kejadian, kegiatan, atau hubungan yang mempunyai atribut atau sifat yang sama. Seseorang membentuk konsep berdasarkan pengelompokan stimulus dengan cara tertentu. Dahar menjelaskan lebih lanjut bahwa konsep merupakan abstraksi-abstraksi yang berdasarkan pengalaman dan tidak ada orang yang mempunyai pengalaman sama persis, sehingga konsep yang dibentuk oleh setiap orang selalu berbeda.


(38)

Pendapat dari kedua ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep adalah sebuah ide abstrak yang dimiliki oleh seseorang berdasarkan pengalaman yang dialaminya. Setiap orang mempunyai konsep yang berbeda-beda, karena pengalaman yang dialami oleh setiap orang juga berbeda. Konsep merupakan sebuah abstrak yang sangat luas. Contohnya adalah konsep mahkluk hidup, yaitu seluruh golongan mahkluk yang hidup, tidak melihat ciri-ciri khusus seperti bentuk tubuh, jenis makanan, warna, dan lain sebagainya.

b. Jenis-jenis Konsep

Hamalik (1990: 200) mengelompokkan konsep menjadi tiga jenis, yaitu:

1) Konsep konjungtif berkaitan dengan nilai-nilai tertentu atau yang terpenting dari berbagai atribut disajikan bersama-sama. Konsep konjungtif menambahkan nilai-nilai dan atribut secara bersama-sama. 2) Konsep disjungtif adalah sesuatu yang dapat dirumuskan dalam

sejumlah cara yang berbeda-beda. Antara atribut-stribut dan nilai-nilai dapat disubtitusikan satu dengan yang lainnya.

3) Konsep hubungan adalah suatu konsep yang mempunyai hubungan-hubungan khusus antara atribut-atribut.

c. Ciri-ciri Konsep

Konsep memiliki empat ciri-ciri, berikut ini adalah penjelasan mengenai keempat ciri tersebut menurut Hamalik (1990: 199).


(39)

1) Atribut konsep adalah suatu sifat yang membedakan antara konsep satu dengan konsep lainnya. Misalnya adalah konsep pesawat sederhana. Alat pemecah biji dan tang merupakan beberapa contoh pesawat sederhana, namun kedua alat tersebut berbeda berdasarkan atribut jenis golongan tuas.

2) Atribut nilai-nilai adalah variasi-variasi yang terdapat pada suatu atribut. Salah satu contohnya adalah atribut gaya mempunyai tiga nilai, yaitu gaya gesek, gaya gravitasi, dan gaya magnet.

3) Jumlah atribut yang terdapat pada setiap konsep selalu bermacam-macam. Semakin kompleks suatu konsep, akan semakin banyak jumlah atributnya dan semakin sulit untuk mempelajarinya.

4) Kedominanan atribut merujuk pada kenyataan bahwa beberapa atribut lebih dominan (abvious) dari pada yang lainnya. Konsep dominan memiliki atribut dominan, jika atributnya nyata maka lebih mudah menguasai konsep.

Pengertian di atas menjelaskan bahwa konsep memiliki empat ciri-ciri, yaitu atribut konsep berkaitan dengan sifat yang membedakan setiap konsep, atribut nilai-nilai adalah variasi yang terdapat pada setiap konsep, jumlah atribut pada setiap konsep dan kedominanan atribut yang merujuk pada atribut yang nyata akan lebih menguasai konsep.


(40)

d. Pembentukan Konsep

Konsep terbentuk dari sesuatu yang kongkret dan dipengaruhi oleh latar belakang pengalamannya (Mertodiharjo & Mulyono, 1980: 14). Pengalaman yang diperoleh dapat membantu untuk menggolongkan konsep-konsep yang telah dimiliki. Mertodiharjo dan Mulyono menjelaskan lebih lanjut bahwa pembentukan konsep dan generalisasi sebaiknya berjalan secara induktif melalui penyajian fakta menjadi konsep dan dari konsep menjadi generalisasi.

2. Konsepsi

Konsepsi dapat diartikan sebagai pemahaman yang dimiliki oleh seorang murid terhadap suatu konsep Berg (dalam Suryanto, 2002: 13). Misalnya adalah ketika sedang berada di dalam mobil dan disepanjang jalan terdapat banyak pepohonan. Ada beberapa anak yang beranggapan bahwa pohon yang menjauhi mobil, sehingga seolah-olah pohon tersebut dapat berjalan. Beberapa anak ada yang mempunyai konsepsi bahwa mobilah yang berjalan dan menjauhi pohon.

Setiap orang memiliki konsepsi yang berbeda-beda (Rustaman, 2012: 26). Sedangkan Budi (1992: 114-115) menjelaskan bahwa konsepsi adalah kemampuan untuk memahami konsep, baik yang diperoleh dari indera maupun dari kondisi lingkungan. Berdasarkan tiga pendapat mengenai konsepsi menurut para ahli, maka peneliti menyimpulkan bahwa konsepsi adalah kemampuan untuk memahami konsep, dimana setiap orang akan memiliki


(41)

konsepsi yang berbeda-beda. Setiap orang dapat memiliki konsepsi yang berbeda-beda, karena setiap orang memiliki pemahaman awal yang berdasarkan pada pengalaman yang diperolehnya dan kondisi lingkungan yang berbeda-beda pula.

3. Miskonsepsi

a. Pengertian Miskonsepsi

Miskonsepsi adalah suatu konsep yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima oleh para pakar dalam bidangnya (Suparno, 2005: 4). Fowler (dalam Suparno, 2005: 5) juga menjelaskan hal yang sama bahwa miskonsepsi adalah pengertian yang tidak akurat akan konsep, penggunaan konsep yang salah, kekacauan konsep-konsep yang berbeda, dan hubungan hierarkis konsep-konsep yang tidak benar.

Suparno lebih menjelaskan bahwa bentuk dari miskonsepsi dapat berupa konsep awal, kesalahan hubungan yang tidak benar antara konsep-konsep, dan gagasan intuitif. Konsep awal biasanya didapatkan sewaktu siswa berada di jenjang pendidikan sekolah dasar, sekolah menengah, dan dari pengalaman serta melalui pengamatan di masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Seorang siswa mampu menggunakan konsep ganda. Mereka akan menggunakan konsep ilmiah ketika berada di sekolah dan akan menggunakan konsep sehari-hari ketika berada di masyarakat.

Miskonsepsi yang terjadi dalam diri siswa, terkadang sulit untuk diperbaiki dan dihilangkan selama dalam pendidikan sekolah dasar. Hal ini


(42)

disebabkan karena meskipun menggunakan konsep yang tidak cocok dengan konsep ilmiah, mereka dapat menjelaskan beberapa persoalan yang sedang mereka alami dalam hidup mereka. Salah satu contoh miskonsepsi yang dialami oleh seorang siswa adalah pernyataan tentang matahari mengelilingi bumi. Seorang anak mampu menjelaskannya dalam kehidupan sehari-hari, karena matahari terbit dari Timur dan tenggelam di Barat. Hal itu menunjukkan bahwa mataharilah yang bergerak terhadap bumi. Menggunakan konsep tersebut seorang anak dapat membuat jam waktu berdasarkan gerak matahari terbit, bergerak, dan tenggelam. Oleh karena itu, miskonsepsi sulit untuk dihilangkan.

Berdasarkan dua pengertian tentang miskonsepsi di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa miskonsepsi adalah penggunaan konsep yang salah, karena kekacauan konsep yang dialami dalam kehidupan sehari-hari dimana konsep tersebut tidak sesuai dengan konsep ilmiah.

b. Penyebab Terjadinya Miskonsepsi

Miskonsepsi dapat terjadi diseluruh bidang sains, seperti biologi, kimia, fisika, dan astronomi (Suparno, 2005: 9). Sub bidang fisika yang sering terjadi miskonsepsi, yaitu mekanika, termodinamika, optika, bunyi dan gelombang, listrik dan magnet, dan fisika modern. Suparno (2005: 29) menyebutkan bahwa penyebab miskonsepsi dipengaruhi oleh lima faktor, yaitu siswa, guru, buku teks, konteks, dan metode mengajar.


(43)

1). Siswa

Miskonsepsi dalam bidang Fisika banyak terjadi pada diri siswa. Miskonsepsi yang berasal dari diri siswa dikelompokkan menjadi delapan hal, yaitu prakonsepsi atau konsep awal siswa, pemikiran asosiatif, pemikiran humanistik, reasoning yang tidak lengkap atau salah, intuisi yang salah, tahap perkembangan siswa, kemampuan siswa, dan minat belajar siswa Suparno (2005: 34).

Pertama, prakonsepsi atau konsep awal sudah dimiliki siswa sebelum

mereka mengikuti pelajaran formal di bawah bimbingan guru. Konsep awal yang dimiliki siswa sering mengandung miskonsepsi. Hal ini dikarenakan prakonsepsi ini diperoleh dari orang tua, teman, sekolah awal, dan pengalaman di lingkungan siswa. Salah satu contohnya adalah matahari mengelilingi bumi. Konsep ini diperoleh siswa dari pengalaman sehari-hari. Prakonsepsi yang dimiliki siswa menunjukkan bahwa pikiran siswa selalu aktif berkembang untuk memahami sesuatu. Miskonsepsi pada diri siswa akan bertambah banyak, jika yang mempengaruhi pembentukan konsep pada siswa tersebut juga mempunyai banyak miskonsepsi, seperti orang tua, tetangga, teman, dan lain-lain (Suparno, 2005: 35).

Kedua, pemikiran asosiatif siswa. Marshall & Gilmour (dalam Suparno,

2005) menjelaskan bahwa pengertian berbeda dari kata-kata antara siswa dan guru dapat menimbulkan miskonsepsi. Kata dan istilah yang digunakan guru


(44)

ketika pembelajaran di kelas, akan diasosiasikan lain oleh siswa. Hal ini dikarenakan kata dan istilah itu mempunyai arti yang lain.

Ketiga, pemikiran humanistik. Gilbert, Watts & Osborne (dalam

Suparno, 2005) menjelaskan bahwa siswa lebih sering memandang sebuah benda dari sudut pandang manusiawi. Benda-benda dan situasi dipikirkan dalam term pengalaman orang dan secara manusiawi. Contoh miskonsepsi tentang gaya adalah siswa menganggap bahwa jika ada seseorang yang duduk di atas sepeda, namun tidak menggenjot sepeda tersebut maka seseorang tersebut tidak melakukan gaya.

Keempat, adalah reasoning yang tidak lengkap. Comins (dalam

Suparno, 2005) menjelaskan bahwa miskonsepsi juga dapat disebabkan oleh

reasoning atau penalaran siswa yang tidak lengkap atau salah. Penalaran yang

dilakukan siswa tidak lengkap, karena data atau informasi yang didapatkan oleh siswa tidak lengkap. Selain itu reasoning yang salah juga dipengaruhi karena pengambilan kesimpulan yang tidak tepat, karena logika yang digunakan juga salah.

Kelima, adalah intuisi yang salah juga dapat menyebabkan miskonsepsi.

Intuisi adalah suatu perasaan dalam diri seseorang, yang secara spontan mengungkapkan sikap atau gagasannya tentang sesuatu sebelum secara obyektif dan rasional diteliti (Suparno, 2005: 38). Suparno juga menjelaskan bahwa pemikiran atau pengertian intuitif itu berasal dari pengamatan akan benda atau kejadian yang terus-menerus, akhirnya secara spontan, jika siswa


(45)

dihadapkan pada persoalan Fisika siswa langsung teringat akan pengertian spontan tersebut. Hal inilah yang juga dapat menyebabkan miskonsepsi. Contohnya adalah siswa telah mempunyai pengertian spontan bahwa benda padat bila dimasukkan ke air akan tenggelam, kemudian jika mereka dihadapkan pada persoalan apakah gabus jika dimasukkan ke air akan

tenggelam, mereka pasti akan menjawab „ya‟.

Keenam, adalah tahap perkembangan kognitif siswa. Secara umum

siswa SD masih berada pada tahap perkembangan kognitif pada tahap operasional konkret. Proses berpikir seorang siswa berawal dari hal konkret ke abstrak. Siswa yang berada pada tahap konkret masih terbatas untuk mengkonstruksi pengetahuan mereka, terlebih pengetahuan abstrak. Mereka masih memiliki keterbatasan untuk menggeneralisasi, mengabstraksi, dan berpikir sistematis logis. Sehingga tidak jarang konsep yang mereka pelajari tidak lengkap atau bahkan salah konsep.

Ketujuh, adalah kemampuan siswa. Kemampuan siswa juga mempunyai

pengaruh pada miskonsepsi siswa. Suparno (2005: 40) menjelaskan bahwa siswa yang tingkat intelegensi matematis-logisnya kurang tinggi, akan mempengaruhi tingkat pemahaman tentang konsep Fisika terlebih hal yang abstrak. Sedangkan siswa yang IQ-nya rendah juga mudah melakukan miskonsepsi. Hal ini dikarenakan mereka sulit mengkonstruksi pengetahuan Fisika, mereka tidak dapat mengkonstruksi secara lengkap dan utuh. Mayoritas dari mereka tidak menangkap konsep yang benar dan merasa


(46)

bahwa itulah konsep yang benar, maka terjadi miskonsepsi (Suparno, 2005: 41).

Kedelapan, adalah minat belajar. Mayotitas siswa yang mempunyai

ketertarikan dalam bidang Fisika, cenderung mempunyai miskonsepsi lebih rendah bila dibandingkan dengan siswa yang tidak berminat dalam bidang Fisika (Suparno, 2005: 41). Suparno menjelaskan bahwa siswa yang tidak berminat dalam Fisika lebih cenderung kurang memperhatikan penjelasan guru mengenai pengertian Fisika yang baru. Ketika mereka salah menangkap suatu bahan, sering kali mereka tidak berminat untuk mencari mana yang benar dan mengubah konsep yang salah. Akibat dari menumpuk kesalahan itulah yang menyebabkan terjadinya miskonsepsi.

2). Guru atau Pengajar

Miskonsepsi yang terjadi pada siswa dapat pula terjadi karena miskonsepsi yang dibawa oleh guru. Arons & Iona (dalam suparno, 2005) menyebutkan bahwa beberapa guru Fisika tidak memahami konsep Fisika dengan baik, sehingga mereka mengajar dengan beberapa miskonsepsi. Suparno juga menjelaskan bahwa guru yang penguasaan bahan materinya tidak mendalam, sering dalam mengajar, bersikap sebagai ditaktor dan otoriter.

Suparno mengatakan bahwa banyak siswa Indonesia yang enggan untuk menyampaikan miskonsepsinya kepada guru, karena mereka merasa takut untuk menyampaikannya. Banyak guru yang tidak memiliki kedekatan secara


(47)

emosional kepada siswa, sehingga siswa enggan untuk menyampaikan miskonsepsinya. Selain itu guru juga disebabkan, karena guru kurang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan konsepnya. Beberapa hal di atas menjadi salah satu faktor yang memupuk lestarinya miskonsepsi yang terjadi pada siswa.

3) Buku Teks

Miskonsepsi pada siswa juga dapat disebabkan oleh miskonsepsi yang terdapat pada buku teks atau buku yang berisi penjelasan materi mengenai mata pelajaran Fisika. Para peneliti menemukan bahwa beberapa miskonsepsi datang dari buku teks menurut Iona & Renner (dalam Suparno, 2005). Miskonsepsi pada buku teks disebabkan karena bahasa yang digunakan sulit untuk dipahami oleh siswa atau uraian penjelasan yang terkandung di dalamnya tidak benar. Selain itu pemilihan buku teks yang terlalu sulit bagi level siswa SD juga dapat menyebabkan miskonsepsi, karena siswa tidak bisa menangkap seluruh konsep secara utuh melainkan hanya mampu menangkap sebagian dari isi konsep tersebut.

4) Konteks

Faktor selanjutnya yang mempengaruhi miskonsepsi siswa adalah Konteks. Konteks meliputi pengalaman, bahasa sehari-hari, teman lain, dan keyakinan serta ajaran agama. Pertama, adalah pengalaman. Sebelum siswa mendapatkan pendidikan secara formal dibawah bimbingan guru, siswa telah mendapatkan beberapa konsep yang berasal dari pengalaman dalam kehidupan


(48)

sehari-hari. Stavy (dalam Suparno, 2005) menjelaskan bahwa pengertian yang diperoleh siswa melalui pengalaman sifatnya hanya terbatas dan tidak dalam pengertian luas.

Kedua, adalah bahasa sehari-hari. Beberapa miskonsepsi datang dari

penggunaan bahasa sehari-hari yang memiliki arti lain dengan bahasa Fisika, Gilbert, Watts & Osborne (dalam Suparno, 2005). Konteks yang ketiga adalah teman lain atau teman sejawat. Ketika siswa sedang berdiskusi atau kerja kelompok tidak jarang jika didominasi oleh beberapa siswa saja. Bila siswa yang dominan itu memberikan sebuah pengertian yang mengandung miskonsepsi, maka teman lain juga akan terpengaruh dan bahkan dapt percaya dengan penjelasan yang dijelaskannya. Konteks yang keempat adalah keyakinan dan ajaran agama. Keyakinan dan ajaran agama juga dapat menyebabkan miskonsepsi. Pernyataan tersebut didukung oleh Commins (dalam Suparno, 2005) yang meneliti miskonsepsi tentang Astronomi. Commins menjelaskan bahwa keyakinan atau ajaran agama yang diyakini secara kurang tepat sering membuat siswa tidak dapat menerima penjelasan ilmu pengetahuan.

5) Metode Mengajar

Metode mengajar yang diterapkan oleh guru juga dapat menyebabkan miskonsepsi pada siswa. Guru yang hanya menekankan satu segi saja dari konsep bahan yang digeluti juga dapat memunculkan miskonsepsi pada diri siswa. Beberapa metode pembelajaran seperti metode ceramah, praktikum,


(49)

demonstrasi, diskusi, dan penggunaan analogi juga dapat menyebabkan miskonsepsi pada siswa.

Kebiasaan buruk yang ada pada guru juga dapat menyebabkan miskonsepsi pada siswa. Salah satu contohnya adalah kebiasaan guru yang terlambat atau terlalu lama memberikan hasil pekerjaan siswa yang sudah dikoreksi kepada siswa itu sendiri. Hal ini dapat menyebabkan miskonsepsi, karena siswa merasa benar akan jawabannya dikarenakan tidak adanya pembetulan.

Berdasarkan paparan di atas, penulis menyimpulkan bahwa guru harus selalu kritis dalam memilih dan menggunakan metode pembelajaran. Selain itu guru harus selalu mengevaluasi metode pembelajaran yang telah diterapkannya, mengingat beberapa metode pembelajaran yang dinilai sudah bagus justru dapat menjadi salah satu penyebab miskonsepsi pada siswa.

c. Mendeteksi Adanya Miskonsepsi

Miskonsepsi dapat dideteksi melalui enam cara yang dikelompokkan sebagai berikut ini (Suparno, 2005: 121).

1). Peta Konsep (Concept Map)

Peta konsep dapat digunakan untuk mendeteksi miskonsepsi Fisika yang dialami oleh siswa. Identifikasi miskonsepsi dengan menggunakan peta konsep dapat diimbangi dengan wawancara. Menggunakan peta konsep, siswa diminta untuk mengungkapkan gagasan pokok tentang konsep yang dianggap menggandung miskonsepsi dengan disusun secara


(50)

hirarkis (Suparno, 2005: 121). Miskonsepsi dapat dilihat dari proporsisi yang salah dan tidak ada hubungan yang lengkap antar konsep Novak & Gowin (dalam Suparno, 2005).

2). Tes Multiple Choice dengan Reasoning terbuka

Miskonsepsi yang terjadi pada siswa dapat diidentifikasi dengan menggunakan tes multiple choice (pilihan ganda) dengan reasoning (alasan) terbuka. Tipe tes ini mengharuskan siswa untuk menjawab soal pilihan ganda dan menuliskan alasan mengapa ia mempunyai jawaban seperti itu Amir dkk (dalam Suparno, 2005). Berdasarkan jawaban dan alasan yang telah dituliskan siswa, maka peneliti dapat mengklasifikasikannya sehingga dapat diketahui miskonsepsi yang terjadi pada siswa.

3). Tes Esai Tertulis

Miskonsepsi dapat pula dideteksi dengan menggunakan tes esai tertulis, namun guru harus mempersiapkan tes esai terlebih dahulu. Untuk mengetahui lebih mendalami tentang miskonsepsi yang dialami oleh siswa pada setiap bidangnya, maka guru dapat melakukan wawancara.

4). Wawancara Diagnosis

Wawancara diagnosis dapat digunakan juga untuk mendeteksi miskonsepsi pada siswa. Wawancara adalah teknik pengumpulan data menggunakan bahasa lisan baik secara tatap muka maupun melalui saluran media tertentu (Sukmadinata, 2008: 216). Guru dapat menggunakan teknik


(51)

wawancara bebas maupun terstruktur. Untuk wawancara bebas, guru dapat bertanya dengan bebas dan siswa juga dapat menjawab sebebas mungkin. Sedangkan untuk wawancara terstruktur guru sudah menyiapkan garis besar daftar pertanyaan. Berdasarkan jawaban yang diberikan oleh siswa, maka guru dapat mendeteksi miskonsepsi yang dialami oleh siswa.

5). Diskusi dalam Kelas

Diskusi adalah metode pembelajaran dimana siswa dihadapkan pada suatu permasalahan dengan tujuan supaya siswa tersebut dapat memecahkan masalah tersebut (Majid, 2013: 200). Melalui metode diskusi dalam kelas, miskonsepsi pada siswa dapat dilihat dari gagasan-gagasan yang diungkapkan oleh siswa. Saat menggunakan metode ini untuk mengetahui miskonsepsi pada siswa, guru atau peneliti berperan sebagai fasilitator yang dapat menumbuhkan keberanian dalam diri siswa untuk mengungkapkan seluruh gagasannya.

6). Praktikum dengan Tanya Jawab

Praktikum adalah kegiatan pembelajaran dimana siswa membuktikan sebuah teori yang telah didapatkan mengenai suatu konsep dengan menggunakan percobaan. Selama kegiatan praktikum berlangsung guru memberikan beberapa pertanyaan kepada siswa. Guru atau peneliti dapat mengetahui miskonsepsi pada siswa dengan cara memperhatikan setiap uraian jawaban yang diungkapkan oleh siswa terhadap setiap soal.


(52)

d. Kiat Mengatasi Miskonsepsi

Suparno (2005: 55) menjelaskan bahwa secara garis besar untuk mengatasi masalah miskonsepsi adalah sebagai berikut ini. Pertama, mencari atau mengungkap miskonsepsi yang dilakukan siswa. Kedua, mencoba menemukan penyebab miskonsepsi tersebut. Ketiga, mencari perlakuan yang sesuai untuk mengatasi. Berdasarkan ketiga hal tersebut, hal yang paling penting untuk mengatasi miskonsepsi pada siswa adalah mencari penyebab miskonsepsi yang terjadi pada siswa tersebut.

Untuk dapat mengetahui penyebab miskonsepsi pada siswa, guru harus memahami kerangka berpikir pada siswa. Melalui cara tersebut guru dapat mengetahui cara berpikir, cara menangkap, dan gagasan siswa, sehingga guru dapat mengetahui letak miskonsepsi yang dialami oleh siswa. Langkah pertama yang dapat dilakukan guru untuk memahami gagasan yang ada dalam diri siswa adalah sebagai berikut ini (Suparno, 2005: 56).

1). Siswa dibebaskan mengungkapkan gagasan dan pemikirannya mengenai bahan yang sedang dibicarakan, Mestre & Brouwer (dalam Suparno, 2005). Hal ini dapat dilakukan secara lisan atau pun terlutis.

2). Guru dapat memberikan pertanyaan kepada siswa tentang konsep yang biasanya membuat siswa bingung dan siswa diminta untuk menjawabnya secara jujur.

3). Guru mengajak siswa untuk berdiskusi tentang bahan tertentu, yang biasanya mengandung miskonsepsi, dan guru membiarkan siswa


(53)

berdiskusi dengan bebas. Guru dapat memantau dari jalannya diskusi mengenai konsep-konsep yang salah.

Langkah kedua adalah langkah yang paling penting, yakni mencari penyebab miskonsepsi. Guru dapat menggali penyebab miskonsepsi yang terjadi pada siswa melalui wawancara yang dilakukan baik secara pribadi maupun klasikal. Selain itu guru juga dapat memberikan pertanyaan tertulis kepada siswa yang nantinya akan disatukan dengan miskonsepsi siswa.

Langkah ketiga adalah mencari jalan untuk mengatasi miskonsepsi pada siswa. Pemilihan cara yang akan digunakan pada langkah terakhir ini sangat dipengaruhi oleh penyebab dan situasi siswa sendiri. Guru dapat mencari dan memilih metode atau strategi yang cocok untuk mengatasi miskonsepsi pada siswa.

Berdasarkan uraian kiat-kiat mengatasi miskonsepsi di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa guru harus benar-benar mengetahui letak miskonsepsi yang dialami oleh siswa. Selain itu penting juga guru mengetahui penyebab utama seorang siswa mengalami miskonsepsi. Kedua hal tersebut berpengaruh terhadap pemilihan metode atau strategi untuk mengatasi miskonsepsi pada siswa, sehingga guru dapat memilih metode atau strategi secara tepat dan efisien.


(54)

6) Hakikat Pembelajaran IPA a. Pengertian IPA

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari alam beserta isinya. Sumanto (dalam Putra, 2013: 41) menjelaskan bahwa IPA adalah salah satu cara untuk mencari tahu tentang alam secara sistematis untuk mendapatkan fakta-fakta dan konsep. IPA adalah salah satu cara atau metode untuk mengamati alam yang bersifat analisis, lengkap, cermat serta menghubungkan antara suatu fenomena dengan fenomena lain Nash (dalam Samatowa, 2011: 3). Wisudawati (2014: 22) menjelaskan bahwa IPA adalah ilmu yang memiliki karakteristik khusus yaitu mempelajari fenomena-fenomena alam yang faktual baik berupa kenyataan maupun kejadian dan hubungan sebab akibat.

Dari ketiga definisi di atas dapat disimpulkan bahwa IPA adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari gejala-gejala dan fenomena alam yang terjadi secara faktual melalui kegiatan mengamati secara sistematis untuk menemukan sebuah fakta dan pemahaman konsep.

b. IPA sebagai Produk

Ilmu Pengetahuan Alam sebagai disiplin disebut juga sebagai produk IPA (Iskandar, 1997: 2). Produk IPA merupakan kumpulan hasil dari kegiatan empirik dan kegiatan analitik yang dilakukan oleh para ilmuwan selama berabad-abad. Iskandar juga menjelaskan bahwa bentuk IPA sebagai produk adalah fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan teori-teori IPA.


(55)

Apabila ditelaah lebih lanjut fakta merupakan hasil dari kegiatan empirik dalam IPA, sedangkan konsep, prinsip, dan teori dalam IPA merupakan hasil dari kegiatan analitik.

c. IPA sebagai Proses

IPA tidak hanya merupakan kumpulan pengetahuan tentang benda-benda atau mahkluk-mahkluk serta kumpulan fakta-fakta. Iskandar (1997: 4) menjelaskan bahwa IPA mencakup tentang cara kerja, cara berpikir, dan cara memecahkan masalah. Iskandar juga menjelaskan bahwa memahami IPA berarti juga memahami proses IPA, yaitu memahami bagaimana mengumpulkan fakta dan memahami bagaimana menghubungkan fakta-fakta untuk mengintepretasikannya.

Usaha yang dilakukan oleh para ilmuwan dalam memahami IPA sebagai proses, yaitu dengan menerapkan prosedur empirik dan prosedur analitik. Prosedur-prosedur inilah yang disebut sebagai proses ilmiah atau proses sains. Iskandar lebih menjelaskan bahwa keterampilan proses IPA atau keterampilan sains disebut juga keterampilan belajar seumur hidup, karena keterampilan ini digunakan untuk kehidupan sehari-hari dan untuk bidang studi lainnya.

d. IPA sebagai Pembentukan Sikap

IPA sebagai disiplin ilmu dan penerapannya dalam masyarakat membuat pendidik IPA menjadi penting untuk diajarkan disetiap jenjang pendidikan. Proses pembelajaran IPA di sekolah harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan kognitifnya. Sehingga diharapkan dapat menumbuhkan


(56)

sikap ilmiah dan sikap berpikir kritis. Selain diminta untuk mempelajari fakta-fakta seperti jenis hewan atau pun tumbuhan, siswa juga diajarkan untuk menggunakan metode-metode guna memecahkan masalah dengan baik, melatih kemampuan untuk mengambil keputusan secara bertanggungjawab, melatih bersifat objektif dan tidak terburu-buru dalam mengambil kesimpulan, melatih bekerja sama dalam kelompok, dan melatih menghargai pendapat orang lain (Iskandar, 1997: 18).

e. Tujuan Pembelajaran IPA

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) menjadi mata pelajaran wajib yang diberikan pada setiap jenjang pendidikan, khususnya bagi sekolah dasar. Isi mata pelajaran IPA memuat beberapa hal-hal penting yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari.

Sumatowa (2011: 6) menjelaskan bahwa tujuan IPA dimasukkan ke dalam suatu kurikulum sekolah, yaitu IPA dapat memberikan manfaat bagi perkembangan suatu bangsa, karena IPA merupakan dasar teknologi atau berperan sebagai tulang punggung pembangunan. Tujuan yang kedua adalah melalui mata pelajaran IPA akan melatih siswa untuk berpikir secara kritis. Tujuan yang ketiga adalah IPA bukanlah sebuah mata pelajaran yang bersifat hafalan, melainkan banyak memberikan pengalaman belajar kepada siswa melalui percobaan-percobaan. Tujuan yang keempat adalah melalui mata pelajaran IPA dapat membentuk kepribadian anak secara keseluruhan dan menumbuhkan sikap ilmiah.


(57)

Sedangkan tujuan pembelajaran IPA di sekolah dasar berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006, agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut:

1). Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan, dan keteraturan alam ciptaan-Nya. 2). Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang

bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

3). Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif, dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, tekonologi, dan masyarakat.

4). Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan.

5). Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga, dan melestarikan alam lingkungan.

Berdasarkan kedua tujuan di atas peneliti menyimpulkan bahwa IPA adalah salah satu mata pelajaran yang penting dan wajib untuk diberikan disetiap jenjang pendidikan, khususnya sekolah dasar. Kedua tujuan yang dipaparkan di atas sama-sama memiliki tujuan yang dapat mengembangkan siswa menjadi siswa yang lebih kritis, ilmiah, objektif, dan memiliki kepedulian terhadap alam sekitar. Selain itu IPA dapat diimplikasikan dalam kehidupan sehari-hari guna meningkatkan kesejahteraan dan kemajuan suatu bangsa.


(58)

7) Pembelajaran IPA di SD Kelas V

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) tahun 2006. Peneliti mengambil materi pelajaran untuk kelas V semester 2. Adapun Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut ini.

Tabel 2.1 Standar Isi Sekolah Dasar

Standar Kompetensi (SK) Kompetensi Dasar (KD)

Energi dan Perubahannya

5. Memahami hubungan antara gaya, gerak, dan energi, serta fungsinya.

5.1 Mendeskripsikan hubungan antara gaya, gerak, dan energi melalui percobaan (gaya gravitasi, gaya gesek, dan gaya magnet).

5.2 Menjelaskan pesawat sederhana yang dapat membuat pekerjaan lebih mudah dan lebih cepat.

6. Menerapkan sifat-sifat cahaya melalui kegiatan membuat suatu karrya atau model.

6.1 Mendeskripsikan sifat-sifat cahaya. 6.2 Membuat suatu karya atau model,

misalnya periskop atau lensa dari bahan sederhana dengan menerapkan sifat-sifat cahaya.

Bumi dan Alam Semesta

7. Memahami perubahan yang terjadi di alam dan hubungannya dengan penggunaan sumber daya alam.

7.1Mendeskripsikan proses pembentukan tanah karena pelapukan.

Materi yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini mengacu pada SK dan KD yang telah dipaparkan di atas. Secara garis besar materi yang digunakan, yaitu gaya, pesawat sederhana, sifat-sifat cahaya, merancang karya atau model dengan menerapkan sifat cahaya, dan tentang batuan. Uraian materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut ini diambil dari Buku Elektronik Sekolah atau BSE (Sulisyanto & Wiyono, 2009).

a. Gaya

Setiap hari banyak aktivitas manusia yang berhubungan dengan gaya. Contoh sederhananya adalah ketika kita sedang membuka atau menutup


(59)

pintu, kegiatan membuka atau menutup pintu sudah termasuk melakukan gaya yang berupa dorongan dan tarikan. Gaya terhadap suatu benda dapat mengakibatkan benda bergerak, berubah bentuk, dan berubah arah. Berdasarkan sumbernya, gaya dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu gaya gravitasi, gaya gesek, dan gaya magnet.

1). Gaya Gravitasi

Gaya gravitasi sering disebut juga sebagai gaya tarik bumi. Buah mangga yang berada di atas pohonnya dapat jatuh ke bawah, karena adanya gaya gravitasi bumi. Contoh lainnya adalah air mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah dan bola yang dilempar ke atas kemudian akan jatuh kembali ke bawah. Gaya gravitasi yang terjadi pada benda yang jatuh dari ketinggian tertentu tentunya berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena gaya gravitasi dipengaruhi oleh ukuran dan bentuk benda tersebut.

Gravitasi adalah gaya tarik-menarik yang terjadi antara semua partikel yang mempunyai massa di alam semesta. Bumi yang mempunyai massa sangat besar menghasilkan gaya gravitasi yang sangat besar untuk menarik benda di sekitarnya, termasuk benda-benda yang ada di bumi. Gaya gravitasi juga dapat menarik benda-benda-benda-benda yang ada di luar angkasa seperti meteor, satelit buatan manusia, dan bulan. Gaya tarik ini yang menyebabkan benda-benda tersebut selalu


(60)

berada di tempatnya. Apabila tidak ada gaya gravitasi bumi, maka semua benda termasuk manusia akan melayang-layang di udara.

Gambar 2.1 Seorang anak sedang melempar bola ke atas

Sumber: Buku BSE (Sulistyanto, 2009: 98)

2). Gaya Gesek

Ketika kita sedang mendorong kardus yang berada di atas lantai, maka akan terjadi gesekan antara permukaan kardus dengan lantai. Gaya gesekan tersebut akan menghambat gerakan kardus. Kekuatan hambatan akibat gesekan inilah yang disebut gaya gesek. Jadi gaya gesek adalah gaya yang menimbulkan hambatan ketika dua permukaan benda saling bersentuhan.

Gaya gesek antara dua benda dapat diperkecil dan diperbesar. Untuk memperkecil gaya gesek dapat dilakukan dengan cara memperhalus permukaan benda. Contohnya adalah melumasi rantai sepeda dengan minyak pelumas, sehingga sepeda akan lebih mudah dikayuh. Gaya gesek juga dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya adalah ketika sedang mengerem sepeda. Rem sepeda akan mencengkeram roda untuk menghambat putaran roda. Selain itu


(61)

ban sepeda, motor, dan mobil dibuat model beralur, supaya saat kita sedang berkendara tidak tergelencir.

Gambar 2.2 Model alur pada ban mobil

Sumber: Buku BSE (Sulistyanto, 2009: 101)

3). Gaya Magnet

Gaya magnet berasal dari batuan yang mengandung logam besi. Batuan logam tersebut diolah sampai pada akhirnya menjadi magnet. Tarikan atau dorongan yang disebabkan oleh magnet disebut gaya magnet. Tidak semua benda dapat ditarik oleh magnet. Hanya benda-benda yang memiliki sifat tertentu saja yang dapat ditarik oleh magnet.

b. Pesawat Sederhana

Pesawat sederhana adalah semua jenis alat yang digunakan untuk memudahkan pekerjaan manusia. Kesederhanaan dalam penggunannya menyebabkan alat-alat tersebut dikenal dengan sebutan pesawat sederhana. Pesawat sederhana dikelompokkan menjadi empat jenis, yaitu tuas, bidang miring, katrol, dan roda berporos.


(62)

1). Tuas

Tuas atau sering disebut dengan nama pengungkit. Pada umumnya tuas menggunakan batang besi atau kayu yang digunakan untuk mengungkit suatu benda. Terdapat tiga titik yang menggunakan gaya ketika kita mengungkit suatu benda, yaitu beban (B), titik tumpu (TT), dan kuasa (K). beban merupakan berat benda, sedangkan titik tumpu merupakan tempat bertumpunya suatu gaya. Gaya yang bekerja pada tuas tersebut disebut kuasa.

Gambar 2.3 Linggis untuk memudahkan memindahkan batu besar.

Sumber: Buku BSE (Sulistyanto, 2009: 110)

Berdasarkan posisi atau kedudukan beban, titik tumpu, dan kuasa, tuas digolongkan menjadi tiga, yaitu tuas golongan pertama, tuas golongan kedua, dan tuas golongan ketiga. Perbedaan dari ketiga tuas tersebut adalah sebagai berikut ini.

Tabel 2.2 Jenis-jenis Tuas

Tuas Jenis Ke- Keterangan Contoh

Tuas Jenis ke-1 Kedudukan titik tumpu terletak diantara beban dan kuasa.

Jungkat-jungkit Linggis Pencabut paku


(63)

Tuas Jenis Ke- Keterangan Contoh

Tuas Jenis ke-2 Kedudukan beban terletak diantara titik tumpu dan kuasa.

Alat pemecah kemiri

Pembuka tutup botol

Tuas Jenis ke-3 Kedudukan kuasa terletak diantara titik tumpu dan beban.

Sekop Sapu

Sumber: Buku BSE (Sulistyanto, 2009)

2). Bidang Miring

Dalam kehidupan sehari-hari banyak sekali peralatan sederhana yang menggunakan prinsip kerja bidang miring. Salah satu contohnya adalah jalan di pegunungan yang dibuat berkelok-kelok. Bidang miring adalah permukaan rata yang menghubungkan dua tempat yang berbeda ketinggiannya. Tujuan jalanan di pegunungan dibuat berkelok-kelok supaya pengendara kendaraan bermotor lebih mudah melewati jalan yang menanjak. Keuntungan menggunakan bidang miring adalah dapat dengan mudah memindahkan benda ke tempat yang lebih tinggi dengan gaya yang lebih kecil. Kelemahannya adalah jarak yang ditempuh untuk memindahkan benda menjadi lebih jauh.


(64)

3). Katrol

Katrol adalah roda yang berputar pada porosnya. Berdasarkan cara kerjanya, katrol merupakan jenis pengungkit karena memiliki titik tumpu, kuasa, dan beban. Katrol digolongkan menjadi tiga, yaitu katrol tetap, katrol bebas, dan katrol majemuk. Perbedaan dari ketiga katrol tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 2.3 Jenis-jenis Katrol

Jenis Katrol Keterangan Contoh

Katrol Tetap Katrol tetap tidak akan pernah berpindah tempat ketika digunakan.

Sumur timba Katrol tiang bendera Katrol Bebas Kedudukannya dapat

berubah, biasanya ditempatkan di atas tali.

Alat pengangkat peti kemas di pelabuhan

Katrol Majemuk Gabungan antara katrol tetap dan katrol bebas. Beban akan dikaitkan pada katrol bebas, sedangkan satu ujung tali dikaitkan pada katrol tetap.


(65)

c. Sifat-sifat Cahaya dan Pemanfaatannya

Kita dapat melihat benda yang ada di sekeliling kita, karena ada cahaya. Cahaya akan mengenai benda dipantulkan ke mata kita. Cahaya berasal dari sumber cahaya. Contoh sumber cahaya adalah matahari, lampu, senter, dan bintang. Tiga sifat cahaya, yaitu merambat lurus, menembus benda bening, dan dapat dipantulkan.

Sifat cahaya yang dihasilkan oleh cermin tentunya berbeda-beda sesuai dengan bentuk permukaan cermin tersebut. Berdasarkan permukaannya, cermin dikelompokkan menjadi tiga, yaitu cermin datar, cermin cekung, dan cermin cembung.

Tabel 2.4 Sifat-sifat Cermin

Jenis Cermin Sifat Bayangan yang

Dibentuk

Contoh

Cermin Datar Tegak dan semu

Besar dan tinggi bayangan sama dengan besar dan tinggi benda sebenarnya. Jarak benda dengan cermin sama dengan jarak bayangannya.

Bagian kiri pada bayangan merupakan bagian kanan pada benda dan sebaliknya.

Cermin Cekung Semu, lebih besar, dan tegak jika letak benda dekat dengan cermin cekung.

Nyata dan terbalik jika letak benda dijauhkan dari cermin cekung.


(66)

Jenis Cermin Sifat Bayangan yang Dibentuk

Contoh

Cermin Cembung Semu, tegak, dan diperkecil.

Sumber: Buku BSE (Sulistyanto, 2009)

Sifat cahaya yang selanjutnya adalah dapat dibiaskan atau dibelokkan. Contohnya adalah pensil yang dimasukkan ke dalam gelas yang berisi air, maka pensil tersebut seperti tampak patah. Hal ini disebabkan karena cahaya merambat melalui dua medium yang berbeda kerapatannya, sehingga cahaya tersebut dibiaskan atau dibelokkan. Apabila cahaya merambat dari zat yang kurang rapat ke zat yang lebih rapat, maka cahaya akan dibiaskan mendekati garis normal. Sebalikknya jika cahaya merambat dari zat yang lebih rapat ke zat yang kurang rapat maka cahaya akan dibiaskan menjauhi garis normal. Garis normal adalah garis yang tegak lurus pada bidang batas kedua permukaan.

Gambar a Gambar b

Gambar 2.4 a. Jalannya sinar dari medium rapat ke kurang rapat. b.Jalannya sinar dari medium kurang rapat ke rapat.


(67)

d. Pembentukan Tanah

Daratan yang menjadi tempat tinggal kita ini merupakan lapisan bumi yang padat dan tersusun dari tanah dan batuan. Lapisan ini disebut kerak bumi atau litosfer. Tanah merupakan hasil dari pelapukan yang terjadi pada batuan. Batuan yang berada di atas permukaan tanah akan mengalami perubahan secara terus menerus karena adanya pengaruh dari lingkungan. Perubahan cuaca, suhu, dan tekanan udara dapat menyebabkan batuan memuai kemudian pecah menjadi batuan-batuan yang lebih kecil lagi. Batuan-batuan ini lama-kelamaan akan menjadi butiran-butiran halus. Apabila terjadi hujan, butiran-butiran halus tersebut kemudian akan terbawa oleh air dan mengendap di daerah aliran. Pengendapan inilah yang nantinya menyebabkan munculnya tumpukan atau lapisan tanah yang kaya akan mineral. Selain pengaruh suhu, curah hujan, dan tekanan, pelapukan pada batuan juga dapat disebabkan oleh tumbuhan. Tumbuhan yang hidup di atas batuan dapat menyebabkan lapuknya berbagai jenis batuan. Apabila berlangsung dalam waktu yang cukup lama maka batuan akan pecah menjadi butiran-butiran halus.

8) Miskonsepsi IPA

Seorang siswa sebelum mengikuti proses pembelajaran formal di sekolah sudah mempunyai konsep awal Fisika (Suparno, 2005: 2). Konsep awal didapatkan melalui berbagai macam pengalaman hidup sehari-hari, namun tidak semua konsep awal tersebut benar sesuai dengan konsep ilmiah.


(68)

Suparno menjelaskan lebih lanjut bahwa konsep awal yang tidak sesuai dengan konsep ilmiah dapat disebut miskonsepsi atau salah konsep.

Suparno (2005: 1) memberikan contoh siswa SD yang mengalami miskonsepsi IPA, ketika ada pertanyaan “Manakah yang bera antara bumi

mengelilingi matahari atau matahari mengelilingi bumi?”. Secara mantap dan

yakin siswa tersebut menjawab: “matahari mengelilingi bumi”. Berdasarkan jawaban yang diberikan oleh siswa, dapat disimpulkan bahwa siswa tersebut mengalami miskonsepsi atau salah konsep. Konsep ilmiah yang benar berdasarkan pertanyaan tersebut, yaitu bumi mengelilingi matahari.

B.Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian pertama yang relevan adalah penelitian yang dilakukan oleh Pujayanto (2006) tentang Miskonsepsi IPA Fisika pada Guru SD. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya miskonsepsi IPA Fisika guru kelas V SD di Kecamatan Tasikmadu Kabupaten Karanganyar dan mendiskripsikan profil miskonsepsi IPA Fisika pada guru kelas V SD di Kecamatan Tasikmadu Kabupaten Karanganyar. Penelitian ini menggunakan metode penelitian Expose Facto. Teknik pengambilan data menggunakan teknik tes dan instrumen tesnya berupa tes diagnostik miskonsepsi pada pokok bahasan Gaya dan Cahaya. Untuk menjawab hipotesis penelitian digunakan teknik analisis deskriptif kuantitatif, yaitu berupa analisis kualitatif tentang ada tidaknya miskonsepsi. Dari hasil penelitian ternyata terbukti bahwa guru mengalami


(69)

miskonsepsi IPA Fisika pada pokok bahasan Gaya dan Cahaya serta profil miskonsepsi yang dimiliki guru lebih dari 30%. Adapun besar miskonsepsinya adalah sebagai berikut ini: 1). gaya dapat berupa tarikan atau dorongan, gaya magnet selalu berupa tarikan (45%); 2). gaya gravitasi dapat berupa dorongan maupun tarikan (40%); 3). massa benda di bumi sama dengan massa benda di bulan, berat benda di bumi sama dengan berat benda di bulan (60%); 4). setiap dua benda bersentuhan muncul gaya gesekan (60%); 5). pesawat sederhana meringankan kerja manusia, berarti pada umumnya dengan menggunakan pesawat sederhana gaya (kuasa) dan energi yang digunakan menjadi lebih kesil (100%); 6). cahaya dapat merambat lurus, berarti cahaya tidak dapat dipantulkan oleh permukaan tembok tetapi dapat dibiaskan oleh sebuah medium (85%); 7). benda dapat dilihat jika benda tersebut sebagai sumber cahaya atau ada cahaya dari mata yang sampai ke benda (50%); 8). cahaya lampu neon dapat diurai menjadi cahaya warna pelangi, karena cahaya lampu neon adalah cahaya putih seperti cahaya putih matahari (55%). Relevansi penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah sama-sama membahas tentang miskonsepsi IPA Fisika dengan materi kelas V.

Hasil penelitian relevan yang kedua dilakukan oleh Taufiq (2012) dengan judul penelitian Remidiasi Miskonsepsi Mahasiswa Calon Guru Fisika Pada Konsep Gaya melalui Penerapan Model Siklus Belajar (Learning Cycle) 5E. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi miskonsepsi mahasiswa berkaitan dengan konsep gaya menggunakan Certainty of Response Index (CRI) dan wawancara. Hasil analisis data menunjukkan bahwa mahasiswa mengalami


(70)

miskonsepsi berkaitan dengan konsep gaya dengan berbagai tingkatan yang berbeda-beda yaitu tingkat tinggi, sedang, dan redah. Penggunaan tes model CRI sangat membantu penelitian khususnya untuk memetakan tingkat miskonsepsi yang dialami oleh mahasiswa. Implementasi model pembelajaran siklus belajar

(learning cycle) 5E efektif mampu untuk meningkatkan proporsi penurunan

jumlah siswa yang mengalami miskonsepsi. Penelitian tersebut relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh peneliti, yakni meneliti tentang miskonsepsi IPA Fisika. Penelitian tersebut juga memiliki perbedaan dengan penelitian ini, yaitu penelitian tersebut meneliti tentang remidiasi miskonsepsi mahasiswa calon guru fisika pada konsep gaya melalui penerapan model siklus belajar (learning cycle) 5E, sedangkan penelitian ini meneliti tentang miskonsepsi IPA Fisika siswa kelas V SD.

Penelitian relevan yang ketiga adalah penelitian yang dilakukan oleh Saputra (2013). Penelitian ini tentang Upaya Mengatasi Miskonsepsi Siswa melalui Model Pembelajaran Children Learning in Science (CLIS) Berbasis Simulasi Komputer pada Pokok Bahasan Listrik Dinamis. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana model pembelajaran CLIS berbasis simulasi computer dapat mengurangi kuantitas miskonsepsi siswa pada pembelajaran listrik dinamis. Penelitian yang dilakukan oleh Saputra menggunakan jenis penelitian kuantitatif pre eksperimental dengan subjek penelitian siswa kelas X disalah satu SMA di Kabupaten Aceh Barat Daya. Data penelitian diperoleh melalui tes penguasaan konsep pada materi listrik dinamis


(1)

Lampiran 8a. Surat Izin Melakukan Penelitian dari Universitas Sanata Dharma


(2)

(3)

(4)

Lampiran 8d. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian dari UPT Pelayanan Pendidikan Kecamatan Ngemplak


(5)

Lampiran 9. Dokumentasi Penelitian

SAMPEL DOKUMENTASI PENELITIAN

Pelaksanaan Penelitian di SDN Krapyak 1

Pelaksanaan Penelitian di SDN Krapyak 2

Pelaksanaan Penelitian di SDN Kejambon 1

Pelaksanaan Penelitian di SDN Kejambon 2

Bapak Kepala Sekolah dan Guru Kelas V SDN Krawitan

Foto Bersama Ibu Guru Kelas V SDN Krawitan


(6)

Biodata Penulis

Penulis bernama Yohana Puji Asri, lahir di Klaten, Jawa Tengah pada tanggal 17 September 1994. Penulis adalah anak kedua tiga bersaudara dari pasangan Bp. Alexius Hartono dan Ibu Ch. Suyani. Penulis menyelesaikan pendidikan awal di TK Sta. Theresia Wedi, Klaten pada tahun 2000. Peneliti menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Kanisius Murukan Wedi pada tahun 2006, kemudian peneliti melanjutkan pendidikan pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Pangudi Luhur 1 Klaten dan lulus pada tahun 2009. Setelah menempuh pendidikan SMP, peneliti melanjutkan pendidikan di SMA Padwawijaya Klaten dan lulus pada tahun 2012. Setelah tamat SMA, peneliti melanjutkan pendidikan pada jenjang Perguruan Tinggi dengan mengambil Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Ketika menjadi mahasiswa PGSD Universitas Sanata Dharma, peneliti juga mengembangkan kemampuannya baik di bidang akademik maupun non akademik dengan mengikuti beberapa kegiatan kepanitian yang diselenggarakan di dalam kampus. Beberapa kegiatan tersebut antara lain, Pelatihan Pengembangan Kepribadian Mahasiswa (PPKM) I dan II, Kursus Mahir Dasar (KMD) Pembina Pramuka, English Club, pada tahun 2014 berhasil lolos pada kegiatan Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dengan judul “BASIK JA KLASIK di SD Winongo” dengan didanai oleh DIKTI, panitia kegiatan inisiasi mahasiswa baru Program Studi PGSD, mengikuti seminar desiminasi hasil magang IB-PYP, dan seminar pendidikan lainnya.