Peran Pembimbing Kemasyarakatan Dalam Membuat Penelitian Kemasyarakatan Pada Persidangan Anak

(1)

PERAN PEMBIMBING KEMASYARAKATAN DALAM

MEMBUAT PENELITIAN KEMASYARAKATAN PADA

PERSIDANGAN ANAK

TESIS

Oleh

LAMARTA SURBAKTI 077005015/HK

S

E K O L A H

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

PERAN PEMBIMBING KEMASYARAKATAN DALAM

MEMBUAT PENELITIAN KEMASYARAKATAN PADA

PERSIDANGAN ANAK

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

LAMARTA SURBAKTI 077005015/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : PERAN PEMBIMBING KEMASYARAKATAN DALAM MEMBUAT PENELITIAN KEMASYARAKATAN PADA PERSIDANGAN ANAK

Nama Mahasiswa : Lamarta Surbakti Nomor Pokok : 077005015

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) Ketua

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM) Anggota Anggota

Ketua Program Studi D i r e k t u r

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)


(4)

Telah diuji pada Tanggal 22 Juli 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS

Anggota : 1. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH

2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM 3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH


(5)

ABSTRAK

Pembimbing Kemasyarakatan bertugas membuat suatu penelitian kemasyarakatan (Litmas) terhadap seorang anak yang melakukan tindak pidana. Di dalam penelitian kemasyarakatan tersebut tertulis mengenai data pribadi maupun keluarga anak yang melakukan pidana, kronologis terjadinya perbuatan pidana tersebut serta kesimpulan dan saran. Hasil penelitian masyarakat ini akan dijadikan dasar oleh hakim dalam proses sidang anak.

Penelitian tentang Peran Pembimbing Kemasyarakatan Dalam Membuat Penelitian Kemasyarakatan Pada Persidangan Anak mencakup 3 (tiga) masalah, yaitu : 1) Bagaimanakah peranan penelitian kemasyarakatan dan pembimbing kemasyarakatan pada persidangan anak; 2) Faktor-faktor apakah yang menghambat dan mendukung pembinaan anak; 3) Upaya-upaya apakah yang dilakukan untuk menghadapi hambatan dalam pembinaan anak.

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan hukum normatif yang bertujuan untuk menemukan peraturan dan asas-asas hukum yang mengatur tentang peranan penelitian kemasyarakatan dan pembimbing kemasyarakatan di pengadilan anak, hambatan-hambatannya, serta upaya dalam mengatasi hambatan tersebut yang dapat memberikan kontribusi dalam penanganan perkara tindak pidana anak.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketika Pembimbing Kemasyarakatan dalam hasil penelitiannya menyatakan bahwa dari segi usia bahwa seorang anak nakal dinyatakan sah dikategorikan masih usia anak-anak yang disertai bukti-bukti hukum yang kuat (ijazah, akte lahir, kartu keluarga, surat lahir dari bidan/dokter, dan lain sebagainya), maka penelitian kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan akan bermanfaat bagi anak nakal tersebut di dalam sidang anak khususnya ditinjau dari aspek hukum dan tindakan yang diberikan kepada Anak Nakal tersebut.

Dengan adanya hasil laporan tersebut, diharapkan hakim dapat memperoleh gambaran yang tepat untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya bagi anak yang bersangkutan. Laporan penelitian kemasyarakatan yang dipergunakan untuk kepentingan pembinaan ada beberapa macam, misalnya untuk anak negara yang akan cuti liburan sekolah, lepas bersyarat (VO), anak asuh atau foter care pada keluarga atau perkumpulan sosial.

Juga untuk narapidana dalam rangka pindah kepada Lembaga Pemasyarakatan lain, cuti pre-release treatment (PRT) atau lepas bersyarat bagi klien dewasa (VI), latihan kerja dan bimbingan lanjutan bagi klien yang membutuhkan. Jadi laporan penelitian kemasyarakatan itu sangat penting untuk sidang Tim Pembina Pemasyarakatan (TPP) di Lembaga Pemasyarakatan.

Peneliti menyarankan agar dalam menangani para pelanggar hukum oleh para penegak hukum, dalam penyelesaiannya jangan hanya melakukan pendekatan yuridis saja akan tetapi harus melihat aspek lain yang berhubungan dengan masalah itu. Kata Kunci : Penelitian, Pembimbingan, Anak.


(6)

ABSTRACT

Social Counsellor undertake to make a social research (Litmas) to a child doing in justice. In the social research written to hit the personal data and also child family [doing/conducting] crime, chronological the happening of the crime and also conclusion and suggestion. Result of this society research will be made by base judge in course of child conference.

Research about Role of Social Counsellor In Making Social Research At Child Conference include; cover 3 problem, that is 1) What will be role of research of social and social counsellor at child conference 2) Factors whether pursuing and supporting child construction 3) Efforts whether done to face the resistance in child construction.

This research is conducted with the approach punish the normatif which aim to to find the regulation and principle of justice arranging about role of research of social and social counsellor in child justice, its resistances, and also strive in overcoming the resistance which can give the contribution in handling of case of doing an injustice child.

Result of research indicate that when Social Counsellor in its research result express that from age facet that a naughty child expressed by a validity categorized by a children age still accompanied [by] the strong law evidence (diploma, akte born, family card, letter born from midwife/doctor, and others), hence research of social of Hall Pemasyarakatan will be of benefit to the naughty child in child conference is specially evaluated from aspect punish and action which is passed to by a the Naughty Child.

With the existence of the report result, expected by a judge can obtain; get the correct picture to give the decision which seadil-adilnya for pertinent child. report of social Research utilized for the sake of construction of there are some kinds of, for example for the child of state of vacation leave to school, conditional free (VO), child take care of or foter care at social bevy or family.

Also for the convict of in order to moving to Institute Pemasyarakatan of[is other; dissimilar, leave of pre-release treatment (PRT) or release conditional for adult client (VI), grounding and continuation tuition for client requiring. Become the that social research report of vital importance for the conference of Team of Builder Pemasyarakatan (TPP) in Institute Pemasyarakatan.

Researcher suggest that in handling all lawbreaker by all enforcer punish, in its solution don't only conduct the just approach yuridis however have to see the other related aspect with that problem.


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan Kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Penyelesaian tesis ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan dari Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS; Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH dan Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian “Peran Pembimbing Kemasyarakatan Dalam Membuat Penelitian Kemasyarakatan Pada Persidangan Anak”.

Peneliti turut mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara Prof.. Chairuddin P. Lubis, DTM&Sp. A(K) atas dibukanya kerjasama Program beasiswa Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan Universitas Sumatera Utara. 2. Direktur Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc atas

pemberian kesempatan menjadi mahasiswa di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH selaku Ketua Program Sudi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.

4. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS, selaku Komisi Pembimbing yang telah memberikan sumbang saran dalam penelitian.


(8)

5. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku Komisi Pembimbing yang telah memberikan ide-ide dalam penulisan dalam penelitian.

6. Pimpinan BAPAS Medan atas kesempatan memberikan waktu dan kesempatan berdiskusi sehingga akhir penelitian ini.

7. Teman-teman kuliah di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan yang berkesempatan membagi waktu dalam suka dan duka.

8. Staf Administrasi Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan informasi

Peneliti berterima kasih atas dukungan moril dari orangtua, kasih sayang istri tercinta, ananda yang selalu kusayangi sehingga memperoleh gelar di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan. Dengan segala keterbatasan kekurangan yang ada, peneliti berharap semoga tesis ini bisa dimanfaatkan oleh pihak yang terkait.

Medan, 7 Juli 2009 Peneliti,


(9)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Lamarta Surbakti Tempat/Tgl. Lahir : Medan/5 Oktober 1972 Jenis Kelamin : Laki-Laki

Status : Kawin

Agama : Islam

Alamat : Jl. Pemasyarakatan Komplek Aribawana Blok B No. III 6

PENDIDIKAN FORMAL

a. Sekolah Dasar Inpres Guru Kinayan tahun 1987

b. Sekolah Menengah PertamaNegeri Tiga Serangkai tahun 1990 c. Sekolah Menengah Atas Kaban Jahe tahun 1993

d. Fakultas Hukum UNPAB tahun 2001


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK --- i

ABSTRACT --- ii

KATA PENGANTAR --- iii

RIWAYAT HIDUP --- v

DAFTAR ISI --- vi

DAFTAR TABEL --- viii

DAFTAR ISTILAH --- ix

DAFTAR SINGKATAN --- x

BAB I PENDAHULUAN--- 1

A. Latar Belakang --- 1

B. Rumusan Masalah --- 12

C. Tujuan Penelitian --- 12

D. Manfaat Penelitian --- 13

E. Keaslian Penelitian --- 13

F. Kerangka Teori dan Konsepsi --- 14

G. Metode Penelitian --- 26

BAB II PERAN PENELITIAN KEMASYARAKATAN DAN PEMBIMBING KEMASYARAKATAN PADA PERSIDANGAN ANAK--- 30

A. Tinjauan Umum Pembimbing Kemasyarakatan--- 30

B. Tinjauan Umum Tentang Penelitian Kemasyarakatan --- 43


(11)

BAB III PEMANFAATAN PENELITIAN KEMASYARAKATAN

BAGI PERSIDANGAN ANAK --- 72

A. Berdasarkan Hukum Pidana --- 72

B. Bagi Hakim Dalam Menjatuhkan Vonis Terhadap Anak Nakal --- 78

C. Bagi Pembimbing Kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan Klas I Medan--- 79

BAB IV HAMBATAN- HAMBATAN DALAM PEMBUATAN PENELITIAN KEMASYARAKATAN --- 87

A. Peran Pembimbing Kemasyarakatan Dalam Membuat Penelitian Kemasyarakatan Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana--- 87

B. Kendala Dalam Pembuatan Penelitian Kemasyarakatan Terhadap Anak Yang Melakukan Tindak Pidana --- 90

C. Upaya Dalam Mengatasi Hambatan Dalam Pembuatan Penelitian Kemasyarakatan --- 91

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN --- 95

A. Kesimpulan --- 95

B. Saran --- 96


(12)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman 1. Perbandingan Batas Usia Minimal Tanggung Jawab Kriminal ... 6 2. Latar Belakang Pendidikan Pegawai BAPAS Klas I Medan

Tahun 2009 ... 31 3. Keadaan Pegawai BAPAS Klas I Medan Tahun 2009

Berdasarkan Golongan ... 32 4. Keadaan Pegawai BAPAS Klas I Medan Tahun 2009


(13)

DAFTAR ISTILAH

The Olders Social Problems : Masalah Sosial Yang Lama Child Criminal Justice System : Sistem Peradilan Anak Labelling Theory : Teori Pengecapan

Probation Officer : Pembimbing Kemasyarakatan/PK

Case Study : Studi Kasus

Pre Adjudication : Sebelum Maju Ke Sidang Pengadilan


(14)

DAFTAR SINGKATAN

BAPAS : Balai Pemasyarakatan

KUHAP : Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana KUHP : Kitab Undang-undang Hukum Pidana LITMAS : Penelitian Kemasyarakatan LP : Lembaga Pemasyarakatan

RKUHP : Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana PK : Pembimbing Kemasyarakatan

PRT : Pre Release Treatment

SMPS : Sekolah Menengah Pekerjaan Sosial SPSA : Sekolah Pekerjaan Sosial Tingkat Atas TPP : Tim Pengamat Pemasyarakatan


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Benedict Alpert berpendapat bahwa kejahatan merupakan the olders social

problems karena sampai tahun 1970 telah dibahas lebih dari 80 (delapan puluh)

pertemuan atau konferensi internasional.1

Pembangunan nasional yang merupakan bagian proses modernisasi membawa dampak positif maupun negatif. Salahsatu dampak negatif dari pesatnya perkembangan ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi semakin meningkatkan kualitas serta kuantitas kejahatan. Disamping itu kemerosotan ekonomi juga sebagai faktor pemicu dominan terjadinya suatu kejahatan. Menurut beberapa ahli, masalah kejahatan bukan barang baru meskipun tempat dan waktunya berlainan, akantetapi modusnya dinilai sama karena kejahatan adalah suatu fenomena sosial yang terjadi pada setiap waktu dan tempat, kehadirannya di bumi dapat dikatakan setua dengan umur manusia.2

Sedangkan mengenai perilaku menyimpang menurut Edwin Lemert bahwa karir pelaku penyimpang seringkali mengalami perubahan sesuai dengan perjalanan waktu dan tindakan pelaku penyimpang tersebut seringkali merupakan langkah ambil resiko yang bersifat coba-coba untuk pola perilaku yang dilarang. Tindakan ini menjadi sasaran reaksi sosial yang pada gilirannya dapat mempengaruhi pengalaman karir pelaku selanjutnya.3

1

Muladi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung : Alumni, 1992), hlm. 86. 2

JE. Sahetapy, Victimologi Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta : Sinar Harapan, 1987), hlm. 35. 3

Mulyana W. Kusumah, Analisa Kriminologi Tentang Kejahatan Kekerasan, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 8


(16)

Soerjono Soekanto menyatakan bahwa selama hidupnya manusia memiliki hasrat untuk hidup teratur, namun terkadang seseorang pernah melanggar hukum. Pelanggaran itu bisa disengaja ataupun tidak. Pelanggaran berat yang disengaja biasanya terjadi karena sebab-sebab tertentu.4

Sebagai suatu kenyataan sosial bahwa yang berkaitan dengan masalah sosial ekonomi, kejahatan itu sendiri tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa semata, namun juga telah dilakukan oleh anak-anak. Pemerintah tidak melihat anak-anak yang terlantar kelak akan menjadi penjahat atau pengangguran, makanya tenang-tenang saja karena belum nampak kejahatannya. Dibat ruamh penjara untuk mereka, padahal apabila hati-hati saja, sebenarnya dapar dicegah sebelumnya. Mahkamah dan Menteri Kehakiman goyang kaki saja sebelum menjadi penjahat dewasa; padahal mereka itu dapat dipengaruhi secara bijaksana dan mungkin besar jasanya bagi masyarakat.5

Kecenderungan meningkatnya kualitas maupun kuantitas pelanggaran baik terhadap ketertiban umum maupun pelanggaran terhadap ketentuan hukum yang dilakukan oleh pelaku-pelaku usia muda, atau dengan perkataan lain meningkatnya kenakalan remaja yang mengarah kepada tindakan kriminal mendorong kita untuk lebih banyak memberi perhatian akan penanggulangan serta penanganannya, khususnya di bidang hukum pidana (anak), beserta hukum acaranya. Hal ini erat hubungannya dengan perlakuan khusus terhadap pelaku tindak pidana anak-anak.

Permasalahan pembinaan generasi muda merupakan bagian integral dari masalah pembangunan. Oleh sebab itu sebagian masalah pembinaan yaitu pembinaan

4

Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah Sosial, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1989), hlm. 7.

5

Simanjuntak, Latar Belakang Kenakalan Remaja (Etiologi Juvenile Delinquency) , (Bandung : Alumni, 1979), hlm. 97.


(17)

yustisial terhadap generasi muda khususnya anak-anak perlu mendapat perhatian dan pembahasan tersendiri.

Dalam proses perkembangan tidak jarang timbul peristiwa yang menyebabkan anak dalam keadaan terlantar maupun terjadinya perbuatan yang dilakukan oleh anak-anak dibawah umur berupa ancaman atau pelanggaran terhadap ketertiban umum dalam masyarakat, bahkan terdapat kecenderungan adanya penyalahgunaan anak bagi kepentingan tertentu yang justru dilakukan oleh para orangtua atau pembinanya.

Oleh sebab itu anak nakal dan anak terlantar perlu diselesaikan melalui suatu badan yaitu lembaga peradilan khusus agar terdapat jaminan bahwa penyelesaian tersebut dilakukan benar-benar untuk kesejahteraan anak yang bersangkutan dan kepentingan masyarakat tanpa mengabaikan terlaksananya hukum. Oleh karenanya sudah menjadi kewajiban pemerintah dalam memperhatikan kemajuan serta kesempurnaannya.

Perhatian terhadap anak telah lama ada sejalan dengan peradaban manusia itu sendiri yang semakin berkembang. Oleh karena itu anak memerlukan pembinaan, bimbingan khusus agar dapat berkembang secara fisik, mental dan spiritualnya. Perumusan tentang hukum anak di Indonesia telah ada sejak tahun 1925 ditandai dengan lahirnya Stb. 1925 No. 647 jo. Ordonantie 1949 No. 9 yang mengatur pembatasan kerja anak dan wanita. Surat Edaran Kejaksaan Agung pada Mahkamah Agung No. P 1/20. tanggal 30 Maret 1951 menjelaskan tentang penjahat anak-anak adalah mereka yang menurut hukum pidana melakukan perbuatan yang dapat dihukum, belum berusia 16 (enam belas) tahun.6

Jaksa Agung dalam hal ini menekankan bahwa menghadapkan penjahat anak-anak ke muka pengadilan hanya sebagai langkah terakhir atau ultimum remedium.

6


(18)

Sedangkan bagi penjahat anak-anak yang dimungkinkan penyelesaian lain maka perlu dipertimbangkan manfaatnya.

Sistem perundang-undangan di Indonesia belum terdapat adanya unifikasi tentang hukum anak, akan tetapi telah terkodifikasi dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini seperti pada hukum perburuhan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Oleh karena itu perlu dimaklumi sulitnya memahami hukum anak itu sendiri sehingga menurut Darwan Prinst, hukum anak adalah sekumpulan peraturan hukum yang mengatur tentang anak. Adapun hal-hal yang diatur dalam hukum anak itu meliputi sidang pengadilan anak, anak sebagai pelaku tindak pidana, anak sebagai korban tindak pidana, kesejahteraan anak, hak-hak anak, pengangkatan anak, anak terlantar, kedudukan anak, perwalian, anak nakal, dan lain sebagainya.7

Masalah tindak pidana anak sebenarnya telah di atur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang menegaskan bahwa anak yang dapat di ajukan ke peradilan perkara pidana yaitu berumur 8 (delapan) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun, namun belum menikah/kawin. Pandangan hukum melihat kenakalan anak selalu bisa dan dapat di ajukan ke dalam peradilan anak. Salah satu ketentuan dalam proses sistem peradilan anak (child criminal justice

system) harus di laksanakan dengan adanya petugas BAPAS (Balai Pemasyarakatan)

sebagai pembuat LITMAS (penelitian masyarakat) anak, yang akan menjadi bahan pertimbangan dalam proses child criminal justice system.

7


(19)

Menurut pandangan ilmu viktimologi, anak yang masuk dalam perkara sistem peradilan pidana di saat pertama kali di tangkap oleh polisi, berarti anak yang awalnya mungkin menjadi tersangka berubah menjadi korban dalam proses peradilan pidana. Hal ini di sebabkan adanya proses viktimisasi terhadap anak, apalagi sampai masuk dalam penjara yang notabene merupakan tempat penjahat. Labelisasi atau cap sebagai penjahat terhadap anak akan membekas selama hidupnya.

Pandangan kriminologis dalam teorinya labelling theory menyatakan bahwa ketika seseorang sudah di label akan sesuatu akan memiliki kecenderungan akan menjalankan apa yang telh di labelkan orang atau masyarakat kepadanya. Demikian pula halnya label sebagai penjahat ketika anak di masukkan ke dalam penjara. Oleh karena itu di perlukan adanya pencermatan terhadap proses peradikan pidana yang benar-benar terpadu (integrated) dengan memperhatikan perkembangan psikologis anak, namun juga tidak mengenyampingkan kepentingan secara umum (daad

daderstrafrecht).

Untuk dapat melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak diperlukan dukungan baik menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih memadai. Prakteknya di hukum kebiasaan internasional

(international customary law), menetapkan usia pertanggungjawaban pidana minimal

diatas 12 (dua belas) tahun, meskipun di tiap negara berbeda tentang usia minimal. Hal ini dapat dilihat tabel 1 pada halaman enam di bawah ini, yaitu:


(20)

Tabel 1: Perbandingan Batas Usia Minimal Tanggung Jawab Kriminal Nama Negara Usia Minimal Tanggung Jawab Kriminal

Inggris 10 Perancis 13

Jerman 14 Belanda 12 Sumber Data : Badan Pembinaan Hukum Nasional Tahun 2007

Sedangkan di Indonesia tidak terdapat kesamaan batas usia minimal, yang dapat dilihat dengan adanya pluralisme mengenai kriteria anak, yaitu :

1) Undang-Undang Pengadilan Anak.

Pasal 1 ayat (2) merumuskan bahwa anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah. Jadi kriteria anak dibatasi dengan umur antara 8 (delapan) tahun sampai dengan berumur 18 (delapan belas) tahun. Kriteria lainnya bahwa si anak belum pernah menikah. Maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun perkawinannya putus karena perceraian maka si anak dianggap sudah dewasa meskipun umurnya belum genap berusia 18 (delapan belas) tahun.

2) Anak dalam Hukum Perburuhan.

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Perburuhan mendefinisikan anak adalah orang laki-laki atau perempuan berumur 14 (empat belas) tahun ke bawah.

3) Anak menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Pasal 45 Kitab Undang-undang Hukum Pidana mendefiisikan anak yang belum dewasa apabila belum berumur 16 (enam belas) tahun. Oleh karena itu apabila ia tersangkut dalam perkara pidana, hakim bisa memerintahkan supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orangtuanya, walinya atau pemeliharanya dengan tidak dikenakan suatu hukuman atau memerintahkannya supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman.

4) Anak menurut Hukum Perdata.

Pasal 330 KUH Perdata mengatakan bahwa orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur 21 (dua pulus satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.

5) Anak menurut Undang-Undang Perkawinan.

Pasal 7 ayat (1) Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Undang-Undang Pokok Perkawinan menyebutkan bahwa seorang pria hanya diizinkan


(21)

kawin apabila telah mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita telah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Penyimpangan atas hal tersebut hanya dapat dimintakan dispensasi kepada Pengadilan Negeri.8

Perlindungan hukum terhadap anak dalam proses peradilan pidana yaitu terhadap anak sebagai pelaku kejahatan maksudnya adalah anak sebagai pelaku kejahatan bukanlah mendapatkan hak kekebalan hukum atau tidak tersentuh hukum, akan tetapi anak yang melakukan tindak kejahatan atau tindak kriminal berlaku ketentuan khusus dengan berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, maupun pemidanaannya dijatuhkan kepada anak nakal paling lama ½ (setengah) dari maksimum ancaman penjara bagi orang dewasa sehingga kekhususan penanganan peradilan pidana anak dapat mereduksi ketentuan dalam KUHP maupun KUHAP dengan berdasarkan asas lex spesialis derogat lex

generalis.

Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia berhadapan dengan hukum, yaitu :9

1) Status Offender adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh

orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah;

2) Juvenile Delinquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan

oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum.

Sehubungan dengan hal ini, Muladi yang menyatakan bahwa criminal justice

system memiliki tujuan untuk resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana;

8

Ibid., hlm. 3 9

Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, mengutip Harry E. Allen and Cliffford E. Simmonsen, dalam Correction in America


(22)

pemberantasan kejahatan; dan untuk mencapai kesejahteraan sosial.10 Berangkat dari

pemikiran ini, maka tujuan sistem peradilan pidana anak terpadu lebih ditekankan kepada upaya pertama (resosialiasi dan rehabilitasi) dan ketiga (kesejahteraan sosial). Kemudian fungsi yang seharusnya dijalankan oleh sistem peradilan pidana terpadu adalah: workers; indigenous peoples, children; dan women.

Pelaksanaan sistem peradilan anak dilaksanakan demi mencapai kesejahteraan anak dengan berdasar prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Dengan kata lain, sistem peradilan pidana anak berdasarkan kepada perlindungan anak dan pemenuhan hak-hak anak (protection child and fullfilment child rights based approuch).

Salahsatu prinsip tentang hak-hak anak menyatakan bahwa anak-anak seharusnya menikmati perlindungan khusus dan dierikan kesempatan dan fasilitas melalui upaya hukum maupun upaya lain sehingga memungkinkan anak terbangun fisik, mental, moral, spiritual, dan sosial dalam mewujudkan kebebasan dan kehormatan anak.

Pendekatan kesejahteraan dapat dijadikan sebagai dasar filosofi penanganan terhadap pelanggaran hukum usia anak, yaitu :11

1) Anak-anak dianggap belum mengerti benar kesalahan yang telah diperbuat, sehingga sudah sepantasnya diberikan pengurangan hukuman, serta pembedaan pemberian hukuman bagi anak-anak dengan orang dewasa.

2) Bila dibandingkan dengan orang dewasa, anak-anak diyakini lebih mudah dibina dan disadarkan.

10

Mappi FHUI, Lembaga Pengawasan Sistem Peradilan Pidana Terpadu, (Jakarta : Universitas Indonesia, 2003)

11

Purnianti menyitir pendapat Stewart Asquish, Children and Young People in Conflict with the Law, hlm. 72


(23)

Dengan adanya pendekatan kesejahteraan, maka peranan pembimbing kemasyarakatan sangat efektif dalam memberikan anak-anak motivasi dalam menjalani hukuman. Hal ini sesuai dengan tugasnya pembimbing kemasyarakatan dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak adalah untuk memperlancar tugas penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam perkara anak nakal baik di dalam maupun di luar sidang anak dengan membuat laporan hasil penelitian kemasyarakatan.12 Pemasyarakatan yang dimaksud adalah bagian dari tata peradilan pidana dari segi pelayanan tahanan, pembinaan narapidana, anak negara, dan bimbingan klien pemasyarakatan yang dilaksanakan secara terpadu dengan tujuan agar mereka setelah menjalani pidananya dapat kembali menjadi warga masyarakat yang baik.

Berdasarkan hal tersebut, perlakuan terhadap anak yang melakukan kejahatan tentu saja berbeda dengan orang dewasa baik dalam proses peradilan maupun dalam hal pemberian hukuman. Seorang anak yang menjalani proses peradilan mulai dari tahap pra ajudikasi sampai tahap purna ajudikasi harus selalu diperhatikan kepentingan anak dan harus dihindarkan dari hal-hal yang dapat merugikan anak. Di pelbagai negara, termasuk Indonesia, terus diusahakan mencari bentuk-bentuk pidana lain di samping pidana perampasan kemerdekaan berupa peningkatan pemidanaan yang bersifat non institusional dalam bentuk pidana bersyarat, dan pidana harta benda misalnya denda.13 Perampasan kemerdekaan baik berupa penangkapan, penahanan dan pidana penjara terhadap anak merupakan upaya terakhir dan dalam jangka waktu yang singkat.Prinsip ini terkandung di dalam dokumen-dokumen internasional yang merupakan upaya perlindungan hukum pidana terhadap anak. Prinsip-prinsip penjatuhan pidana terhadap anak antara lain terkandung di dalam

Standard Minimum Rules For Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules), Un Rules For The Protection Of Juvenile Deprived Of Liberty dan Convention on The Right Of The Child, yang telah diratifikasi oleh pemerintah

Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990. Prinsip-prinsip penjatuhan pidana terhadap anak yang tertuang di dalam dokumen-dokumen internasional ini dan keinginan agar pidana penjara sejauh mungkin tidak dijatuhkan khususnya terhadap anak, yang telah dituangkan di dalam

12

Lihat Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak 13


(24)

Rancangan KUHP (selanjutnya di singkat RKUHP) dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997. 14

Menurut Mardjono Reksodiputro, bahwa beliau lebih cenderung mempergunakan pembinaan di luar lembaga (treatment in community) sebagai langkah awal dalam pemidanaan anak pelanggar hukum.15 Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana pemikiran ini dapat dilaksanakan melalui pidana pengawasan. Apabila pidana pengawasan ini diberlakukan secara efektif, maka paling tidak ada tiga hal yang perlu disiapkan, yaitu :

1) Adanya pembatasan penjatuhan pidana penjara terhadap pelaku usia muda. 2) Dipersiapkannya tenaga-tenaga terdidik (melalui Akademi Ilmu

Pemasyarakatan dan sekolah-sekolah tinggi ilmu kesejahteraan sosial atau melalui pendidikan di jurusan kriminologi) yang dapat menjadi pengawas dan pembimbing bagi para terpidana muda ini.

3) Mempersiapkan masyarakat untuk mendukung integrasi para pelaku ini dalam komunitas mereka, termasuk kesediaan mereka yang terpilih untuk menjadi pengawas atau pembimbing sukarela (voluntary probation officer).16

Menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 yang dimaksud dengan BAPAS adalah pranata untuk melaksanakan bimbingan klien pemasyarakatan.17 BAPAS (Balai Pemasyarakatan) sebagai unit pelaksana teknis dalam pelaksanaan tugas sehari-hari memiliki petugas khusus yang disebut Pembimbing Kemasyarakatan/PK (Probation Officer).

14

Pasal 66 huruf a RKUHP ditentukan “Pidana penjara sejauh mungkin tidak dijatuhkan jika dijumpai keadaan-keadaan sebagai berikut : a.Terdakwa berusia dibawah 18 tahun dan diatas 70 tahun

15

Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum UI, 1997), hlm. 116

16

Mardjono Reksodiputro, Bunga Rampai Permasalahan dalam System Peradilan Pidana, (Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum UI, 1997), hlm. 73

17

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 jo PP No. 31 tahun 1999 Tentang Pembinaan Dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan


(25)

Pembimbing Kemasyarakatan inilah yang bertugas membuat suatu penelitian kemasyarakatan (Litmas) terhadap seorang anak yang melakukan tindak pidana. Di dalam penelitian kemasyarakatan tersebut tertulis mengenai data pribadi maupun keluarga anak yang melakukan pidana, kronologis terjadinya perbuatan pidana tersebut serta kesimpulan dan saran. Hasil litmas ini akan dijadikan dasar oleh hakim dalam proses sidang anak. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 telah mengatur bahwa hakim wajib mempertimbangkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan (Litmas) yang dibuat oleh pembimbing kemasyarakatan.

Keberadaan pembimbing kemasyarakatan sampai saat ini masih kurang mendapat perhatian, seolah-olah peranan yang banyak tampil dalam penanganan anak bermasalah itu hanyalah Penyidik, Jaksa, Hakim dan petugas Lembaga Pemasyarakatan. Begitu pentingnya keberadaan pembimbing kemasyarakatan dalam peradilan anak, hal ini tergambar dalam pernyataan dari Hawnah Schaft, seperti yang dikutip oleh Paulus Hadi Suprapto:

“Suksesnya peradilan anak jauh lebih banyak bergantung pada kualitas dari

probation officer (petugas Bapas) daripada hakimnya. Peradilan anak yang

tidak memiliki korps pengawasan percobaan yang membimbing dengan bijaksana dan kasih sayang ke dalam lingkungan kehidupan anak dan memberikan petunjuk bagi standard pemikiran yang murni bagi anak mengenai hidup yang benar, hanyalah mengakibatkan fungsi pengadilan anak menjadi kabur kalau tidak ingin sia-sia”.18

Maka dari itu begitu pentingnya penelitian kemasyarakatan terhadap anak dalam peradilan anak yang dibuat oleh pembimbing kemasyarakatan sebagai bahan

18

Paulus Hadisuprapto, Juvenile DeliQuency, Pemahaman dan Penanggulangannya, (Bandung : Citra Aditya, 1998), hlm. 64


(26)

pertimbangan hakim dalam sidang anak. Penelitian kemasyarakatan ini juga dapat dipergunakan untuk menentukan terapi atau rencana pola pembinaan pada anak di Lembaga Pemasyarakatan Anak. Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka peneliti akan membahas penelitian dengan judul ”Peran Pembimbing Kemasyarakatan Dalam Membuat Penelitian Kemasyarakatan Pada Persidangan Anak”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka yang menjadi permasalahan, yaitu :

1. Bagaimanakah peranan pembimbing kemasyarakatan dan manfaat penelitian kemasyarakatan pada persidangan anak ?

2. Bagaimanakah pemanfaatan penelitian kemasyarakatan dalam persidangan anak ? 3. Upaya-upaya apakah yang dilakukan untuk menghadapi hambatan dalam

pembuatan penelitian kemasyarakatan ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka penelitian ini bertujuan:

1. Untuk mengetahui peranan pembimbing kemasyarakatan dan manfaat penelitian kemasyarakatan dalam persidangan anak.


(27)

2. Untuk mengetahui pemanfaatan penelitian kemasyarakatan dalam persidangan anak.

3. Untuk mengetahui upaya-upaya apakah yang untuk menghadapi hambatan dalam pembuatan penelitian kemasyarakatan.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis, diharapkan menjadi bahan masukan untuk perkembangan ilmu hukum pidana, khususnya dalam menangani pembinaan anak di persidangan anak.

2. Secara praktis, diharapkan memberikan masukan kepada petugas Lembaga Kemasyarakatan, khususnya pembimbing kemsyarakatan dalam memberikan pembinaan terhadap anak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

E. Keaslian Penelitian

Agar tidak terjadi pengulangan suatu penelitian terhadap masalah yang sama, peneliti biasanya akan mengumpulkan data tentang masalah tersebut sebelum melakukan kegiatan ilmiah tersebut.19

Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan (library research) belum terdapat penelitian khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan yang

19


(28)

membahas tentang ”Peran Pembimbing Kemasyarakatan Dalam Membuat Penelitian Kemasyarakatan Pada Persidangan Anak” dengan judul dan permasalahan yang sama. Dengan demikian penelitian ini dinyatakan asli serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

a. Teori Sistem Peradilan Anak

Untuk mendukung pentingnya diadakan kajian yang menyangkut peranan penelitian kemasyarakatan dan pembimbing kemasyarakatan dalam persidangan anak, maka diperlukan adanya kerangka teori yang menjelaskan tentang sistem peradilan pidana, dan peradilan anak.

Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung kepada metodologi, aktifitas penelitian, dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori. Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi,20 dan suatu kerangka teori harus diuji untuk

menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.

Sedangkan pengertian kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis dari penulis dan ahli hukum di bidang hukum yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui yang merupakan masukan eksternal bagi penulisan tesis.21

Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum. Menyangkut soal

20

Soerjono Soekanto, Teori Yang Murni Tentang Hukum, (Bandung : Alumni, 1985), hlm. 96 21


(29)

teori, dalam dunia keilmuan dikenal adanya teori panjang (grand theory), teori tengah (middle range theory) lalu yang terendah adalah teori biasa yang dihasilkan oleh suatu ilmu. Sedangkan teori hukum merupakan hasil karya pada pakar hukum tanpa mengacu pada mutu filasafat.22

Anak yang diduga oleh pihak kepolisian telah melakukan tindak pidana, maka pihak kepolisian menyampaikan surat permintaan penelitian kemasyarakatan kepada Balai Pemasyarakatan. Setelah pembimbing kemasyarakatan balai kemasyarakatan menyelesaikan tugas pembuatan hasil penelitian kemasyarakatan, maka hasil penelitian kemasyrakatan tersebut diserahkan kepada pihak penyidik (polisi) untuk kelengkapan berkas perkara anak yang melakukan tindak pidana.

Setelah pihak penyidik menganggap berkas perkara anak yang melakukan tindak pidana itu dianggap sudah lengkap, maka penyidik menyerahkan berkas perkara anak tersebut kepada pihak kejaksaan negeri (jaksa penuntut umum). Kemudian pihak kejaksaan negeri mengajukan persidangan perkara anak dan untuk menghadiri sidang anak tersebut, pihak pengadilan negeri menyampaikan surat untuk menghadiri sidang anak kepada pembimbing kemasyarakatan balai pemasyarakatan yang nantinya akan menjadi dasar pertimbangan bagi hakim dalam memutuskan perkara anak tersebut.

Sebelum hakim memutuskan perkara anak nakal dalam sidang peradilan anak, hakim dalam pertimbangannya selalu menyebutkan hasil penelitian kemasyarakatan pembimbing kemasyarakatan balai pemasyarakatan sebagai salah satu dasar pertimbangan hakim. Hakim dalam memutuskan perkara anak nakal memiliki

22

Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 12


(30)

pilihan-pilihan yakni apakah anak akan dikembalikan kepada orangtua, apakah anak diberikan orang tua asuh, apakah anak ditempatkan di lembaga pemasyarakatan khusus anak untuk menjalani pidananya dan apakah anak tersebut ditempatkan di badan-badan sosial atau lembaga-lembaga sosial baik itu milik pemerintah.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang telah berlaku di Indonesia merupakan implementasi dari Konvensi Hak Anak. Dalam Konvensi Hak Anak tersebut dinyatakan bahwa setiap anak berhak atas perlindungan, mencakup perlindungan dari segala eksploitasi, perlakuan kejam dan perlakuan sewenang-wenang dalam proses peradilan pidana. Berkaitan dengan hal tersebut, maka dikeluarkanlah Undang-Undang tentang Pengadilan Anak.

Beberapa pengertian yang harus diperhatikan, yaitu:

1) Yang dimaksud dengan anak dalam perkara Anak Nakal adalah orang yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.23

2) Anak Nakal adalah:

a. anak yang melakukan tindak pidana, atau

b. anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Tahapan beracara dalam pengadilan anak pada dasarnya sama dengan peradilan umum, yaitu peradilan pidana. Namun mengingat bahwa subjeknya adalah anak yang berbeda dengan subjek peradilan umum lain, maka terdapat beberapa perbedaan dan perlakuan khusus yang dibuat untuk kepentingan anak. Perbedaan dan perlakuan khusus tersebut antara lain:

23


(31)

Berdasarkan pemeriksaan :

1) Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur yang telah ditentukan dalam batas umur Anak Nakal, dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, tetap diajukan ke Sidang Anak.24 2) Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau

diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan oleh penyidik.25

3) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak yang dimaksud dalam ayat 1 masih dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan kembali amak tersebut kepada orangtua, wali, atau orangtua asuhnya.26

4) Apabila menurut hasil pemeriksaan, penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 tidak dapat lagi dibina oleh orangtua, wali, atau orangtua asuhnya, Penyidik menyerahkan anak tersebut kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing Kemasyarakatan.27

Berdasarkan pemeriksaan di persidangan :

1) Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang dewasa diajukan ke Sidang Anak, sedangkan orang dewasa diajukan ke sidang bagi orang dewasa.28

2) Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diajukan ke Sidang Anak, sedangkan anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diajukan ke Mahkamah Militer.29 3) Hakim, Penuntut Umum, Penyidik, dan Penasihat Hukum, serta petugas

lainnya dalam Sidang Anak tidak memakai toga atau pakaian dinas.30 4) Hakim memeriksa perkara anak dalam sidang tertutup.31

5) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, pemeriksaan perkara anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat dilakukan dalam sidang terbuka.32 6) Dalam hal sidang dilakukan dalam keadaan tertutup, maka yang dapat hadir

dalam persidangan tersebut adalah orang tua, wali, atau orang tua asuh, Penasihat Hukum, dan Pembimbing Kemasyarakatan.33

24

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 25

Pasal 4 ayat 1Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 26

Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 27

Pasal 4 ayat 3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 28

Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 29

Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 30

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 31

Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 32

Pasal 8 ayat 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 33


(32)

7) Selain mereka yang disebutkan di atas, orang-orang tertentu atas izin hakim atau majelis hakim dapat menghadiri persidangan tertutup.34

8) Putusan pengadilan atas perkara anak yang dilakukan dalam persidangan tertutup, diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum.35

9) Apabila ketentuan dalam pasal 8 dan pasal 6 UU No 3 Tahun 1997 ridak dilaksanakan, maka putusan hakim dapat dinyatakan batal demi hukum.36 b. Teori Pembimbing Kemasyarakatan dan Pekerjaan Sosial

Pembimbing Kemasyarakatan merupakan pekerja sosial seperti diatur dalam Pasal 37, 38 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997. pembimbing Kemasyarakatan adalah petugas pemasyarakatan pada Balai Pemasyarakatan (BAPAS).

Pekerjaan sosial di Indonesia sebagai suatu profesi masih merupakan suatu profesi yang relatif baru, dalam pengertian baik sebagai keahlian maupun sebagai praktek. Hal itu menimbulkan berbagai macam interpretasi, yakni :37

1) Pengertian awam yang cenderung mengidentikkan pekerjaan sosial sama dengan kegiatan-kegiatan sosial pada umumnya yang didorong oleh “kemauan baik” untuk menolong sesama manusia tanpa melihat motif, lembaga, metode, tenaga dan hasil yang dicapai. Pekerjaan sosial dan pekerjaan amal sering dianggap mempunyai pengertian yang sama.

2) Pengertian para administrator atau pimpinan lembaga atau organisasi swasta yang menyatakan bahwa usaha untuk melaksanakan program kesejahteraan sosial terlepas dari apakah para pelaksana terdidik atau tidak dalam profesi pekerjaan sosial, dianggap sebagai praktek pekerjaan sosial. Merekapun belum dapat membedakan dengan jelas antara pekerjaan sosial dan pelayanan sosial dan hal-hal apa yang merupakan prasyarat untuk melaksanakan pekerjaan sosial profesional dan non profesional.

3) Kecenderungan dari segolongan orang untuk menyempitkan pengertian pekerjaan sosial sebagai suatu kegiatan (profesional) yang hanya ditujukan kepada individu-individu yang mengalami disfungsi atau disorganisasi pribadi

34

Pasal 8 ayat 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 35

Pasal 8 ayat 6 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 36

Pasal 153 ayat 4 KUHAP. 37

Syarif Muhidin, Pengantar Kesejahteraan Sosial, Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992), hlm. 8


(33)

tanpa menghiraukan “kondisi sosial” sebagai suatu pendekatan untuk mengatasi masalah individu dan masalah sosial.

4) Pandangan dari para pelaksana pekerjaan sosial sendiri dan orang-orang yang telah mempelajari atau melaksanakan praktek pekerjaan sosial yang memiliki keyakinan bahwa pekerjaan sosial profesional memiliki tujuan yang kompleks, tapi tertentu dimana teori, keterampilan dan prakteknya dapat dibedakan dengan profesi lainnya. Walaupun pekerjaan sosial seperti itu dianggap sama dengan profesi-profesi lainnya seperti halnya dokter dan ahli hukum dapat merupakan seorang ahli umum (generalis) atau seorang spesialis

(specialist).

Menurut Walter A. Friedlander (1961) yang dikutip oleh Syarif Muhidin, bahwa pekerjaan sosial adalah suatu pelayanan profesional yang didasarkan pada ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam relasi kemanusiaan yang bertujuan untuk membantu, baik secara perseorangan maupun di dalam kelompok untuk mencapai kepuasan dan ketidaktergantungan secara pribadi dan soial.38

Social Work Year Book Tahun 1945 yang diterjemahkan oleh Syarif Muhidin menjelaskan bahwa pekerjaan sosial adalah suatu pelayanan profesional kepada orang-orang dengan tujuan untuk membantu mereka baik secara individu atau kelompok untuk mencapai relasi-relasi dan standard hidup yang memuaskan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan mereka dan dengan masyarakatnya.

Berdasarkan definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa:39

1) Pekerjaan sosial adalah suatu profesi yang bukan hanya merupakan tujuan praktis. Seorang pekerja sosial profesional mempunyai tanggungjawab yang besar kepada masyarakat terhadap kepentingan masyarakat terutama untuk mencapai tujuan sosial. Suatu perbedaan pokok antara praktek profesional dan non profesional adalah bahwa kegiatan-kegiatan profesional didasarkan pada pendidikan khusus dan karenanya seorang pekerja sosial mempunyai status profesional.

2) Pekerja sosial profesional mempunyai pemahaman tentang pribadi dan tingkah laku manusia serta lingkungan sosial atau kondisi sosial dimana manusia itu hidup. Karena itu, pekerja sosial mempelajari ilmu pengetahuan sosial dan ilmu pengetahuan alam yang relevan dan berusaha

38

Ibid, hlm.7 39


(34)

menggunakannya secara terampil di dalam praktek. Dengan demikian pekerja sosial menggunakan ilmu pengetahuan dan seni dalam arti ia menggunakan metode-metode ilmiah dalam melaksanakan tugasnya. Keberhasilan selain ditentukan metode dan teknik yang dipergunakan, juga tergantung pada kemampuannya untuk menggunakan metode dan teknik tersebut secara terampil.

3) Kesejahteraan sosial dan pekerjaan sosial adalah dua hal yang tidak sama, walaupun lembaga-lembaga sosial dan bidang praktek dimana keahlian pekerjaan sosial dilaksanakan. Sedangkan yang kedua mencakkup suatu kegiatan yang dapat dilaksanakan diberbagai bidang kesejahteraan sosial. 4) Pekerjaan sosial memiliki proses, metode dan teknik tersendiri. Ia juga

memiliki falsafah, pandangan tersendiri yang membedakannya dengan ilmu pengetahuan lain. Ia berangkat dari keyakinan bahwa walaupun konflik pribadi dan sosial tidak dapat dihindarkan dan sifatnya alamiah, perubahan-perubahan sosial dapat diarahkan. Ia juga percaya bahwa kesejahteraan manusia merupakan fungsi utama dari organisasi atau lembaga sosial.

5) Pekerjaan sosial sesuai dengan sifatnya dan kegiatannya dan keragaman bidang prakteknya mempunyai atau melaksanakan bentuk pelayanan yang berbeda-beda. Hal ini berarti ia harus cukup memperoleh informasi tentang sumber-sumber yang dapat dipergunakannya dalam melaksanakan tugas-tugasnya.

6) Pekerja sosial harus dapat memahami kebutuhan individu dan lingkungannya yang menyebabkan timbulnya masalah-masalah sosial. Manusia dan lingkungannya, atau lebih tepat interaksi antara manusia dan lingkungannya merupakan fokus dari pekerjaan sosial.

Pekerjaan sosial adalah suatu bidang keahlian yang mempunyai tanggung jawab untuk memperbaiki dan atau mengembangkan interaksi diantara orang dengan lingkungan sosial sehingga orang ini memiliki kemampuan untuk menyelesaikan tugas-tugas kehidupan mereka, mengatasi kesulitan-kesulitan serta mewujudkan aspirasi-aspirasi dan nilai-nilai mereka. Atas dasar pengertian ini, maka pekerjaan sosial mempunyai tujuan untuk :40

1) Meningkatkan kemampuan orang untuk menghadapi tugas-tugas kehidupan dan kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya.

40

Soetarso, Praktek Pekerjaan Sosial, (Bandung : Koperasi Mahasiswa Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial , 1992) , hlm.5


(35)

2) Mengaitkan orang dengan sistem yang dapat menyediakan sumber-sumber, pelayanan-pelayanan dan kesempatan-kesempatan yang dibutuhkannya.

3) Meningkatkan kemampuan pelaksanaan sistem tersebut secara efektif dan berperikemanusiaan.

4) Memberikan sumbangan bagi perubahan, perbaikan, serta perkembangan kebijakan dan perundang-undangan sosial.

Pekerjaan sosial meninjau suatu masalah bukannya sebagai atribut orang melainkan situasi sosial dimana orang itu berada atau terlibat. Permasalahannya bukan siapa yang mempunyai masalah tetapi bagaimana unsur-unsur di dalam situasi sosial, termasuk karakteristik orang-orang dalam situasi ini, saling berinteraksi sehingga mengganggu orang dalam pelaksanaan tugas-tugas kehidupan mereka.

Usaha-usaha pencapaian tujuan pekerjaan sosial, pekerja sosial melaksanakan tugas-tugas untuk menyelesaikan satu atau lebih fungsi sebagai berikut :

a) Pekerja sosial menentukan dan mengadakan hubungan dengan orang yang membutuhkan bantuan guna penyelesaian tugas kehidupannya.

b) Pekerja sosial dapat memberikan pengertian, dukungan dan dorongan kepada orang-orang yang mengalami krisis.

c) Pekerja sosial dapat memberikan kesempatan kepada orang untuk mengutarakan kesulitan-kesulitan mereka.

d) Pekerja sosial dapat membantu orang untuk meneliti berbagai pilihan tentang cara menanggulangi masalah serta keterangan-keterangan mengenai pilihan-pilihan itu untuk membantunya mengambil keputusannya.

e) Pekerja sosial dapat mengkonfrontasikan orang dengan realitas situasi yang mereka hadapi dengan jalan memberikan keterangan yang dapat mengganggu keseimbangan pribadi orang ini untuk kemudian diberikan motivasi guna terjadinya perubahan tertentu.

f) Pekerja sosial dapat mengajarkan keterampilan kepada orang untuk mewujudkan aspirasi mereka.41

41


(36)

c. Teori Kenakalan Anak

Masyarakat mempunyai kecenderungan untuk membagi lingkaran kehidupan dalam dua tahap yakni anak-anak dan dewasa. Perpindahan dari satu tahap ke tahap lainnya yang secara antropologis ditandai dengan adanya “rites de passage“, membawa sejumlah konsekuensi sosial dan hukum dengan sejumlah norma baru yang harus dipatuhi seseorang. Dikatakan Bob Franklin seperti yang dikutip Harkristuti Harkrisnowo :

“...being a child is not universal experience of any fixed duration, but is

differently constructed expressing the divergent gender, class, ethnic or historical of particular’s individuals. Distinctive, as well as histories, construct different worlds of childhood....” (....menjadi seorang anak bukan

pengalaman yang secara universal dari masa tertentu, tetapi dibentuk secara berbeda pengekspresian jenis kelamin, kelas, etnis atau kedudukan historis dari seseorang. Khususnya sejarah, membentuk dunia yang berbeda dari kehidupan anak-anak....).42

Meskipun Pasal 1 Konvensi Hak Anak secara umum mendefinisikan anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun, namun negara-negara diberi kebebasan untuk menentukan batas usia sesuai dengan budaya dan tradisi.

Perumusan batasan tentang anak ini terlihat ketidakseragaman di antara negara satu dengan negara lain. Di Amerika Serikat, di 27 negara bagian batas umur ditetapkan antara 8-18 tahun; sementara 6 negara bagian menentukan batas umur antara 8-17 tahun, ada pula negara bagian lain yang menentukan batas umur antara 8-16 tahun. Di Inggris ditentukan batas umur antara 12-16 tahun. Australia, di kebanyakan negara bagian menentukan batas umur antara 8-16 tahun. Negara Belanda menentukan batas umur antara 12-18 tahun. Negara-negara Asia, antara lain Srilanka menentukan batas umur antara 8-16 tahun, Iran menentukan batas umur 6-18 tahun, Jepang dan Korea menentukan batas umur antara 14-20 tahun, Kamboja menentukan

42

Harkristuti Harkrisnowo, Tantangan dan Agenda Hak-Hak Anak Pasca 2000, Suatu Usulan Pemikiran, Makalah dalam Deklarasi dan Peluncuran Indonesian Lawyers Ascociation For Children’s Rights (ILACR), 10 Juli 2000, Medan, hal.5


(37)

batas umur antara 15-18 tahun. Negara-negara Asean, antara lain Filipina menentukan batas umur antara 7-18 tahun, Singapura menentukan batas umur antara 7-16 tahun.43

Pasal 59 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak disebutkan bahwa putusan hakim wajib mempertimbangkan laporan penelitian kemasyarakatan dari Pembimbing Kemasyarakatan. Maksud dari Undang-Undang tersebut adalah apabila ketentuan ini tidak dipenuhi mengakibatkan putusan batal demi hukum. Sidang anak memiliki kekhususan karena anak secara psikologis dan sosiologis belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya secara mutlak.

Seorang anak yang melakukan kenakalan pada dasarnya disebabkan oleh faktor eksternal seperti dikatakan oleh Teori Sutherland bahwa anak dan para remaja menjadi delikuen disebabkan oleh partisipasinya di tengah-tengah suatu lingkungan sosial yang ide dan teknik delikuen tertentu dijadikan sarana yang efisien untuk mengatasi kesulitan hidupnya karena itu semakin lama anak bergaul dan semakin intensif relasinya dengan anak-anak jahat lainnya, akan menjadi semakin lama pula proses berlangsungnya asosiasi diferensial tersebut dan semakin besar kemungkinan anak-anak remaja tadi benar-benar menjadi kriminal.44

Tentang kenakalan anak juga disebutkan dalam Teori Kontrol Sosial yang dikemukakan oleh Alber J. Reiss yang telah menggabungkan hasil penelitian dari aliran Chicago dan telah menghasilkan Teori Kontrol Sosial. Reiss mengemukakan bahwa ada 3 (tiga) komponen dari Kontrol Sosial di dalam menjelaskan kenakalan anak/remaja.

43

Sri Widowati Wiratmo Soekito, Anak dan Wanita dalam Hukum, (Jakarta : LP3ES, 1989), hlm. 10

44

Kartini Kartono, Patologi Sosial 2; Kenakalan Remaja, (Jakarta : Raya Grafindo Persada, 1998), hlm. 30


(38)

Ketiga komponen tersebut adalah:45

a) Kurangnya kontrol internal yang wajar selama masa anak-anak. b) Hilangnya kontrol tersebut

c) Tidak adanya norma-norma sosial atau konflik antara norma-norma dimaksud (di sekolah, orangtua, atau lingkungan terdekat).

Kontrol internal adalah kemampuan seseorang untuk menahan diri utnuk tidak mencapai kebutuhannya dengan cara melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat. Sedangkan Kontrol Eksternal adalah kemampuan kelompok sosial atau lembaga-lembaga di masyarakat untuk melaksanakan norma-norma atau peraturan menjadi efektif.

Pembimbing Kemasyarakatan diatur dalam ketentuan Pasal 1, angka 11; Pasal 33 huruf a ; Pasal 34 ayat (1) huruf a, b ; Pasal 35 ; Pasal 36 dan Pasal 38 UU No.3/1997. Pembimbing Kemasyarakatan adalah petugas pemasyarakatan pada Balai Pemasyarakatan.

Secara menyeluruh Petugas Kemasyarakatan mempunyai tugas sebagai berikut:

a) Membantu memperlancar tugas: 1) Penyidik

2) Penuntut umum

3) Hukum baik di dalam maupun di luar sidang anak dengan membuat laporan hasil penelitian kemasyarakatan, data individu anak, keluarga dan kehidupan sosial anak, kesimpulan atau pendapat Petugas Kemasyarakatan.

b) Membimbing, membantu dan mengawasi anak nakal yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi:

1) Pidana bersyarat 2) Pidana pengawasan 3) Pidana denda

45

Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, (Jakarta : Eresco, 1999), hlm.32


(39)

4) Diserahkan kepada negara dan harus mengikuti latihan kerja 5) Anak yang memperoleh Pembebasan Bersyarat (PB).46

Pembimbing Kemasyarakatan juga merupakan pekerja sosial, menurut Pasal 37, 38 UU No.3/1997. Terhadap tugas, kewajiban dan syarat-syarat bagi pekerja sosial diatur lebih lanjut dengan keputusan menteri Sosial dan harus mempunyai keterampilan teknis dan jiwa pengabdian di bidang usaha kesejahteraan sosial.

Penelitian Kemasyarakatan atau Case Study ini salah satu hal yang penting sebagai metode pendekatan dalam rangka pembinaan pelaku tindak pidana. Penelitian Kemasyarakatan merupakan suatu metode penelitian yang khusus dan penting yang dilakukan oleh seorang Pembimbing Kemasyarakatan.

Mengingat pentingnya dan kegunaannya dalam pembuatan penelitan kemasyarakatan atau case study dalam membantu hakim untuk membuat suatu putusan yang tepat dan seadil-adilnya, maka isi laporan penelitian kemasyarakatan ini harus bisa memberikan gambaran tentang latar belakang kehidupan klien baik di masa lalu maupun lingkungan sosialnya dapat dicakup dalam isi laporan penelitian kemasyarakatan.

2. Kerangka Konsepsional

Berdasarkan defenisi dari berbagai istilah yang akan digunakan dalam penelitian ”Peran Pembimbing Kemasyarakatan Dalam Membuat Penelitian Kemasyarakatan Pada Persidangan Anak” adalah:

46


(40)

1) Penelitian Kemasyarakatan adalah kegiatan penelitian untuk mengetahui latar belakang kehidupan warga Binaan Pemasyarakatan yang dilaksanakan oleh BAPAS.47

2) Pembimbingan Kemasyarakatan adalah untuk memperlancar tugas penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam perkara anak nakal baik di dalam maupun diluar sidang anak dengan membuat laporan hasil penelitian kemasyarakatan.48 3) Persidangan Anak adalah segala aktifitas pemeriksaan dan pemutusan perkara

yang menyangkut kepentingan anak.49

G. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian

Penelitian tentang peranan pembimbing kemasyarakatan dalam pembuatan litmas guna persidangan anak yang merupakan penelitian yang bersifat deskriptif. Analisis yaitu menggambarkan peranan pembimbing kemasyarakatan dalam kaitannya membuat laporan penelitian kemasyarakatan dan kemudian dianalisis keterkaitan antara pembimbing kemasyarakatan dan hasil laporan penelitian kemasyarakatan yang dipergunakan dalam persidangan anak. Pendekatan yang digunakan yaitu :

47

Pasal 1 PP Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan.

48

Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 49

Soedarto, Pengertian dan Ruang Lingkup Peradilan Anak, Lokakarya Tentang Peradilan Anak, (Bandung : Bina Cipta, 1979), hlm. 80.


(41)

a) Pendekatan hukum normatif, yaitu mengkaji kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan pembimbing kemasyarakatan dalam kaidah sidang anak.

b) Pendekatan hukum empiris, yaitu melakukan pendekatan efektifitas penerapan perundang-undangan dan menggali fakta-fakta tentang pentingnya litmas dalam sidang anak.

2. Lokasi Penelitian

Penelitian berlokasi di Balai Pemasyarakatan Klas I Medan yang terletak di Jalan Asrama Gg. Jayak No.33 Medan dengan alasan Balai Pemasyarakatan Klas I Medan sebagai lokasi penelitian karena Balai Pemasyarakatan Klas I Medan memiliki ruang lingkungan pekerjaan yang luas, wilayah kerja yang sangat luas untuk sidang peradilan anak yang mencakup Kota Medan, Kota Binjai, Kabupaten Langkat, Kabupaten Deli Serdang, dan Kabupaten Serdang Bedagai.

Balai Pemasyarakatan Klas I Medan memiliki tenaga/petugas pembimbing kemasyarakatan yang cukup dengan latar belakang pendidikan yang memadai serta memiliki sarana dan prasarana penunjang tugas-tugas pembimbing kemasyarakatan yang cukup memadai.

Di samping itu, alasan lain penulis memilih Balai Pemasyarakatan Klas I Medan menjadi lokasi penelitian karena selain peneliti yang sudah berpengalaman sebagai pembimbing kemasyarakatan juga untuk lebih memfokuskan kepada tujuan dalam rangka penulisan tesis ini, yaitu memberikan gambaran tentang peranan pembimbing kemasyarakatan dalam pembuatan litmas guna persidangan anak.


(42)

3. Sumber Data Penelitian

Sumber data adalah sumber data yang diperoleh secara langsung oleh peneliti dari pembimbing kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan Klas I Medan yang terletak di Jalan Asrama Gg. Jayak No. 33 Medan.

4. Teknik Pengumpulan Data a. Studi Kepustakaan

1) Bahan buku primer berupa berbagai peraturan perundang-undangan tentang peradilan anak.

2) Bahan hukum sekunder, berupa literatur bahan bacaan berupa buku, artikel dan bahan-bahan seminar tentang pembimbing kemasyarakatan.

3) Bahan hukum tersier, bahan diambil dari majalah, surat kabar untuk penunjang informasi dalam penelitian.

b. Wawancara

Wawancara adalah cara untuk memperoleh data dengan mengajukan pertanyaan secara langsung kepada pembimbing kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan Klas I Medan.

c. Observasi

Observasi adalah cara untuk memperoleh data dengan pengamatan langsung untuk mengetahui gambaran peranan pembimbing kemasyarakatan dalam melaksanakan penelitian kemasyarakatan guna sidang anak di pengadilan negeri.


(43)

5. Analisis Data

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa data kualitatif maupun data kuantitatif yakni ciri-ciri dari fakta-fakta sosial dengan menggunakan kalimat-kalimat yang logis dan cenderung empiris serta juga disajikan dalam angka-angka dalam bentuk tabel dengan menggunakan analisa data kualitatif.

Pada tahap pengolahan data, peneliti melakukan analisa data yang mempunyai karakteristik sama. Klasifikasi data dilakukan dengan mengelompokkan data yang seragam, artinya mengelompokkan data dari hasil wawancara yang mempunyai ciri sama, selanjutnya penulis melakukan analisa berdasarkan kesamaan ciri tersebut. Tahap analisa berdasarkan kesamaan ciri tersebut. Tahap analisa selanjutnya adalah memadukan dengan teori yang digunakan.


(44)

BAB II

PERAN PENELITIAN KEMASYARAKATAN DAN

PEMBIMBING KEMASYARAKATAN

PADA PERSIDANGAN ANAK

A. Tinjauan Umum Pembimbing Kemasyarakatan

Balai Pemasyarakatan sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Departemen Kehakiman pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan merupakan ujung tombak dari pada proses tata peradilan, dimana dalam melakukan tugas di bidang Pemasyarakatan dengan sistem Pemasyarakatan khususnya pembinaan di luar Lembaga Pemasyarakatan pelaksana kegiatan teknis sehari-harinya dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan. Penelitian dilakukan di Balai Pemasyarakatan Klas I Medan sesuai dengan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor 01-PR.07.03 Tahun 1997 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.02.PR.07.03 Tahun 1987 tentang Organisasi dan Tata Tertib BISPA maka Balai Bispa yang ada di seluruh Indonesia resmi berganti nama menjadi Balai Pemasyarakatan/BAPAS.

BAPAS Klas I Medan berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara. Wilayah Kerja BAPAS Klas I Medan yang meliputi seluruh wilayah Propinsi Sumatera Utara tidak dapat terjangkau seluruhnya oleh petugas BAPAS Klas I Medan, maka berdasarkan Surat Dirjen Pemasyarakatan Nomor E.PK.04.10-23 tanggal 9 Maret 1998, maka dapat di angkat Pembimbing Kemasyarakatan yang berasal dari LAPAS/Rumah Tahanan/Cabang Rumah Tahanan pada daerah yang tidak dapat di jangkau yang berfungsi melaksanakan tugas BAPAS dalam wilayah hukum LAPAS/Rumah Tahanan/Cabang Rumah Tahanan. Dengan adanya pengangkatan pembimbing kemasyarakatan di daerah ini maka wilayah kerja BAPAS Klas I Medan yang melakukan


(45)

bimbingan langsung meliputi Kota Medan sebanyak 37 (tiga puluh tujuh) orang, Kota Binjai sebanyak 7 (tujuh) orang, Kab. Langkat sebanyak 10 (sepuluh) orang, Kab. Deli Serdang sebanyak 16 (enam belas) orang50.

Namun pembimbing kemasyarakatan di daerah tetap melaporkan segala kegiatannya pada BAPAS Klas I Medan. BAPAS Klas I Medan memiliki 2 (dua) seksi yang melakukan bimbingan, yakni seksi bimbingan dewasa dan seksi bimbingan klien anak. Secara umum operasional pelaksanaan bimbingan BAPAS ini dilakukan oleh pembimbing kemasyarakatan. Petugas BAPAS Klas I Medan seluruhnya berjumlah 52 (lima puluh dua) orang di antaranya pembimbing kemasyarakatan anak berjumlah 25 (dua puluh lima) orang dan pembimbing kemasyarakatan dewasa sebanyak 15 (lima belas) orang. Pembimbing kemasyarakatan diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Hukum dan HAM. Tidak semua petugas BAPAS adalah pembimbing kemasyarakatan karena untuk menjadi pembimbing kemasyarakatan harus dipenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan yakni telah mengikuti kursus dalam bidang pemasyarakatan.

Tabel 2: Latar Belakang Pendidikan Pegawai BAPAS Klas I Medan Tahun 2009

Pendidikan Pria Wanita Jumlah

Sarjana Sarjana Muda SPSA/SMPS SMA SMP SD Total: 7 2 9 8 1 - 27 6 1 8 10 - - 25 13 3 17 18 1 - 52

Sumber: Urusan Kepegawaian BAPAS Klas I Medan Bulan Maret Tahun 2009

50


(46)

Tabel 3: Keadaan Pegawai BAPAS Klas I Medan Tahun 2009 Berdasarkan Golongan

No Golongan Jumlah

1. 2. 3. Total: IV III II 1 39 12 52

Sumber: Urusan Kepegawaian BAPAS Klas I Medan Bulan Maret Tahun 2009

Tabel 4: Keadaan Pegawai BAPAS Klas I Medan Tahun 2009 Berdasarkan Kepangkatan

No Kepangkatan Jumlah

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Pembina Penata TK. I Penata

Penata Muda TK. I Penata Muda Pengatur TK. I Pengatur

Pengatur Muda TK. I Pengatur Muda 1 3 9 17 11 5 2 3 1

Sumber: Urusan Kepegawaian BAPAS Klas I Medan Bulan Maret Tahun 2009

Pembimbing Kemasyarakatan adalah petugas teknis pada Balai Pemasyarakatan yang melakukan pembuatan penelitian kemasyarakatan dan pembinaan terhadap Klien Pemasyarakatan. Adapun syarat untuk menjadi Pembimbing Kemasyarakatan adalah minimum lulusan Sekolah Menengah Pekerjaan Sosial (SMPS). Sekolah tersebut dulu disebut Sekolah Pekerjaan Sosial Tingkat Atas (SPSA), dengan jurusan pelayanan sosial. Setelah diterima melalui ujian masuk harus mengikuti kursus selama 6 (enam) bulan khusus tentang tugas pembinaan luar Lembaga Pemasyarakatan.


(47)

Pembimbing Kemasyarakatan selain fungsinya sebagai pembimbing juga membuat laporan penelitian kemasyarakatan terhadap klien yaitu orang-orang yang tersangka melakukan pelanggaran hukum, ataupun mereka yang telah dijatuhi hukuman pidana oleh hakim. Putusan hakim yang diberikan kepada pelanggar hukum tersebut bisa merupakan pidana penjara yang harus dijalani di dalam Lembaga Pemasyarakatan atau pidana dengan bersyarat (voorwaardelijke veroordelling). Pidana dengan bersyarat tersebut dijalankan tetap di tengah-tengah lingkungan masyarakatnya.

Pembimbing Kemasyarakatan atas permintaan atau pemberitahuan Kejaksaan dan atau Pengadilan. Telah diketahui bahwa yang dihadapi Pembimbing Kemasyarakatan adalah manusia yang setiap saat selalu berubah dan tidak statis sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan demikian praktis seorang Pembimbing Kemasyarakatan harus mempunyai kecakapan berkomunikasi dan menyesuaikan diri sesuai dengan fungsinya sebagai Pembimbing Kemasyarakatan yang selalu berada di tengah-tengah masyarakat.51

Sebagai garis besar tugas Pembimbing Kemasyarakatan adalah sebagai berikut:

a. Penyajian Laporan Penelitian Kemasyarakatan

Penyajian laporan penelitian kemasyarakatan berdasarkan surat permintaan atau pemberitahuan pembuatan laporan penelitian kemasyarakatan dari Pengadilan Negeri, Lembaga Pemasyarakatan, BAPAS sendiri dan instansi lain yang oleh petugas pendaftaran dicatat dalam buku daftar sebagai berikut:

51

Lihat Penjelasan Surat Edaran Direktur Jenderal Bina Tuna Warga Departemen Kehakiman No.DPP.2.1/1/3 tentang tugas-tugas Balai Pemasyarakatan Klas I Medan


(48)

a) Buku A1: untuk sidang Pengadilan Negeri bagi klien dewasa.

b) Buku B1: untuk bahan program bimbingan narapidana dewasa dan anak dalam Lembaga Pemasyarakatan.

c) Buku A2: untuk sidang Pengadilan Negeri bagi klien anak.

d) Buku B2: untuk bahan program bimbingan anak negara di Lembaga Pemasyarakatan Anak Negara.

e) Buku C1: untuk bahan program bimbingan Balai Pemasyarakatan Klas I Medan yang bersangkutan terhadap klien dewasa.

f) Buku C2: untuk bahan program bimbingan klien Pemasyarakatan anak di Balai Pemasyarakatan Klas I Medan yang bersangkutan.

g) Buku D: untuk program pelayanan klien di instansi lain misalnya Departemen Tenaga Kerja.

Setelah semua surat-surat permintaan laporan penelitian kemasyarakatan di daftar, maka Pembimbing Kemasyarakatan melaksanakan tugas tersebut dengan menempuh usaha-usaha sebagai berikut :

a) Pengumpulan data dengan cara memanggil atau mengunjungi rumah dan tempat-tempat lain yang berhubungan permasalahan klien.

b) Untuk memperoleh data tersebut, Pembimbing Kemasyarakatan menggunakan teknik-teknik: pengamatan, wawancara, psikotes, mempelajari dokumen-dokumen yang berhubungan dengan permasalahan klien dan teknik-teknik lainnya.


(49)

c) Setelah memperoleh data yang lengkap, Pembimbing Kemasyarakatan menganalisa dan menyimpulkan serta memberikan pertimbangan atau saran sehubungan dengan permasalahannya yang selanjutnya dituangkan dalam laporan penelitian kemasyarakatan.

b. Keikutsertaan Dalam Persidangan

Dengan adanya surat pemberitahuan dari Pengadilan Negeri atau Kejaksaan, Pembimbing Kemasyarakatan diperintah oleh Kepala Balai Pemasyarakatan untuk mengikuti sidang di Pengadilan Negeri, dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, pada Pasal 55 disebutkan bahwa “dalam perkara anak nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2, Penuntut Umum, Penasihat Hukum, Pembimbing Kemasyarakatan, Orang Tua, Wali atau orang tua asuh dan saksi wajib hadir dalam sidang anak. Dalam sidang tersebut, Pembimbing Kemasyarakatan harus dapat mempertanggungjawabkan dan memberikan penjelasan tentang isi laporan penelitian kemasyarakatan yang disajikan kepada hakim.

Pembimbing Kemasyarakatan disamping mengikuti sidang di Pengadilan Negeri juga mengikuti sidang Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Lembaga Pemasyarakatan dan di BAPAS untuk menentukan rencana pembinaan terhadap klien baik di Lembaga Pemasyarakatan maupun di Balai Pemasyarakatan sendiri.

c. Pembimbing Kemasyarakatan Sebagai Pekerja Sosial

Pembimbing Kemasyarakatan adalah seseorang yang memiliki ijazah (lulusan) minimal SMPS/SPSA atau sejenisnya ditambah pendidikan/kursus di bidang teknis pembinaan luar Lembaga Pemasyarakatan Direktorat Jenderal


(50)

Pemasyarakatan selama 6 (enam) bulan. Dalam tugas sehari-harinya dikaitkan dengan hakekat manusia sebagai makhluk sosial maka dapat penulis kemukakan sebagai berikut:

Manusia adalah makhluk sosial yang mempunyai perasaan, kemauan dan kebutuhan yang saling berbeda dalam kehidupan sehari-hari. Dimana manusia saling berinteraksi satu dengan lainnya guna pemenuhan jasmani dan rohani sesuai dengan nilai dan norma yang ada. Adapun akibat dari perkembangan yang begitu pesat, maka kebutuhan manusiapun semakin meningkat sedangkan sumber yang ada terbatas. Hal ini mengakibatkan manusia atau masyarakat berupaya menghalalkan berbagai macam cara untuk pemenuhan kebutuhannya tersebut, yaitu tidak mau mengindahkan lagi nilai dan norma serta peraturan yang sudah disepakati. Hal inilah yang dapat mendorong masyarakat untuk melakukan pelanggaran hukum akibat kurang mampunya orang meyesuaikan dirinya dan fungsi sosialnya dalam masyarakat secara wajar sesuai dengan perkembangan zaman yang semakin maju serta kompleks. Untuk pemecahan masalah akibat disfungsi sosial ini memerlukan seorang Pembimbing Kemasyarakatan yang memahami masalah sosial dan kemanusiaan secara mendalam dan professional, dengan cara mengadakan pendekatan dan penelitian.

Dalam penyelesaian masalah-masalah, pembimbing kemasyarakatan berperan sebagai pekerja sosial yang menggunakan pendekatan, metode dan teknik-teknik pekerja sosial yang mempunyai sifat-sifat dan prinsip sebagai berikut:


(51)

a) Keyakinan akan martabat dan harga diri setiap individu.

b) Keyakinan diri sebagai pekerja sosial bahwa kliennya berhak untuk menentukan nasibnya sendiri, sedang pekerja sosial harus berperan membantu mencari pemecahan masalah yang dihadapi.

c) Keyakinan akan adanya persamaan kesempatan bagi tiap individu (klien), hal ini hanya dibatasi oleh kemampuan diri klien tersebut yang dibawanya sejak lahir dan faktor situasi dan kondisi yang ada di sekelilingnya.

d) Keyakinan bahwa hak manusia untuk dihormati martabatnya, menentukan nasibnya sendiri dan persamaan kesempatan mempunyai kaitan yang erat dengan tanggungjawab klien sebagai warga negara yang mentaati hukum (law abiding

citizenship).

Dalam mengadakan penelitian kemasyarakatan seorang Pembimbing Kemasyarakatan mempunyai prinsip yaitu:

a) Prinsip untuk menerima dan menghormati kliennya sebagai manusia di dalam keterlibatannya dengan masalah dan kondisi dewasa ini.

b) Prinsip untuk menjalin hubungan yang baik dengan klien dalam rangka usaha pembinaan.

c) Prinsip pemahaman bahwa individu itu mempunyai struktur kepribadian yang berbeda.

d) Prinsip keikutsertaan klien dalam menanggulangi masalah yang dideritanya. e) Prinsip merahasiakan segala sesuatu yang menyangkut prikehidupan klien dan


(52)

f) Prinsip kesadaran diri pembimbing kemasyarakatan itu adalah petugas yang dipercaya untuk menyelesaikan masalah kliennya.

Jadi hendaknya seorang Pembimbing Kemasyarakatan terlibat secara profesional, bukan secara emosional. Dari uraian di atas jelaslah bahwa Pembimbing Kemasyarakatan dalam melaksanakan tugasnya berhadapan langsung dengan masyarakat yang bermasalah sosial atau pelanggar hukum yang harus ditangani dengan menggunakan teori pendekatan dan metode ilmu pekerjaan sosial secara professional. Begitu pula yang dikatakan oleh Made P. Swande menyatakan bahwa:

Pekerjaan sosial (sosial work) ialah suatu pelayanan yang sifatnya professional, dilandasi oleh pengetahuan serta keterampilan dalam hubungan kemanusiaan, guna menolong individu-individu, keluarga-keluarga dan kelompok-kelompok dalam masyarakat yang memerlukan pertolongan bagi pencapaian kebahagiaan dalam hidupnya.52

d. Pembimbing Kemasyarakatan Sebagai Pelaksana Penelitian Kemasyarakatan

Jauh sebelum umat manusia bersosialisasi, telah menunjukkan adanya tanda-tanda pengelompokkan untuk hidup bersama-sama. Ini berarti manusia sejak dulu kala mempunyai hasrat bermasyarakat atau keinginan untuk hidup berkumpul satu sama lainnya. Sangatlah langka jika ada manusia yang ingin hidup seorang diri tanpa seorangpun dilakukannya. Kalaupun ada itu keanehan-keanehan yang terdapat di dunia. Kalaupun ada itu keanehan-keanehan yang terdapat di dunia. Hal ini dikemukakan oleh Aristoteles seorang ahli filsafat bangsa Yunani bahwa:

52

Made P. Swande, Diktat Pekerjaan Sosial, Kutipan dari Buku II B Repelita Tahun Kedua 1974/11975, hlm 11


(53)

Manusia itu “zoon politicon” yaitu manusia sebagai mahluk yang pada dasarnya selalu mempunyai keinginan untuk berkumpul dengan manusia-manusia lainnya (makhluk bermasyarakat).53

Untuk mewujudkan ketertiban, ketentraman dan keadilan masyarakat menciptakan peraturan ataupun hukum. Maksud diciptakannya peraturan atau hukum agar kelompok masyarakat dalam bertingkah laku sesuai dengan hukum yang telah disepakati bersama. Jika seseorang dalam kelompok masyarakat melanggar hukum yang telah disepakati maka konsekuensinya harus diberikan ganjaran hukuman. Padahal sebenarnya warga masyarakat yang melanggar hukum itu sendiri terhadap warganya yang tertinggal dalam mengikuti derap kehidupan yang semakin kompleks dan ini adalah tanggungjawab masyarakat. Seperti yang dikatakan R.P. Bahruddin Surjobroto bahwa:

Terpidana harus dipandang sebagai seorang yang melakukan pelanggaran hukum, tidak karena ia ingin melanggar hukum, melainkan karena ia tertinggal dalam mengikuti derap kehidupan masyarakat yang semakin lama semakin kompleks.54

Manusia hidup bermasyarakat, berinteraksi satu dengan lainnya, teranglah bahwa individu melakukan pelanggaran hukum akibat dari kesenjangan hidup masyarakat itu sendiri. Maka seharusnya untuk mengetahui sebab musabab seseorang itu melakukan pelanggaran hukum baik dewasa maupun anak-anak dibuatkan suatu laporan penelitian kemasyarakatan untuk kepentingan proses peradilan mulai dari

53

J.C.T. Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto, Pengantar Hukum Indonesia (PHI), (Jakarta : Gunung Agung, 1982), hlm. 1

54


(54)

pihak kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan serta Balai Pemasyarakatan sendiri untuk pembinaan selanjutnya. Orang atau anak-anak dalam bertingkah laku sesuai dengan pengalaman yang dilihatnya sehari-hari dari keluarga dan masyarakat lingkungannya. Bapak pendidikan di Indonesia Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa:

Jika anak-anak sehari-harinya mendapat pengaruh kesucian, besarlah kemungkinan ia akan dapat menjadi orang yang bertabiat suci pula, sebaliknya jika ia dalam rumah terus-menerus melihat serta mengalami kerusakan dan kemaksiatan, tentulah sekali ia akan jatuh ke jurang kejahatan juga.

Pelanggaran hukum oleh klien yang diakibatkan karena ketinggalannya dalam mengikuti derap kehidupan yang semakin kompleks dalam masyarakat, maka petugas pembimbing kemasyarakatan melakukan penelitian kemasyarakatan bukan saja hanya mengadakan wawancara terhadap klien tetapi juga terhadap masyarakat lingkungannya maupun keluarganya sendiri agar memperoleh data dan fakta-fakta selengkap mungkin dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Jenis-jenis laporan penelitian kemasyarakatan adalah:

a) Model L1: laporan Litmas untuk sidang Pengadilan Negeri terhadap klien dewasa dan anak.

b) Model L2: laporan Litmas untuk bimbingan Balai Bispa lain untuk klien dewasa dan anak.

c) Model L3: laporan Litmas untuk bimbingan dalam Lembaga Pemasyarakatan untuk klien anak dan dewasa.


(55)

e) Model L5: laporan Litmas untuk orangtua atau wali dari anak asuh. f) Model L6: laporan Litmas untuk keluarga asuh.

g) Model L7: laporan Litmas untuk calon pengasuh oleh Balai Bispa. h) Model L8: laporan Litmas untuk instansi lain.

e. Sikap dan Pribadi Pembimbing Kemasyarakatan

Pembimbing Kemasyarakatan yang identik dengan pekerja sosial, dalam melaksanakan tugas menghadapi manusia dan permasalahannya, harus bersikap dan berperilaku tidak menyinggung perasaan orang lain, cakap dalam mengadakan relationship, berkomunikasi dan dapat menerima individu apa adanya.

Untuk mengadakan penelitian kemasyarakatan, Pembimbing Kemasyarakatan perlu menjaga dan memelihara hubungan baik dengan klien. Dengan terjadinya hubungan yang baik antara Pembimbing Kemasyarakatan dengan klien maka diharapkan klien dapat mengemukakan masalah dengan terus terang tanpa curiga terhadap Pembimbing Kemasyarakatan. Pembimbing Kemasyarakatan pun harus dapat memahami dan menjungjung tinggi harkat dan martabat klien sebagai manusia.

Muhammad Isom Sumhudi dalam bukunya mengatakan bahwa:

...client harus diterima oleh seorang pekerja sosial atau case worker dengan semestinya, artinya ia sebagai case worker tidak boleh memandang ringan atau remeh kepada klien.55

Dalam mengadakan wawancara, Pembimbing Kemasyarakatan harus ingat bahwa yang dihadapi itu adalah seorang manusia yang harus dihormati sebab

55

Muhammad Isom Sumhudi, Social Case Work, Cetakan VII, (Jakarta : Universitas Muhammadiyah, 1990), hlm.10.


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan, yaitu:

1. Peranan Pembimbing Kemasyarakatan adalah memberikan informasi yang dapat digunakan hakim bagi penegakkan hukum terutama dalam persidangan anak dan untuk menentukan terapi apa yang sesuai digunakan untuk anak, sedangkan laporan Penelitian Kemasyarakatan yang dibuat oleh Pembimbing Kemasyarakatan merupakan syarat mutlak bagi hakim untuk dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam membuat suatu keputusan.

2. Pemanfaatan pembimbing kemasyarakatan membuat hasil penelitian kemasyarakatan harus dilakukan dengan mengetahui identitas klien secara lengkap dan jelas.

3. Upaya untuk mengatasi hambatan pembimbing kemasyarakatan dalam melaksanakan tugas berupa penelitian kemasyarakatan berupa peningkatan sarana dan prasarana, realisasi kerjasama dengan instansi lain, peningkatan koordinasi antara penegak hukum dalam sub sistem peradilan pidana dengan BAPAS.


(2)

B. Saran

1. Agar dalam menangani para pelanggar hukum oleh para penegak hukum, dalam penyelesaiannya jangan hanya melakukan pendekatan yuridis, akan tetapi harus dilakukan pendekatan psikologis serta aspek-aspek lain yang berhubungan dengan klien.

2. Sebaiknya laporan penelitian kemasyarakatan tidak hanya terbatas untuk pelanggar hukum anak-anak saja, tetapi semua pelanggar hukum tanpa terkecuali, sebab setiap orang melanggar hukum mempunyai latar belakang kejahatan yang harus diungkapkan.

3. Penelitian kemasyarakatan sebaiknya juga dipergunakan bagi orang dewasa, karena secara umum yang menjadi penyangga kehidupan rumah tangga adalah seorang bapak (laki-laki dewasa), maka dalam proses hukumnya harus diperhatikan latar belakang sosial sehingga apabila di pidana terlalu lama akan menimbulkan dampak kemiskinan dalam keluarga, rentan terciptanya tindak pidana baru yang dilakukan oleh anak dan isterinya.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku

Arief Barda, Nawawi, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1998

---, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996

Arrasjid, Chainur, Suatu Pemikiran Tentang Psikologi Kriminal, KSHM FH : USU, 1998

Attasasmita, Romli, Peradilan Anak di Indonesia, Bandung : Mandar Maju, 1997 ---,Problema Kenakalan Anak-Anak dan Remaja (yuridis sosio

kriminologis), Bandung : Armico, 1985

Bawengan, GW, Pengantar Psikologi Kriminal, Jakarta : Pradnya Paramita, 1991 Daidi, Salman, Peranan Pembimbing Kemasyarakatan Dalam Membuat Penelitian

Kemasyarakatan Guna Persidangan dan Penentuan Terapi Pembinaan Klien, Jakarta, Skripsi AKIP, 1988

Dirjosisworo, Soejono, Penanggulangan Kejahatan, Bandung : Alumni, 1983 Gosita, Arief, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta : Akademi Pressindo,1983

Gunarsa Singgih, 1993, Psikologi Praktis Anak Remaja dan Keluarga, Jakarta : Gunung Mulia, 1993

Hadisuprapto, Paulus, Juvenile Deliquency Pemahaman dan Penanggulangannya, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997

Harahap, Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta : Sinar Grafika, 2002

Hermawati, Istiana, Metode dan Teknik dalam Praktik Pekerjaan Sosial,Yogyakarta : Adi Citra, 2001


(4)

Kartono, Kartini, Patologi Sosial 2, Kenakalan Remaja, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1998

---,Psikologi Anak, Bandung : Mandar Maju, 1995

Meliala, Kejahatan Anak : Suatu Tinjauan Dari Psikologi dan Hukum, Yogyakarta : Liberty, 1985

Muhidin Syarif, Pengantar Kesejahteraan Sosial, Bandung : Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial, 1992

Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung : Alumni, 1992

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Kebijakan Hukum Pidana, Bandung : Alumni, 1992

---, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung : Alumni, 1992

Mulyadi Lilik, Pengadilan Anak di Indonesia, Teori, Praktik dan Permasalahnnya, Bandung : Mandar Maju, 2005

Prinst, Darwan, Hukum Anak Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997

Reksodiputro, Mardjono, Kriminologi Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian UI, 1992

---,Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta : Universitas Indonesia, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian UI, 1997 Sahetapy, J.E, Paradoks Dalam Kriminologi, Jakarta : Rajawali Press, 1989 Simanjuntak, B, Kenakalan Remaja, Bandung : Alumni, 1984

Soekito, Sri Widowati Wiratmo, Anak dan Wanita Dalam Hukum, Jakarta : LP3ES, 1989

Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung : Sinar Baru, 1983 ---, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung : Alumni, 1986

Suparmono, Gatot, Hukum Acara Pengadilan Anak, Bandung : Djambatan, 2000 Soedjo, Wagiati, Hukum Pidana Anak, Bandung : Refika Aditama, 1996


(5)

Soetarso, Praktek Pekerjaan Sosial, Bandung : Koperasi Mahasiswa Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial, 1995

Tappan, Paul. W, Juvenile Delinquency, Mc Graw Hill Book Co Inc, New York : Toronto-London, 1949

Wahjono, Agung, dan Siti Rahayu, Tinjauan Tentang Peradilan Anak di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 1993

B. Majalah, Jurnal, Buletin Ilmiah

Arifin. Mawi, Pertimbangan Faktor Sosial Budaya Dalam Penjatuhan Pidana Terhadap Anak Delinquency Oleh Hakim, Majalah Argapura, Vol. 8 No. I dan 2, 1998

Harkrisnowo, Harkristuti, Tantangan dan Agenda Hak-hak Anak Pasca 2000, Suatu Usulan Pemikiran, Makalah dalam Deklarasi dan Peluncuran Indonesian Lawyers Associaton for Children’s Right (ILACR), Medan : 2000 Ikhsan, Edy, Orientasi Humanistis dalam Penanganan Anak yang Berkonflik Dengan

Hukum, Makaiah pada Semiloka Anak yang Berkonflik dengan Hukum, Jakarta : 1998

Karim, Sumarsono, Laporan Penelitian Kemasyarakatan Sebagai Bahan Pembinaan Sebelum dan Sesudah Keputusan Hakim, Lokakarya Evaluasi BISPA, Bina Cipta, 1975

Koesnoen, RA, Peradilan Anak di Negara-Negara Yang Telah Maju, Lokakarya Peradilan Anak, Bandung : BPHN, 1979

Soegondo, R, Kebutuhan Biologis Bagi Narapidana Ditinjau dari Segi Hukum, Agama dan Psikologi, Makalah pada diskusi Panel GEMA Kosgoro, 1982 Sudarto, Suatu Dilema Pembaharuan Dalam Sistem Pidana Indonesia, Pidato

Pengukuhan Guru Besar, UNDIP, 1974

---, Pengertian dan Ruang Lingkup Peradilan Anak, Lokakarya tentang Peradilan Anak, Bandung : BPHN, 1979

Sutarman, Hs, Sarana Penunjang Penyelenggaraan Peradilan Anak, Peranan Panti-panti dan Petugas Kemasyarakatan, Lokakarya Tentang Pengadilan .Anak, Bandung : BPHN, 1979


(6)

C. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Jakarta, 1995 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan anak, Jakarta, 2002 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Jakarta, 2002 Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Konvensi Hak Anak, 1999

Petunjuk Pelaksana Menteri Kehakiman RI Nomor : E.39-PR.05.03 tentang Pembimbing Klien Pemasyarakatan, 1987