Miskonsepsi IPA Fisika siswa kelas V semester 2 SD Negeri se-Kecamatan Depok Kabupaten Sleman.

(1)

MISKONSEPSI IPA FISIKA SISWA KELAS V SEMESTER 2 SD NEGERI SE KECAMATAN DEPOK KABUPATEN SLEMAN

Oleh:

Luciana Puput Indriati 121134003

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya miskonsepsi IPA Fisika pada siswa SD Kelas V khususnya semester 2 di Kecamatan Depok Kabupaten Sleman. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan miskonsepsi IPA Fisika siswa kelas V SD semester 2 se-Kecamatan Depok dan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan miskonsepsi IPA Fisika dilihat dari tingkat pendidikan orang tua siswa kelas V SD semester 2 se-Kecamatan Depok.

Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan metode survei. Data penelitian dikumpulkan dengan cara tes tertulis, wawancara, dan dokumentasi. Tes tertulis dilakukan dengan mengerjakan soal tipe pilihan ganda dan esai. Tes tertulis bertujuan untuk mengetahui miskonsepsi yang dialami oleh siswa dalam pelajaran IPA Fisika. Populasi dalam penelitian ini berjumlah 1301. Sampel penelitian dihitung dengan menggunakan tabel Krejcie (tingkat kepercayaan 95%, margin of

eror 5%), dan cara pengambilan sampel menggunakan simple random sampling.

Berdasarkan perhitungan menggunakan tabel Krejcie jumlah sampel yang digunakan adalah 297 siswa. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan statistik deskriptif. Data hasil tes tertulis tersebut kemudian dianalisis untuk menemukan dan mendeskripsikan miskonsepsi yang dialami siswa. Data miskonsepsi dan data tentang tingkat pendidikan yang diperoleh kemudian dianalisis untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan miskonsepsi dilihat dari tingkat pendidikan orang tua. Data tersebut diolah secara kuantitatif dengan menggunakan program SPSS.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi miskonsepsi IPA Fisika pada siswa kelas V SD semester 2 se-Kecamatan Depok. Konsep-konsep yang rentan mengalami miskonsepsi adalah konsep tentang gaya, pesawat sederhana, cermin, cahaya, pelapukan (proses pembentukan tanah), dan struktur bumi. Jika dilihat dari tingkat pendidikan orang tua, tidak ada perbedaan miskonsepsi IPA Fisika pada siswa kelas V SD.


(2)

ABSTRACT

PHYSICS MISCONCEPTION OF THE FIFTH GRADE OF ELEMENTARY SCHOOL SECOND SEMESTER IN

DEPOK SUBDISTRICT SLEMAN DISTRICT By:

Luciana Puput Indriati 121134003

The research is grounded by the existance of the physics misconception on the elementary students of the fifth grade. This research is to describe the physics misconception of the fifth grade of elementary school of the second semester in Depok subdistrict and to know whether there is or there is not difference of physics seen from the education level of parents students of the fifth grade elementary students of the second semester in Depok subdistrict.

The kind of the research is quantitative using survey method. The data of the research was collected by using return test, interview, and documentation. The written test was carried out by doing multiple choise and essays. The written test is to know the misconception undergone by the students in physics science lesson. The population in this research is 1301. The sample of the research was counted

using Krejcie’s table (the level of trust 95 % , the margin of error 5%), and the

way the sample collection use simple random sampling. Based on the calculation of use table krejcie the sample of the used is 297 students. The technique of the data analys in the research was using descriptive statistic. The data of the result of the return test then was analys to find and describe the misconception undergone by the students. Data misconception and data on the level of education obtained then analyzed to know whether there was misconception different or not viewed from the education level of parents students. The data was analys quantitative by using SPSS program.

The result of the research showed that it happened physics science misconception on the fifth grade of elementary students in the second semester in Depok subdistrict. The concepts in risk to undergo the misconception is the concept were about force, simple plane, mirror, radiance, weathering, and earth structure. If it was viewed the education level of parents students, there is no difference of physics misconception on the elementary students of the fifth grade. Keywords: misconception, physics, education level.


(3)

i

MISKONSEPSI IPA FISIKA SISWA KELAS V SEMESTER 2 SD NEGERI SE KECAMATAN DEPOK KABUPATEN SLEMAN

SKRIPSI

Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar

Oleh :

Luciana Puput Indriati 121134003

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2016


(4)

(5)

(6)

iv

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada:

1. Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria yang senantiasa menjaga dan melindungiku.

2. Kedua orang tuaku Petrus Sumarjiyono dan Iskaryati yang selalu menyayangi, mendoakan, dan memotivasi dalam setiap perjalanan hidupku.

3. Kedua kakakku Anastasia Wahyu Widayati dan Christina Desti Widyaningrum yang selalu mendoakan dan memotivasiku.

4. Penyemangatku Yoseph Bravian Aderika Sinaba.

5. Keluarga besar dan semua sahabat yang selalu mendukungku. 6. Almamater Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.


(7)

v

MOTTO

Orang malas tidak akan menangkap buruannya, tetapi orang rajin akan

memperoleh harta yang berharga.

(Amsal, 12:27)

Bukan kesulitan yang membuat kita takut, tapi sering ketakutanlah

yang sering membuat kita jadi sulit jadi, jangan mudah menyerah.

(Joko Widodo)

Ketika kegagalan datang menghampirimu yang perlu kamu lakukan

hanya terus mencoba, karena keberhasilan terletak kepada mereka

yang mau berusaha.

(penulis)


(8)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar referensi, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 22 Januari 2016 Penulis,


(9)

vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIK

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma: Nama : Luciana Puput Indriati

Nomor Mahasiswa : 121134003

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

MISKONSEPSI IPA FISIKA SISWA KELAS V SEMESTER 2 SD NEGERI SE KECAMATAN DEPOK KABUPATEN SLEMAN

beserta perangkat yang digunakan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan, dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikannya secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Dengan demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal: 22 Januari 2016 Yang Menyatakan,


(10)

viii

ABSTRAK

MISKONSEPSI IPA FISIKA SISWA KELAS V SEMESTER 2 SD NEGERI SE KECAMATAN DEPOK KABUPATEN SLEMAN

Oleh:

Luciana Puput Indriati 121134003

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya miskonsepsi IPA Fisika pada siswa SD Kelas V khususnya semester 2 di Kecamatan Depok Kabupaten Sleman. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan miskonsepsi IPA Fisika siswa kelas V SD semester 2 se-Kecamatan Depok dan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan miskonsepsi IPA Fisika dilihat dari tingkat pendidikan orang tua siswa kelas V SD semester 2 se-Kecamatan Depok.

Jenis penelitian ini adalah kuantitatif dengan metode survei. Data penelitian dikumpulkan dengan cara tes tertulis, wawancara, dan dokumentasi. Tes tertulis dilakukan dengan mengerjakan soal tipe pilihan ganda dan esai. Tes tertulis bertujuan untuk mengetahui miskonsepsi yang dialami oleh siswa dalam pelajaran IPA Fisika. Populasi dalam penelitian ini berjumlah 1301. Sampel penelitian dihitung dengan menggunakan tabel Krejcie (tingkat kepercayaan 95%, margin of

eror 5%), dan cara pengambilan sampel menggunakan simple random sampling.

Berdasarkan perhitungan menggunakan tabel Krejcie jumlah sampel yang digunakan adalah 297 siswa. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan statistik deskriptif. Data hasil tes tertulis tersebut kemudian dianalisis untuk menemukan dan mendeskripsikan miskonsepsi yang dialami siswa. Data miskonsepsi dan data tentang tingkat pendidikan yang diperoleh kemudian dianalisis untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan miskonsepsi dilihat dari tingkat pendidikan orang tua. Data tersebut diolah secara kuantitatif dengan menggunakan program SPSS.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi miskonsepsi IPA Fisika pada siswa kelas V SD semester 2 se-Kecamatan Depok. Konsep-konsep yang rentan mengalami miskonsepsi adalah konsep tentang gaya, pesawat sederhana, cermin, cahaya, pelapukan (proses pembentukan tanah), dan struktur bumi. Jika dilihat dari tingkat pendidikan orang tua, tidak ada perbedaan miskonsepsi IPA Fisika pada siswa kelas V SD.


(11)

ix

ABSTRACT

PHYSICS MISCONCEPTION OF THE FIFTH GRADE OF ELEMENTARY SCHOOL SECOND SEMESTER IN

DEPOK SUBDISTRICT SLEMAN DISTRICT By:

Luciana Puput Indriati 121134003

The research is grounded by the existance of the physics misconception on the elementary students of the fifth grade. This research is to describe the physics misconception of the fifth grade of elementary school of the second semester in Depok subdistrict and to know whether there is or there is not difference of physics seen from the education level of parents students of the fifth grade elementary students of the second semester in Depok subdistrict.

The kind of the research is quantitative using survey method. The data of the research was collected by using return test, interview, and documentation. The written test was carried out by doing multiple choise and essays. The written test is to know the misconception undergone by the students in physics science lesson. The population in this research is 1301. The sample of the research was counted

using Krejcie’s table (the level of trust 95 % , the margin of error 5%), and the

way the sample collection use simple random sampling. Based on the calculation of use table krejcie the sample of the used is 297 students. The technique of the data analys in the research was using descriptive statistic. The data of the result of the return test then was analys to find and describe the misconception undergone by the students. Data misconception and data on the level of education obtained then analyzed to know whether there was misconception different or not viewed from the education level of parents students. The data was analys quantitative by using SPSS program.

The result of the research showed that it happened physics science misconception on the fifth grade of elementary students in the second semester in Depok subdistrict. The concepts in risk to undergo the misconception is the concept were about force, simple plane, mirror, radiance, weathering, and earth structure. If it was viewed the education level of parents students, there is no difference of physics misconception on the elementary students of the fifth grade. Keywords: misconception, physics, education level.


(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat rahmat, karunia, serta penyertaan-Nya, sehingga penyusunan skripsi dengan judul

“Miskonsepsi IPA Fisika Siswa Kelas V Semester 2 SD Negeri Se-Kecamatan Depok Kabupaten Sleman” ini dapat terlaksana dengan lancar. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus ditempuh untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis sangat menyadari bahwa tanpa bantuan pihak-pihak lain, penyusunan skripsi ini tidak akan berjalan dengan lancar. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Rohandi, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Romo Gregorius Ari Nugrahanta, S.J., S.S., B.S.T., M.A. selaku Ketua Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar.

3. Ibu Maria Melani Ika Susanti, S.Pd., M.Pd. selaku dosen pembimbing I yang selalu sabar dalam memberikan bimbingan dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

4. Ibu Kintan Limiansih, S.Pd., M.Pd. selaku dosen pembimbing II yang selalu sabar dalam memberikan bimbingan dan saran dalam penyusunan skripsi ini. 5. Romo Prof. Paul Suparno, SJ., Ibu Ir. Sri Agustini Sulandari, M.Si, Ibu Ari

Trisnawati, S.Pd, dan Bapak Agustinus Tarmadi, S.Pd selaku validator yang telah mengoreksi, mengevaluasi, dan memberikan saran untuk memperbaiki instrumen penelitian yang telah dibuat.

6. UPT Pelayanan Pendidikan Kecamatan Depok atas bantuan dan kerjasamanya.

7. Pihak Sekolah Dasar Negeri se-Kecamatan Depok atas kesediaan dan kerjasamanya menjadi tempat penelitian.


(13)

xi

8. Orang tuaku Petrus Sumarjiyono, Iskaryati, dan kedua kakakku Anastasia Wahyu Widayati dan Christina Desti Widyaningrum yang selalu memberikan dukungan baik spiritual maupun materi, dan memotivasi penulis sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

9. Penyemangatku Yoseph Bravian Aderika Sinaba yang selalu setia memotivasi sehingga penulis mampu menyelesaikan penyusunan skripsi ini. 10. Teman-teman kelompok payung atas kerjasama dan kebersaman dalam

menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

11. Teman-teman Program Studi PGSD angkatan 2012, yang telah membantu penulis dalam skripsi ini.

12. Semua pihak yang telah banyak membantu dan tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bermanfaat. Semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi semua yang membacanya.

Yogyakarta, 22 Januari 2016 Penulis


(14)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... LEMBAR PENGESAHAN ... HALAMAN PERSEMBAHAN ... HALAMAN MOTTO ... LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS... ABSTRAK ... ABSTRACT ... KATA PENGANTAR ... DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ... BAB I PENDAHULUAN ...

A. Latar Belakang Masalah ... B. Identifikasi Masalah ... C. Batasan Masalah ... D. Rumusan Masalah ... E. Tujuan Penelitian ... F. Manfaat Penelitian ... G. Definisi Operasional ...

BAB II. LANDASAN TEORI ...

A. Kajian Pustaka ... 1. Konsep ... 2. Konsepsi ... 3. Miskonsepsi ... 4. Hakikat Pembelajaran IPA ... 5. Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar ...

i ii iii iv v vi vii viii ix x xii xiv xvi xvii 1 1 6 6 7 7 8 9 11 11 11 12 13 29 34


(15)

xiii

6. Pembelajaran IPA di SD Kelas V Semester 2 ... 7. Tingkat Pendidikan Orang Tua ... B. Hasil Peneltian yang Relevan ... C. Kerangka Berpikir ... D. Hipotesis Penelitian ...

BAB III. METODE PENELITIAN ...

A. Jenis Penelitian ... B. Waktu dan Tempat Penelitian ... C. Populasi dan Sampel ... D. Variabel Penelitian ... E. Teknik Pengumpulan Data ... F. Instrumen Penelitian ... G. Teknik Pengujian Instrumen ... H. Teknik Analisis Data ...

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...

A. Hasil Penelitian ... 1. Deskripsi Pelaksanaan Penelitian ... 2. Deskripsi Responden Penelitian ... 3. Deskripsi Data Miskonsepsi IPA Fisika Siswa Kelas V SD se-Kecamatan Depok ... 4.. Uji Prasyarat Analisis untuk Melihat Perbedaan Miskonsepsi Siswa Kelas V SD Dilihat dari Tingkat Pendidikan Orang Tua Siswa ... 5. Uji Hipotesis Penelitian ... B. Pembahasan ...

BAB V. PENUTUP ...

A. Kesimpulan ... B. Keterbatasan Penelitian ... C. Saran ...

DAFTAR REFERENSI ... LAMPIRAN ... CURRICULUM VITAE ...

35 55 58 63 65 66 66 67 69 75 76 78 84 95 101 101 101 102 104 124 128 130 134 134 134 135 136 141 202


(16)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 2.2 2.3 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6 3.7 3.8 3.9 3.10 3.11 3.12 3.13 3.14 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 4.10

Tabel Penyebab Kesalahan Dari Siswa ... Tabel Penyebab Kesalahan Dari Konteks ... Tabel Penyebab Kesalahan Dari Cara Mengajar ... Populasi Penelitian ... Tabel Krejcie ... Sampel Penelitian ... Kisi-kisi Soal ... Data Tingkat Pendidikan Orang Tua ... Pedoman Wawancara Guru ... Ketentuan Pelaksanaan Revisi Instrumen ... Hasil Validasi Para Ahli ... Hasil Validasi Muka ... Tabel R Product Moment ... Hasil Validasi Soal Pilihan Ganda ... Hasil Validasi Soal Esai ... Realibilitas Soal Pilihan Ganda ... Realibilitas Soal Esai ... Data Mengenai Tingkat Pendidikan Orang Tua ... Data Miskonsepsi Siswa Kompetensi Dasar 5.1 ... Data Miskonsepsi Siswa Kompetensi Dasar 5.2 ... Data Miskonsepsi Siswa Kompetensi Dasar 6.1 ... Data Miskonsepsi Siswa Kompetensi Dasar 6.2 ... Data Miskonsepsi Siswa Kompetensi Dasar 7.1 ... Data Miskonsepsi Siswa Kompetensi Dasar 7.3 ... Data Miskonsepsi Siswa Soal Pilihan Ganda ... Data Miskonsepsi Siswa Tentang Konsep Gaya Magnet ... Data Miskonsepsi Siswa Tentang Konsep Cahaya ...

23 27 28 69 71 72 79 81 83 87 87 89 91 91 93 95 95 103 105 107 110 112 114 115 116 118 119


(17)

xv 4.11

4.12

4.13 4.14 4.15 4.16 4.17 4.18 4.19 4.20 4.21 4.22

Data Miskonsepsi Siswa Tentang Konsep Cermin ... Data Miskonsepsi Siswa Tentang Konsep Pesawat Sederhana ... Data Miskonsepsi Siswa Tentang Konsep Pelapukan ... Data Miskonsepsi Siswa Soal Esai ... Uji Normalitas Tes Pilihan Ganda ... Uji Normalitas Tes Esai ... Hasil Output Uji Homogenitas Tes Pilihan Ganda ... Hasil Output Uji Homogenitas Tes Esai ... Hasil Uji Kruskal Wallis Soal Pilihan Ganda ... Hasil Uji Kruskal Wallis Soal Esai ... Miskonsepsi Siswa yang Terjadi pada Soal Tipe Pilihan Ganda ... Miskonsepsi Siswa yang Terjadi pada Soal Tipe Esai ...

120

121 122 123 125 126 127 128 129 130 131 132


(18)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 2.8 2.9 2.10 2.11 3.1 3.2 4.1 4.2

Prinsip Kerja Pengungkit Jenis Pertama ... Prinsip Kerja Pengungkit Jenis Kedua ... Prinsip Kerja Pengungkit Jenis Ketiga ... Contoh Penggunaan Katrol Tetap ... Katrol Bebas ... Katrol Majemuk ... Pemantulan Cahaya ... Cermin Datar ... Cermin Cembung ... Cermin Cekung ... Literatur Map Penelitian ... Rumus Product Moment ... Rumus Cronbach Alpha ... Histogram Uji Normalitas Soal Pilihan Ganda ... Histogram Uji Normalitas Soal Esai ...

39 39 40 41 42 43 45 46 47 48 62 90 94 125 126


(19)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Surat Ijin Penelitian ... Soal Sebelum Revisi ... Rekap Hasil Validasi ... Validitas dan Reliabilitas ... Soal Setelah Revisi ... Hasil Jawaban Siswa ... Data Miskonsepsi Siswa ... Hasil Wawancara Siswa dan Guru ... Hasil Uji SPSS ... Foto Penelitian ...

140 144 151 163 165 170 176 197 198 201


(20)

1

BAB I PENDAHULUAN

Bab I membahas tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan definisi operasional.

A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan Negara (UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003). Untuk mewujudkan tujuan pendidikan, dibutuhkan guru atau pengajar yang berkualitas, sehingga diharapkan menghasilkan siswa yang berkualitas pula. Salah satu cara mencapai tujuan tersebut, terutama untuk mengembangkan keterampilan siswa dapat dilatih melalui mata pelajaran IPA.

IPA merupakan salah satu mata pelajaran yang sudah diajarkan dari tingkat Sekolah Dasar. James dalam Samatowa (2011: 1) mengatakan bahwa IPA atau sains adalah suatu deretan konsep serta skema konseptual yang berhubungan satu sama lain, dan yang tumbuh sebagai hasil eksperimentasi dan observasi, serta berguna untuk diamati dan dieksperimentasi lebih lanjut. Melalui pelajaran IPA siswa dilatih untuk berpikir tingkat tinggi, dengan


(21)

berbagai metode ilmiah dan sikap ilmiah yang diajarkan, dimana semuanya itu sangat berhubungan dengan kehidupan sehari-hari.

Namun, sangat disayangkan prestasi Indonesia di bidang Sains cenderung menurun. Hal itu terlihat dari hasil Trends in Mathematics and

Science Study (TIMSS) pada tahun 2011. Penilaian yang dilakukan International Association for the Evaluation of Educational Achievement Study Center Boston College ini diikuti 600.000 siswa dari 63 negara. Dalam

bidang Sains, Indonesia berada di urutan ke-40 dari 42 negara (sumber: surat kabar Kompas, tanggal 14 Desember 2012). Hal tersebut menunjukkan rendahnya prestasi belajar siswa di bidang IPA. Selain itu, dari penelitian yang dilakukan oleh Wardani (2014), menunjukkan bahwa dari 34 butir soal, 85% butir soal (konsep) dijawab salah dan hanya 15% butir soal (konsep) dijawab benar. Miskonsepsi adalah salah konsep atau kesalahan anak dalam mempelajari suatu konsep. Miskonsepsi banyak dialami oleh siswa, mulai dari siswa Sekolah Dasar (SD) sampai dengan tingkat Perguruan Tinggi.

Miskonsepsi dapat disebabkan oleh banyak hal, mulai dari siswa itu sendiri, guru, buku teks, konteks, dan cara mengajar. Penyebab dari siswa dapat disebabkan oleh banyak hal yaitu: prakonsepsi, pemikiran assosiatif, pemikiran humanistik, reasoning yang tidak lengkap/salah, intuisi yang salah, tahap perkembangan kognitif siswa, kemampuan siswa, dan minat belajar siswa (Suparno, 2005:29). Begitu juga untuk penyebab yang lain, dimana dalam suatu penyebab tersebut masih ada penyebab khusus yang membuat siswa mengalami miskonsepsi.


(22)

Peneliti memilih meneliti siswa kelas V SD untuk mencari tahu ada tidaknya miskonsepsi yang dialami oleh siswa. Siswa kelas V SD dipilih karena siswa kelas V berada pada tahap operasional konkret yaitu pada umur 7-11 tahun. Menurut Piaget, pada tahap ini anak sudah dapat membentuk operasi-operasi mental atas pengetahuan yang mereka miliki (Yusuf, 2009: 7). Mereka dapat menambah, mengurangi, dan mengubah sehingga memungkinkannya untuk dapat memecahkan masalah secara logis.

Miskonsepsi dialami oleh siswa kelas V SD, hal itu dilihat berdasarkan hasil wawancara dengan dua orang guru SD Negeri di Kecamatan Depok. Wawancara pertama dilakukan dengan Ibu Kanthy Lestari guru kelas V di SD Negeri Nanggulan pada tanggal 14 Juli 2015, jam 10.42 WIB. Beliau mengatakan bahwa siswa masih banyak yang mengalami miskonsepsi/salah konsep pada beberapa materi. Miskonsepsi yang dialami siswa tersebut menyebabkan prestasi belajar IPAnya rendah. Dari KKM yang ditentukan oleh sekolah untuk mata pelajaran IPA yaitu 75, hanya sebesar 61,5 % saja yang memenuhi KKM atau dari 26 siswa hanya 16 siswa yang memenuhi KKM. Sementara itu, beliau mengatakan konsep yang rentan mengalami miskonsepsi adalah konsep tentang cahaya dan cermin.

Pada tanggal 2 Juli 2015 jam 08.55 WIB, peneliti melakukan wawancara dengan Ibu Resti, guru kelas V di SD Negeri Karangwuni. Menurut beliau, dari 9 siswa hanya 4 siswa atau hanya 44,4 % yang mencapai KKM saat ulangan harian IPA untuk materi pesawat sederhana. KKM yang ditentukan adalah 70.


(23)

Berdasarkan wawancara dengan dua orang guru SD Negeri di Kecamatan Depok, dapat disimpulkan bahwa masih banyak siswa SD kelas V yang mengalami miskonsepsi. Hal itu terlihat dari rendahnya prestasi belajar IPA dan penguasaan konsep IPA yang kurang baik. Rata-rata nilai IPA siswa kelas V dari data yang diperoleh adalah 67.

Terjadinya miskonsepsi juga diperkuat melalui hasil wawancara dengan beberapa siswa kelas V SD. Mereka mengatakan bahwa mereka masih belum memahami beberapa materi yang diajarkan. Materi yang paling sulit dan susah untuk dipahami adalah materi tentang cahaya dan cermin. Sifat-sifat cahaya, cermin dan penerapannya sering kali membuat siswa bingung dan susah dipahami, meskipun sudah dijelaskan oleh guru.

Miskonsepsi yang terjadi sebenarnya dapat dideteksi atau diidentifikasi. Dengan mengetahui miskonsepsi apa saja yang dialami oleh siswa dan penyebab terjadinya miskonsepsi tersebut, maka dapat dengan lebih mudah dalam membantu menangani miskonsepsi. Cara yang dapat digunakan untuk mendeteksi miskonsepsi adalah dengan peta konsep, tes multiple choice dengan reasoning terbuka, tes esai tertulis, wawancara diagnosis, diskusi dalam kelas, dan praktikum dengan tanya jawab (Suparno, 2005: 121).

Berdasarkan hal di atas, miskonsepsi merupakan hal yang harus segera diatasi. Miskonsepsi selain dapat menyebabkan rendahnya prestasi belajar siswa juga dapat menjadi kesalahan yang fatal, yaitu salah konsep sejak kecil dan akan berlanjut sampai ia dewasa jika tidak segera diatasi/dibenarkan. Hal tersebut menjadi hal yang sangat penting bagi guru SD, karena mereka yang


(24)

mengajarkan konsep dari tingkat pendidikan paling rendah yaitu tingkat SD. Oleh karena itu, guru sebaiknya harus memahami konsep yang benar, sehingga ia tidak salah konsep dalam mengajarkan ke siswa dan tidak menyebabkan terjadinya miskonsepsi.

Untuk mengatasi miskonsepsi bukan merupakan hal yang mudah. Sebelumnya harus diketahui penyebab siswa mengalami miskonsepsi. Dengan demikian, dapat ditemukan cara yang cocok untuk membantu siswa mengatasi miskonsepsi yang dialaminya.

Miskonsepsi terjadi di semua jenjang pendidikan dan dapat terjadi di mana-mana (Suparno, 2005: 135). Miskonsepsi yang terjadi dapat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai dan kemampuan yang akan dikembangkan (Ihsan, 2001: 22). Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, ilmu pengetahuan yang dimilikinya pastinya akan semakin bertambah (Wulandari, 2014:21). Namun tingginya tingkat pendidikan orang tua siswa, tidak sepenuhnya menjamin siswa tersebut tidak akan mengalami miskonsepsi. Miskonsepsi yang terjadi dapat disebabkan oleh beberapa hal, yaitu siswa, guru, buku teks, konteks, dan metode mengajar (Suparno, 2005: 29). Bisa saja meskipun tingkat pendidikan orang tua tinggi, tetapi


(25)

kemampuan dan minat anak dalam belajar kurang, maka hal itu dapat menyebabkan terjadinya miskonsepsi.

Pada penelitian ini, peneliti akan meneliti tentang miskonsepsi IPA Fisika pada siswa kelas V SD di Kecamatan Depok. Tujuannya adalah untuk mengetahui ada tidaknya miskonsepsi yang dialami siswa kelas V SD di Kecamatan Depok dan untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan miskonsepsi dilihat dari tingkat pendidikan orang tua siswa kelas V SD di Kecamatan Depok.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka peneliti mengungkapkan beberapa masalah yang mendasari penelitian ini yaitu:

1. Prestasi belajar IPA Fisika siswa kelas V SD Negeri se-Kecamatan Depok Kabupaten Sleman yang masih tergolong rendah.

2. Penguasaan konsep IPA yang kurang baik, sehingga masih terjadi miskonsepsi.

C. Batasan Masalah

Sehubungan dengan keterbatasan waktu, peneliti membatasi lingkup permasalahan penelitian. Dalam penelitian ini, peneliti hanya akan meneliti tentang miskonsepsi IPA siswa kelas V SD semester 2 se-Kecamatan Depok, khususnya pada KD 5.1 tentang gaya, KD 5.2 tentang pesawat sederhana, KD


(26)

6.1 tentang cahaya, KD 6.2 tentang membuat karya/model dengan menerapkan sifat-sifat cahaya, KD 7.1 tentang proses pembentukan tanah, dan KD 7.3 tentang struktur bumi. Adapun SD yang akan diteliti adalah SD Negeri yang menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

D. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah miskonsepsi IPA Fisika siswa kelas V SD semester 2 se-Kecamatan Depok?

2. Apakah ada perbedaan miskonsepsi IPA Fisika dilihat dari tingkat pendidikan orang tua siswa kelas V SD semester 2 se-Kecamatan Depok?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk

1. Mendeskripsikan miskonsepsi IPA Fisika siswa kelas V SD semester 2 se-Kecamatan Depok.

2. Mengetahui ada tidaknya perbedaan miskonsepsi IPA Fisika dilihat dari tingkat pendidikan orang tua siswa kelas V SD semester 2 se-Kecamatan Depok.


(27)

F. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini nantinya diharapkan dapat menambah pengetahuan bidang pendidikan dasar terutama tentang miskonsepsi yang dialami siswa SD kelas V pada mata pelajaran IPA, untuk mengetahui kompetensi dasar-kompetensi dasar yang rentan mengalami miskonsepsi.

2. Manfaat Praktis a. Bagi Peneliti

Penelitian ini dapat menambah pengetahuan, wawasan, dan pengalaman serta dapat dijadikan acuan agar tidak terjadi miskonsepsi saat kelak mengajar pada pelajaran IPA.

b. Bagi Siswa

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber pengetahuan tentang miskonsepsi IPA di SD.

c. Bagi Guru

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber pengetahuan tentang miskonsepsi dan untuk mengetahui kompetensi dasar-kompetensi dasar yang rentan mengalami miskonsepsi.

d. Bagi Sekolah

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber pengetahuan tentang miskonsepsi.


(28)

G. Definisi Operasional

Agar tidak menimbulkan pertanyaan dan tafsiran istilah yang dikemukakan, maka perlu adanya definisi operasional. Definisi operasional berisi tentang istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini. Definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

1. Konsep adalah hasil atau perolehan yang penting dalam memahami suatu hal terutama yang bersifat abstrak.

2. Konsepsi adalah kemampuan seseorang dalam memahami suatu konsep yang diperolehnya.

3. Miskonsepsi adalah suatu konsep yang tidak sesuai dengan konsep yang diakui para ahli dalam bidang itu.

4. IPA adalah suatu kumpulan teori yang sistematis, penerapannya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam, perkembangannya tidak hanya ditandai oleh adanya kumpulan fakta, tetapi juga oleh adanya metode ilmiah dan sikap ilmiah.

5. Miskonsepsi IPA Fisika adalah salah konsep yang terjadi pada satu atau beberapa konsep IPA Fisika yang ada.

6. Siswa kelas V SD adalah anak berusia antara 10-11 tahun yang sedang mengikuti pendidikan tingkat pertama atau jenjang Sekolah Dasar (SD). 7. Kecamatan Depok adalah sebuah kecamatan yang berada di Kabupaten

Sleman, Yogyakarta yang terdiri dari 3 desa yaitu Catur Tunggal, Condong Catur, dan Maguwoharjo. Kecamatan Depok di sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Ngemplak, di sebelah selatan berbatasan


(29)

dengan kota Yogyakarta, di sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Mlati dan di sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Kalasan.

8. Tingkat pendidikan orang tua adalah jenjang yang ditempuh orang tua dalam mengembangkan potensi diri baik secara intelektual maupun emosional dan berbagai keterampilan lainnya.


(30)

11

BAB II

LANDASAN TEORI

Bab II pada penelitian ini membahas tentang empat sub bab yaitu kajian pustaka, penelitian yang relevan, kerangka berpikir, dan hipotesis penelitian.

A. Kajian Pustaka

1. Konsep

Konsep adalah satuan arti yang mewakili sejumlah objek yang mempunyai ciri-ciri yang sama. Orang yang memiliki konsep mampu mengadakan abstraksi terhadap objek-objek yang dihadapi (Bahri, 2011: 30-31). Sementara itu, menurut Dahar (2011:62) konsep merupakan suatu abstraksi mental yang mewakili suatu stimulus, yang menjadi dasar bagi proses mental yang lebih tinggi untuk merumuskan prinsip dan generalisasi.

Konsep merupakan perolehan makna yang penting dari belajar. Makna atau arti konsep tersebut diperoleh dari kejadian yang dialaminya baik kejadian positif maupun negatif. Sekali memperoleh konsep, siswa akan mampu mengenal hal atau kejadian dan mampu memberikan penjelasan dari konsep tersebut (Blaseman dan Mappa, 2011: 67).

Suatu konsep akan terbentuk jika dua atau lebih objek dapat dibedakan berdasarkan ciri-ciri umum, bentuk atau sifat-sifatnya. Konsep sebagai suatu ide atau gagasan, tidak dapat berdiri sendiri, tetapi saling


(31)

berhubungan satu sama lain. Suatu konsep dikatakan objektif apabila konsep tersebut dapat dikonfirmasikan dengan kenyataannya, artinya simbol yang ada dalam konsep tersebut dapat ditelusuri keberadaannya di alam nyata. Oleh sebab itu, konsep dapat diartikan sebagai hasil pemikiran manusia tentang alam nyata yang dinyatakan dengan simbol atau bahasa.

Berdasarkan bentuknya konsep dapat dibedakan menjadi 3 jenis menurut Amien (1987: 18) yaitu konsep klasifikasional, konsep korelasional, dan konsep teoritik. Konsep klasifikasional adalah suatu bentuk konsep yang didasarkan atas klasifikasi fakta-fakta dalam bagan yang terorganisir. Konsep korelasional adalah konsep yang mencakup kejadian-kejadian khusus yang saling berhubungan, atau observasi-observasi yang terdiri dari dugaan terutama bentuk formulasi prinsip-prinsip umum. Sementara itu, konsep teoritik adalah bentuk konsep yang mempermudah dalam mempelajari fakta-fakta atau kejadian-kejadian dalam sistem yang terorganisir.

Dari berbagai pengertian tentang konsep di atas, maka dapat disimpulkan bahwa konsep adalah hasil atau perolehan yang penting dalam memahami suatu hal terutama yang bersifat abstrak.

2. Konsepsi

Konsepsi adalah hasil pemikiran atau pemahaman yang berbeda satu sama lain tentang suatu konsep. Konsepsi dapat pula diartikan sebagai tafsiran seseorang atau individu terhadap suatu konsep (Berg, 1991: 8).


(32)

Sementara itu Budi (1992: 114-115) mengatakan bahwa konsepsi merupakan kemampuan seseorang dalam memahami konsep, baik yang diperoleh melalui alat indera maupun dari kondisi lingkungan. Misalnya konsep meja, meja dapat ditafsirkan oleh seorang anak sebagai tempat meletakkan benda, terbuat dari kayu dan permukaannya berbentuk persegi. Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa konsepsi merupakan kemampuan seseorang dalam memahami suatu konsep yang diperoleh, dimana pemahaman masing-masing orang akan konsep tersebut berbeda-beda.

3. Miskonsepsi

a. Pengertian Miskonsepsi

Miskonsepsi merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan adanya salah konsep atau konsep yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diakui para ahli dalam bidang itu. Sementara itu Novak (dalam Suparno, 2005: 4), mendefinisikan miskonsepsi sebagai suatu interpretasi konsep-konsep dalam suatu pernyataan yang tidak dapat diterima.

Brown (dalam Suparno, 2005: 4) menjelaskan bahwa miskonsepsi merupakan suatu gagasan yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah yang sekarang diterima. Hal yang tidak jauh berbeda juga disampaikan oleh Feldsine (dalam Suparno, 2005: 4),


(33)

menurutnya miskonsepsi adalah suatu kesalahan dan hubungan yang tidak benar antara konsep-konsep.

Dari pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa miskonsepsi adalah suatu konsep yang tidak sesuai dengan konsep yang diakui para ahli dalam bidang itu.

b. Cara Mendeteksi Miskonsepsi

Siswa mengalami miskonsepsi dalam kegiatan belajar yang dialaminya. Tidak mudah mengetahui siapa saja siswa yang mengalami miskonsepsi. Untuk itu, diperlukan cara-cara yang dapat digunakan untuk mendeteksi miskonsepsi. Dengan demikian, kita dapat mengetahui lebih dahulu miskonsepsi apa saja yang dipunyai siswa dan apa penyebabnya, sehingga kita dapat membantu mengatasinya. Berikut ini adalah beberapa alat deteksi yang dapat digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya miskonsepsi (Suparno, 2005: 121) yaitu:

1)Peta Konsep

Peta konsep adalah peta yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep yang ada dalam suatu materi, menekankan pada gagasan-gagasan pokok yang disusun secara hirarkis. Peta konsep dapat digunakan untuk mendeteksi miskonsepsi siswa, melalui identifikasi atau melihat apakah hubungan antara konsep-konsep yang telah digambarkan siswa itu benar atau salah. Agar


(34)

dapat lebih mengetahui tentang miskonsepsi yang dialami siswa, penggunaan peta konsep ini dapat dipadukan dengan wawancara klinis.

2)Tes Multiple Choice dengan Reasoning Terbuka

Tes pilihan ganda adalah suatu alat ukur yang digunakan yang terdiri atas satu kalimat pernyataan atau kalimat pertanyaan dan beberapa pilihan jawaban. Amir (dalam Suparno, 2005: 123) menggunakan tes pilihan ganda dengan pertanyaan terbuka di mana siswa harus menjawab dan menulis mengapa ia mempunyai jawaban seperti itu.

3)Tes Esai Tertulis

Tes esai adalah tes yang berbentuk suatu pertanyaan atau perintah, biasanya dalam kalimat pendek, yang menuntut siswa untuk memberikan jawaban yang terurai (Azwar, 1996: 106). Guru dapat mempersiapkan suatu tes esai yang memuat beberapa konsep yang memang hendak diajarkan atau yang sudah diajarkan. Melalui tes tersebut dapat diketahui miskonsepsi yang dialami siswa dan dalam bidang apa.

4)Wawancara Diagnosis

Wawancara dilakukan untuk melihat ada tidaknya miskonsepsi siswa. Guru memilih beberapa konsep yang diperkirakan sulit dimengerti siswa, atau konsep-konsep yang telah diajarkan. Setelah itu guru bertanya mengenai beberapa konsep


(35)

yang telah ia pilih, kemudian mengajak siswa untuk mengekspresikan atau mengungkapkan gagasan-gagasan mereka mengenai konsep-konsep tersebut. Dari wawancara inilah dapat diketahui miskonsepsi yang dialami siswa dan bagaimana ia mendapatkan konsep tersebut.

5)Diskusi dalam Kelas

Diskusi adalah kegiatan mengungkapkan ide, pendapat atau gagasan yang dimiliki seseorang kepada orang lain. Dalam kelas, siswa diminta untuk mengungkapkan gagasan mereka tentang konsep yang sudah diajarkan atau yang hendak diajarkan. Dari diskusi inilah dapat dideteksi apakah gagasan yang mereka sampaikan itu sudah tepat atau tidak.

6)Praktikum dengan Tanya Jawab

Praktikum yang disertai dengan tanya jawab antara guru dengan siswa yang melakukan praktikum dapat digunakan untuk mendeteksi apakah siswa mempunyai miskonsepsi tentang konsep pada praktikum itu atau tidak.

c. Penyebab Miskonsepsi

Miskonsepsi yang dialami setiap siswa dalam satu kelas dapat berbeda dan penyebabnya pun berbeda-beda pula. Miskonsepsi yang terjadi disebabkan oleh beberapa hal, yaitu siswa, guru, buku teks, konteks, dan metode mengajar (Suparno, 2005: 29).


(36)

1) Siswa

Miskonsepsi yang terjadi pada siswa dapat disebabkan oleh siswa itu sendiri. Penyebab miskonsepsi yang berasal dari siswa antara lain:

a) Prakonsepsi atau konsep awal siswa

Prakonsepsi atau konsep awal adalah pengetahuan siswa tentang suatu hal sebelum siswa mengikuti pelajaran formal di sekolah. Konsep awal biasanya diperoleh dari orang tua, teman, sekolah awal, dan pengalaman yang diperolehnya dari lingkungan. Konsep awal yang dimiliki siswa sering kali mengandung miskonsepsi atau salah konsep. Adanya miskonsepsi dalam konsep awal ini akan menyebabkan terjadinya miskonsepsi pada saat mengikuti pelajaran berikutnya sampai kesalahan tersebut diperbaiki.

b) Pemikiran asosiatif

Asosiasi siswa terhadap istilah-istilah sehari-hari terkadang juga membuat miskonsepsi. Kata dan istilah yang digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran diasosiasikan/diartikan lain oleh siswa, karena dalam kehidupan mereka kata dan istilah itu mempunyai arti yang lain. Asosiasi sering terjadi karena siswa sudah mempunyai konsep tertentu dengan arti tertentu sebelum mengikuti pelajaran di kelas.


(37)

c) Pemikiran humanistik

Siswa kerap kali memandang semua benda dari pandangan manusiawi. Tingkah laku benda dipahami seperti tingkah laku manusia yang hidup sehingga tidak cocok.

d) Reasoning yang tidak lengkap/salah

Comins (dalam Suparno, 2005: 38) mengatakan bahwa miskonsepsi dapat juga disebabkan oleh reasoning atau penalaran yang tidak lengkap/salah. Reasoning yang tidak dapat disebabkan oleh kurang tidak lengkapnya informasi dan data yang didapatkan. Selain itu dapat juga disebabkan karena logika yang salah dalam mengambil kesimpulan atau dalam menggeneralisasi. Penyebab lain terjadinya reasoning yang salah adalah pengamatan yang tidak lengkap dan teliti. Hal tersebut dapat menyebabkan seseorang salah dalam menyimpulkan atau menggeneralisasikan dan mengakibatkan miskonsepsi.

e) Intuisi yang salah

Intuisi adalah suatu perasaan dalam diri seseorang yang secara spontan mengungkapkan sikap atau gagasannya tentang sesuatu sebelum secara obyektif dan rasional diteliti. Pengertian atau pemikiran intuitif itu biasanya berasal dari pengamatan akan benda atau kejadian yang terus-menerus. Akhirnya bila seseorang dihadapkan pada persoalan tertentu,


(38)

yang muncul dalam benak seseorang adalah pengertian spontan itu.

f) Tahap perkembangan kognitif siswa

Perkembangan kognitif siswa juga dapat menjadi penyebab terjadinya miskonsepsi. Perkembangan kognitif siswa yang tidak sesuai dengan bahan yang digeluti dapat menjadi penyebab terjadinya miskonsepsi. Untuk menghindari hal tersebut sebaiknya konsep-konsep yang ada disajikan sesuai dengan tahap perkembangan kognitif siswa.

g) Kemampuan siswa

Miskonsepsi yang dialami siswa juga dapat disebabkan oleh kemampuan yang mereka miliki. Siswa yang kurang berbakat atau kurang mampu dalam mempelajari bidang ilmu tertentu akan kesulitan menangkap konsep yang benar dalam proses belajar. Siswa yang IQ-nya rendah juga dapat menyebabkan terjadinya miskonsepsi karena mereka mengalami kesulitan dalam mengontruksi pengetahuan yang didapat.

h) Minat belajar siswa

Minat belajar seseorang juga berpengaruh pada terjadinya miskonsepsi. Siswa yang berminat dalam pelajaran fisika cenderung mempunyai miskonsepsi lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang tidak berminat pada fisika.


(39)

Siswa yang menyukai fisika akan lebih menaruh perhatian lebih saat guru menjelaskan, mempunyai minat dalam membaca buku-buku yang ada dengan lebih teliti dan mendalam sehingga mereka dapat menangkap konsep dengan lebih lengkap dan mendalam. Hal yang sebaliknya terjadi pada siswa yang kurang berminat dalam mempelajari fisika.

2) Guru

Miskonsepsi siswa terjadi bukan hanya disebabkan oleh siswa itu sendiri, tetapi dapat juga disebabkan oleh guru. Guru yang tidak menguasai bahan atau memahami konsep dengan baik akan menyebabkan siswa mengalami miskonsepsi. Selain itu bisa juga disebabkan oleh guru bukan lulusan dari bidang ilmu yang diajarkan, tidak membiarkan siswa mengungkapkan gagasan/ide, serta relasi yang kurang baik yang terjadi antara guru dengan siswa. Sebelum mengajarkan konsep kepada siswa, guru sebaiknya harus memahami konsep tersebut dengan benar dan menjelaskan konsepnya dengan benar kepada siswa.

3) Buku teks

Buku teks juga dapat menyebabkan miskonsepsi. Hal itu disebabkan oleh penjelasan yang keliru/salah, bahasanya sulit dipahami, terjadinya salah tulis terutama dalam hal rumus, tingkat kesulitan penulisan buku yang terlalu tinggi bagi siswa, siswa tidak tahu membaca buku teks, buku fiksi sains kadang-kadang


(40)

konsepnya menyimpang demi menarik pembaca, serta gambar kartun yang sering memuat miskonsepsi.

4) Konteks

Miskonsepsi juga disebabkan oleh pengalaman siswa. Dari pengalaman yang dialami siswa, mereka dapat menyimpulkan hal/konsep tertentu, namun konsep tersebut masih salah/keliru, sehingga terjadilah miskonsepsi. Selain pengalaman, bahasa sehari hari yang digunakan oleh siswa juga turut menjadi penyebab terjadinya miskonsepsi. Misalnya konsep tentang suhu dan panas. Dalam bahasa sehari-hari siswa tidak pernah membedakan pengertian antara suhu dan panas, mereka menganggap keduanya mempunyai arti yang sama. Hal yang menyebabkan terjadinya miskonsepsi dari segi konteks yang lainnya adalah teman lain dan keyakinan/ajaran agama. Keduanya berpengaruh pada pemahaman mereka, dan sering kali menyebabkan miskonsepsi.

5) Metode mengajar

Beberapa metode mengajar yang digunakan guru dapat memunculkan miskonsepsi siswa. Misalnya metode ceramah, dimana guru hanya menjelaskan dan siswa hanya mendengarkan, seringkali meneruskan dan menumpuk miskonsepsi, terlebih pada siswa yang kemampuan kognitifnya kurang.


(41)

Penggunaan analogi dalam mengajarkan konsep sebenarnya baik dan membantu memudahkan siswa dalam memahami konsep, tetapi terkadang juga menimbulkan miskonsepsi yang baru.

Metode praktikum juga dapat menimbulkan miskonsepsi, karena siswa hanya menangkap sejauh yang didapat/dialami dalam praktikum. Abstraksi yang lebih luas sering sulit ditangkap karena data-data yang ditemukan dalam praktikum sangat terbatas.

Metode demonstrasi yang selalu menampilkan yang benar, karena sudah direkayasa, dapat juga membuat siswa salah mengerti.

d. Cara Mengatasi Miskonsepsi

Ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk membantu siswa mengatasi miskonsepsi dalam bidang fisika. Unsur yang penting sebelum membantu mengatasi miskonsepsi siswa adalah mengetahui penyebab miskonsepsi, sehingga dapat digunakan cara yang tepat. Secara garis besar langkah yang digunakan untuk membantu mengatasi miskonsepsi adalah (Suparno, 2005: 55):

1) Mencari atau mengungkap miskonsepsi yang dilakukan siswa. 2) Mencoba menemukan penyebab miskonsepsi tersebut.

3) Mencari perlakuan yang sesuai untuk mengatasi miskonsepsi. Miskonsepsi dapat disebabkan oleh hal yang berbeda-beda. Untuk itu, cara atau metode yang digunakan untuk membantu siswa


(42)

juga berbeda-beda, tergantung pada penyebab terjadinya miskonsepsi. Berikut ini adalah cara yang dapat dilakukan untuk membantu siswa mengatasi miskonsepsi (Suparno, 2005: 56), yaitu:

1) Mengungkap, Mencari Penyebab, dan Bertindak

Secara umum, cara yang tepat untuk membantu siswa mengatasi miskonsepsi adalah mencari bentuk kesalahan yang dimiliki siswa itu, mencari penyebabnya, sehingga dapat menemukan cara yang sesuai. Langkah pertama yang dilakukan untuk mengatasi miskonsepsi adalah dengan mengetahui kerangka berpikir siswa. Langkah kedua adalah mencari tahu penyebab dari miskonsepsi. Dan yang terakhir adalah mencari cara bagaimana memperbaiki miskonsepsi siswa.

2) Penyebab Kesalahan dari Siswa

Penyebab kesalahan dari siswa dapat disebabkan oleh banyak hal yaitu prakonsepsi atau konsep awal sampai dengan minat belajar siswa. Untuk mengetahui bagaimana cara mengatasi miskonsepsi yang disebabkan oleh hal-hal di atas, dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Suparno, 2005: 57-64).

Tabel 2.1 Penyebab kesalahan dari siswa

Penyebab Cara Mengatasi

Prakonsepsi Dihadapkan pada kenyataan

Pemikiran asosiatif Dihadapkan pada kenyataan dan peristiwa anomali Pemikiran humanistik Dihadapkan pada kenyataan dan peristiwa anomali

Reasoning tidak lengkap Dilengkapi, dihadapkan pada kenyataan

Intuisi yang salah Dihadapkan pada kenyataan, anomali dan rasionalitas


(43)

Penyebab Cara Mengatasi

Perkembangan kognitif siswa

Diajar sesuai dengan level perkembangan; mulai dengan yang konkret kemudian menuju konsep abstrak

Kemampuan siswa Dibantu pelan-pelan, melalui proses yang bertahap. Minat belajar siswa Motivasi, variasi pembelajaran

Sumber: Suparno (2005: 81-82)

Berdasarkan tabel di atas, dapat dijelaskan bahwa cara mengatasi miskonsepsi itu berbeda-beda, tergantung dari penyebab miskonsepsi itu sendiri. Untuk yang disebabkan oleh prakonsepsi, cara mengatasinya adalah dengan dihadapkan dengan kenyataan. Siswa yang konsep awalnya tidak tepat perlu dihadapkan pada pengalaman baru yang berbeda. Dengan melihat dan mengalami pengalaman yang tidak sesuai dengan prakonsepsi mereka, siswa akan bingung dan diharapkan akan mengubah konsep awalnya dengan konsep yang tepat.

Miskonsepsi karena pemikiran asosiatif, pemikiran humanistik siswa dan intuisi yang salah diatasi dengan cara dihadapkan pada kenyataan dan peristiwa/pengalaman anomali. Pengalaman anomali adalah pengalaman nyata yang dihadapkan pada siswa, yang berbeda dengan konsep yang mereka yakini benar. Selanjutnya untuk reasoning yang tidak tepat, cara mengatasinya adalah dengan melengkapi data/informasi yang diperlukan untuk mengambil kesimpulan serta dihadapkan pada kenyataan. Jika miskonsepsi disebabkan oleh perkembangan


(44)

kognitif siswa, maka guru harus mengajarkan materi/konsep sesuai dengan level perkembangan, yaitu dari hal yang konkret menuju hal yang bersifat abstrak.

Sementara itu, bagi siswa yang kemampuan dan minat belajarnya kurang perlu diberi motivasi dan dibantu dengan pelan, melalui proses yang bertahap. Selain itu, dalam mengajarkan materi juga perlu dilakukan variasi pembelajaran agar siswa lebih tertarik dan berminat dalam mengikuti pembelajaran.

3) Penyebab Kesalahan dari Guru

Penyebab miskonsepsi juga dapat berasal dari guru yang mengajar. Kesalahan atau kekurangan guru dalam mengajar biasanya ada dua yaitu guru tidak menguasai konsep yang benar dari bahan fisika dan guru keliru dalam menjelaskan, meskipun konsep yang diajarkan sudah dikuasainya. Guru yang tidak menguasai konsep yang benar dapat diatasi dengan cara belajar lagi dan lebih memahami akan konsep yang benar dari bahan yang akan diajarkan. Selain itu, akan lebih baik jika guru yang mengajar adalah guru yang kompeten atau lulusan pendidikan fisika/bidang yang diajarkan.

Kekeliruan guru dalam menjelaskan konsep juga dapat menyebabkan terjadinya miskonsepsi. Guru sebaiknya dapat menggunakan cara atau metode yang tepat, agar siswa dapat menangkap/memahami konsep yang diajarkan. Tidak hanya dua


(45)

hal yang telah disebutkan tadi, ternyata miskonsepsi juga dapat disebabkan oleh relasi yang kurang baik antara siswa dengan guru. Relasi yang kurang baik dengan guru dapat menyebabkan siswa takut, grogi, dan tidak dapat berkonsentrasi. Akibatnya siswa akan sulit menangkap konsep yang telah diajarkan. Untuk mengatasi hal tersebut, guru harus dapat membangun relasi yang baik, dengan melakukan pendekatan dengan siswa (Suparno, 2005: 65-70). 4) Penyebab Kesalahan dari Buku Teks

Miskonsepsi siswa juga dapat disebabkan oleh buku teks yang digunakan. Buku teks merupakan salah satu sumber belajar yang pasti digunakan dalam pembelajaran. Oleh karena itu, kebenaran isi dan konsep yang ada pada buku teks menjadi hal yang sangat penting. Beberapa bentuk kesalahan yang ada pada buku teks adalah penjelasan yang keliru, salah tulis, level kesulitan tulisan yang kadang tidak sesuai dengan perkembangan siswa, buku fiksi sains keliru konsep, kartun salah konsep, serta ketidaktahuan siswa dalam menggunakan buku teks. Penyebab-penyebab di atas dapat diatasi dengan cara dikoreksi dengan teliti, dibenarkan, disesuaikan dengan tingkat perkembangan siswa dan guru hendaknya melatih siswa tentang cara menggunakan buku teks (Suparno, 2005: 70-72).


(46)

5) Penyebab Kesalahan dari Konteks

Miskonsepsi dapat disebabkan oleh pengalaman siswa yang keliru, bahasa yang digunakan sehari-hari dan lain-lain. Penyebab miskonsepsi dan cara mengatasinya secara umum dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Suparno, 2005: 72-74).

Tabel 2.2 Penyebab kesalahan dari konteks

Penyebab Cara Mengatasi

Pengalaman siswa yang keliru Dihadapkan pada pengalaman baru yang sesuai konsep fisika

Bahasa yang digunakan sehari-hari yang berbeda

Dijelaskan perbedaannya dengan contoh

Teman diskusi keliru Mengungkapkan hasil dan dikritisi guru

Keyakinan agama Dijelaskan perbedaannya

Sumber: Suparno (2005: 82)

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa untuk pengalaman siswa yang keliru, guru dapat mengatasinya dengan memberikan pengalaman baru yang sesuai dengan konsep fisika, sehingga konsep awal yang salah dapat diperbaiki dengan mengetahui konsep yang benar. Bahasa sehari-hari yang berbeda dapat diatasi dengan mendefinisikan istilah-istilah dan konsep-konsep dengan jelas dan tidak menggunakan bahasa yang ambigu. Selain dengan menjelaskan perbedaannya akan lebih baik jika guru melengkapinya dengan contoh sehingga siswa akan lebih paham.

Teman diskusi yang keliru dapat menyebabkan terjadinya miskonsepsi. Untuk memperbaiki kesalahan yang berasal dari teman belajar dapat dilakukan dengan cara berikut ini. Pertama, setelah berdiskusi dengan teman, konsep yang ditemukan


(47)

diungkapkan di depan kelas. Jika sudah diungkapkan, guru mengkritisi konsep yang tidak benar dengan memberikan alasan dan contoh nyata untuk dimengerti siswa. Kemudian guru membetulkan konsep yang keliru. Sementara itu untuk miskonsepsi yang disebabkan oleh keyakinan agama sebaiknya guru harus dapat menjelaskan perbedaannya antara ajaran agama dengan konsep nyata yang ada melalui contoh yang diberikan.

6) Penyebab Kesalahan dari Cara Mengajar

Ada beberapa kesalahan dan kelemahan beberapa metode pembelajaran yang digunakan guru dalam mengajar. Hal itu menyebabkan terjadinya miskonsepsi yang dialami siswa. Penyebab-penyebab terjadinya miskonsepsi dari segi cara mengajar dan cara mengatasinya (Suparno, 2005: 74–80) adalah sebagai berikut.

Tabel 2.3 Penyebab kesalahan dari cara mengajar

Penyebab Cara Mengatasi

Guru hanya dengan metode ceramah dan menulis di papan tulis

Pembelajaran harus dilakukan dengan lebih bervariasi, siswa dirangsang untuk berpikir melalui pertanyaan. Dalam mengajarkan langsung ke

bentuk matematika (rumus)

Dalam menjelaskan hendaknya dimulai dengan gejala nyata baru setelah itu diajarkan rumus.

Tidak mengungkapkan miskonsepsi siswa.

Guru memberi kesempatan siswa mengungkapkan gagasan

PR tidak dikoreksi Dikoreksi cepat dan ditunjukkan salahnya.

Model analogi Ditunjukkan kemungkinan salah konsep

Model praktikum Dingkapkan hasilnya dan dikomentari

Model diskusi Diungkapkan hasilnya dan

dikomentari

Non multiple intelegences Multiple intelegences


(48)

Tabel di atas menunjukkan berbagai penyebab kesalahan dari cara mengajar dan cara mengatasi penyebab tersebut. Secara umum setiap metode mengajar mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dalam mengajar guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasannya dan cara mengajar yang digunakan lebih bervariasi.

4. Hakikat Pembelajaran IPA

a. Hakikat Ilmu Pengetahuan Alam 1) Pengertian IPA

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan bagian dari Ilmu Pengetahuan atau Sains (Trianto, 2012: 136). Sains berasal dari bahasa latin yaitu scientia yang berarti saya tahu. Sains dapat dibagi menjadi 2 yaitu social science (ilmu pengetahuan sosial) dan natural science (ilmu pengetahuan alam). Namun, dalam perkembangannya sains hanya diartikan sebagai IPA saja.

IPA adalah pengetahuan yang sistematis dan dirumuskan, yang berhubungan dengan gejala-gejala kebendaan dan didasarkan pada pengamatan dan deduksi (Trianto, 2012: 136).

Kardi dan Nur dalam Trianto (2013: 136) mengatakan bahwa IPA atau ilmu kealaman adalah ilmu tentang dunia zat, baik makhluk hidup maupun benda mati yang diamati. IPA merupakan suatu mata pelajaran yang mempelajari tentang alam semesta,


(49)

benda-benda yang ada di permukaan bumi, baik yang dapat diamati dengan indera maupun yang tidak dapat diamati dengan alat indera.

Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Wahyana (dalam Trianto, 2013: 136), menurut beliau IPA merupakan suatu kumpulan pengetahuan tersusun secara sistematik, dan dalam penggunaannya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas, dapat peneliti simpulkan bahwa IPA adalah sebuah ilmu pengetahuan yang tersusun secara sistematis, secara umum penerapannya terbatas pada gejala-gejala alam, yang lahir dan berkembang melalui metode ilmiah serta menuntut sikap ilmiah seperti rasa ingin tahu, jujur, terbuka, dan sebagainya.

2) Hakikat IPA

IPA pada hakikatnya dibangun atas dasar produk ilmiah, proses ilmiah, dan sikap ilmiah. Selain itu, IPA dipandang juga sebagai proses, produk, dan prosedur.

a) IPA sebagai Proses

IPA sebagai proses diartikan sebagai semua kegiatan ilmiah untuk menyempurnakan pengetahuan tentang alam maupun untuk menemukan pengetahuan baru (Trianto, 2012: 137).


(50)

b) IPA sebagai Produk

IPA sebagai produk diartikan sebagai hasil proses, berupa pengetahuan yang diajarkan dalam sekolah atau di luar sekolah ataupun sebagai bahan bacaan untuk penyebaran pengetahuan (Trianto, 2012: 137).

c) IPA sebagai Prosedur

IPA sebagai prosedur artinya dalam IPA terdapat langkah-langkah dari suatu rangkaian kegiatan/proses/kerja yang dapat dijadikan sebagai panduan atau metodologi untuk mengetahui sesuatu (Trianto, 2012: 137).

d) IPA sebagai Sikap

IPA sebagai sikap yaitu sikap ilmiah harus dikembangkan dalam pembelajaran sains. Hal ini sesuai dengan sikap yang harus dimiliki oleh seorang ilmuwan dalam melakukan penelitian dan mengomunikasikan hasil penelitiannya (Susanto, 2013:167).

3) Nilai-nilai IPA

IPA tidak hanya sebagai proses, produk dan prosedur, IPA juga mengandung nilai-nilai tertentu yang berguna bagi masyarakat. Nilai-nilai yang terkandung dalam IPA antara lain (Trianto, 2012: 139).


(51)

a) Nilai Praktis

Nilai praktis adalah sesuatu yang bermanfaat dan berharga dalam kehidupan sehari-hari. Penerapan dari penemuan-penemuan IPA telah menciptakan sebuah teknologi baru yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari, dan dapat membantu mengembangkan penemuan baru.

b) Nilai Intelektual

Nilai intelektual yang dimaksud adalah metode ilmiah yang digunakan dalam IPA dapat memberikan kepuasan intelektual. Kepuasan intelektual tesebut dapat terjadi jika seseorang berhasil memecahkan masalah. Metode ilmiah dalam IPA dapat digunakan untuk memecahkan masalah melalui berbagai keterampilan dan sikap ilmiah yang diajarkan.

c) Nilai Sosial-Budaya-Ekonomi-Politik

IPA mempunyai nilai-nilai sosial-ekonomi-politik berarti kemajuan IPA dan teknologi suatu bangsa menyebabkan bangsa tersebut memperoleh kedudukan yang kuat dalam percaturan ekonomi-sosial-politik internasional.

d) Nilai Kependidikan

IPA memiliki nilai pendidikan karena IPA dapat menjadi alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Nilai-nilai yang diajarkan dalam IPA antara lain: kecakapan bekerja dan


(52)

berpikir secara teratur dan sistematis menurut metode ilmiah; keterampilan dalam mengadakan pengamatan dan mempergunakan peralatan untuk memecahkan masalah, serta memiliki sikap ilmiah yang diperlukan dalam memecahkan masalah.

b. Hakikat Pembelajaran IPA

Hakikat pembelajaran IPA merujuk pada hakikat IPA. Nilai-nilai IPA yang dapat ditanamkan dalam pembelajaran IPA menurut Trianto (2012: 141):

1) Kecakapan bekerja dan berpikir secara teratur dan sistematis menurut langkah-langkah metode ilmiah.

2) Keterampilan dan kecakapan dalam mengadakan pengamatan, mempergunakan alat-alat eksperimen untuk memecahkan masalah. 3) Memiliki sikap ilmiah yang diperlukan dalam memecahkan

masalah baik dalam kaitannya dengan pelajaran sains maupun kehidupan.

Hakikat dan tujuan pembelajaran IPA (Depdiknas; 2003: 2) yaitu: 1) Memberikan kesadaran akan keindahan dan keteraturan alam untuk

meningkatkan keyakinan terhadap Tuhan YME.

2) Memberikan pengetahuan tentang dasar dari prinsip dan konsep, fakta yang ada di alam, hubungan saling ketergantungan, dan hubungan antara sains dan teknologi.


(53)

3) Keterampilan dan kemampuan untuk menangani peralatan, memecahkan masalah dan melakukan observasi.

4) Sikap ilmiah antara lain skeptis, kritis, sensitif, obyektif, jujur, terbuka, benar, dan dapat bekerja sama.

5) Kebiasaan mengembangkan kemampuan berpikir analitis induktif dan deduktif dengan menggunakan konsep dan prinsip sains untuk menjelaskan berbagai peristiwa alam.

6) Apresiatif terhadap sains dengan menikmati dan menyadari keindahan keteraturan perilaku alam serta penerapannya dalam teknologi.

Dari uraian di atas, semakin jelas bahwa hakikat pembelajaran IPA lebih ditekankan pada keterampilan proses, sehingga siswa dapat menemukan fakta-fakta, membangun konsep-konsep, teori-teori, dan sikap ilmiah siswa itu sendiri yang akhirnya dapat berpengaruh positif terhadap kualitas proses pendidikan maupun produk pendidikan.

5. Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar

IPA merupakan salah satu mata pelajaran yang sangat penting dan sangat bermanfaat bagi siswa dalam mempelajari dirinya dan alam sekitarnya. Beberapa kompetensi yang harus dicapai siswa kelas III-VI menurut Permendikbud No. 64 Tahun 2013 antara lain: 1) menunjukkan sikap ilmiah: rasa ingin tahu, jujur, logis, kritis, dan disiplin; 2) mengajukan pertanyaan: apa, mengapa, dan bagaimana; 3) melakukan


(54)

pengamatan obyek IPA dengan menggunakan panca indera; 4) menceritakan hasil pengamatan IPA dengan bahasa yang jelas.

Pembelajaran IPA untuk tingkat SD dilakukan melalui pengamatan langsung, sehingga siswa dapat lebih paham dan akan memperkuat ingatan siswa. Pembelajaran IPA yang baik harus mengaitkan IPA dengan kehidupan sehari-hari (Samatowa, 2011: 6). Guru memberikan kesempatan bagi siswa agar mereka dapat mengeluarkan ide/gagasan dan dapat mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang belum mereka pahami, membangun rasa ingin tahu siswa, membangun dan melatih siswa agar menguasai keterampilan yang diajarkan. Selain itu, guru juga harus memvariasi pembelajaran dengan menggunakan metode yang cocok dan menggunakan media yang menarik perhatian siswa.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran IPA di SD harus dapat membuka kesempatan bagi siswa untuk mengembangkan rasa ingin tahu siswa melalui pembelajaran, observasi, dan eksperimen yang dilakukan. Hal tersebut dapat membantu siswa dalam mengembangkan keterampilan siswa terutama keterampilan proses.

6. Pembelajaran IPA di SD kelas V semester 2

Berikut ini merupakan materi IPA yang dipelajari pada kelas V SD semester 2:


(55)

a. Konsep Gaya

Azmiyawati (2008:82-93) menyatakan beberapa macam gaya berdasarkan sumbernya antara lain:

1) Gaya Gravitasi

Gaya gravitasi adalah kekuatan atau tarikan yang dimiliki oleh benda yang memiliki massa. Faktor-faktor yang mempengaruhi gaya gravitasi yaitu:

a) Gaya gravitasi dapat menimbulkan energi gerak.

b) Kekuatan gaya gravitasi bumi terhadap benda tergantung pada jarak benda dari pusat. Semakin jauh jarak benda dari bumi, gaya gravitasi yang memengaruhinya semakin kecil.

c) Benda yang lebih luas permukaannya akan lebih lambat jatuh ke bawah.

d) Arah gaya gravitasi berlawanan dengan gaya gesek. Gaya gesek bersifat menahan gerak benda sehingga gerak jatuhnya benda lebih lambat. Arah gaya gesek berlawanan dengan gaya yang ditahannya.

2) Gaya Gesek

Gaya gesek adalah gaya yang dihasilkan oleh permukaan kasar untuk melawan gaya yang menggerakkan suatu benda. Faktor-faktor yang mempengaruhi gaya gesek yaitu:


(56)

a) Pada permukaan licin, gaya gesekan yang terjadi juga kecil. Akibatnya, benda itu semakin mudah bergerak pada permukaan tersebut.

b) Memperhalus permukaan benda yang bergesekan dapat memperkecil gaya gesek.

c) Benda yang lebih halus akan menimbulkan gaya gesek yang lebih kecil.

d) Semakin kecil luas permukaan benda yang bersentuhan, gaya geseknya semakin kecil.

3) Gaya Magnet

Gaya magnet adalah gaya yang ditimbulkan oleh magnet. Magnet adalah sejenis logam yang dapat menarik atau menempel pada logam besi atau baja. Faktor-faktor yang mempengaruhi gaya magnet yaitu:

a) Magnet hanya menarik benda-benda tertentu, yaitu benda yang terbuat dari logam.

b) Apabila magnet didekatkan pada benda yang terbuat dari logam, akan timbul gaya gerak sehingga benda tersebut tertarik menuju magnet atau tertolak menjauhi magnet.

c) Apabila antara benda logam dengan magnet terdapat penghalang, pengaruh gaya magnet dipengaruhi oleh ketebalan penghalang, jarak antara benda logam dengan magnet, dan jenis benda penghalang.


(57)

b. Konsep Pesawat Sederhana

Pesawat adalah alat-alat yang dapat memudahkan pekerjaan manusia. Pesawat dapat memperkecil gaya yang dikeluarkan. Pesawat ada yang rumit dan ada yang sederhana. Pesawat rumit tersusun atas pesawat-pesawat sederhana. Pesawat sederhana adalah alat-alat bantu sederhana yang membantu meringankan pekerjaan manusia.

Pada prinsipnya, pesawat sederhana terbagi menjadi empat macam, yaitu pengungkit, bidang miring, katrol, dan roda berporos. Fungsi pesawat sederhana adalah untuk mengubah energi, mengubah arah gaya, memindahkan energi, menghemat energi, menghemat waktu, serta memudahkan pekerjaan manusia (Hermana, 2009:122-126).

1) Tuas atau Pengungkit

Tuas disebut juga pengungkit. Pada pengungkit terdapat kuasa, beban, dan titik tumpu. Kuasa adalah gaya yang bekerja pada pengungkit. Beban adalah berat benda. Titik tumpu adalah tempat beban bertumpu.

a) Pengungkit Jenis Pertama

Pengungkit jenis pertama adalah pengungkit dengan jenis posisi titik tumpu berada di antara beban dan kuasa. Contoh pengungkit jenis pertama adalah jungkat-jungkit, pompa air tangan, gunting, linggis pencabut paku, pemotong kuku, dan tang.


(58)

Gambar 2.1 Prinsip Kerja Pengungkit Jenis Pertama Sumber: Azmiyawati (2008:99)

Gambar di atas menunjukkan prinsip kerja pengungkit pertama, dimana posisi titik tumpu berada di antara beban dan kuasa

b) Pengungkit Jenis Kedua

Pengungkit jenis kedua adalah pengungkit dengan jenis beban berada di antara titik tumpu dan kuasa. Contoh pengungkit jenis kedua adalah alat pembuka tutup botol, gerobak dorong, pemecah biji-bijian, pemotong kertas, dan pembuka kaleng.

Gambar 2.2 Prinsip Kerja Pengungkit Jenis Kedua Sumber: Azmiyawati (2008:99)


(59)

Gambar di atas menunjukkan prinsip kerja pengungkit pertama, dimana posisi beban diantara titik tumpu dan kuasa. c) Pengungkit Jenis Ketiga

Pengungkit jenis ketiga adalah pengungkit dengan kuasa berada di antara titik tumpu dan beban. Contoh pengungkit jenis ketiga antara lain sekop, pinset, sapu, gagang pancing, pemukul bola, dan stapler.

Gambar 2.3 Prinsip Kerja Pengungkit Jenis Ketiga Sumber: Azmiyawati (2008:100)

Gambar 2.3 menunjukkan prinsip kerja pengungkit jenis ketiga, dimana posisi kuasa terletak di antara titik tumpu dan beban.

2) Katrol

Katrol adalah roda yang berputar pada porosnya. Pada tepi roda dikaitkan tali. Katrol digunakan untuk mengangkat atau menarik benda. Ada tiga macam katrol yang biasa digunakan, yaitu katrol tetap, katrol bebas, dan katrol majemuk.


(60)

a) Katrol Tetap

Katrol tetap adalah katrol yang tidak berubah posisinya ketika digunakan untuk memindahkan benda. Katrol ditambatkan pada tempat tertentu dan posisi katrol tidak berubah. Tali atau rantai dililitkan pada lingkaran berlekuk. Pada ujung tali ditarik kuasa ke bawah. Contoh katrol tetap adalah kerekan pada sumur timba atau katrol pengangkat barang.

Gambar 2.4 Contoh penggunaan katrol tetap (a) katrol pada tiang bendera, (b) katrol pada sumur timba

Sumber: Sulistyanto (2008:117)

Gambar di atas menunjukkan katrol tetap. Gambar (a) menunjukkan katrol pada tiang bendera dan katrol (b) menunjukkan katrol pada sumur timba.

b) Katrol Bebas

Katrol bebas adalah katrol yang berubah posisinya ketika digunakan untuk memindahkan benda. Pada katrol bebas,


(61)

beban digantungkan di tengah-tengah katrol. Salah satu ujung talinya terikat, sedangkan pada ujung tali lainnya dapat ditarik ke atas. Katrol jenis ini bisa kita temukan pada alat-alat pengangkat peti kemas di pelabuhan.

Gambar 2.5 Katrol Bebas Sumber: Sulistyanto (2008:118)

Gambar di atas menunjukkan katrol bebas, dengan beban digantungkan di tengah-tengah katrol dan salah satu ujung talinya terikat.

c) Katrol Majemuk

Katrol majemuk merupakan perpaduan dari katrol tetap dan katrol bebas. Kedua katrol ini dihubungkan dengan tali. Pada katrol majemuk, beban dikaitkan pada katrol bebas. Salah satu ujung tali dikaitkan pada penampang katrol tetap. Jika ujung tali yang lainnya ditarik maka beban akan terangkat beserta bergeraknya katrol bebas ke atas.


(62)

Gambar 2.6 Katrol Majemuk Sumber: Sulistyanto (2008:118)

Gambar di atas menunjukkan prinsip kerja katrol majemuk 3) Bidang Miring

Bidang miring digunakan untuk memudahkan memindahkan benda. Dengan bantuan bidang miring gaya yang dikeluarkan untuk mendorong benda menjadi lebih kecil daripada diangkat, walaupun lintasan yang ditempuh menjadi lebih panjang.

Prinsip kerja bidang miring juga dapat ditemukan pada beberapa perkakas, contohnya kampak, pisau, pahat, obeng, sekrup, paku ulir, baut, dan mata gergaji.

4) Roda Berporos

Roda berporos adalah roda berbentuk silinder yang dihubungkan dengan sebuah poros. Roda dan poros berputar bersama-sama. Contoh penggunaan roda berporos terdapat pada roda sepeda, roda gerobak, setir mobil, setir kapal, dan gerinda.


(63)

c. Konsep Cahaya

Cahaya berasal dari sumber cahaya. Semua benda yang dapat memancarkan cahaya disebut sumber cahaya. Contoh sumber cahaya adalah matahari, lampu, senter, dan bintang. Cahaya memiliki sifat merambat lurus, menembus benda bening, dapat dipantulkan, dan dapat dibiaskan (Azmiyawati 2008:110-116).

1) Cahaya merambat lurus

Jika posisi matahari berada di sebelah timur atau di sebelah barat, sering tampak seberkas cahaya matahari menerobos celah-celah dedaunan. Berkas cahaya matahari akan tampak terlihat merambat lurus. Begitu pula jika melihat permainan sinar laser, akan tampak sinar lurus.

2) Cahaya dapat menembus benda bening

Benda yang disimpan di dalam kotak kaca dapat dilihat dengan jelas. Akan tetapi, benda yang disimpan di dalam kotak kayu atau besi tidak dapat dilihat. Alasannya bahan kaca dapat dilalui cahaya, sedangkan bahan kayu atau besi tidak dapat dilalui cahaya. Ini menunjukkan bahwa cahaya dapat menembus benda bening.

3) Cahaya dapat dipantulkan

Pemantulan cahaya ada dua jenis yaitu pemantulan baur (pemantulan difus) dan pemantulan teratur. Pemantulan baur terjadi apabila cahaya mengenai permukaan yang kasar atau tidak


(64)

rata. Pada pemantulan ini, sinar pantul arahnya tidak beraturan. Sementara itu, pemantulan teratur terjadi jika cahaya mengenai permukaan yang rata, licin, dan mengilap. Permukaan yang mempunyai sifat seperti ini misalnya cermin. Pada pemantulan ini sinar pantul memiliki arah yang teratur.

Gambar 2.7 Pemantulan cahaya (a) pemantulan baur (difusi), (b) pemantulan teratur

Sumber: Azmiyawati (2008:112)

Gambar di atas menunjukkan pemantulan cahaya. Gambar (a) merupakan pemantulan baur, dan gambar (b) merupakan pemantulan teratur.

4) Cahaya dapat dibiaskan

Peristiwa pembelokan arah rambatan cahaya setelah melewati medium rambatan yang berbeda disebut pembiasan. Apabila cahaya merambat dari zat yang kurang rapat ke zat yang lebih rapat, cahaya akan dibiaskan mendekati garis normal. Misalnya cahaya merambat dari udara ke air. Sebaliknya, apabila cahaya merambat dari zat yang lebih rapat ke zat yang kurang rapat,


(65)

cahaya akan dibiaskan menjauhi garis normal. Misalnya cahaya merambat dari air ke udara.

d. Konsep Cermin

Cermin merupakan salah satu benda yang memantulkan cahaya. Berdasarkan bentuk permukaannya ada cermin datar dan cermin lengkung. Cermin lengkung ada dua macam, yaitu cermin cembung dan cermin cekung.

1) Cermin datar

Cermin datar yaitu cermin yang permukaan bidang pantulnya datar dan tidak melengkung. Cermin datar biasa digunakan untuk bercermin.

Gambar 2.8 Cermin Datar Sumber: Azmiyawati (2008:112)

Gambar di atas menunjukkan pemantulan pada cermin datar. Bayangan pada cermin datar mempunyai sifat-sifat berikut.


(66)

a) Ukuran (besar dan tinggi) bayangan sama dengan ukuran benda.

b) Jarak bayangan ke cermin sama dengan jarak benda ke cermin.

c) Kenampakan bayangan berlawanan dengan benda. Misalnya tangan kirimu akan menjadi tangan kanan bayanganmu. d) Bayangan tegak seperti bendanya.

e) Bayangan bersifat semu atau maya. Artinya, bayangan dapat dilihat dalam cermin, tetapi tidak dapat ditangkap oleh layar.

2) Cermin cembung

Cermin cembung yaitu cermin yang permukaan bidang pantulnya melengkung ke arah luar. Cermin cembung biasa digunakan untuk spion pada kendaraan bermotor.

Gambar 2.9 Cermin Cembung Sumber: Azmiyawati (2008:113)

Gambar di atas menjukkan pemantulan yang terjadi pada cermin cembung. Bayangan pada cermin cembung bersifat maya,


(67)

tegak, dan lebih kecil (diperkecil) daripada benda yang sesungguhnya.

3) Cermin cekung

Cermin cekung yaitu cermin yang bidang pantulnya melengkung ke arah dalam. Cermin cekung biasanya digunakan sebagai reflektor pada lampu mobil dan lampu senter. Sifat bayangan benda yang dibentuk oleh cermin cekung sangat bergantung pada letak benda terhadap cermin.

a) Jika benda dekat dengan cermin cekung, bayangan benda bersifat tegak, lebih besar, dan semu (maya).

b) Jika benda jauh dari cermin cekung, bayangan benda bersifat nyata (sejati) dan terbalik.

Gambar 2.10 (a) Cermin cekung, (b) contoh cermin cekung yang digunakan pada reflektor lampu senter

Sumber: Azmiyawati (2008:114)

Gambar 2.10 tersebut menunjukkan cermin cekung. Gambar (a) menunjukkan pemantulan pada cermin cekung, dan gambar (b) menunjukkan penggunaan cermin cekung pada lampu senter.


(68)

e. Konsep Pemanfaatan Sifat-sifat Cahaya dalam Karya Sederhana

Sulistyanto (2008:139-141) menyatakan beberapa pemanfaatan sifat-sifat cahaya yang dapat dibuat suatu karya atau model menggunakan peralatan yang sederhana antara lain:

1) Periskop

Periskop adalah sejenis teropong yang biasanya terdapat pada kapal selam untuk mengamati keadaan di permukaan laut. Periskop dapat digunakan untuk melihat benda yang berada di atas batas pandang.

Alat dan bahan yang digunakan adalah 2 kotak pasta gigi, lem, selotip, cutter, pensil, penggaris dan 2 cermin datar ukuran 3 cm x 3 cm. Cara membuatnya adalah sebagai berikut

a) Buatlah persegi pada bagian depan atas kotak dengan ukuran 3 cm × 3 cm.

b) Lubangi bagian persegi tersebut dengan menggunakan cutter. c) Letakkan cermin pada bagian atas tersebut dengan posisi

miring dan bagian depan cermin menghadap ke bawah dan rekatkan dengan selotip.

d) Buatlah persegi pada bagian bawah belakang kotak dengan ukuran 3 cm × 3 cm.


(69)

f) Letakkan cermin pada bagian bawah tersebut dengan posisi miring dan bagian depan cermin menghadap ke atas dan rekatkan dengan selotip.

g) Potong kotak pasta gigi lainnya menjadi tiga bagian yang sama panjang dengan alas dan tutup yang terbuka.

h) Tutup kedua lubang yang ada pada bagian depan dan belakang periskop dengan potongan kotak yang telah disiapkan. Rekatkan dengan menggunakan lem atau selotip.

2) Kaca pembesar sederhana

Kaca pembesar atau lebih dikenal dengan lup merupakan alat yang digunakan untuk melihat benda-benda atau tulisan yang berukuran kecil. Alat ini biasanya digunakan oleh tukang arloji/jam untuk memperbaiki arloji/ jam tersebut.

Alat dan bahan yang diperlukan antara lain bola lampu yang tidak terpakai, air jernih, obeng, karet balon, tang, dan karet gelang. Cara membuatnya yang pertama lubangi bagian belakang bola lampu dengan menggunakan obeng dan tang. Kedua, bersihkan bagian dalamnya hingga bersih. Yang terakhir, masukkan air bening ke dalam bola lampu, tutup bagian belakangnya dengan menggunakan karet bekas balon mainan dan ikatlah karet tersebut dengan menggunakan karet gelang.


(1)

Lampiran 8: Hasil Wawancara Siswa dan Guru

Hasil wawancara dengan siswa

Pertanyaan Jawaban responden

Apakah kamu paham tentang semua materi yang diajarkan di kelas V semester 2 ini?

Hanya memahami beberapa materi yang diajarkan, lainnya tidak paham karena sulit.

Materi-materi apa saja yang kurang kamu pahami?

Materi yang kurang dipahami adalah tentang cahaya, cermin.

Apa yang menyebabkan kamu kurang paham pada materi tersebut?

Kurang paham pada materi tersebut karena cara guru mengajarkan hanya menggunakan metode ceramah.

Hasil wawancara dengan guru

Pertanyaan Jawaban responden

Apakah guru mengoreksi hasil pekerjaan siswa kelas V pada materi IPA fisika di semester II ?

Ya, setiap hasil pekerjaan siswa sebisa mungkin dikoreksi agar dapat mengetahui sejauh mana pemahaman siswa pada materi yang telah diajarkan.

Bagaimana hasil pekerjaan siswa kelas V pada materi IPA fisika di semester II?

Tidak semua siswa mendapatkan nilai bagus dalam mengerjakan tugas, ada sebagian siswa yang mendapat nilai jelek

Bagaimana guru menyikapi hasil pekerjaan siswa kelas V yang belum menguasi atau belum mencapai nilai sesuai KKM yang sudah ditentukan untuk mata pelajaran IPA fisika?

Jika nilai yang didapat siswa kurang, maka akan dilakukan program remedial untuk memperbaiki nilai.

Apa saja yang dipersiapkan oleh guru agar siswa kelas V mudah dalam memahami konsep materi IPA fisika di semester II?

Agar siswa lebih mudah memahami materi, dalam menyampaikan materi guru tidak hanya menggunkan metode ceramah. Untuk materi yang memungkinkan, dapat dilakukan praktik, agar siswa dapat mempraktikkan sendiri dan nantinya akan lebih paham.

Bagaimana guru menyusun soal-soal IPA fisika untuk kelas V semester II?

Dalam menyusun soal-soal untuk ulangan harian dan lain-lain, menyesuaikan kriteria pembuatan soal, dimana ada soal kriteria mudah, sedang dan sulit.


(2)

Lampiran 9: Hasil Uji SPSS

Uji Normalitas Tes Pilihan Ganda

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Sekolah Tingkat Pendidikan

Miskonsepsi

N 297 297 297

Normal Parametersa,b Mean 17,64 3,48 5,05 Std. Deviation 9,563 1,475 2,949

Most Extreme Differences

Absolute ,090 ,235 ,121 Positive ,090 ,235 ,121 Negative -,062 -,178 -,063 Kolmogorov-Smirnov Z 1,554 4,047 2,079 Asymp. Sig. (2-tailed) ,016 ,000 ,000 a. Test distribution is Normal.

b. Calculated from data.

Uji Homogenitas Tes Pilihan Ganda

Test of Homogeneity of Variances

Miskonsepsi

Levene Statistic df1 df2 Sig. 1,498 6 290 ,179

Uji Hipotesis Tes Pilihan Ganda

Kruskal-Wallis Test

Ranks

TingkatPendidikan N Mean Rank

Miskonsepsi

SD 29 155,45 SMP 41 151,39 SMA 110 151,45 D3 19 163,63 S1 73 146,66 S2 22 119,50 S3 3 144,83 Total 297


(3)

Test Statisticsa,b

Miskonsepsi

Chi-Square 3,534

df 6

Asymp. Sig. ,739

a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: TingkatPendidikan

Uji Normalitas Tes Esai

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

miskonesai sekolah tingpend

N 297 297 297

Normal Parametersa,b Mean 9,88 17,64 3,48 Std. Deviation 4,492 9,563 1,475

Most Extreme Differences

Absolute ,052 ,090 ,235 Positive ,052 ,090 ,235 Negative -,052 -,062 -,178 Kolmogorov-Smirnov Z ,901 1,554 4,047 Asymp. Sig. (2-tailed) ,392 ,016 ,000 a. Test distribution is Normal.

b. Calculated from data.

Uji Homogenitas Tes Esai

miskonesai

Levene Statistic df1 df2 Sig.


(4)

Uji Hipotesis Tes Esai

Kruskal-Wallis Test

Ranks

tingpend N Mean Rank

miskonesai

SD 29 134,28 SMP 41 153,23 SMA 110 151,88 D3 19 174,95 S1 73 143,66 S2 22 143,73

S3 3 132,33

Total 297

Test Statisticsa,b

miskonesai

Chi-Square 3,303

df 6

Asymp. Sig. ,770

a. Kruskal Wallis Test b. Grouping Variable: tingpend


(5)

Lampiran 10: Foto Penelitian

Pengambilan Data di SD N

Puren

Pengambilan Data di SD N Catur

Tunggal IV

Pengambilan Data di SD N Corongan

Permintaan Izin Penelitian


(6)

CURRICULUM VITAE

Luciana Puput Indriati lahir di Batang, 14

November 1994. Pendidikan awal dimulai di TK Budi

Luhur Kumesu, Batang, Jawa Tengah pada tahun

1999-2000. Pendidikan dasar diperoleh di SD Kumesu 01,

Batang,

Jawa

Tengah,

pada

tahun

2000-2006.

Pendidikan menengah pertama diperoleh di SMP Negeri

01 Limpung, Batang, Jawa Tengah, pada tahun 2006-2009. Pendidikan menengah

atas diperoleh di SMA Negeri 01 Subah, Batang, Jawa Tengah pada tahun

2009-2012.

Pada tahun 2012, peneliti tercatat sebagai mahasiswa Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta pada Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Jurusan

Ilmu Pendidikan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Selama menempuh

pendidikan di Universitas Sanata Dharma, peneliti sudah mengikuti Kursus Mahir

Dasar, Mengajar Pramuka, Bimbingan Belajar SD Kelas Atas, Bimbingan Belajar

SD Kelas Bawah, Probaling SD 1, Probaling SD 2, dan PPL. Pendidikan di

perguruan tinggi diakhiri dengan menulis skripsi yang berjudul

“MISKONSEPSI

IPA FISIKA SISWA KELAS V SEMESTER 2 SD NEGERI SE-KECAMATAN

DEPOK KABUPATEN SLEMAN

”.