Kesalahan Schuld Hubungan Sebab Akibat, Bersifat Melawan Hukum Dan Kesalahan Dalam Tindak Pidana

Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat Kausalitas Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe, 2008. USU Repository © 2009 2. Seseorang yang melakukan tindakan karena terpaksa Dari Pasal 48 KUHP, setelah diinterpretasikan secara luas, seseorang telah memilih untuk melakukan salah satu tindakan dari : a. dua atau lebih kewajiban hukum yang bertentangan b. dua atau lebih kepentingan hukum yang bertentangan, atau c. kewajiban hukum dan kepentingan hukum yang bertentangan Berarti ia tidak melakuakan tindakan yang lainnya, dalam hal ini yang diutamakannya adalah yang lebih penting. Maka terhadap tindakan untuk tidak melakukan yang lainnya itu, dapat disimpulkan sebagai tidak bersifat melawan hukum atau bersifat melawan hukumnya ditiadakan. 3. Seseorang yang melakukan perlawanan-terpaksa 4. Seseorang yang melakukan ketentuan undang-undang 5. Seseorang yang melakukan perintah jabatan 6. Seseorang yang membunuh musuh Dalam undang-undang pidana lainnya, seperti misalnya Pasal 32 KUHP Militer, seorang militer yang membunuh dalam pertempuran sesuai dengan ketentuan Internasional, tidak bersifat melawan hukum atau bersifat melawan hukumnya ditiadakan. 7. Seseorang yang menolak jadi saksi.

2. Kesalahan Schuld

Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat Kausalitas Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe, 2008. USU Repository © 2009 perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatannya memenuhi delik dalam undang-undangdan tidak dibenarkan an objective breach of penal provision, namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah subjetive guilt. Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat dipertanggung jawabkan atas atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat dipertanggungkan kepada orang tersebut. Disini berlaku apa yang disebut asas “Tiada pidana tanpa kesalahan” Keine strafe ohne Schuld atau Geen straf zonder schuld atau Nulla poena sine culpa. Asa ini tidak tercantum dalam KUHP Indonesia atau dalam peraturan lain, numun berlakunya asas tersebut tidak diragukan. Akan bertentangan dengan rasa keadilan, apa bila ada orang yang dijatuhi pidana padahal ia sama sekali tidak bersalah. Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman UU No 24 Tahun 2004 berbunyi : “Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan, bahwa seorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya. Bahwa unsur kesalahan itu, sangat menentukan akibat dari perbuatan seseorang, dapat dikenal juga dari pepatah jawa “sing salah, seleh” yang bersalah pasti salah. Untuk adanya pemidanaan harus ada kesalahan pada sipembuat. Asas tiada pidana tanpa kesalahan yang telah disebutkan mempunyai sejarah sendiri. Dalam ilmu hukum pidana dapat dilihat pertumbuhan hukum pidana yang menitik Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat Kausalitas Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe, 2008. USU Repository © 2009 beratkan kepada perbuatan orang beserta akibatnya Tatstrafrecht atau Erfolgstrafrecht kearah hukum pidana yang berpijak pada orang yang melakukan tindak pidana taterstrafrecht,tanpa meninggalkan sama sekali sifat dari Taterstrafrecht. Dengan demikian hukum pidana yang dewasa ini dapat disebut sebagai “Tat-Taterstrafrecht”, ialah hukum pidana yang berpijak pada perbuatan maupun orangnya. Hukum pidana dewasa ini dapat pula disebut sebagai Schuldstrafrecht, artinya bahwa untuk penjatuhan pidana disyaratkan adanya kesalahan sipembuat. Ternyata bahwa asas kesalahan itu pada masa dahulu tidak diakui secara umum. Pidana dijatuhkan hanya melihat kepada perbuatan yang merugikan atau yang tidak dikehendaki, tanpa memperhatikan sikap batin sipembuat. Kemudian keadaan ini berubah, sehingga pertanggungan jawab seseorang atas perbuatannya didasarkan pula atas sikap batin orang yang berupa kesalahan. Peranan unsur kesalahan sebagai syarat untuk penjatuhan pidana di negara-negara Anglo Saxon tampak dengan adanya maxim asas “Actus non facit reum, nisi mens sit rea” atau diingkat asas “mens rea”. Arti aslinya adalah “evil mind” atau “evil will” atau “guilty mind”. Mens rea merupakan subhective guilt yang melekat pada sipembuat. Subjective guilt ini berupa intent kesengajaan atau setidak-tidaknya negligence keapaan. Di Uni Soviet, dalam Fundamental of criminal Legislation for the U.S.S.R and the Union Republics yang disetujui oleh Soviet Tertinggi tanggal 25 Desember 1958 tercantum dalam Pasal 3 : “Only a person guilty of the commission of the crime that is who has, either deliberately or by negligence, committed any of the socially dangerous acts defined by the Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat Kausalitas Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe, 2008. USU Repository © 2009 criminals laws, deemed liable to criminal responsibility and to punishment”. Dari pasal ini dapat juga disimpulkan ketentuan “tiada pertanggung jawaban atau pemidanaan tanpa adanya kesalahan”, baik berupa kesengajaan ataupun kealpaan. Untuk adanya pemidanaan harus ada kesalahan lebih dulu pada sipembuat. Soal kesalahan ada hubungannya dengan kebebabasan kehendak. Mengenai hunbungan antara kebebasan kehendak dengan ada atau tidaknya adanya kesalahan ada 3 tiga pendapat dari : a Kaum indeterminis penganut determinisme, yang pada dasarnya berpendapat, bahwa manusia mempunyai kehendak bebas dan ini merupakan sebab dari segala kehendak. Tanpa ada kebebasan kehendak maka tidak ada kesalahan; apabila tidak ada kesalahan, maka tidak ada pencelaan sehingga tidak ada pemidanaan. b Kaum determinis penganut determinisme mengatakan, bahwa manusia tidak mempunyai kehendak bebas. Keputusan kehendak ditentukan oleh watak dalam arti nafsu-nafsu manusia dalam hubungan kekuatan satu sama lain dan motif-motif ialah perangsang-perangsang yang datang dari dalam atau luar yang mengakibatkan watak tersebut. Ini berarti bahwa seseorang tidak dapat dicela atas perbuatannya atau dinyatakan mempunyai kesalahan, sebab ia tidak mempunyai kehendak bebas, itu tak berarti bahwa orang yang melakukan tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Justru karena tidak adanya kebebasan kehendak itu maka ada pertanggungan jawab dari seseorang atas perbuatannya. Tetapi reaksi terhadap perbuatannya dilakukan itu berupa tindakan maatregel untuk ketertiban masyarakat, dan Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat Kausalitas Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe, 2008. USU Repository © 2009 bukannya pidana dalam arti “penderitaan sebagai buah hasil dari kesalahanoleh sipembuat”. c Golongan ketiga mengatakan : ada dan tidak adanya kebebasan kehendak itu untuk hukum pidana tidak menjadi soal irrelevant. Kesalahan seseorang tidak dihubungkan dengan ada tidak adanya kehendak bebas. Guna memberi pengertian lebih lanjut tentang kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, dibawah ini disebutkan pendapat-pendapat para ahli mengenai kesalahan sebagai pengertian hukum. a. Merger mengatakan : Kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar adanya pencelaan pribadi terhadap sipembuat tindak pidana. b. Simons mengertikan kesalahan itu sebagai pengertian yang “sociaal-ethisch” dan mengatakan antara lain : Sebagai dasar untuk pertanggungan jawab dalam hukum pidana ia berupa keadaan pcychisch dari sipembuat dan hubungannya terhadap perbuatannya dalam arti bahwa berdasarkan keadaan psychisch jiwa itu perbuatan dapat dicelakan kepada sipembuat. c. Van Hamel mengatakan, bahwa kesalahan dalam suatu delik merupakan pengertian pcychologis, hubungan antara keadaan jiwa sipembuat dan terwujudnya unsur-unsur delik karena perbuatannya. Kesalahan adalah tanggungan jawab dalam hukum Schuld is de verantwoordelijkheid rechtens. d. Van Hattum berpendapat : “Pengertian kesalahan yang paling luas memuat semua unsur dalam mana seseorang dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana terhadap perbuatan yang melawan hukum, meliputi semua hal yang bersifat psikis yang terdapat pada keseluruhan yang berupa strafbaarfeit Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat Kausalitas Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe, 2008. USU Repository © 2009 termasuk sipembuatnya. e. Pompe mengatakan antara lain : “Pada pelanggaran norma yang dilakukan karena kesalahannya, biasanya sifat melawan hukum itu merupakan segi luarnya. Yang bersifat melawan hukum itu adalah perbuatannya. Segi dalamnya, yang bertalian dengan kehendak sipembuat adalah kesalahan. Kesalahan ini dapat dilihat dari 2 dua sudut : - menurut akibatnya adalah hal yang dapat dicelakan verwijtbaarheid - menurut hakekatnya ia adalah hal dapat dihindarkannya vermijdbaarheid perbuatan yang melawan hukum. Dari pendapat-pendapat tersebut maka dapatlah dimengerti bahwa kesalahan itu mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Jadi orang yang bersalah melakukan sesuatu perbuatan itu, berarti bahwa perbuatan itu dapat dicelakan kepadanya. Pencelaan disini bukan pencelaan berdasarkan kesusilaan, melainkan pencelaan berdasarkan hukum yang berlaku. Bukan “ethische schuld” melainkan verantwoordelijkheid rechtens seperti dikatakan oleh Van Hamel. Namun demikian untuk adanya kesalahan harus ada pencelaan ethis, betapapun kecilnya. Ini sejalan dengan pendapat bahwa “dass recht ist das ethisce minimum”. Setidak-tidaknya sipembuat dapat dicela karena tidak menghormati tata dalam masyarakat dalam hidupnya yang memuat segala syarat untuk hidup bersama. Pernyataan kesalahan itu mengandung unsur ethis kesusilaan tidak senantiasa orang yang melakukan perbuatan atau orang yang tidak menghormati tata ataupun kepatutan dalam masyarakat atau pada umumnya melakukan Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat Kausalitas Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe, 2008. USU Repository © 2009 perbuatan yang dapat dikatakan tidak susila itu dapat dikatakan bersalah, dalam arti patut dicela menurut hukum. Pengertian kesalahan dapat juga dilihat dari beberapa bentuk, antara lain : a. Kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, yang dapat disamakan dengan pengertian “pertangggungjawaban dalam hukum pidana”; didalamnya terkandung makna dapat dicelanya sipembuat atas perbuatannya. Jadi apabila dikatakan, orang bersalah melakukan sesuatu tindak pidana, maka berarti bahwa ia dicela atas perbuatannya. b. Kesalahan dalam arti bentuk kesalahan schuldvorm yang berupa : 1. kesengajaan dolus, opzet, borsatz atau intention atau 2. kealpaan culpa, onachtzaamheid, nelatigheid, fahrlassigkeit atau negligence. c. Kesalahan dalam arti sempit, ialah kealpaan culpa Dengan diterimanya pengertian kesalahan dalam arti luas sebagai dapat dicelanya sipembuat atas perbuatannya, maka berubahlah pengertian kesalahan yang psychologis menjadi pengertian kesalahan yang normatif. a. Pengertian kesalahan psychologisch. Dalam arti ini kesalahan hanya dipandang sebagai hubungan psikologis batin antara pembuat dan perbuatannya. Hubungan batin tersebut bisa berupa kesengajaan atau kealpaan. Pada kesengajaan hubungan batin itu berupa menghendaki perbuatan beserta akibatnya dan pada kealpaan tidak kehendak demikian. Jadi disini hanya digambarkan keadaan batin sipembuat, sedang yang menjadi ukurannya adalah sikap batin yang berupa kehendak terhadap perbuatan Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat Kausalitas Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe, 2008. USU Repository © 2009 atau akibat perbuatan. b. Pengertian kesalahan yang normatif Pandangan yang normatif tentang kesalahan ini menentukan kesalahan seseorang tidak hanya berdasr sikap batin atau hubungan batin antara pembuat dengan perbutannya, tetapi disamping itu harus ada unsur penilaian atau unsur normatif terhadap perbuatannya. Penilaian normatif artinya penilaian dari luar mengenai hubungan antara sipembuat dengan perbuatannya. Penilaian dari luar ini merupakan pencelaan dengan memakai ukuran-ukuran yang terdapat dalam masyarakat, apa yang seharusnya diperbuat oleh sepembuat. Secara ekstrim dikatakan bahwa “kesalahan seseorang tidaklah terdapat dalam diri sipembuat, melainkan di dalam kepala orang lain”, yaitu di dalam kepala orang yang memberi penilaian terhadap sipembuat itu. Yang memberi penilaian pada instansi terakhir adalah hakim. Di dalam pengertian sikap batin sipembuat adalah yang berupa kesengajaan dan kealpaan tetap diperhatikan, akan tetapi hanya merupakan unsur dari kesalahan atau unsur dari pertanggungjawaban pidana. Disamping itu ada unsur lain penilaian mengenai keadaan jiwa sipembuat, yaitu kemampuan bertanggung jawab dan tidak adanya alasan penghapus kesalahan. Dari pengertian kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya dapat dikatakan bahwa kesalahan terdiri atas beberapa unsur, yaitu : a. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada sipembuatnya yang artinya keadaan jiwa sipembuat harus normal. b. Hubungan batin antara sipembuat dengan perbuatannya, yang berupa Abdul ajak Manik : Hubungan Sebab Akibat Kausalitas Dalam Hukum Pidana Dan Penerapannya Dalam Praktek Studi kasus pada Pengadilan Negeri Kabanjahe, 2008. USU Repository © 2009 kesengajaan dolus atau kealpaan culpa. c. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak adanya alasan pemaaf. Jika ketiga-tiga unsur ada maka orang yang melakukan perbuatan pidana bisa dinyatakan bersalah atau mempunyai pertanggungjawaban pidana, sehigga bisa dipidana. Dalam pada itu bahwa untuk adanya kesalahan dalam arti seluas- luasnya, pelaku harus dinyatakan terlebih dahulu bahwa perbuatannya bersifa melawan hukum. Jika hal ini tidak ada, artinya jika perbuatannya tidak melawan hukum maka tidak ada perlunya menetapkan kesalahan sipembuat. Sebaliknya, seseorang yang melakukan perbuatan yang melawan hukum tidak dengan sendirinya mempunyai kesalahan yang artinya tidak dengan sendirinya dapat dicela atas perbuatan itu. Maka untuk itu, dalam hal pemidanaan haruslah dipenuhi syarat-syarat pemidanaan yaitu berupa “dapat dipidananya perbuatan” dan “dapat dipidanya orangnya atau pembuatnya.

3. Hubungan Sebab akibat, Melawan Hukum dan Kesalahan