BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Benedict Alpert berpendapat bahwa kejahatan merupakan the olders social problems karena sampai tahun 1970 telah dibahas lebih dari 80 delapan puluh
pertemuan atau konferensi internasional.
1
Pembangunan nasional yang merupakan bagian proses modernisasi membawa dampak positif maupun negatif. Salahsatu dampak negatif dari pesatnya
perkembangan ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi semakin meningkatkan kualitas serta kuantitas kejahatan. Disamping itu kemerosotan
ekonomi juga sebagai faktor pemicu dominan terjadinya suatu kejahatan. Menurut beberapa ahli, masalah kejahatan bukan barang baru meskipun
tempat dan waktunya berlainan, akantetapi modusnya dinilai sama karena kejahatan adalah suatu fenomena sosial yang terjadi pada setiap waktu dan
tempat, kehadirannya di bumi dapat dikatakan setua dengan umur manusia.
2
Sedangkan mengenai perilaku menyimpang menurut Edwin Lemert bahwa
karir pelaku penyimpang seringkali mengalami perubahan sesuai dengan perjalanan waktu dan tindakan pelaku penyimpang tersebut seringkali merupakan langkah ambil
resiko yang bersifat coba-coba untuk pola perilaku yang dilarang. Tindakan ini menjadi sasaran reaksi sosial yang pada gilirannya dapat mempengaruhi pengalaman
karir pelaku selanjutnya
.
3
1
Muladi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung : Alumni, 1992, hlm. 86.
2
JE. Sahetapy, Victimologi Sebuah Bunga Rampai, Jakarta : Sinar Harapan, 1987, hlm. 35.
3
Mulyana W. Kusumah, Analisa Kriminologi Tentang Kejahatan Kekerasan, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982, hlm. 8
Lamarta Surbakti : Peran Pembimbing Kemasyarakatan Dalam Membuat Penelitian Kemasyarakatan Pada Persidangan Anak, 2009
Soerjono Soekanto menyatakan bahwa selama hidupnya manusia memiliki hasrat untuk hidup teratur, namun terkadang seseorang pernah melanggar hukum.
Pelanggaran itu bisa disengaja ataupun tidak. Pelanggaran berat yang disengaja biasanya terjadi karena sebab-sebab tertentu.
4
Sebagai suatu kenyataan sosial bahwa yang berkaitan dengan masalah sosial ekonomi, kejahatan itu sendiri tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa
semata, namun juga telah dilakukan oleh anak-anak. Pemerintah tidak melihat anak-anak yang terlantar kelak akan menjadi penjahat atau pengangguran,
makanya tenang-tenang saja karena belum nampak kejahatannya. Dibat ruamh penjara untuk mereka, padahal apabila hati-hati saja, sebenarnya dapar
dicegah sebelumnya. Mahkamah dan Menteri Kehakiman goyang kaki saja sebelum menjadi penjahat dewasa; padahal mereka itu dapat dipengaruhi
secara bijaksana dan mungkin besar jasanya bagi masyarakat
.
5
Kecenderungan meningkatnya kualitas maupun kuantitas pelanggaran baik
terhadap ketertiban umum maupun pelanggaran terhadap ketentuan hukum yang dilakukan oleh pelaku-pelaku usia muda, atau dengan perkataan lain meningkatnya
kenakalan remaja yang mengarah kepada tindakan kriminal mendorong kita untuk lebih banyak memberi perhatian akan penanggulangan serta penanganannya,
khususnya di bidang hukum pidana anak, beserta hukum acaranya. Hal ini erat hubungannya dengan perlakuan khusus terhadap pelaku tindak pidana anak-anak.
Permasalahan pembinaan generasi muda merupakan bagian integral dari masalah pembangunan. Oleh sebab itu sebagian masalah pembinaan yaitu pembinaan
4
Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah Sosial, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1989, hlm. 7.
5
Simanjuntak, Latar Belakang Kenakalan Remaja Etiologi Juvenile Delinquency , Bandung : Alumni, 1979, hlm. 97.
Lamarta Surbakti : Peran Pembimbing Kemasyarakatan Dalam Membuat Penelitian Kemasyarakatan Pada Persidangan Anak, 2009
yustisial terhadap generasi muda khususnya anak-anak perlu mendapat perhatian dan pembahasan tersendiri.
Dalam proses perkembangan tidak jarang timbul peristiwa yang menyebabkan anak dalam keadaan terlantar maupun terjadinya perbuatan yang dilakukan oleh anak-
anak dibawah umur berupa ancaman atau pelanggaran terhadap ketertiban umum dalam masyarakat, bahkan terdapat kecenderungan adanya penyalahgunaan anak bagi
kepentingan tertentu yang justru dilakukan oleh para orangtua atau pembinanya. Oleh sebab itu anak nakal dan anak terlantar perlu diselesaikan melalui suatu
badan yaitu lembaga peradilan khusus agar terdapat jaminan bahwa penyelesaian tersebut dilakukan benar-benar untuk kesejahteraan anak yang bersangkutan dan
kepentingan masyarakat tanpa mengabaikan terlaksananya hukum. Oleh karenanya sudah menjadi kewajiban pemerintah dalam memperhatikan kemajuan serta
kesempurnaannya. Perhatian terhadap anak telah lama ada sejalan dengan peradaban manusia itu
sendiri yang semakin berkembang. Oleh karena itu anak memerlukan pembinaan, bimbingan khusus agar dapat berkembang secara fisik, mental dan
spiritualnya. Perumusan tentang hukum anak di Indonesia telah ada sejak tahun 1925 ditandai dengan lahirnya Stb. 1925 No. 647 jo. Ordonantie 1949
No. 9 yang mengatur pembatasan kerja anak dan wanita. Surat Edaran Kejaksaan Agung pada Mahkamah Agung No. P 120. tanggal 30 Maret 1951
menjelaskan tentang penjahat anak-anak adalah mereka yang menurut hukum pidana melakukan perbuatan yang dapat dihukum, belum berusia 16 enam
belas tahun.
6
Jaksa Agung dalam hal ini menekankan bahwa menghadapkan penjahat anak-
anak ke muka pengadilan hanya sebagai langkah terakhir atau ultimum remedium.
6
Lihat Pasal 45 KUHP
Lamarta Surbakti : Peran Pembimbing Kemasyarakatan Dalam Membuat Penelitian Kemasyarakatan Pada Persidangan Anak, 2009
Sedangkan bagi penjahat anak-anak yang dimungkinkan penyelesaian lain maka perlu dipertimbangkan manfaatnya.
Sistem perundang-undangan di Indonesia belum terdapat adanya unifikasi tentang hukum anak, akan tetapi telah terkodifikasi dalam beberapa peraturan
perundang-undangan yang berlaku saat ini seperti pada hukum perburuhan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Oleh karena itu perlu dimaklumi sulitnya memahami hukum anak itu sendiri sehingga menurut Darwan Prinst, hukum anak adalah sekumpulan peraturan
hukum yang mengatur tentang anak. Adapun hal-hal yang diatur dalam hukum anak itu meliputi sidang pengadilan anak, anak sebagai pelaku tindak
pidana, anak sebagai korban tindak pidana, kesejahteraan anak, hak-hak anak, pengangkatan anak, anak terlantar, kedudukan anak, perwalian, anak nakal,
dan lain sebagainya
.
7
Masalah tindak pidana anak sebenarnya telah di atur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang menegaskan bahwa anak yang
dapat di ajukan ke peradilan perkara pidana yaitu berumur 8 delapan tahun sampai dengan 18 delapan belas tahun, namun belum menikahkawin. Pandangan hukum
melihat kenakalan anak selalu bisa dan dapat di ajukan ke dalam peradilan anak. Salah satu ketentuan dalam proses sistem peradilan anak child criminal justice
system harus di laksanakan dengan adanya petugas BAPAS Balai Pemasyarakatan sebagai pembuat LITMAS penelitian masyarakat anak, yang akan menjadi bahan
pertimbangan dalam proses child criminal justice system.
7
Darwin Prinst, Hukum Anak Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997, hlm. 1.
Lamarta Surbakti : Peran Pembimbing Kemasyarakatan Dalam Membuat Penelitian Kemasyarakatan Pada Persidangan Anak, 2009
Menurut pandangan ilmu viktimologi, anak yang masuk dalam perkara sistem peradilan pidana di saat pertama kali di tangkap oleh polisi, berarti anak yang
awalnya mungkin menjadi tersangka berubah menjadi korban dalam proses peradilan pidana. Hal ini di sebabkan adanya proses viktimisasi terhadap anak, apalagi sampai
masuk dalam penjara yang notabene merupakan tempat penjahat. Labelisasi atau cap sebagai penjahat terhadap anak akan membekas selama hidupnya.
Pandangan kriminologis dalam teorinya labelling theory menyatakan bahwa ketika seseorang sudah di label akan sesuatu akan memiliki kecenderungan akan
menjalankan apa yang telh di labelkan orang atau masyarakat kepadanya. Demikian pula halnya label sebagai penjahat ketika anak di masukkan ke dalam penjara. Oleh
karena itu di perlukan adanya pencermatan terhadap proses peradikan pidana yang benar-benar terpadu integrated dengan memperhatikan perkembangan psikologis
anak, namun juga tidak mengenyampingkan kepentingan secara umum daad daderstrafrecht.
Untuk dapat melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak diperlukan dukungan baik menyangkut kelembagaan maupun
perangkat hukum yang lebih memadai. Prakteknya di hukum kebiasaan internasional international customary law, menetapkan usia pertanggungjawaban pidana minimal
diatas 12 dua belas tahun, meskipun di tiap negara berbeda tentang usia minimal. Hal ini dapat dilihat tabel 1 pada halaman enam di bawah ini, yaitu:
Lamarta Surbakti : Peran Pembimbing Kemasyarakatan Dalam Membuat Penelitian Kemasyarakatan Pada Persidangan Anak, 2009
Tabel 1: Perbandingan Batas Usia Minimal Tanggung Jawab Kriminal
Nama Negara Usia Minimal Tanggung Jawab Kriminal
Inggris 10 Perancis 13
Jerman 14 Belanda 12
Sumber Data : Badan Pembinaan Hukum Nasional Tahun 2007 Sedangkan di Indonesia tidak terdapat kesamaan batas usia minimal, yang
dapat dilihat dengan adanya pluralisme mengenai kriteria anak, yaitu : 1
Undang-Undang Pengadilan Anak. Pasal 1 ayat 2 merumuskan bahwa anak adalah orang dalam perkara anak
nakal yang telah mencapai umur 8 delapan tahun, tetapi belum mencapai umur 18 delapan belas tahun dan belum pernah menikah. Jadi kriteria anak
dibatasi dengan umur antara 8 delapan tahun sampai dengan berumur 18 delapan belas tahun. Kriteria lainnya bahwa si anak belum pernah menikah.
Maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun perkawinannya putus karena perceraian maka si anak dianggap sudah dewasa meskipun
umurnya belum genap berusia 18 delapan belas tahun.
2 Anak dalam Hukum Perburuhan.
Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Perburuhan mendefinisikan anak adalah orang laki-laki atau perempuan
berumur 14 empat belas tahun ke bawah.
3 Anak menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Pasal 45 Kitab Undang-undang Hukum Pidana mendefiisikan anak yang belum dewasa apabila belum berumur 16 enam belas tahun. Oleh karena itu
apabila ia tersangkut dalam perkara pidana, hakim bisa memerintahkan supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orangtuanya, walinya atau
pemeliharanya dengan tidak dikenakan suatu hukuman atau memerintahkannya supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak
dikenakan sesuatu hukuman.
4 Anak menurut Hukum Perdata.
Pasal 330 KUH Perdata mengatakan bahwa orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur 21 dua pulus satu tahun dan tidak lebih
dahulu telah kawin.
5 Anak menurut Undang-Undang Perkawinan.
Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Undang- Undang Pokok Perkawinan menyebutkan bahwa seorang pria hanya diizinkan
Lamarta Surbakti : Peran Pembimbing Kemasyarakatan Dalam Membuat Penelitian Kemasyarakatan Pada Persidangan Anak, 2009
kawin apabila telah mencapai usia 19 sembilan belas tahun dan pihak wanita telah mencapai usia 16 enam belas tahun. Penyimpangan atas hal tersebut
hanya dapat dimintakan dispensasi kepada Pengadilan Negeri.
8
Perlindungan hukum terhadap anak dalam proses peradilan pidana yaitu terhadap anak sebagai pelaku kejahatan maksudnya adalah anak sebagai pelaku
kejahatan bukanlah mendapatkan hak kekebalan hukum atau tidak tersentuh hukum, akan tetapi anak yang melakukan tindak kejahatan atau tindak kriminal berlaku
ketentuan khusus dengan berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, maupun pemidanaannya dijatuhkan kepada anak nakal
paling lama ½ setengah dari maksimum ancaman penjara bagi orang dewasa sehingga kekhususan penanganan peradilan pidana anak dapat mereduksi ketentuan
dalam KUHP maupun KUHAP dengan berdasarkan asas lex spesialis derogat lex generalis.
Ada 2 dua kategori perilaku anak yang membuat ia berhadapan dengan hukum, yaitu :
9
1 Status Offender adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh
orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah;
2 Juvenile Delinquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan
oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum.
Sehubungan dengan hal ini, Muladi yang menyatakan bahwa criminal justice system memiliki tujuan untuk resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana;
8
Ibid., hlm. 3
9
Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, mengutip Harry E. Allen and Cliffford E. Simmonsen, dalam Correction in America
Lamarta Surbakti : Peran Pembimbing Kemasyarakatan Dalam Membuat Penelitian Kemasyarakatan Pada Persidangan Anak, 2009
pemberantasan kejahatan; dan untuk mencapai kesejahteraan sosial.
10
Berangkat dari pemikiran ini, maka tujuan sistem peradilan pidana anak terpadu lebih ditekankan
kepada upaya pertama resosialiasi dan rehabilitasi dan ketiga kesejahteraan sosial. Kemudian fungsi yang seharusnya dijalankan oleh sistem peradilan pidana terpadu
adalah: workers; indigenous peoples, children; dan women. Pelaksanaan sistem peradilan anak dilaksanakan demi mencapai kesejahteraan
anak dengan berdasar prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Dengan kata lain, sistem peradilan pidana anak berdasarkan kepada perlindungan anak dan pemenuhan hak-
hak anak protection child and fullfilment child rights based approuch. Salahsatu prinsip tentang hak-hak anak menyatakan bahwa anak-anak
seharusnya menikmati perlindungan khusus dan dierikan kesempatan dan fasilitas melalui upaya hukum maupun upaya lain sehingga memungkinkan anak terbangun
fisik, mental, moral, spiritual, dan sosial dalam mewujudkan kebebasan dan kehormatan anak.
Pendekatan kesejahteraan dapat dijadikan sebagai dasar filosofi penanganan terhadap pelanggaran hukum usia anak, yaitu :
11
1 Anak-anak dianggap belum mengerti benar kesalahan yang telah diperbuat,
sehingga sudah sepantasnya diberikan pengurangan hukuman, serta pembedaan pemberian hukuman bagi anak-anak dengan orang dewasa.
2 Bila dibandingkan dengan orang dewasa, anak-anak diyakini lebih mudah
dibina dan disadarkan.
10
Mappi FHUI, Lembaga Pengawasan Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Jakarta : Universitas Indonesia, 2003
11
Purnianti menyitir pendapat Stewart Asquish, Children and Young People in Conflict with the Law, hlm. 72
Lamarta Surbakti : Peran Pembimbing Kemasyarakatan Dalam Membuat Penelitian Kemasyarakatan Pada Persidangan Anak, 2009
Dengan adanya pendekatan kesejahteraan, maka peranan pembimbing kemasyarakatan sangat efektif dalam memberikan anak-anak motivasi dalam
menjalani hukuman. Hal ini sesuai dengan tugasnya pembimbing kemasyarakatan dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Peradilan Anak adalah untuk memperlancar tugas penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam perkara anak nakal baik di dalam maupun di luar
sidang anak dengan membuat laporan hasil penelitian kemasyarakatan.
12
Pemasyarakatan yang dimaksud adalah bagian dari tata peradilan pidana dari
segi pelayanan tahanan, pembinaan narapidana, anak negara, dan bimbingan klien pemasyarakatan yang dilaksanakan secara terpadu dengan tujuan agar mereka setelah
menjalani pidananya dapat kembali menjadi warga masyarakat yang baik. Berdasarkan hal tersebut, perlakuan terhadap anak yang melakukan kejahatan
tentu saja berbeda dengan orang dewasa baik dalam proses peradilan maupun dalam hal pemberian hukuman. Seorang anak yang menjalani proses
peradilan mulai dari tahap pra ajudikasi sampai tahap purna ajudikasi harus selalu diperhatikan kepentingan anak dan harus dihindarkan dari hal-hal yang
dapat merugikan anak. Di pelbagai negara, termasuk Indonesia, terus diusahakan mencari bentuk-bentuk pidana lain di samping pidana perampasan
kemerdekaan berupa peningkatan pemidanaan yang bersifat non institusional dalam bentuk pidana bersyarat, dan pidana harta benda misalnya denda.
13
Perampasan kemerdekaan baik berupa penangkapan, penahanan dan pidana penjara terhadap anak merupakan upaya terakhir dan dalam jangka waktu
yang singkat.Prinsip ini terkandung di dalam dokumen-dokumen internasional yang merupakan upaya perlindungan hukum pidana terhadap anak. Prinsip-
prinsip penjatuhan pidana terhadap anak antara lain terkandung di dalam Standard Minimum Rules For Administration of Juvenile Justice The Beijing
Rules, Un Rules For The Protection Of Juvenile Deprived Of Liberty dan Convention on The Right Of The Child, yang telah diratifikasi oleh pemerintah
Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990. Prinsip-prinsip penjatuhan pidana terhadap anak yang tertuang di dalam dokumen-dokumen
internasional ini dan keinginan agar pidana penjara sejauh mungkin tidak dijatuhkan khususnya terhadap anak, yang telah dituangkan di dalam
12
Lihat Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak
13
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung : Alumni, 1992, hlm. 5
Lamarta Surbakti : Peran Pembimbing Kemasyarakatan Dalam Membuat Penelitian Kemasyarakatan Pada Persidangan Anak, 2009
Rancangan KUHP selanjutnya di singkat RKUHP dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997.
14
Menurut Mardjono Reksodiputro, bahwa beliau lebih cenderung
mempergunakan pembinaan di luar lembaga treatment in community sebagai langkah awal dalam pemidanaan anak pelanggar hukum.
15
Rancangan Kitab Undang- undang Hukum Pidana pemikiran ini dapat dilaksanakan melalui pidana pengawasan.
Apabila pidana pengawasan ini diberlakukan secara efektif, maka paling tidak ada tiga hal yang perlu disiapkan, yaitu :
1 Adanya pembatasan penjatuhan pidana penjara terhadap pelaku usia muda.
2 Dipersiapkannya tenaga-tenaga terdidik melalui Akademi Ilmu
Pemasyarakatan dan sekolah-sekolah tinggi ilmu kesejahteraan sosial atau melalui pendidikan di jurusan kriminologi yang dapat menjadi pengawas dan
pembimbing bagi para terpidana muda ini.
3 Mempersiapkan masyarakat untuk mendukung integrasi para pelaku ini dalam
komunitas mereka, termasuk kesediaan mereka yang terpilih untuk menjadi pengawas atau pembimbing sukarela voluntary probation officer.
16
Menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 yang dimaksud dengan BAPAS adalah pranata untuk melaksanakan bimbingan klien
pemasyarakatan.
17
BAPAS Balai Pemasyarakatan sebagai unit pelaksana teknis dalam pelaksanaan tugas sehari-hari memiliki petugas khusus yang disebut
Pembimbing KemasyarakatanPK Probation Officer.
14
Pasal 66 huruf a RKUHP ditentukan “Pidana penjara sejauh mungkin tidak dijatuhkan jika dijumpai keadaan-keadaan sebagai berikut : a.Terdakwa berusia dibawah 18 tahun dan diatas 70
tahun
15
Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum UI, 1997, hlm. 116
16
Mardjono Reksodiputro, Bunga Rampai Permasalahan dalam System Peradilan Pidana, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum UI, 1997, hlm. 73
17
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 jo PP No. 31 tahun 1999 Tentang Pembinaan Dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan
Lamarta Surbakti : Peran Pembimbing Kemasyarakatan Dalam Membuat Penelitian Kemasyarakatan Pada Persidangan Anak, 2009
Pembimbing Kemasyarakatan inilah yang bertugas membuat suatu penelitian kemasyarakatan Litmas terhadap seorang anak yang melakukan tindak pidana. Di
dalam penelitian kemasyarakatan tersebut tertulis mengenai data pribadi maupun keluarga anak yang melakukan pidana, kronologis terjadinya perbuatan pidana
tersebut serta kesimpulan dan saran. Hasil litmas ini akan dijadikan dasar oleh hakim dalam proses sidang anak. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 telah mengatur
bahwa hakim wajib mempertimbangkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan Litmas yang dibuat oleh pembimbing kemasyarakatan.
Keberadaan pembimbing kemasyarakatan sampai saat ini masih kurang mendapat perhatian, seolah-olah peranan yang banyak tampil dalam penanganan anak
bermasalah itu hanyalah Penyidik, Jaksa, Hakim dan petugas Lembaga Pemasyarakatan. Begitu pentingnya keberadaan pembimbing kemasyarakatan dalam
peradilan anak, hal ini tergambar dalam pernyataan dari Hawnah Schaft, seperti yang dikutip oleh Paulus Hadi Suprapto:
“Suksesnya peradilan anak jauh lebih banyak bergantung pada kualitas dari probation officer petugas Bapas daripada hakimnya. Peradilan anak yang
tidak memiliki korps pengawasan percobaan yang membimbing dengan bijaksana dan kasih sayang ke dalam lingkungan kehidupan anak dan
memberikan petunjuk bagi standard pemikiran yang murni bagi anak mengenai hidup yang benar, hanyalah mengakibatkan fungsi pengadilan anak
menjadi kabur kalau tidak ingin sia-sia”.
18
Maka dari itu begitu pentingnya penelitian kemasyarakatan terhadap anak
dalam peradilan anak yang dibuat oleh pembimbing kemasyarakatan sebagai bahan
18
Paulus Hadisuprapto, Juvenile DeliQuency, Pemahaman dan Penanggulangannya, Bandung : Citra Aditya, 1998, hlm. 64
Lamarta Surbakti : Peran Pembimbing Kemasyarakatan Dalam Membuat Penelitian Kemasyarakatan Pada Persidangan Anak, 2009
pertimbangan hakim dalam sidang anak. Penelitian kemasyarakatan ini juga dapat dipergunakan untuk menentukan terapi atau rencana pola pembinaan pada anak di
Lembaga Pemasyarakatan Anak. Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka peneliti akan membahas penelitian dengan judul ”Peran Pembimbing
Kemasyarakatan Dalam Membuat Penelitian Kemasyarakatan Pada Persidangan Anak”.
B. Rumusan Masalah