BAB IV Pembahasan dan Hasil Penelitian: Otonomi Khusus Papua

(1)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian

1. Kebijakan otonomi khusus Papua dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.

Indonesia sebagai negara yang besar memberikan implikasi perdebatan dalam menaruh letak pijakan bentuk negara ini berjalan. Negara kesatuan atau negara federal, secara geografis dan historis bentuk keduanya secara bersamaan memiliki kekhasan yang seimbang dengan keadaan serta kondisi Indonesia. Disebut sebagai negara seribu pulau, mengarahkan Indonesia untuk membentuk negara federal dalam sistem pemerintahannya. Kerajaan-kerajaan yang ada saat Indonesia belum terbentuk dan masih dinamai dengan Nusantara, mendukung bentuk federal hidup dengan melihat secara historis setiap wilayah telah memiliki otonominya sendiri.

Pendapat untuk menjadikan Indonesia sebagai negara kesatuan juga bukan tanpa dasar dicetuskan dalam sidang perumusan UUD 1945, secara historis keinginan mempersatukan Nusantara telah dicetuskan oleh Patih Amangkubhumi Gadja Mada, yang dikenal dengan nama Sumpah Palapa.1 Perjuangan persatuan yang ditunjukan bangsa

Indonesia untuk melawan penjajah adalah bukti sejarah bahwa persatuan bukanlah ketidakmungkinan untuk menjadikan Indonesia berbentuk negara kesatuan.

1 Sumpah Palapa adalah suatu pernyataan atau sumpah yang dikemukakan oleh Gajah Mada pada upacara

pengangkatannya menjadi Patih Amangkubhumi tahun 1258 saka 1336 M. Sumpah Palapa ini ditemukan pada teks Jawa Pertengahan Pararaton, yang berbunyi, Sira Gajah Madapatih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada: "Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa". Terjemahannya, Beliau Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, "Jika telah mengalahkan Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun (Pulau Gorom, Seram Bagian Timur), Seram, Tanjung Pura (Kerajaan Tanjungpura, Ketapang, Kalimantan Barat), Haru (Kerajaan Aru Sumatera Utara, Karo), Pahang (Pahang, Malaysia), Dompo (Sebuah Daerah di Pulau Sumbawa), Bali, Sunda (Kerajaan Sunda), Palembang (Palembang atau Sriwijaya), Tumasik (Singapura), demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa".


(2)

Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen dalam perumusannya telah memasukkan BAB VI Pasal 18 yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah berbunyi,

Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.

Penjelasan dari Pasal 18 tersebut,2

I. Oleh karena negara Indonesia itu suatu “een heidsstaat”, maka Indonesia tak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat “Staat” juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi dan daerah provinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil.

Daerah-daerah itu bersifat otonom (Streek dan locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan undang-undang.

Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan berwakilan daerah, oleh karena di daerahpun pemerintah akan bersendi atas dasar permusyawaratan.

II. Dalam territorial negara Indonesia terdapat -/+ 250 “Zelfbesturende landschappen” dan Volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenannya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa.

Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingat hak-hak asal-usul daerah tersebut.

Soekarno yang berada pada argumentasi negara kesatuan dapat memberikan pengertian dan rasionalisasi kepada pihak yang setuju akan negara federal yakni Moh. Hatta dan cendikiawan lainnya. Terdapat kesadaran dari para perumus UUD 1945 dengan keberagaman bangsa Indonesia, walaupun negara kesatuan disetujui sebagai bentuk negara, para perumus sepakat terhadap penghormatan kepada wilayah-wilayah di Indonesia yang masih berada pada keistimewaan budaya, pemerintahan dan lain sebagainya. Setelah disepakati bentuk negara kesatuan terjadi perdebatan pemikiran atas


(3)

daerah-daerah khusus atau istimewa pada masa perumusan UUD 1945 melalui sidang BPUPKI tahun 1945, antara Soepomo dengan Soerjohamidjojo. Soepomo yang ditunjuk oleh Presiden Soekarno sebagai Ketua Panitia Kecil Perancang UUD 1945 menegaskan bahwa pada Pasal 16 rancangan UUD kedua, Indonesia yang memilih bentuk negara kesatuan senyatanya tetap menghormati daerah-daerah tertentu seperti Kooti (Kerajaan) dengan memberikan hak istimewa. Konsepsi yang diangkat oleh Soepomo adalah Negara Kesatuan yang menghormati satuan wilayah Kooti (Kerajaan) yang masih hidup di Indonesia. Konsep tersebut mendapat pertentangan dari Soerjohamidjojo karena terdapat sebuah ketidaktegasan dari konsep negara kesatuan yang masih membagi kewenangan, dalam pendapatnya Soerjohamidjojo menegaskan bahwa jika dikehendaki sebuah penghormatan atas daerah-daerah tertentu maka harus dibedakan pengaturannya sehingga diperlukan bagian tersendiri untuk mengatur Kooti (Kerajaan) agar memperkokoh kedudukan daerah tersebut.3 Perdebatan tersebut terselesaikan dengan suara mayoritas

anggota sidang BPUPKI untuk tidak menambahkan ketentuan khusus terhadap pengaturan Kooti (Kerajaan).

Hasil perumusan tersebut dibentuklah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari oleh Komite Nasional Daerah. Konsep yang dibentuk, Indonesia dibagi atas dua daerah tingkat atas dinamai Provinsi yang dipimpin oleh Gubernur dan daerah tingkat bawah dinamai Karesidenan yang dipimpin oleh Residen Gubernur. Tugas Gubernur dan Residen Gubernur dibantu oleh Komite Nasional (Indonesia) Daerah yang selanjutnya disebut dengan KNID. Terdapat pula Komite Nasional (Indonesia) Pusat yang selanjutnya disebut dengan KNIP,4 sedangkan 3 Perdebatan dalam Naskah Komperhensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Buku

IV Kekuasaan Pemerintah Negara Jilid I. Mahkamah Konstitusi, 2010. Halaman 45.


(4)

wilayah kooti berada di bawah pemerintahan pusat baik secara langsung maupun melalui perwakilan yang disebut dengan komisaris.

Daerah yang mendapat predikat kooti pada saat itu hanya dua yakni Yogyakarta dan Surakarta, wilayah Irian Barat belum bergabung dengan NKRI dan masih menjadi wilayah sengketa Indonesia dan Belanda. Terdapat beberapa perundingan yang mempengaruhi keberadaan wilayah Irian Barat untuk berintegrasi dengan Indonesia, antara lain;5

1. Perjanjian Linggarjati (15 November 1946 s/d 25 Maret 1947)

a. Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa dan Madura. Belanda harus meninggalkan wilayah de facto paling lambat 1 Januari 1949;

b. Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam

membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu bagiannya adalah Republik Indonesia; dan

c. Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk

Uni Indonesia - Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya. 2. Perjanjian Renville (8 Desember 1947 s/d 17 Januari 1948)

a. Belanda hanya mengakui Jawa tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian wilayah Republik Indonesia;

b. Disetujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda; dan

c. TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur Indonesia di Yogyakarta. 3. Perjanjian Roem-Roijen (14 April 1949 - 7 Mei 1949)

a. Angkatan bersenjata Indonesia akan menghentikan semua aktivitas gerilya; b. Pemerintah Republik Indonesia akan menghadiri Konferensi Meja Bundar; c. Pemerintah Republik Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta; dan

d. Angkatan bersenjata Belanda akan menghentikan semua operasi militer dan membebaskan semua tawanan perang.


(5)

4. Konferensi Meja Bundar (23 Agustus 1949 - 2 November 1949)

a. Serah terima kedaulatan dari pemerintah kolonial Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, kecuali Papua bagian barat. (Indonesia ingin agar semua bekas daerah Hindia Belanda menjadi daerah Indonesia, sedangkan Belanda ingin menjadikan Papua bagian barat negara terpisah karena perbedaan etnis. Konferensi ditutup tanpa keputusan mengenai hal ini. Karena itu pasal 2 menyebutkan bahwa Papua bagian barat bukan bagian dari serah terima, dan bahwa masalah ini akan diselesaikan dalam waktu satu tahun);

b. Dibentuknya sebuah persekutuan Belanda-Indonesia, dengan monarch Belanda sebagai kepala negara; dan

c. Pengambil alihan hutang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat. Pada tanggal 1 Mei 1963 melalui Penetapan Presiden atau selanjutnya disebut Penpres Nomor 1 Tahun 1963 untuk Provinsi Papua yang berkedudukan di Jayapura, enam tahun setelahnya melalui Pepera Dibawah pemerintahan Presiden Soeharto Provinsi Irian Barat berganti nama menjadi Provinsi Irian Jaya dan resmi menjadi provinsi ke-26 di Indonesia. Gejolak sosial, politik, ekonomi dan keamanan hingga pada gerakan separatis terus bermunculan setelah terintegrasinya Papua dengan NKRI.

Mempertahankan tanah Papua adalah perjuangan yang telah lama dilakukan oleh pejuang bangsa, keyakinan untuk bersatu dan mempersatukan senyatanya telah menjadi cita sejak masa kerajaan sebelum Indonesia terbentuk. Fase penjajahan yang melahirkan banyaknya cendikiawan dan pemikir bangsa, konsep negara kesatuan juga diyakini sebagai pijakan berjalannya Indonesia. Kebijakan otonomi khusus Papua dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia menjadi kajian dalam penelitian ini untuk menganalisis keberadaan otonomi khusus yang memiliki makna untuk mengurus secara mandiri daerahnya, dengan merelevansikan dengan konsep negara kesatuan dan kesesuaian pada sistem ketatanegaraan merupakan suatu permasalahan yang akan diurai dalam hal ini.

Negara Indonesia adalah negara yang menganut bentuk negara kesatuan (Unitary), namun hal ini akan berbeda ketika UUD 1945 setelah amandeman


(6)

memberikan pengaturan terkait pemerintahan daerah terlebih pada otonomi khusus dalan negara Indonesia. Pemberian otonomi ini seringkali dikaitkan pada prinsip negara federal, dimana pada umumnya dipahami bahwa dalam sistem federal, konsep kekuasaan asli atau kekuasaan sisa (residual power) berada di daerah atau bagian, sedangkan dalam sistem negara kesatuan (unitary), kekuasaan asli atau kekuasaan sisa itu berada di pusat sehingga terdapat pengalihan kekuasaan pemerintah dari pusat ke daerah padahal dalam negara kesatuan idealnya semua kebijakan terdapat ditangan pemerintah pusat.6

Amien Rais7 mengajukan tiga fundamental yang harus ditegakkan untuk

membagun negara federal, yaitu: 1. Keadilan (al-‘adalah);

2. As-syuro dalam arti negara harus dibangun dan dikembangkan dengan mekanisme musyawarah; dan

3. Penegakkan prinsip persamaan (almusaawah) sebagaimana Islam dan agamaagama samawi tidak pernah membeda-bedakan manusia berdasarkan perbedaan jenis kelamin

(sex), warna kulit (race), status sosial (class) suku bangsa dan lain-lain. Begitu pula dengan prinsip otonomi harus memiliki ketiga aspek itu.

Federalisme untuk Indonesia masih relevan namun sudah “kebablasan” yaitu otonomi yang melebihi federalisme. Karena desentralisasi saat ini memberikan otonomi sampai ketingkat kabupaten/kota bukan pada provinsi. Jadi merupakan suatu hal yang kuno membicarakan federal jika ditempatkan dalam konteks saat ini di Indonesia, karena jika berbicara federal berarti yang mendapatkan otonomi hanya sampai propinsi.

6 Jimly Asshiddiqie, Otonomi Daerah dan Parlemen di Daerah, www.legalitas.org, 2012, makalah disampaikan dalam

Lokakarya tentang Peraturan Daerah dan Budget bagi Anggota DPRD se-Propinsi (baru) Banten” yang diselenggarakan oleh Institute for the Advancement of Strategies and Sciences (IASS), di Anyer, Banten.

7 La Ode Gantara Izhar Malim, Pemikiran Politik Amien Rais Tentang Federalisme Untuk Indonesia, Universitas Dayanu


(7)

Indonesia pernah mengalami menganut konsep negara federal pada tahun 1950 saat menggunakan konstitusi Republik Indonesia Serikat atau RIS. Wilayah Indonesia masih terbatas belum secara berdaulat memilki seluruh wilayah dari Sabang hingga Marouke. Kondisi demikian tetap dijadikan prinsip membagi wilayah Indonesia kedalam beberapa negara federal yang diatur dalam Konstitusi RIS 1950. Terdapat juga Konstitusi UUD Sementara, UUD 1945 sebelum dan sesudah amandemen.

Konstitusi yang memiliki empat bentuk tersebut memiliki beberapa pengaturan, seperti halnya UUD RIS yang secara tegas mengamanahkan pembagian daerah pada prinsip negara federal, sedangkan UUDS yang menjadi konstitusi yang mengevaluasi pelaksanaan UUD RIS telah menunjukan kebijakan untuk mengatur pemerintahan daerah di Indonesia, dan masterpeace dari UUD 1945 seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa memiliki keaslian maksud untuk tetap menghormati daerah atau wilayah kooti. Setelah amandemen konstitusi tertulis Indonesia semakin tegas tidak hanya berada dalam tataran pemerintahan daerah secara luas, namun juga konsep daerah khusus dan istimewa, yang menjadi awalan munculnya kesempatan daerah-daerah yang memiliki keistimewaan dan latarbelakang khusus untuk diberikan otonomi yang bersifat lebih besar daripada otonomi daerah pada umumnya, sehingga dinamakan dengan otonomi khusus.


(8)

Pemberian otonomi khusus pada Papua merupakan sebuah kebijakan yang dipersepsikan win-win solution oleh pemerintah, pergerakan saparatis dapat diperlemah dengan otonomi khusus yang diharapkan akan meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua.8 Kehadiran otonomi khusus pun dikritisi sebagai wujud memperlemah pemerintah

pusat, hubungan daerah dan pusat sebatas dalam tataran perimbangan keuangan, latar belakang politik kebijakan dan kepentingan menjadikan terus bergesekkannya kewenangan pusat dan daerah.9 Dapat terlihat dari beberapa perkara yang masuk di

Mahkamah Konstitusi terkait Sengketa Kewenangan Lembaga Negara atau SKLN antara KPUD Aceh dan pusat yang didapati sebuah konflik kewenangan, dan permasalahan ini dapat memberikan gambaran pada pelaksanaan otonomi khusus pada Papua. Hal ini dimaknani sebagai penghambat stabilitas negara dalam memperlancar peningkatan pembangunan.

1.1 Integrasi Papua

Papua memiliki sejarah panjang dalam proses terintgrasinya dengan Indonesia, berada pada letak pulau tertimur Indonesia dan memiliki heterogenitas lebih dari 250 suku membuat wilayah Papua sulit terakses dalam setiap implikasi kebijakan pemerintah pusat. Perundingan integrasi Provinsi Irian Barat terjadi pada tanggal 15 Agustus 1962 melalui perjanjian New York dan pada tanggal 1 Oktober 1962 Administrasi Nederlands New Guinea dialihkan kepada Pemerintahan sementara PBB United Nation Temporary Excecutive Authority (UNTEA). Perundingan tersebut menjadi dasar Indonesia menyepakati metode integrasi Irian Barat melalui pemberian Hak Penentuan Nasib Sendiri atau Self Determination kepada rakyat penduduk asli Papua. Hak Penentuan

8 Informasi dari hasil wawancara dengan Kasubdit Otsus Wilayah II Kemendagri 20 Januari 2014. 9 Informasi dari hasil wawancara dengan Wantimpres 20 Januari 2014.


(9)

Nasib Sendiri Papua dibuat dengan metode Penentuan Pendapat Rakyat yang selanjutnya disebut dengan Pepera pada tahun 1969 dengan lebih dahulu membentuk Dewan Musyawarah Penentuan Pendapat Rakyat atau selanjutnya disebut DPM. Hasil resmi yang disiarkan secara internasional, bahwa terdapat 1.024 wakil-wakil orang Irian memilih bergabung dengan Indonesia.10 Hasil Pepera tersebut mengakibatkan

terintegrasinya Provinsi Irian Barat dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang disahkan dalam Laporan Utusan PBB Resolusi 2504 tentang Hasil Pepera 1969. Dibawah pemerintahan Presiden Soeharto Provinsi Irian Barat berganti nama menjadi Provinsi Irian Jaya dan resmi menjadi provinsi ke-26 di Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963 melalui Penetapan Presiden atau selanjutnya disebut Penpres Nomor 1 Tahun 1963 untuk Provinsi Papua yang berkedudukan di Jayapura. Perspektif politik yang ditulis dalam kajian kedinamikaan sejarah Papua merasakan ketidakvalitan suara 1.024 wakil orang Irian dari lebih dari 1.024 penduduk Irian, pemerintah Indonesia menggunakan metode perwakilan yang dipilih dengan alasan wilayah yang luas dengan penduduk yang masih bersifat primitif pada saat itu dan menyulitkan mengintegrasi seluruhnya.

Integrasi nasional pada hakikatnya adalah Pengertian bersatunya suatu bangsa yang menempati wilayah tertentu integrasi dalam sebuah negara yang berdaulat. Realitas nasional integrasi nasional dapat dilihat dari aspek politik, lazim disebut integrasi politik, aspek ekonomi (integrasi ekonomi, saling ketergantungan ekonomi antardaerah yang bekerjasarna secara sinergjs), dan aspek sosial budaya (integrasi sosial budaya, hubungan antara suku, lapisan dan golongan).11 Risalah sidang UU Otsus yang diterbitkan oleh DPR

RI, dalam dialektika tim khusus Papua menyebutkan untuk memberikan ruang

10 Widjojo dkk, Op.,cit. Halaman 3.

11 Agustina Magdalena Djuliati Suroyo, Integrasi Nasional dalam Perspektif Sejarah Indonesia Sebuah Proses yang Belum


(10)

pembenaran sejarah integrasi yang belum selesai dalam UU Otsus sebagai kerangka pengetahuan. Hal tersebut ditolak oleh dewan karena dianggap akan memunculkan konflik dikemudian hari dan tidak memiliki relevansi dengan konsep otonomi khusus.

Agustina Magdalena Djuliati Suroyo12 membagi integrasi nasional di Indonesia ke

dalam tiga tahap, yakni :

1. Integrasi Imperium Majapahit

Secara historis sebenarnya Indonesia pernah Model memiliki model integrasi nasional yang meliputi wilayah integrasi hampir seluas Negara Republik Indonesia (RI). Pertama adalah kemaharajaan XIV-XV). Struktur kemaharajaan yang begitu luas diperkirakan berbentuk mirip kerajaan Mataram Islam, yaitu struktur konsentris13. Dimulai dengan konsentris pertama yaitu wilayah inti kerajaan

(nagaragung): pulau Jawa dan Madura yang diperintah langsung oleh raja dan saudara-saudaranya, menerapkan sistem pemungutan pajak langsung untuk biaya hidup keluarga raja. Konsentris kedua adalah wilayah di luar Jawa (mancanegara dan pasisiran) yang merupakan kerajaan-kerajaan otonom atau kerajaan tertakluk yang mengakui hegemoni Majapahit, dengan kebebasan penuh mengatur negeri mereka masing-masing. Kewajiban terhadap negara pusat hanya menghadap maharaja Majapahit dua kali setahun dengan membawa upeti sebagai pajak. Konsentris ketiga (tanah saberang) adalah negara-negara sahabat dimana Majapahit menjalin hubungan diplomatik dan hubungan dagang, antara lain dengan Champa, Kamboja, Ayudyapura

12Ibid

13Teori ini menyatakan bahwa Daerah Pusat Kota (DPK) atau Central Business District (CBD) adalah pusat kota yang

letaknya tepat di tengah kota dan berbentuk bundar yang merupakan pusat kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik, serta merupakan zona dengan derajat aksesibilitas tinggi dalam suatu kota. DPK atau CBD tersebut terbagi atas dua bagian, yaitu: pertama, bagian paling inti atau RBD (Retail Business District) dengan kegiatan dominan pertokoan, perkantoran dan jasa; kedua, bagian di luarnya atau WBD (Wholesale Business District) yang ditempati oleh bangunan dengan peruntukan kegiatan ekonomi skala besar, seperti pasar, pergudangan (warehouse), dan gedung penyimpanan barang supaya tahan lama (storage buildings)


(11)

(Thailand). Integrasi vertikal dibangun melalui penguasaan maritim, hubungan pusat dan daerah dibina melalui hubungan perdagangan dan kunjungan pejabat. Ekspedisi angkatan laut digunakan apabila terjadi pembangkangan, seperti yang diceritakan dalam Hikayat Raja-raja Pasai. Disintegrasi Majapahit terjadi karena pertama, kelemahan di pusat kekuasaan (konflik perebutan takhta). Kedua, saling pengaruh antara faktor ekonomi, kemakmuran kota-kota pelabuhan, dan faktor budaya, berkembangnya agama Islam, yang membentuk solidaritas dan integrasi horizontal kerajaan-kerajaan pesisir di daerah melawan kekuasaan majapahit di pusat.

2. Integrasi Kolonial

Integrasi kolonial atas wilayah Hindia Belanda baru kolonial sepenuhnya dicapai pada dekade kedua abad XX dengan wilayah yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Pemerintah kolonial mampu membangun integrasi wilayah juga dengan menguasai maritim, sedang integrasi vertikal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dibina melalui jaringan birokrasi kolonial, yang terdiri dari ambtenaar-ambtenaar (pegawai) Belanda non pribumi yang tidak memiliki jaringan dengan massa rakyat. Dengan kata lain pemerintah tidak memiliki dukungan massa yang berarti. Masyarakat kolonial yang pluralistik dan segregatif memisahkan golongan kulit putih, Cina dan pribumi yang membawa kelemahan pada integrasi sosial budaya. Dengan demikian ketika menghadapi serbuan tentara Jepang pada masa perang Dunia II, integrasi kolonial Hindia Belanda ini langsung runtuh, tanpa massa rakyat yang menopangnya.


(12)

Hingga akhir abad XIX berbagai kerajaan kesukuan Proses di wilayah yang kini bemama Indonesia berjuang melawan integrasi kekuasaan kolonial Belanda dengan menggunakan cara nasional perlawanan bersenjata. Perlawanan yang dipimpin oleh penguasa kerajaan atau elit lokal bersama rakyat mereka berakhir dengan kekalahan, hingga seluruh kerajaan-kerajaan tersebut dikuasai pemerintah kolonial dan menjadi wilayah taklukkan Hindia Belanda (kecuali Aceh yang baru ditaklukkan tahun 1913). Menginjak abad XX, seiring dengan perubahan politik kolonial di dalam negeri untuk memajukan rakyat jajahan sebagai "balas budi" (Ethische Politiek), maupun pengaruh perkembangan nasionalisme di luar negeri, perjuangan melawan penjajahan mengalami babak baru, yaitu menggunakan bentuk-bentuk perjuangan politik dan kultural melalui organisasi-organisasi modern yang dikenal sebagai pergerakan nasional. Pada awal abad XX "Bangsa Indonesia" masih merupakan kawula (subject) dari negara kolonial Hindia Belanda. Dalam arti ini perlu dikemukakan bahwa pengertian bangsa (nation) sebagai konsep politik masih relatif baru. Secara historis lahir sebagai anak revolusi rakyat yang membebaskan diri dari kekuasaan absolut dan mendirikan negara merdeka yang berkonstitusi.

Integrasi vertikal telah diperlihatkan Indonesia pasca proklamasi, yang dapat ditegaskan dalam berbagai pergolakan senjata di daerah atas mempertahankan kemerdekaan, namun hal tersebut belum termasuk Irian yang masih dalam sengketa politik. Setelah Pepera barulah Irian resmi menjadi provinsi ke-26 di Indonesia.

Proses integrasi Papua ke Indonesia yang dikenal dengan Penetuan Pendapat Rakyat atau Pepera tahun 1969 diawali dengan proses panjang sebelum pelaksanaan. Pada pada tanggal 17 – 21 Maret 1969 diadakan


(13)

Rapat Musyawarah Pimpinan Daerah atau Muspida seluruh Irian Barat, yang meliputi Muspida dari 8 Kabupaten, rapat tersebut bertujuan memberikan penjelasan umum tentang kebijakan umum dalam menghadapi pelaksanaan Pepera. Dilanjutkan tanggal 24 Maret s/d 11 April 1969 diadakan Konsultasi antara Pemerintah Pusat dengan DPRD Kabupaten se-Irian Barat. Tim Pemerintah Pusat didampingi oleh Tim Pemerintah Provinsi, Tim PBB atau dikenal dengan nama Misi Ortiz Sanz, rapat konsultasi tersebut dilaksanakan dalam bentuk sidang-sidang pleno istimewa DPRD Kabupaten se-Irian Barat.

Pelaksanaan Pepera dibentuk lebih dahulu Dewan Musyawarah (Demus) Pepera di 8 kabupaten, Demus Pepera tersebut mencerminkan unsur daerah, unsur partai dan organisasi masyarakat. unsur kepala suku dan adat, yang akan mewakili seluruh penduduk Irian Barat, yaitu sebanyak 1024 orang mewakili 809.327 orang penduduk yang terdiri dari:14

1. Kabupaten Jayapura 110 orang mewakili 83.750 orang penduduk; 2. Kabupaten Merauke 175 orang mewakili 144.171 orang penduduk; 3. Kabupaten Jayawijaya 175 orang mewakili 165.000 orang penduduk; 4. Kabupaten Paniai 175 orang mewakili 156.000 orang penduduk;

5. Kabupaten Teluk Cenderawasih 130 orang mewakili 91.870 orang penduduk; 6. Kabupaten Manokwari 75 orang mewakili 49.875 orang penduduk;

7. Kabupaten Sorong 110 orang mewakili 75.474 orang penduduk; 8. Kabupaten Fak-Fak 75 orang mewakili 43.187 orang penduduk.

14 Tim Pusat Kajian Demokrasi, Menata Ulang Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah dalam Negara Kesatuan

Republik Indonesia: Identifikasi Hambatan Implementasi Undang‐Undang Otonomi Khusus Papua, Uncen 2010. Halaman 37-38.


(14)

Pelaksanaan Sidang Pepera diselenggarakan secara bergantian di 8 kabupaten, mulai dari tanggal 14 Juli s/d 2 Agustus 1969 yaitu dengan urutan sebagai berikut:

1. Kabupaten Merauke pada 14 Juli 1969; 2. Kabupaten Jayawijaya pada 16 Juli 1969; 3. Kabupaten Paniai pada 19 Juli 1969; 4. Kabupaten Fak-Fak pada 23 Juli 1969; 5. Kabupaten Sorong pada 26 Juli 1969; 6. Kabupaten Manokwari pada 29 Juli 1969;

7. Kabupaten Teluk Cenderawasih (di Biak) pada 31 Juli 1969; 8. Kabupaten Jayapura pada 2 Agustus 1969.

Hasil resmi yang diumumkan setelah Sidang Dewan Musyawarah Pepera atau selanjutnya disebut dengan DMP Kabupaten Jayapura pada 2 Agustus 1969 dan tanggal 5 Agustus 1969 Menteri Dalam Negeri tentang Hasil Pepera kepada Sidang Istimewa DPRGR/Pemerintah Daerah Provinsi Irian Barat di Jayapura, pemerintah Indonesia yang disaksikan oleh dunia internasional dimana PBB menjadi saksi di dalamnya, memutuskan bahwa Irian sepakat bergabung dengan Indonesia. Hasil Pepera tersebut ditindaklanjuti dengan Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966, maka pada tanggal 5 Juli 1969 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 yang antara lain menetapkan Penetapan Presiden Nomor 1 tahun 1962 dan penetapan Presiden Nomor 1 tahun 1963 menjadi undang-undang dengan ketentuan bahwa harus diadakan penyempurnaan. Pada tanggal 10 november 1969 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat disahkan.


(15)

1.2Landasan Hukum

Perkembangan peraturan perundang-undangan di Indonesia mengenai dasar pijakan dari pemerintahan daerah dan otonomi khusus bagi Papua mengalami banyak dinamika terhitung sejak kemerdekaan. Perubahan hasil legislasi mengalami kuantitas signifikan saat reformasi menjadi tuntutan bangsa Indonesia dan terlebih Papua yang pada saat itu telah mengagendakan otonomi khusus untuk daerah yang jauh dari Ibukota.

Konstitusi Indonesia yang mengatur konsepsi pemerintahan daerah dan otonomi khusus antara lain:

1. UUD RIS 1949-1950

UUD RIS BAB II

REPUBLIK INDONESIA SERIKAT DAN DAERAH-DAERAH BAGIAN Pasal 43

Dalam penyelesaian susunan federasi Republik Indonesia Serikat maka berlakulah asas pedoman, bahwa kehendak rakyatlah didaerah-daerah bersangkutan yang dinyatakan dengan merdeka menurut jalan demokrasi, memutuskan status yang kesudahannya akan diduduki oleh daerah-daerah tersebut dalam federasi.

2. UUD 1950

BAB IV

PEMERINTAH DAERAH DAN DAERAH-DAERAH SWAPRAJA Pasal 131

(1) Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri (otonom), dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dan dasar perwakilan dalam sistem pemerintahan negara.

(2) Kepada daerah-daerah diberikan otonomi seluas-luasnya untuk mengurus rumah tangganya sendiri.

(3) Dengan undang-undang dapat diserahkan penyelenggaraan tugas-tugas kepada daerah-daerah yang tidak termasuk dalam urusan rumah tangganya.


(16)

3. UUD 1945

Pasal 18

Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahnya ditetapkan dengan Undang-Undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat isstimewa.

4. UUD 1945 Amandemen

Pasal 18 B

Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. Terdapat empat konstitusi yang menjadi dasar sejarah konsep pemerintahan daerah di Indonesia dan lahirnya konsep otonomi khusus Papua. Perbedaan yang terlihat jelas terdapat dalam konstitusi RIS yang telah memberikan kesempatan Indonesia merasakan menjadi negara federal. Hal ini ditegaskan dalam pasal a qua tersebut bahwa pada saat berlakunya UUD RIS Indonesia mengakui pembagian negara federal, yang memberikan kewenangan besar kepada daerah dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan. Konstitusi lainnya terlebih dalam UUD 1945 sebelum amandemen

original intent dari Pasal 18 dijelaskan sebagai sebuah bentuk penghormatan sehingga terdapat pengakuan konsep keistimewaan untuk wilayah kooti, dan lainnya telah memberikan ruang terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Periode tahun 1999 s/d 2002 telah merubah konstitusi tertulis Indonesia dengan empat kali tahapan, perumusan Pasal 18 telah dilakukan diawal amandemen sejak perubahan pertama, namun baru pada perubahan kedua Pasal 18 disahkan tahun 2000 dengan dilatarbelakangi oleh semangat penerapan otonomi daerah yang seluas-luasnya dan mengakomodir aspirasi masyarakat untuk mengubah sentralistik.


(17)

Pasal tersebut sebagai pembuka keberadaan penghormatan wilayah yang berstatus khusus serta istimewa dan melalui undang-undang diatur mengenai kekhususan serta keistimewaannya. Valina Sinka Subekti dalam bukunya memperlihatkan perdebatan antar fraksi yang menjadi titik berat adalah sebuah argumentasi dari Anthonius Rahail,

Akar dari persoalan munculnya wacana negara federal sesungguhnya bukanlah kerena bentuk negara kesatuan, tetapi lebih karena daerah sebagai inti dan unsur pokok dan pemegang saham terbesar dalam negara bangsa ini ternyata tidak diuwongke dalam sistem kehidupan bernegara. Harus ada pembagian kekuasaan ekonomi dan politik yang adil antara pusat dan daerah.15

Terdapat kronologis sejarah pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang memberikan kebijakan terkait pemerintahan daerah dan wilayah Papua oleh pemerintah sebagai relevensi kesesuaian regulasi amanah UUD 1945 dan keberadaan pemerintahan daerah dan otonomi khusus papua dalan sistem ketatanegaraan di Indonesia, antara lain:

A. Pemerintahan Daerah

1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 yang mengatur mengenai penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari oleh Komite Nasional Daerah

Undang-undang ini memberlakukan pertama suatu badan perwakilan di daerah setelah kemerdekaan, yang bertujuan sebagai penghubung pemerintahan pusat dengan daerah yang pada saat itu daerah masih dibagi dalam wilayah yang cukup luas dan tidak termasuk Irian Barat yang masih menjadi wilayah sengketa politik dan kebijakan internasional.

2. Undang-Undang Pokok Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah


(18)

Peraturan yang mengatur pertama tentang susunan kedaerahan, pada saat itu Indonesia telah menjabarkan dua konsep daerah otonom, yakni daerah otonom biasa dan daerah otonom khusus yang bermakna suatu daerah kooti yang bersifat istimewa.

3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang disebut juga Undang-Undang tentang Pokok Pemerintahan 1956

Merupakan peraturan yang mempertegas susunan kedudukan daerah otonom biasa yang dinamakan dengan daerah Swatantra, dengan segenap pelengkap instrument badan eksekutif atau kepala daerah dalam susunan administrasi kedaerahan.

4. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Undang-Undang ini menggantikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden Nomor 6 tahun 1959; Penetapan Presiden Nomor 2 tahun 1960; Penetapan Presiden Nomor 5 tahun 1960 jo Penetapan Presiden Nomor 7 tahun 1965

Pada tahun 1965 daerah otonom khusus atau swasta di hapuskan dan digabung satu kesatuan dalam daerah otonom biasa dengan tiga tingkatan. Pemerintahan mempersiapkan pembentukan daerah otonom tingkat III dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di seluruh Wilayah Indonesia.

5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah


(19)

Peraturan yang dibentuk lebih tegas saat zaman pemerintahan Presiden Soeharto ini, menetapkan satu daerah otonom sebagi pelaksana desentralisasi yang dibentuk dengan wilayah administrasi.

6. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

Menurut Undang-Undang ini Indonesia dibagi menjadi satu macam daerah otonom dengan mengakui kekhususan yang ada pada tiga daerah yaitu Aceh, Jakarta, dan Yogyakarta dan satu tingkat wilayah administratif.

7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang pertama yang dikeluarkan pemerintah setelah reformasi, yang mengatur daerah di Indonesia dengan membaginya menjadi satu jenis daerah otonom dengan perincian atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas daerah kabupaten dan daerah kota. Selain itu Negara mengakui kekhususan dan atau keistimewaan yang ada pada empat daerah yaitu Aceh, Jakarta, Papua, dan Yogyakarta. Negara juga mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat (Desa atau nama lain) beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan.

B. Otonomi Khusus Papua

1. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Irian Barat (Memori Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Nomor 1055)


(20)

Merupakan undang-undang yang disahkan pada tanggal 16 agustus 1956 sebagai dead lock perundingan Konferensi Meja Bundara tau KMB, undang-undang ini menjadi kajian terpenting secara hukum nasional,

Menimbang: bahwa setelah ditetapkan Undang-undang Pembatalan Persetujuan Konperensi Meja Bundar, maka tidak ada rintangan-rintangan lagi untuk melaksanakan cita-cita untuk membentuk Irian Barat menjadi Propinsi Otonom, sesuai dengan isi dan jiwa Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Mengingat:

a. Undang-undang Pembatalan Persetujuan Konperensi Meja Bundar; b. Pasal 2, 89, 131 dan 142 Undang-undang Dasar Sementara Republik

Indonesia; 2.Undang-undang No. 22 tahun 1948 Republik Indonesia dan Undang-undang tersebut dalam Staatsblad Indonesia Timur no. 44 tahun 1950; 3.Peraturan-Pemerintah Republik Indonesia Serikat No. 21 tahun 1950.

c. Piagam Persetujuan Republik Indonesia Serikat dan Pemerintah Republik Indonesia tanggal 19 Mei 1950 dan Pernyataan Bersama tanggal 19 dan 20 Juli 1950.

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat:

Undang-undang tentang pembentukan Daerah Otonom Propinsi Irian Barat.

Bab I

Ketentuan Umum Pasal 1

Propinsi Maluku sebagai dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Serikat No. 21 tahun 1950, dibagi menjadi dua, yaitu:

a.Propinsi Maluku, b.Propinsi Irian Barat.

Pasal 2

1) Propinsi Irian Barat dimaksud pasal 1 sub b meliputi:

b. Wilayah Irian Barat yang pada saat pembatalan Persetujuan Konperensi Meja Bundar pada tanggal 21 April 1956 masih berada di dalam kekuasaan de facto Kerajaan Belanda tanpa persetujuan Pemerintah Republik Indonesia;

c. Kewedanaan Tidore, Distrik-distrik Weda dan Petani, yang sekarang termasuk lingkungan Daerah Maluku Utara.


(21)

Undang-undang ini menjadi regulasi pertama Indonesia terhadap tanah Papua, yang masih menjadi wilayah sengketa hingga 1963-1969. Ketentuan ini ditegaskan dalam Pasal 12 yang mengkuatkan posisi Irian Barat merupakan wilayah Indonesia. Pasal 2 menegaskan secara de jure bahwa wilayah Irian Barat masuk ke dalam wilayah Indonesia, undang-undang ini hanya berlaku satu tahun setelah tanggal 9 Agustus 1957 diterbitkan kembali undang-undang perubahannya.

2. Undang Darurat Nomor 20 Tahun 1957 tentang Perubahan Undang-Undang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Irian Barat (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Nomor 1360)

Peraturan yang disahkan pada tanggal 9 Agustus 1957 ini mengubah aturan distrik atau wilayah Maba yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (2), dengan alasan yang terdapat dalam konsideran yakni,

Bahwa berhubung dengan tugas utama dari Pemerintah Daerah Propinsi Irian Barat sebagaimana termaktub dalam Pasal 7 Undang-undang tersebut, distrik Maba mempunyai kedudukan yang penting, sehingga distrik itu perlu dimasukkan dalam wilayah Daerah Otonom Propinsi Irian Barat dan Undang-undang yang bersangkutan perlu diubah karenanya.

Diubah dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) angka 2 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1956 tentang pembentukan Daerah Otonom Provinsi Irian Barat diubah hingga berbunyi :

a. Kewedanan Tidore yang meliputi distrik-distrik Tidore, Oba dan Wasile, dan; b. Kewedanan Weda yang meliputi distrik-distrik Weba, Maba dan Patani/Gebe. 3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1958 tentang Penetapan Undang-Undang


(22)

Pembentukan Daerah Swatantra Tingkat I Irian Barat (Lembaran Negara tahun 1957, Nomor 76)

Undang-undang yang disahkan tanggal 17 Juni 1958 ini mengesahkan undang-undang darurat sebelumnya dan mempertegas Irian Barat sebagai daerah otonom. Wilayah dan distrik Kewedanan yang meliputi distrik Maba, Tidore, Weba dan lain sebagainya, menjadi satu kesatuan dengan wilayah otonom di Irian Barat.

4. Penetapan Presiden (PNPS) Nomor 1 Tahun 1962 Menetapkan Pembentukan Provinsi Irian Barat Bentuk Baru. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Nomor 2372)

Ketentuan Pasal 1 ayat (1) Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1962 disebutkan bahwa Provinsi Irian Barat Bentuk Baru sebagaimana dimaksud berwilayah Residentie Nieuw Guinea dulu menurut konstruksi Van Mook, yang sekarang masih diduduki oleh penjajahan Belanda, peta daerah Provinsi Irian Barat Bentuk Baru itu dilampirkan pada Penetapan Presiden ini. Sedangkan pada ayat (2) Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1962 ditegaskan bahwa daerah yang dahulu masuk Provinsi Irian Barat menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1958 tentang penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 20 tahun 1957 tentang perubahan Undang-undang Pembentukan Daerah Swatantra tingkat I Irian Barat (Lembaran Negara 1957 Nomor 76) sebagai undang-undang, kini dikembalikan ke dalam wilayah Provinsi Maluku. Adapun ibukota Provinsi Irian Barat Bentuk Baru sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 2 Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1962 adalah kotabaru di daratan Irian Barat.


(23)

5. Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966 Tentang Peninjauan Kembali Produk-Produk Legislatif Negara Diluar Produk-Produk MPRS Yang Tidak Sesuai Dengan Undang Undang Dasar 1945

Berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966, maka pada tanggal 5 Juli 1969 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 yang antara lain menetapkan Penetapan Presiden Nomor 1 tahun 1962 dan penetapan Presiden Nomor 1 tahun 1963 menjadi undang-undang dengan ketentuan bahwa harus diadakan penyempurnaan. Menindaklanjuti amanat Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966, maka kemudian pada tanggal 10 Nopember 1969 disahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat.

6. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat

Undang-undang ini sehari setelah Pepera dilaksanakan, peraturan pertama terkait Irian Barat yang juga memiliki legitimasi internasional dan penetapan serta pengakuan dunia, bahwa wilayah Irian Barat merupakan wilayah yang termasuk ke dalam Indonesia dan resmi menjadi provinsi ke- 26 di Indonesia. Dilanjutkan dengan peraturan perundang-undangan lain yang terkait dengan Papua dikeluarkan oleh pemerintah.

7. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 174 Tahun 1986, yang melegitimasi pembentukan tiga wilayah Pembantu Gubernur, yakni Wilayah I berkedudukan di


(24)

Jayapura, Wilayah II berkedudukan di Manokwari, dan Wilayah III berkedudukan di Merauke

8. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1993 tentang Pembentukan Kotamadya Jayapura

9. Sepanjang tahun 1996 Pemerintah telah mengeluarkan :

a. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1996 tentang Pembentukan Kota Administratif Sorong;

b. Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 1996 tentang Pembentukan Kabupaten Administratif Puncak Jaya;

c. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 1996 tentang Pembentukan Kabupaten Administratif Paniai; dan

d. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 1996 tentang Pembentukan kabupaten Administratif Mimika.

10 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong

11 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua 12 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2002 tentang Pembentukan sejumlah

Kabupaten di Provinsi Papua (Kabupaten Sarmi, Kabupaten Keerom, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Yahukimo, Kabupaten Tolikara, Kabupaten Waropen, Kabupaten Kaimana, Kabupaten Boven Digoel, Kabupaten Mappi, Kabupaten Asmat, Kabupaten Teluk Bintuni dan Kabupaten Teluk Wondama di Provinsi Papua


(25)

13 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2003 tentang Percepatan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Irian Jaya Tengah, Provinsi Irian Jaya Barat, Kabupaten Paniai, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong pada tanggal 27 Januari 2003

14 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Supiori 15 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten

Mamberamo Raya

16 Tahun 2008 Pemerintah telah menetapkan:

a. Undang-Undang Nomor 1 tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Lani Jaya;

b. Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Nduga;

c. Undang-Undang Nomor 3 tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Dogiyai;

d. Undang-Undang Nomor 4 tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Puncak;

e. Undang-Undang Nomor 5 tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Mamberamo Tengah;

f. Undang-Undang Nomor 6 tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Yalimo;

g. Undang-Undang Nomor 54 tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Intan Jaya;


(26)

h. Undang-Undang Nomor 55 tahun 2008 tentang Pembentukan Kabupaten Deiyai.

17. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua

Merupakan undang-undang yang merubah UU Otsus tahun 2001 yang berisi tentang dasar hukum pemberlakuaan provinsi Papua Barat dan Papua, sekaligus dasar hukum pemberlakuan otonomi khusus di wilayah Papua dan Papua Barat.

1.3 Perumusan Undang-Undang Otsus Papua

Pembentukan undang-undang merupakan salah satu fungsi legislatif yakni legislasi dan yang lainnya adalah fungsi budgeting dan pengawasan. Hal ini tertuang dalam Pasal 20 A ayat (1) Perubahan Pertama UUD Negara RI tahun 1945 Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Fungsi ini sendiri semakin kuat dengan adanya perubahan paradigma dalam pembentukan undang-undang, yang selama ini kekuasaan pembentukan UU berada di tangan presiden (eksekutif), tetapi sejak adanya Perubahan UUD 1945, kekuasaan membentuk (rancangan) UU dibahas bersama DPR (Pasal 20 ayat (2) UUD Tahun 1945) Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.

UU Otsus Papua dirumuskan dan dibahasa dalam kurun waktu 2000 s/d 2001, yang pada saat itu masuk ke dalam Program Legislasi Nasional atau selanjutnya disebut Prolegnas tahun 2000 s/d 2004 dan sesuai dengan Program Pembangunan Nasional atau selanjutnya disebut dengan Propenas tahun 2000 s/d 2004. Prolegnas


(27)

merupakan bagian dari implikasi perubahan UUD 1945 dalam peningkatan pembangunan hukum nasional dalam program pembentukan undang-undang yang disusun secara berencana, terpadu dan sistematis. Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara atau GBHN tahun 1999-2004 yang ditetapkan MPR pada Rapat Paripurna ke-12, sidang umum MPR tanggal 19 Oktober 1999, yang mengamanatkan dalam pelaksanaannya dituangkan dalam Propenas lima tahun, yang memuat kebijakan secara terperinci dan terukur dengan tujuan penguatan pembangunan (hukum) nasional.

Propenas diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004. Propenas adalah rencana pembangunan yang berskala nasional serta merupakan konsensus dan komitmen bersama masyarakat Indonesia mengenai pencapaian visi dan misi bangsa. Fungsi Propenas adalah untuk menyatukan pandangan dan derap langkah seluruh lapisan masyarakat dalam melaksanakan prioritas pembangunan selama lima tahun ke depan.16 Propenas diperinci dalam Rencana Pembangunan Tahunan atau selanjutnya

disebut Repeta, yang memuat anggaran pendapatan dan belanja negara atau disebut dengan APBN yang ditetapkan oleh Presiden bersama DPR.

Otonomi khusus Papua telah dimuat secara eksplisit dalam Propenas sebagai agenda utama yang dapat ditegaskan dalam penjelasan UU Propenas terkait pokok-pokok permasalahan:

1. Merebaknya Konflik Sosial dan Munculnya Gejala Disintegrasi Bangsa; 2. Lemahnya Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia;

3. Lambatnya Pemulihan Ekonomi;


(28)

4. Rendahnya Kesejahteraan Rakyat, Meningkatnya Penyakit Sosial, dan Lemahnya Ketahanan Budaya Nasional; dan

5. Kurang Berkembangnya Kapasitas Pembangunan Daerah dan Masyarakat;

Program pembangunan daerah dirincikan ke dalam kebijakan khusus pembangunan daerah yang mengagendakan salah satunya adalah Program Penanganan Khusus Irian Jaya:17

Program ini bertujuan mempercepat keberdayaan masyarakat setempat agar dapat berperan serta aktif dalam proses pembangunan, meningkatkan kapasitas kelembagaan pemerintahan daerah yang demokratis, mempercepat penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia, serta mempercepat penerapan otonomi khusus. Sasarannya adalah terwujudnya sumber daya manusia setempat yang berkualitas, terwujudnya fungsi pelayanan pemerintahan daerah yang optimal, terwujudnya kedamaian, kesejahteraan dan keadilan, mantapnya rasa cinta bangsa dan tanah air serta persatuan dan kesatuan dan terselesaikannya kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia. Kegiatan pokok yang dilakukan adalah (1) percepatan pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan formal dan informal dengan pendekatan khusus yang memperhatikan budaya masyarakat lokal, peningkatan insentif dan fasilitas khusus dalam pelayanan sosial dasar di bidang pendidikan, kesehatan, gizi, maupun penyediaan hunian; penerapan otonomi khusus melalui penyusunan perangkat peraturan pendukung otonomi khusus; (2) penyediaan akses bagi masyarakat lokal dalam memperoleh sumber daya ekonomi; pengembangan kelembagaan ekonomi masyarakat lokal dengan sistem pendampingan yang konsisten; dan (3) peningkatan penyediaan prasarana dan sarana untuk mendukung percepatan pengembangan wilayah. Di samping itu terdapat kegiatan pokok guna peningkatan kapasitas pemerintahan adalah (1) pengembangan dan penataan kelembagaan pemerintahan daerah; pemberdayaan kecamatan sebagai ujung tombak pembangunan; (2) pemekaran desa, kecamatan, kabupaten dan kota serta peningkatan kapasitas kelembagaannya; (3) penataan dan peningkatan pengelolaan keuangan daerah; (4) peningkatan kapasitas dan akses lembaga adat dan lembaga keagamaan; serta (5) peningkatan komunikasi dan penataan hubungan kelembagaan politik Irian Jaya, baik lembaga legislatif, pemerintah daerah, maupun lembaga masyarakat adat.

Selain itu terdapat kegiatan pokok yang dilakukan guna penyelesaian kasus pelanggaran hukum dan hak asasi manusia, adalah (1) pelaksanaan peradilan yang jujur, adil dan bermartabat, pengakuan dan penghormatan wilayah hak


(29)

ulayat masyarakat adat agar dapat mengelola dan menikmati sumber daya alam di wilayah ulayatnya; (2) peninjauan kembali kontrak-kontrak pengelolaan sumber daya alam yang merugikan masyarakat adat; dan (3) peningkatan jaringan komunikasi dan dialog dengan seluruh komponen masyarakat dalam memecahkan permasalahan hak asasi manusia dan pelaksanaan pembangunan daerah.

Sejak tahun 2000 Prolegnas dikaitkan dengan Propenas, sehingga peran Prolegnas lebih kuat dengan mendasarkan pada Propenas yang telah diatur dengan undang-undang. UU Otsus Papua diundangkan pada tanggal 21 November 2001 dengan RUU Usul Inisiatif tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dalam Bentuk Wilayah Berpemerintahan Sendiri, yang disampaikan pada tanggal 15 April 2001 berdasarkan pada UUD 1945 Pasal 21 ayat (1) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan usul rancangan undang-undang. Berikut daftar pengusul inisiatif mengenai RUU Otsus Papua:18

DAFTAR NAMA ANGGOTA DPR RI PENGUSUL HAK INISIATIF

MENGENAI

RUU OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI PAPUA DALAM BENTUK WILAYAH BERPEMERINTAHAN SENDIRI

No Nama Anggota

1 Drs. Simon Patrice Morin

2 Lukas Karl Degey

3 Marthina Mehue Wally

4 Alexander· Litaay 5 Drs. Anthonius Rahail 6 Prof. Dr. Astrid S. Susanto 7 Ir. S.M. Tampubolon 8 Pdt. Lukas Sabarofak 9 KH. Fathoni, BA

10 Drs. Moh. Yamin Tawary 11 Drs. H. Faehri Andi Leluasa 12 Drs. H. Bambang W. Soeprapto


(30)

13 Dr. Hj. Marwah Daud Ibrahim, M.A 14 Hj. Gunarijah R.M. Kartasasmita, Ph.D 15 Drs. Immanuel E. Blegur

16 Muhammad Sofyan Mile, S.H. 17 Drs. Ibrahim Ambong, M.A 18 Drs. Djelailtik Mokodompit 19 Drs. Ridwan Mukti, Ak., M.B.A 20 Prof. Dr. H. Anwar Arifm

21 Marthin Bria Seran, B.Se 22 Dr. Charles Jones Mesang 23 Nurhayati Yasin Limpo 24 Dra. Hj. Chairunnisa 25 Dra. Iris Indira Murti, M.A 26 Drs. Ferry Mursyidan Baldan 27 Prof. Dr. H. Paturungi Parawansa 28 M. Akil Mochtar, S.H.

29 Hamka Yandu YR

30 Drs. H. Ibnu Munzir 31 Drs. T.M. Nurlif 32 H. Hardisoesilo

33 Ir. Teuku Saiful Ahmad 34 Ariady Achmad, B .Ac 35 Hj. Nurdahri Ibrahim Nain 36 Drs. H. AR. Rasyidi

37 Drs. Rusli Ibrahim

38 H. Karimun Usman

39 Prof. Dr. Ing. K. Tunggul Sirait 40 Dr. Achmad Farhan Hamid 41 Drs. Jasin B. Idango Co no

42 H.M. Laode Djeni Hasmar, S. Sos

43 Pedy Tandawuya, B.A

44 Natercia Do Menino Jesus Osorio Soares 45 Drs. Berny Tamara

Sumber : Risalah sidang pembahasan RUU Otsus DPR-RI

DAFTAR NAMA ANGGOTA DPR RI PENGUSUL HAK INISIATIF


(31)

Sumber : Risalah sidang pembahasan RUU Otsus DPR-RI

Menurut Yusril Izha Mahendra19 yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri

Kehakiman dan HAM Republik Indonesia, dalam usulan rancangan yang masuk Prolegnas diperlukan hal-hal sebagai berikut :

1. Penyusunan peraturan perundang-undangan diawali dengan penelitian hukum dan penelitian kebijakan sebagai bagian hulu proses perencanaan peraturan perundang-undangan.

19 Tim BPHN http://bphn.go.id/prolegnas/index.php?action=info&info=prolegnas_history, tanpa tahun diakses 8 Febuari

2014

No Nama Anggota

1 Drs. Paul S. Baut Smf

2 Daniel Yoku

3 Endang Karman S.

4 Drs. Jacobus Kamarlo Mavang Padang 5 Drs. Utovo

6 Ir. Mindo Sianipar

7 Willem M. Tutuarim S.H. 8 Paulus Widiyanto

9 Matheos Pormes

10 Tjandra Widiaia 11 Panda Nababan 12 Ng. Sembiring 13 Dra. Budiningsih 14 lahar Harahap

15 Gunawan Wirosaroyo

16 Imam Soeroso

17 Dra. Sri Oetari Ratna Dewi 18 Drs. Marsudi Fandi Negara 19 H. Haryanto Taslam

20 Tjahjo Kumolo. S.H. 21 Ramson S., M.B.A

22 Rusman Lumbantoruan, B.Th 23 Firman Jaya Daely, S.H.

24 H. Muhammad Junus Lamuda, S.H. 25 Hj. Fauziah Abdullah


(32)

2. Proses pembuatan peraturan perundang-undangan di dahului dengan pembuatan naskah akademik yang merupakan hasil penelitian pada point 1 memuat konsep, teori, falsafah juga visi misi mengidentifikasi suatu rancangan undang-undang. 3. Peningkatan mekanisme partisipasi publik dalam proses penyusunan peraturan

perundang-undangan dalam kaitan pembahasan rencana legislasi nasional baik pusat maupun daerah.

4. Kerjasama antar isntansi atau antar lembaga terkait perlu ditingkatkan.

Rancangan Undang-Undang Otsus memiliki draft terlebih dahulu sebelum diusul dalam Prolegnas, hal ini ditegaskan dalam rangkaian pengaturan dengan Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara dan Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, di jawab dengan inisiatif yang berasal dari Gubernur dan DPRD Irian Jaya atas nama aspirasi rakyat Papua untuk mengajukan otonomi khusus.

Rapat Paripurna dimulai tanggal 19 Juli 2001 dengan agenda penjelasan usul inisiatif RUU Otsus Papua dan pengesahan pembentukan Panitia Khusus terhadap RUU Otsus Papua. Rapat tersebut dihadiri oleh pemerintah yakni Mentri Dalam Negeri Hari Sabarno dengan 249 dari 495 anggota DPR RI. Rapat paripurna tersebut dipimpin oleh Soetardjo Soerjogoeritno, dan penjelasan RUU Otsus diwakili oleh Simon Patrice Morin. Terdapat tiga hal pokok yang disampaikan dalam penjelasan RUU Otsus, Landasan Filosofi lahirnya Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus Irian Jaya Papua, lalu Proses Penyusunan RUU Otonomi Khusus Papua, dan


(33)

Sistematika dan lsi Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dalam Bentuk Wilayah Berpemerintahan Sendiri.

Proses pembahasan terangkai dalam empat kali rapat paripurna, enam kali rapat Badan Musyawarah atau BAMUS, dan empat kali pertemuan konsultasi antara DPR RI dengan pihak pemerintah. RUU tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dalam Bentuk Wilayah Berpemerintahan Sendiri terdiri atas 23 Bab dan 76 Pasal. Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dirumuskan dengan dilandaskan pada nilai dasar yang tetap bersumber pada pancasila dan UUD 1945, nilai-nilai yang dimaksud adalah;20

1. Perlindungan terhadap hak-hak dasar

penduduk asli Papua;

2. Demokrasi dan implementasi;

3. Penghargaan terhadap etika dan moral;

4. Penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia;

5. Supermasi hukum;

6. Penghargaan terhadap pluralisme; dan

7. Persamaan kedudukan, hak dan kewajiban

sebagai warga negara.

Terdapat pokok-pokok yang dibahas dalam RUU Otsus Papua, 1. Pembagian kewenangan Pusat dan Provinsi;

2. Tanggung jawab untuk men gurus diri sendiri; 3. Identitas provinsi Papua di dalam NKRI; 4. Perlindungan hak-hak penduduk asli;


(34)

5. Komitmen untuk melindungi, menegakkan dan menyelesaikan pelanggaran HAM serta mencegahnya di kemudian hari;

6. Penataan kembali pembangunan Papua dalam rangka meningkatkan mutu SDM Papua dan kesejahteraan rakyat pada umumnya;

7. Pemberdayaan rakyat; dan

8. Aktualisasi, pengawasan dan penegakan hukum dan demokrasi.

Nilai-nilai tersebutlah yang menjadi dasar pembahasan dan perumusan Undang-Undang Otsus Papua, seperti halnya yang di jawab oleh DPR bahwa,

Dalam merespon kondisi di Irian Jaya/Papua, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia telah bertindak arif dengan menetapkan Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2004, Bab IV huruf G. Pembangunan Daerah, angka 2, yang antara lain menyebutkan bahwa, "... mempertahankan integrasi bangsa di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Irian Jaya melalui penetapan Daerah Otonomi Khusus yang diatur dengan undang-undang dan menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia di Irian Jaya melalui proses pengadilan yang jujur dan bermartabat ... ". Melalui Ketetapan MPR RI Nomor IV /MPR/2000, tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Bagian III. Rekamendasi, angka 1, ditegaskan bahwa; ... "Undang-undang tentang Otanomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh dan Irian Jaya, sesuai amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPRI/999 tentang GBHN Tahun 1999-2004, agar dikeluarkan selambat-Iambatnya 1 Mei 2001 dengan memperhatikan aspirasi masyarakat daerah yang bersangkutan".21

Sidang Paripurna tersebut menetapkan 50 anggota Panitia Khusus atau selanjutnya disebut dengan Pansus yang akan menangani pembahasan RUU Otsus Papua dengan Sabam Sirat yang terpilih sebagai ketua Pansus, Ferry Mursyidan Baldan, H.M Thahir Saimima dan Effendy Choirie sebagai wakil ketua Pansus RUU Otsus Papua, melalui Keputusan Pimpinan DPR RI Nomor 112/PIMP/IV/2000-2001


(35)

tentang Penetapan Pimpinan Panitia Khusus DPR RI Mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Irian Jaya dan Keputusan DPR RI

Nomor: 60/DPRRI/IV/2000-2001 tentang Pembentukan Panitia Khusus DPR RI mengenai Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Daerah Irian Jaya antara lain:

DAFTAR NAMA-NAMA ANGGOTA PANITIA KHUSUS

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI IRIAN JAYA

Fraksi No Nama

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan

1 R.K. Sembiring Meliala 2 Sabam Sirait

3 Alexander Litaay

4 Prof. Dr. Dimyati Hartono. S.H. 5 Drs. Paul Baut

6 Pdt. Lukas Sabarofak

7 Daniel Yoku

8 Lukas Karl Degey

9 Pataniari Siahaan

10 Hj. Tumbu Saraswati. S.H. 11 Drs. Marsudi Fandinegara 12 lrmadi Lubis

13 Peter Sutanlo

14 Matheos Pormes

15 Paulus M. Saul De Ornay

Partai Golongan Karya

16 Drs. Ferry Mursyidan Baldan 17 Drs. T.M. Nurlif

18 GBPH. H. Joyokusumo

19 M. Akil Mochtar, S.H. 20 Drs. J.M. Nailiu

21 Prof. Dr. H. Paturungi Parawansa 22 Drs. Jasin Baruadi Idango Cono 23 Ny. Marthina Mehue Wally, S.E. 24 Ir. S.M. Tampubolon

25 Alex Hesegem

26 Drs. Ruben Gobay


(36)

Partai Persatuan Pembangunan

28 H. Syafriansyah. B.A. 29 H.M. Thahir Saimima, S.H. 30 Ny. Hj. Nurdahri Ibrahim Nain 31 H.M. Syaiful Rachman, S.H. 32 H. Chairul Anwar Lubis 33 H. Alimarwan Hanan, S.H.

Kebangkitan Bangsa

34 Dr. K.H. Ma'ruf Amin 35 KH. Hanif Muslih, LC. 36 Effendy Choirie, S.Ag. 37 H. Rodjil Ghufron AH, S.H. 38 Drs. Susono Yusuf

Reformasi

39 Dr. Ahmad Farhan Hamid, MS

40 Drs. H. Rahman Sulaiman, M.B.A 41 H. Mutammimul U'la, S.H.

42 Drs. Ir. H.T. Syaiful Ahmad, BMuE

TNI/POLRI

43 Drs. P.L. Tobing 44 Yahya Sacaawirya

45 Bachrum Rasir

46 Christina M. Rentetana. S.K.M. M.P.H

Partai Bulan Bintang 47 Hamdan Zoelva, S.H.

Kesatuan Kebangsaan

Indonesia 48 Drs. Anthonius Rahail

Perserikatan Daulatul Ummah 49 Sayuti Rahawarin Partai Demokrasi Kasih

Bangsa 50 Prof. Dr. Ing. K. Tunggul Sirait

Sumber : Risalah sidang pembahasan RUU Otsus DPR-RI

Agenda tersebut dilanjutkan dengan surat ketua DPR RI Akbar Tandjung kepada Presiden terkait RUU Otsus tertanggal 21 September 2001, beserta dengan draft RUU Otsus Papua dan penjelasan. Perumus RUU Otsus Papua dilakukan dalam forum kerja berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat atau LSM, kalangan cendikiawan dan intelektual juga Kongres II Papua. Pergolakan internal wilayah Papua juga terus bergejolak dikarenakan hal ini tetap menjadi sensitif kelompok yang masih berkeinginan memisahkan diri dengan NKRI. Seperti yang dikutip dalam risalah


(37)

pembahasan RUU Otsus bagi Papua dengan agenda Rapat Dengar Pendapat Umum ke-1 s/d ke-5 tanggal 27 Juli s/d 26 September 2001 yang diantaranya;

1. Rapat Dengar Pendapat Umum Ke-1 Tanggal 27 Juli 2001

Terdapat dua agenda dalam Rapat ini yakni mendengar keterangan Tim Asistensi Papua dan pengesahan jadwal acara serta mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang Otsus Papua. Perwakilan Papua diwakili oleh berbagai elemen dan menjelaskan urgensi serta konsep otonomi khusus yang diinginkan rakyat Papua seperti yang ditegaskan oleh perwakilan Papua seperti berikut:

Pak Rektor kita melihat bahwa pada saat ini ada juga sekelompok masyarakat Papua yang tidak menerima otonomi khusus dan mereka menyampaikan aspirasi untuk merdeka, ini bagaimana?

 Definisi otonomi itu yang benar, definisinya yang salah di sini. Definisi yang di sini itu pro adalah ikut Republik Indonesia, menolak adalah pisah dari Republik Indonesia. Definisi itu keliru. Definisi yang benar mengenai otonomi menurut ilmu pengetahuan definisi adalah kebebasan untuk mengurus diri sendiri, itulah otonomi. Jadi rakyat di sini memang dari awal bertolak dari definisi yang salah.

 Masyarakat memahami arti pentingnya otonomi khusus ini dalam rangka memperjuangkan hak-hak mereka. Masalahnya adalah ada salah pengertian, ada p,ersepsi-persepsi yang keliru terhadap pola pikir yang keliru yang harus kita luruskan, pertama sekali pada masyarakat di tingkat bawah, di tingkat desa - desa, kampong - kampung dan mudah-mudahan melalui penjelasan-penjelasan baik secara umum di gedung pertemuan maupun secara khusus di pertemuan yang lebih kecil untuk Saudara-saudara yang agak keras.

Rancangan Undang-Undang Otsus bagi Papua muncul dengan dilatarbelakangi oleh permasalahan serta konflik berkepanjangan antara Papua dengan pemerintah pusat (pihak Papua), sehingga diperlukan metode khusus untuk menjalin hubungan yang saling komunikatif dan menjaga setiap aspirasi rakyat Papua.

Yang pertama, adalah perlindungan hak-hak dasar penduduk asli, dan ini pun sejalan dengan salah satu butir hasil Kongres II Papua, kemudian yang menyangkut demokrasi dan kedewasaan berdemokrasi yang kita ketahui


(38)

bahwa sesungguhnya masyarakat adat di seluruh tanah air termasuk di tanah Papua telah mengenal cara-cara berdemokrasi yang baik. Dan masalahnya adalah bagaimana demokrasi yang hidup dalam masyarakat itu dapat berkembang ke arah yang lebih dewasa dan ini juga menjadi salah satu pemahaman dasar kami dalam men coba merumuskan hal-hal yang menyangkut kepentingan di daerah itu. Kemudian penghargaan terhadap etika dan moral, seperti saya katakan tadi bahwa pada akhirnya masyarakat Papua sesungguhnya melihat para pemimpin formal tidak lagi atau kurang memperlihatkan etika dan moral kepemimpinannya sehingga sebagaimana kita ketahui kami di sana menyaksikan masyarakat Papua justru lebih percaya pada pemirnpin informal, pirnpinan lernbaga adat dan juga pirnpinan-pirnpinan dari lembaga keagamaan. Dan ini justru akan merugikan apabila kepercayaan itu tidak dikernbalikan kepada Pemerintah. Penghormatan terhadap HAM merupakan salah satu hal yang sangat didambakan dan ini juga merupakan suatu hasil dari Kongres II Papua, tentu saja dari seluruh lapisan masyarakat karena berdasarkan pengalaman sebelumnya sejak daerah itu dan masyarakat Papua kembali berintegrasi dalam NKRI. Penegakan hukum dan supremasi hukum

sebagaimana juga dialami di daerah lain mungkin secara khusus merupakan salah satu keperluan utama di daerah kami di tanah Papua.

Penghargaan terhadap pluralisme juga merupakan salah satu aspek yang penting karena pada akhirnya secara nasional sebagai suatu bangsa rnernang pluralisrne itu penting kita jadikan salah satu pegangan dalam berbangsa, bemegara, dan bermasyarakat. Berdasarkan nilai-nilai filosofis tadi, maka tim kami berupaya untuk menjabarkan di dalam bab-bab dan pasal yang termuat di dalam RUU ini, ada 23 bab dan 76 pasal. Pokok-pokok ini meliputi pengaturan dan pembagian kewenangan Pusat dan Provinsi, identitas Provinsi Papua, perlindungan hak-hak penduduk asli, penyelesaian pelanggaran HAM, pelaksanaan pembangunan Papua. Pembagian kewenangan Pusat dan Provinsi terutama dalam pasal yang berkaitan sesuai dengan tujuan dari otonomi khusus ini maka ada kewenangan-kewenangan Pemerintah Pusat dan kewenangan-kewenangan Pemerintah Provinsi dan ada kewenangan-kewenangan Pemerintah Kabupaten dan Kota. Pasal-pasal yang menyangkut kewenangan-kewenangan ini juga jelas menunjukkan tentang pembagian Pusat dan Daerah itu. Penataan kembali Papua dalam rangka peningkatan mutu SDM dan kesejahteraan rakyat bagi kami dari tim perumus sesungguhnya ini adalah salah satu yang merupakan fokus utama dari RUU ini. Ketertinggalan masyarakat Papua, ketertinggalan daerah Irian Keputusan dari Rapat Dengar Pendapat Umum Ke-1 oleh para anggota rapat terdapat tiga hal, yakni :


(39)

1. Pansus memutuskan menyetujui Rancangan Jadwal Acara Rapat Pansus, dengan catatan sewaktu-waktu dapat diubah sesuai dengan kesepakatan. 2. Pansus memutuskan bahwa pada setiap pelaksanaan rapat, diharapkan

perwakilan Tim Asistensi Otonomi Khusus Papua untuk menghadirinya. 3. Berkaitan dengan saran anggota Pansus tentang permasalahan yang timbul di

salah satu Kecamatan, Kabupaten Manokwari, Pansus memutuskan menugaskan kepada salah satu Anggota Pansus dari PDI Perjuangan (R.K Sembiring Meliala) untuk menyampaikan masalah tersebut kepada Menteri Koordinator Politik, Sosial dan Keamanan agar dapat segera diselesaikan. 2. Rapat Dengar Pendapat Umum Ke-2 Tanggal 28 Juli 2001

Rapat ini dianggendakan untuk mendengar pendapat umum dari para pakar, yakni Professor Selo Soemardjan (Pakar Sosiologi), Professor Ryaas Rasyid (Pakar Otonomi Daerah), Dr. Todung Mulya Lubis (Pakar Hukum) dan Professor Mubyarto (Pakar Ekonomi Kerakyatan). Selo Soemardjan membacakan lebih dahulu pandangannya terkait RUU Otsus Papua, yang dalam hal ini Ia lebih banyak mengarahkan pembicaraan pada latarbelakang munculnya keinginan otonomi khusus dan permasalahan mendasar yang belum terselesaikan, seperti dikutip dalam risalah rapat dengan pendapat yakni:

(Motivasi Pertama) Setelah saya membaca bahan-bahan ini, RUU otonomi, saya melihat pertama-tama, kok kenapa sih masyarakat Irian Jaya itu bersemangat benar untuk mendapat otonomi khusus malahan kalau bisa menjadi, negara merdeka lepas dari Republik Indonesia. Itukan sejarahnya demikian. Apa sebabnya? Saya cari-cari itu motivasinya ada 4 (empat) macam, yaitu seperti yang tersebut di dalam konsiderans dari RUU ini, konsiderans f dan g. Konsiderans kalau saya cari itu kok selalu tidak ketemu-ketemu ya. Nah dalam konsiderans f dan g, f menyatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di tanah Papua selama ini belum menjawab seluruh aspirasi masyarakat, belum memenuhi


(40)

rasa keadilan,belum memungkinkan tercapainya kesejahteraan seluruh rakyat, belum mendukung terwujudnya penegakan hukum, belum menampakkan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia Papua.

(Motivasi Kedua) Selanjutnya tadi disebut hasil pelurusan sejarah pada Pasal 43. Pasal 43 itu mengatakan, dalam rangka penyelesaian secara tuntas dan menyeluruh perbedaan pendapat mengenai sejarah integrasi Papua ke dalam Republik Indonesia dibentuk Komisi Pelurusan Sejarah Papua (KPSP). Pengaturan pelaksanaan tugas dan pembiayaan komisi tersebut di atas diatur dengan Peraturan Provinsi. Jadi yang bikin ini provinsi

sendiri. Nah kalau saya menangkap apa yang diterangkan kepada saya oleh mereka yang membawa ini kepada saya, maka mereka itu mengakui bahwa integrasi Papua ke dalam Republik Indonesia itu didasarkan atas keputusan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) setelah mendengarkan laporan tentang Pepera di Indonesia, kalau tidak salah tahun 1969.

(Motivasi Ketiga) Selain daripada itu motivasi yang ketiga itu adalah pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia (HAM) oleh ABRI, waktu ABRI di daerah Irian Jaya dulu harus menanggapi kegiatan-kegiatan, operasi-operasi bersenjata oleh OPM. Nah ini tampaknya dari pembicaraan-pembicaraan saya dengan, tokoh-tokoh di Irian Jaya tampaknya ini di dalam kalangan rakyat sana itu mendalam sekali pelanggaran-pelanggaran HAM itu. Oleh karen apa, oleh karen a mereka itukehilangan bapaknya, kehilangan saudaranya, kehiIangan kawannya, kehilangan rumahnya selama ada operasi bersenjata antara ABRI dan OPM itu tadi. Ini rasa dendam ini selalu harus diperhatikan, tidak bisabegitu saja kita anggap sepi.

(Motivasi Keempat) Selanjutnya yang keempat, yang menjadi motivasi adalah adanya kesenjangan sosial antara p<l;ra penduduk setempat,

pen~uduk asli, penduduk Papua dan para penduduk pendatang. Nah jadi

gampangnya begini bahwa banyak penduduk pendatang yang menempatkan diri di Irian Jaya, banyak itu dari Buton dan dari Makasar, dan daerah Sulawesi Selatan, itu disana banyak yang masuk di dalam ekonomi di bagian rendah, di pasar-pasar atau sebagai buruh kasar, begitulah. Nah itu merupakan suatu kongkurensi, persaingan dengan tenaga-tenaga kerja di daerah sendiri atau di dalam ekonomi kerakyatan di daerah sendiri. Dan kalau dilihat kenyataannya penduduk daerah setempat itu terdesak atau kalah dalam. saingan ekonomi. Nah ini menimbulkan suatu kesenjangan sosial yang di dalam ini disebut bahwa mereka jtu merasa amat tidak senang dengan keadaan yang demikian itu. Akan tetapi, mereka juga, mengakui bahwa kalau dibanding pengalaman hidup atau pendidikan atau ketrampilan di dalam urusan-urusan yang moderen itu mereka masih kekurangan tenaga yang trampil atau kekurangan tenaga yang berpendidikan.

Selanjutnya Pakar ekonomi kerakyatan memberikan pandangannya terkait ketertinggalan ekonomi di Papua dan kegagalan beberapa program yang dijalankan di


(41)

tanah Papua, Murbyanto pun memberikan beberapa gagasan terkait hal tersebut yang terangkum dalam pembacaan keterangan pendapat umum dari para pakar sebagai berikut:

Apa yang dimaksud pendekatan partisipatif, kegiatan kaji-tindak

empat kecamatan di Jayawijaya yang sudah berjalan 16 bulan pada tahun 1998 itu dimaksudkan untuk meningkatkan kesiapan masyarakat desa tertinggal untuk memacu kegiatan ekonorni mereka untuk tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan baik di dalam pertaniannya, dalam peternakannya dalam perikanannya maupun di dalam kerajinannya. Sasaran Program IDT22 dalam

pengembangan perekonomian rakyat Irian Jaya adalah agar dalam sepuluh tahun misalnya setiap keluarga maupun memproduksi surplus hasil pertanian, peternakan dan perikanan yang dapat dipasarkan. Tidak saja menutup anggaran pemenuhan kebutuhan dasarnya tetapi juga ada sisa atau ada tabungan bagi pemenuhan pendidikan anak-anak, kesehatan dan kebutuhan-kebutuhan darurat seperti kekeringan pada tahun 1997. Sasaran yang tampak sederhana ini membutuhkan dukungan pembangunan sektoral dan pembangunan regional yang tidak sederhana, misalnya dalam penyediaan berbagai macam bibit pertanian, peternakan, perikanan dalam teknologi pengolahan atau pengawetan hasil. Di dalam teknologi penyimpanan dan tentu saja dalam teknologi pemasarannya. Sudah cukup lama sebenarnya LIPI mempelopori pengembangan tananian komoditi yang cocok untuk diusahakan, termasuk teknologinya tetapi hasilnya belum· memadai, misalnya desa pegunungan di Apoyoma di Kecamatan Kurima yang kami kunjungi baru mengenal tanaman-tanaman sayuran seperti wortel, bawang merah dan bawang putih, kacang-kacangan dalam lima tahun terakhir. Dimulai tahun 1993 baru dikenal dan itupun akhirnya terhambat oleh pemasaran hasilnya. Pembangunan partisipatif yang mengundang penduduk setempat terlibat langsung di dalamnya dan kemudian melanjutkannya sendiri memerlukan bantuan dan dukungan pemihakan sepenuh hati dari semua pihak. Baik dari LSM, gereja-gereja, pergurnan tinggi setempat maupun tentu saja pemerintah daerah. Jika kita mengatakan ketertiban atau kepedulian pihak-pihak luar ini masih memprihatinkan maka berarti masih ada jarak antara warga desa dengan warga luar desa. Dalam pembangunan yang bersifat partisipatif, jarak ini mutlak harns dihilangkan, yang berarti pihak-pihak Iuar yang bertekad membantu penduduk desa yang miskin harns ajer-ajer. Ajer-ajer itu jadi satu, mencair atau menyatu dengan warga masyarakat secara berkelanjutan fisik maupun kejiwaan, apabila dalam kenyataan setelah berbagai kebijaksanaan dan program pembangunan pedesaan diluncurkan toh kondisi kesejahteraan penduduk pedalaman Irian Jaya masih tetap amat rendah, patut kita bertanya apanya yang kurang? apanya yang keliru ? Dan apabila ada kekeliruan kebijaksanaan atau program-programnya mengapa hal ini berlangsung berkepanjangan, harns kita teliti. Strategi atau pendekatan yang benar yang mampu mengubah kondisi kehidupan penduduk Irian Jaya menjadi jauh lebih baik, yang tidak tertinggal dengan


(42)

saudaranya di daerah lain sudah semestinya kita kuasai setelah pengalaman 35 tahun merdeka. Irian Jaya memang merdekanya terbelakang dibandingkan dengan bagian lain di Indonesia dan ini harus diterapkan. Saya kira dengan membaca ini, saya betul-betul tidak menyiapkan diri lagi setelah tiga tahun tidak mengikuti saya kaget, itupun hari Minggu yang lalu diminta hadir di sini kalau saudara semua sudah terlibat di RUU Aceh. Pak Ryaas Rasyid memang orang Jakarta yang tiap hari berkecimpung dalam hal otonomi ini, jadi saya tidak punya bahan baru tetapi buku ini kami susun tiga tahun lalu sebagai hadiah ulang tahun, pada halaman pertama, buku ini adalah hadiah ulang tahun kemerdekaan RI kepada penduduk miskin Irian Jaya dan para pejuang pendampingnya dimanapun berada. Sampai hari ini, tiga tahun kami kirim dua ratus kopi waktu itu ke sana. Bapak-bapak dari Irian itu pemah membaca buku ini. Ini juga suatu masalah bagaimana republik ini kok bisa kami bekerja sungguh-sungguh di sana melapor seperti ini tetapi hasilnya juga tidak sempat dibaca. Yang salah dimana kami tidak tahu.

Dilanjutkan dengan penjelasan Ryaas Rasyid yang memberikan pandangan langsung dalam perspektif kajian otonomi daerah, pendapat yang dikemukakan adalah sebuah dasar pijakan otonomi khusus di Indonesia dan menjelaskan pengalaman sejarah otonomi khusus serta kebijakan keinginan dari pemerintah terkait provinsi terujung Indonesia ini,

Otonomi khusus Irian dan Aceh itu adalah sesuatu yang tidak bisa dihindarkan bahkan saya pemah berpendapat seandainya dua provinsi menjadi negara bagian sayapun tidak berkeberatan, karena memang itu sesuatu yang harus kita jawab bahwa waktu yang cukup lama ada perlakuan yang tidak adil pada dua provinsi itu. Kita yang hadir di sini terpaksa memikul dosa-dosa yang dilakukan oleh orang-orang dulu di sana. Terpaksa kita pikul itu. J adi memang ini saya kembangkan suatu teori tentang apa yang disebut sebagai assymetric federalis

sehingga kita memberikan kesempatan kepada daerah untuk membuktikan bahwa dia bisa berbuat banyak bagi masyarakatnya. Tapi alhamdulillah Aceh dan Irian sepakat untuk otonomi khusus, suatu hal yang sebenamya sangat baik dan sangat memberikan peluang, baik bagi republik maupun pemerintah daerah untuk membuktikan bahwa kita sungguh-sungguh, mempunyai niat baik untuk memajukan masyarakat setempat. Dan khusus untuk Aceh dan Irian itu adalah untuk mengembalikan harga diri mereka dan juga untuk mengkompensasi berbagai rupa kegagalan yang selama ini menyertai perjalanan kita bersama sebagai pemerintahan dan bangsa Indonesia.

Mengenai mengenai kebijaksanaan affirmative, soal dalam kurun waktu tertentu, kalau kita membicarakan mengenai ini, saya kira sangat baik atau ditentukan, katakanlah secara tepatnya untuk setiap investasi di Irian atau di Papua harus ada


(43)

sekian persen dari karyawan yang direkrut dari perusahaan yang bersangkutan, tentukan saja begitu. Bila sudah dibahas di Jakarta dan tiba-tiba keluar peraturan Provinsi lagi kita tidak tahu lagi, entar 90% lagi repot kita. Saya kira itu mendistrasi investasi begitu, kalau kita bicara affirmatif ini perjelas saja Pak, misalnya sektor pemerintah berapa persen mutlak, sektor swasta berapa persen mutlak, karena apa? karena affirmative itu juga bukan akomodasi tujuannya adalah mendidik mereka supaya dia kualified untuk pekerjaanpekerjaan yang diambil itu sebagai haknya Pak. Jadi ditentukan sepertinya sepuluh yang masuk sepuluh tanpa kualifikasikan itu report. Nah itu kalau itu perusahaan swasta memerlukan tenaga kerja sekian, dan sekian persen orang Irian sekaJigus perusahaan itu tahu kewajiban mereka mendidik tenaga kerja orang Irian itu berapa lama dan untuk keahlian apa? Ini saya yang penting, kalau kita bicara mengenai afirmative action. Soal transmigrasi tegas sekali dikatakan, ini ditiadakan tergantung kesepakatan. Saya berulang-ulang mempertahankan ini. Kemudian Pasal 75 ini yang paling serius buat saya ini dari semuanya ini. Yang paling serius adalah Pasal 75, saya mau tanya ini Pasal 75 ini Pak, selama 5 tahun undang-undang ini diundangkan dan ternyata tidak dapat dilaksanakan secara efektif maka rakyat Papua melalui Parlemen Papua minta kepada MPR RI agar bersidang dan seterusnya. Yang melaksanakan undang-undang ini kan Bapak, bukan Pemerintah Pusat. Yang melaksanakan pemerintah Provinsi Papua, nah kalau Bapak tidak melaksanakan sendiri dan secara tiba-tiba ada alasan untuk merdeka, itu bisa merdeka tahun depan Pak. Jadi kesepakatannya karen a punya alasankan. Jadi saya kira perlu dikoreksi kalimatnya ini. Mestinya pasal ini berbunyi begini, setelah 5 tahun undang-undang ini diundangkan dan ternyata tidak dapat dilaksanakan secara efektif maka pemerintah pusat mencabut kembali undang-undang ini, mestinya begitu Pak. Ini Bapak yang melaksanakan dan tidak melaksanakan kok malah, memisahkan diri bagaimana? Jadi saya kira kalimatnya hams diperbaiki ini komitmen kita bagaimana ini sukses tidak usah pakai ngancam-ngancam begini. Ini bisa dieksploitasi oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab Pak. Saya tidak percaya orang Irian ekstrim seperti itll. Jadi ini pelaksanaannya adalah tanggungjawab pemerintah daerah justru pemerintah pusat mengawasi pelaksanaan undang-undang ini. Inikan produk nasional yang bertanggungjawab mengawasi pelaksanaannya adalah pemerintah nasional Pak. Bapak dilaksanakan atau tidak janganjangan 80% itu tidak dipergunakan untuk rakyat kan bisa begitu, jangan-jangan pengadilannya sewenang-sewenang, diskriminatif dan sebagainya kan begitu, jangan-jangan ekonominya diskriminatif memsak alam dan Iingkungan dan setemsnya. Itu pengawasan tetap pemerintah pusat Pak. Yang menerima sanksi Bapak bukan. pemerintah pusat yang menerima sanksi, karena Bapak tidak melaksanakan dengan baik. Saya kira demikian pendapat saya. Saya mohon maaf karena saya terlalu cinta dengan Irian. Padahal sejujurnya lah dan itu Bapak bisa periksa sebetulnya trackrecord, saya selalu memihak kepada kepentingan Irian, tapi demi kepentingan bersama salah satu bangsa, saya harus katakan apa adanya.


(1)

Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999 pada dasarnya mengamanatkan tiga hal yakni:

1. Bahwa Otonomi Khusus bagi Irian Jaya yang diatur dengan undang-undang harus diterapkan untuk mempertahankan integrasi bangsa di dalam NKRI;

2. Otonomi Khusus bagi Irian Jaya berarti bahwa keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat harus dapat diakomodir dengan sebaik-baiknya; dan

3. Diakui bahwa telah terjadi pelanggaran HAM di Irian Jaya dan karenanya harus diselesaikan melalui proses peradilan yang jujur dan bermartabat.

RUU Otsus Papua yang diusulkan oleh rakyat Papua dan dibawa pada legislative merupakan pengejawantahan dari ketetapan MPR tersebut, permasalahan fundamental dari keinginan untuk merdeka dan peningkatan kesejahteraan diakomodir dengan pemberian otonomi khusus sebagai cara menjaga keutuhan NKRI dan peningkatan kesejahteraan sosial. Pemerintah lewat wawancara peneliti menegaskan bahwa otonomi khusus adalah jawaban dari peminimalisiran kehendak ingin merdeka. Diterimanya usul rakyat Papua yang diwakili oleh Tim Asistensi kepada DPR RI tidak hanya didasarkan pada amanat langsung TAP MPR namun juga konflik yang terjadi selama dekade terakhir tidak pernah terselesaikan menjadi faktor utama RUU Otsus masuk dalam Prolegnas 2000 s/d 2004.


(2)

Bidang perekonomian Pasal 38 s/d 42, bidang pendidikan dan kebudayaan Pasal 56 s/d 58, bidang kesehatan Pasal 59 s/d 60, bidang kependudukan dan ketenagakerjaan Pasal 61 s/d 62, bidang lingkungan hidup Pasal 63 s/d 64, dan; bidang sosial Pasal 65 s/d 66 UU Otsus Papua. Bidang ini menjadi pusat program atas aliran dana Otsus yang diberikan kepada pemerintah setempat, terdapat enam kewenangan khusus yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua dan Papua Barat. Sejak tahun 2002 hingga 2008 terdata indeks pembangunan Manusia di wilayah Papua dan Papua Barat masih sangat terbawah, sekalipun pemasukan dananya lebih besar daripada daerah lainnya.

Pelaksanaan kewajiban terkait pendidikan tersebut, telah diterbitkan peraturan daerah propinsi (Perdasi) Nomor 5 Tahun 2006 tentang Pembangunan Pendidikan di Papua yang berisi diantarannya menyangkut :

1. Hak atas pendidikan pola khusus bagi setiap orang Papua.

2. Kewajiban setiap orang tua di Papua untuk menyekolahkan anak serendah-rendahnya pada jenjang pendidikan dasar.

3. Hak masyarakat dari keluarga ekonomi lemah dan tidak mampu membiayai pendidikan serta memiliki kemampuan akademik untuk mendapatkan biaya pendidikan dari Pemerintah dan Pemda.

4. Hak Pendidik dan tenaga pendidik yang bekerja di daerah terpencil untuk menerima gaji, pensiun, tunjangan fungsional, tunjangan daerah terpencil serta tunjangan lain.


(3)

5. Pendidikan berasrama atau semi asrama yang diberikan ruang untuk menyesuaikan dengan kebutuhan, lingkungan dan usia dan mengakui atau menghormati tradisi dan kebudayaan masyarakat setempat.

6. Peran pemerintah kampung dan lembaga adat dalam membina dan mengembangkan pendidikan kearifan lokal.

7. Penetapan bahasa inggris sebagai bahasa wajib kedua di lembaga-lembaga pendidikan formal.

Bidang kesehatan di wilayah Papua dan Papua Barat alami perkembangan setelah dan sebelum Otsus, namun demikian masalah kesehatan di Papua masih belum tertanggani secara baik akibat pelayanan kesehatan yang belum memuaskan dengan minimnya sarana pelayanan dan alat–alat kesehatan mulai dari Puskesmas hingga setingkat Rumah Sakit. Provinsi Papua, dengan wilayah yang cukup luas dan kondisi geografis yang cukup sulit, memerlukan dukungan sarana kesehatan yang memadai. Dengan rata-rata jarak dari provinsi ke kabupaten yang cukup jauh, diperkirakan biaya biaya rata-rata perjalanan dari provinsi ke kabupaten berkisar Rp. 4.252.000,-, Sementara rata-rata biaya diperlukan dari Puskesmas ke desa berkisar Rp 1.044.000,-. Situasi ini jelas memperlihatkan perlunya mendekatkan sarana-sarana pelayanan kesehatan pada masyarakat, salah satunya untuk menurunkan biaya yang harus ditanggung masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.54 Penambahan dalam sarana prasarana kesehatan belum berdampak signifikan dengan luas wilayah yang sangat besar Papua


(4)

membutuhkan pertumbuhan lebih cepat guna mendekatkan pelayanan kesehatan pada lini masyarakat.

Bidang lingkungan hidup Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pelestarian Lingkungan Hidup. Substansi pengelolaan lingkungan hidup yang diatur dalam kebijakan tersebut,

1. Kewenangan dan Tanggung jawab Pemerintahan Daerah; 2. Peran serta masyarakat;

3. Hak dan Kewajiban;

4. Inventarisasi dan Perencanaan; 5. Pemulihan lingkungan;

6. Kearifan lokal; 7. Perizinan;

8. Pengendalian dan pengawasan; 9. Penyelesaian sengketa;

10. Penghargaan; dan 11. Sanksi administrasi.

Bidang ekonomi menjadi dasar dari pemberlakuan kewenangan khusus, melalui peraturan daerah dalam peningkatan infrastruktur, pemodalan dan industri hadir, bidang ekonomi menjadi titik berat penilaian terhadap penggunaan keuangan otonomi khusus dalam mencapai peningkatan kesejahteraan.

Permasalahan kependudukan tergambar bahwa orang asli Papua sebagai penduduk tetap di wilayah Provinsi Papua mengalami pertumbuhan


(5)

yang sangat lambat dan memprihatinkan karena tidak adanya kebijakan pembangunan di bidang kependudukan yang memberikan perlindungan terhadap keberadaan orang asli Papua namun demikian kebijakan akan pembatasan masuknya orang luar Papua (Perdasi Nomor 15 Tahun 2008) justru menimbulkan kontraproduksi dengan tujuan penyusunannya ditambah dengan rendahnya kualitas masyarakat dan tingkat pendidikan orang asli Papua sehingga produktifitas dan kemampuan daya saing masyarakat asli Papua kurang dibandingkan para pendatang.55 Permasalahan kependudukan erat berhubungan dengan bidang ketenagakerjaan, peraturan untuk tidak memperbolehkan orang asli Papua bekerja sekaligus bertransmigran menjadi konsep baru di Provinsi Papua, hal ini cukup menyulitkan dalam tataran kewajiban pemerintah mengawal dan mendampingi, program transmigran merupakan salah satu metode mempercepat peningkatan kapasitas yang senyatanya di tolak oleh Papua dan Papua Barat.

Pada bidang sosial dapat dilihat dari penjelasan IPM Papua dan Papua Barat yang masih berada di nomor akhir dibandingkan wilayah lainnya. Angka kemiskinan yang tinggi juga permasalahan kesejahteraan sosial yang terus mendatangi belum dapat ditangani secara optimal dengan terdapatnya data rendahnya indeks pembangunan di Papua dan Papua Barat selama kurun waktu 2002-2008.


(6)