Integrasi Papua BAB IV Pembahasan dan Hasil Penelitian: Otonomi Khusus Papua

Pemberian otonomi khusus pada Papua merupakan sebuah kebijakan yang dipersepsikan win-win solution oleh pemerintah, pergerakan saparatis dapat diperlemah dengan otonomi khusus yang diharapkan akan meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua. 8 Kehadiran otonomi khusus pun dikritisi sebagai wujud memperlemah pemerintah pusat, hubungan daerah dan pusat sebatas dalam tataran perimbangan keuangan, latar belakang politik kebijakan dan kepentingan menjadikan terus bergesekkannya kewenangan pusat dan daerah. 9 Dapat terlihat dari beberapa perkara yang masuk di Mahkamah Konstitusi terkait Sengketa Kewenangan Lembaga Negara atau SKLN antara KPUD Aceh dan pusat yang didapati sebuah konflik kewenangan, dan permasalahan ini dapat memberikan gambaran pada pelaksanaan otonomi khusus pada Papua. Hal ini dimaknani sebagai penghambat stabilitas negara dalam memperlancar peningkatan pembangunan.

1.1 Integrasi Papua

Papua memiliki sejarah panjang dalam proses terintgrasinya dengan Indonesia, berada pada letak pulau tertimur Indonesia dan memiliki heterogenitas lebih dari 250 suku membuat wilayah Papua sulit terakses dalam setiap implikasi kebijakan pemerintah pusat. Perundingan integrasi Provinsi Irian Barat terjadi pada tanggal 15 Agustus 1962 melalui perjanjian New York dan pada tanggal 1 Oktober 1962 Administrasi Nederlands New Guinea dialihkan kepada Pemerintahan sementara PBB United Nation Temporary Excecutive Authority UNTEA. Perundingan tersebut menjadi dasar Indonesia menyepakati metode integrasi Irian Barat melalui pemberian Hak Penentuan Nasib Sendiri atau Self Determination kepada rakyat penduduk asli Papua. Hak Penentuan 8 Informasi dari hasil wawancara dengan Kasubdit Otsus Wilayah II Kemendagri 20 Januari 2014. 9 Informasi dari hasil wawancara dengan Wantimpres 20 Januari 2014. Nasib Sendiri Papua dibuat dengan metode Penentuan Pendapat Rakyat yang selanjutnya disebut dengan Pepera pada tahun 1969 dengan lebih dahulu membentuk Dewan Musyawarah Penentuan Pendapat Rakyat atau selanjutnya disebut DPM. Hasil resmi yang disiarkan secara internasional, bahwa terdapat 1.024 wakil-wakil orang Irian memilih bergabung dengan Indonesia. 10 Hasil Pepera tersebut mengakibatkan terintegrasinya Provinsi Irian Barat dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang disahkan dalam Laporan Utusan PBB Resolusi 2504 tentang Hasil Pepera 1969. Dibawah pemerintahan Presiden Soeharto Provinsi Irian Barat berganti nama menjadi Provinsi Irian Jaya dan resmi menjadi provinsi ke-26 di Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963 melalui Penetapan Presiden atau selanjutnya disebut Penpres Nomor 1 Tahun 1963 untuk Provinsi Papua yang berkedudukan di Jayapura. Perspektif politik yang ditulis dalam kajian kedinamikaan sejarah Papua merasakan ketidakvalitan suara 1.024 wakil orang Irian dari lebih dari 1.024 penduduk Irian, pemerintah Indonesia menggunakan metode perwakilan yang dipilih dengan alasan wilayah yang luas dengan penduduk yang masih bersifat primitif pada saat itu dan menyulitkan mengintegrasi seluruhnya. Integrasi nasional pada hakikatnya adalah Pengertian bersatunya suatu bangsa yang menempati wilayah tertentu integrasi dalam sebuah negara yang berdaulat. Realitas nasional integrasi nasional dapat dilihat dari aspek politik, lazim disebut integrasi politik, aspek ekonomi integrasi ekonomi, saling ketergantungan ekonomi antardaerah yang bekerjasarna secara sinergjs, dan aspek sosial budaya integrasi sosial budaya, hubungan antara suku, lapisan dan golongan. 11 Risalah sidang UU Otsus yang diterbitkan oleh DPR RI, dalam dialektika tim khusus Papua menyebutkan untuk memberikan ruang 10 Widjojo dkk, Op.,cit. Halaman 3. 11 Agustina Magdalena Djuliati Suroyo, Integrasi Nasional dalam Perspektif Sejarah Indonesia Sebuah Proses yang Belum Selesai, Pidato Pengukuhan Guru Besar Undip 2002. Halaman 2. pembenaran sejarah integrasi yang belum selesai dalam UU Otsus sebagai kerangka pengetahuan. Hal tersebut ditolak oleh dewan karena dianggap akan memunculkan konflik dikemudian hari dan tidak memiliki relevansi dengan konsep otonomi khusus. Agustina Magdalena Djuliati Suroyo 12 membagi integrasi nasional di Indonesia ke dalam tiga tahap, yakni : 1. Integrasi Imperium Majapahit Secara historis sebenarnya Indonesia pernah Model memiliki model integrasi nasional yang meliputi wilayah integrasi hampir seluas Negara Republik Indonesia RI. Pertama adalah kemaharajaan XIV-XV. Struktur kemaharajaan yang begitu luas diperkirakan berbentuk mirip kerajaan Mataram Islam, yaitu struktur konsentris 13 . Dimulai dengan konsentris pertama yaitu wilayah inti kerajaan nagaragung: pulau Jawa dan Madura yang diperintah langsung oleh raja dan saudara-saudaranya, menerapkan sistem pemungutan pajak langsung untuk biaya hidup keluarga raja. Konsentris kedua adalah wilayah di luar Jawa mancanegara dan pasisiran yang merupakan kerajaan-kerajaan otonom atau kerajaan tertakluk yang mengakui hegemoni Majapahit, dengan kebebasan penuh mengatur negeri mereka masing-masing. Kewajiban terhadap negara pusat hanya menghadap maharaja Majapahit dua kali setahun dengan membawa upeti sebagai pajak. Konsentris ketiga tanah saberang adalah negara-negara sahabat dimana Majapahit menjalin hubungan diplomatik dan hubungan dagang, antara lain dengan Champa, Kamboja, Ayudyapura 12 Ibid 13 Teori ini menyatakan bahwa Daerah Pusat Kota DPK atau Central Business District CBD adalah pusat kota yang letaknya tepat di tengah kota dan berbentuk bundar yang merupakan pusat kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan politik, serta merupakan zona dengan derajat aksesibilitas tinggi dalam suatu kota. DPK atau CBD tersebut terbagi atas dua bagian, yaitu: pertama, bagian paling inti atau RBD Retail Business District dengan kegiatan dominan pertokoan, perkantoran dan jasa; kedua, bagian di luarnya atau WBD Wholesale Business District yang ditempati oleh bangunan dengan peruntukan kegiatan ekonomi skala besar, seperti pasar, pergudangan warehouse, dan gedung penyimpanan barang supaya tahan lama storage buildings Thailand. Integrasi vertikal dibangun melalui penguasaan maritim, hubungan pusat dan daerah dibina melalui hubungan perdagangan dan kunjungan pejabat. Ekspedisi angkatan laut digunakan apabila terjadi pembangkangan, seperti yang diceritakan dalam Hikayat Raja-raja Pasai. Disintegrasi Majapahit terjadi karena pertama, kelemahan di pusat kekuasaan konflik perebutan takhta. Kedua, saling pengaruh antara faktor ekonomi, kemakmuran kota-kota pelabuhan, dan faktor budaya, berkembangnya agama Islam, yang membentuk solidaritas dan integrasi horizontal kerajaan-kerajaan pesisir di daerah melawan kekuasaan majapahit di pusat. 2. Integrasi Kolonial Integrasi kolonial atas wilayah Hindia Belanda baru kolonial sepenuhnya dicapai pada dekade kedua abad XX dengan wilayah yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Pemerintah kolonial mampu membangun integrasi wilayah juga dengan menguasai maritim, sedang integrasi vertikal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dibina melalui jaringan birokrasi kolonial, yang terdiri dari ambtenaar-ambtenaar pegawai Belanda non pribumi yang tidak memiliki jaringan dengan massa rakyat. Dengan kata lain pemerintah tidak memiliki dukungan massa yang berarti. Masyarakat kolonial yang pluralistik dan segregatif memisahkan golongan kulit putih, Cina dan pribumi yang membawa kelemahan pada integrasi sosial budaya. Dengan demikian ketika menghadapi serbuan tentara Jepang pada masa perang Dunia II, integrasi kolonial Hindia Belanda ini langsung runtuh, tanpa massa rakyat yang menopangnya. 3. Integrasi Nasional Hingga akhir abad XIX berbagai kerajaan kesukuan Proses di wilayah yang kini bemama Indonesia berjuang melawan integrasi kekuasaan kolonial Belanda dengan menggunakan cara nasional perlawanan bersenjata. Perlawanan yang dipimpin oleh penguasa kerajaan atau elit lokal bersama rakyat mereka berakhir dengan kekalahan, hingga seluruh kerajaan-kerajaan tersebut dikuasai pemerintah kolonial dan menjadi wilayah taklukkan Hindia Belanda kecuali Aceh yang baru ditaklukkan tahun 1913. Menginjak abad XX, seiring dengan perubahan politik kolonial di dalam negeri untuk memajukan rakyat jajahan sebagai balas budi Ethische Politiek, maupun pengaruh perkembangan nasionalisme di luar negeri, perjuangan melawan penjajahan mengalami babak baru, yaitu menggunakan bentuk- bentuk perjuangan politik dan kultural melalui organisasi-organisasi modern yang dikenal sebagai pergerakan nasional. Pada awal abad XX Bangsa Indonesia masih merupakan kawula subject dari negara kolonial Hindia Belanda. Dalam arti ini perlu dikemukakan bahwa pengertian bangsa nation sebagai konsep politik masih relatif baru. Secara historis lahir sebagai anak revolusi rakyat yang membebaskan diri dari kekuasaan absolut dan mendirikan negara merdeka yang berkonstitusi. Integrasi vertikal telah diperlihatkan Indonesia pasca proklamasi, yang dapat ditegaskan dalam berbagai pergolakan senjata di daerah atas mempertahankan kemerdekaan, namun hal tersebut belum termasuk Irian yang masih dalam sengketa politik. Setelah Pepera barulah Irian resmi menjadi provinsi ke-26 di Indonesia. Proses integrasi Papua ke Indonesia yang dikenal dengan Penetuan Pendapat Rakyat atau Pepera tahun 1969 diawali dengan proses panjang sebelum pelaksanaan. Pada pada tanggal 17 – 21 Maret 1969 diadakan Rapat Musyawarah Pimpinan Daerah atau Muspida seluruh Irian Barat, yang meliputi Muspida dari 8 Kabupaten, rapat tersebut bertujuan memberikan penjelasan umum tentang kebijakan umum dalam menghadapi pelaksanaan Pepera. Dilanjutkan tanggal 24 Maret sd 11 April 1969 diadakan Konsultasi antara Pemerintah Pusat dengan DPRD Kabupaten se-Irian Barat. Tim Pemerintah Pusat didampingi oleh Tim Pemerintah Provinsi, Tim PBB atau dikenal dengan nama Misi Ortiz Sanz, rapat konsultasi tersebut dilaksanakan dalam bentuk sidang-sidang pleno istimewa DPRD Kabupaten se-Irian Barat. Pelaksanaan Pepera dibentuk lebih dahulu Dewan Musyawarah Demus Pepera di 8 kabupaten, Demus Pepera tersebut mencerminkan unsur daerah, unsur partai dan organisasi masyarakat. unsur kepala suku dan adat, yang akan mewakili seluruh penduduk Irian Barat, yaitu sebanyak 1024 orang mewakili 809.327 orang penduduk yang terdiri dari: 14 1. Kabupaten Jayapura 110 orang mewakili 83.750 orang penduduk; 2. Kabupaten Merauke 175 orang mewakili 144.171 orang penduduk; 3. Kabupaten Jayawijaya 175 orang mewakili 165.000 orang penduduk; 4. Kabupaten Paniai 175 orang mewakili 156.000 orang penduduk; 5. Kabupaten Teluk Cenderawasih 130 orang mewakili 91.870 orang penduduk; 6. Kabupaten Manokwari 75 orang mewakili 49.875 orang penduduk; 7. Kabupaten Sorong 110 orang mewakili 75.474 orang penduduk; 8. Kabupaten Fak-Fak 75 orang mewakili 43.187 orang penduduk. 14 Tim Pusat Kajian Demokrasi, Menata Ulang Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia: Identifikasi Hambatan Implementasi Undang ‐Undang Otonomi Khusus Papua, Uncen 2010. Halaman 37- 38. Pelaksanaan Sidang Pepera diselenggarakan secara bergantian di 8 kabupaten, mulai dari tanggal 14 Juli sd 2 Agustus 1969 yaitu dengan urutan sebagai berikut: 1. Kabupaten Merauke pada 14 Juli 1969; 2. Kabupaten Jayawijaya pada 16 Juli 1969; 3. Kabupaten Paniai pada 19 Juli 1969; 4. Kabupaten Fak-Fak pada 23 Juli 1969; 5. Kabupaten Sorong pada 26 Juli 1969; 6. Kabupaten Manokwari pada 29 Juli 1969; 7. Kabupaten Teluk Cenderawasih di Biak pada 31 Juli 1969; 8. Kabupaten Jayapura pada 2 Agustus 1969. Hasil resmi yang diumumkan setelah Sidang Dewan Musyawarah Pepera atau selanjutnya disebut dengan DMP Kabupaten Jayapura pada 2 Agustus 1969 dan tanggal 5 Agustus 1969 Menteri Dalam Negeri tentang Hasil Pepera kepada Sidang Istimewa DPRGRPemerintah Daerah Provinsi Irian Barat di Jayapura, pemerintah Indonesia yang disaksikan oleh dunia internasional dimana PBB menjadi saksi di dalamnya, memutuskan bahwa Irian sepakat bergabung dengan Indonesia. Hasil Pepera tersebut ditindaklanjuti dengan Ketetapan MPRS Nomor XIXMPRS1966, maka pada tanggal 5 Juli 1969 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 yang antara lain menetapkan Penetapan Presiden Nomor 1 tahun 1962 dan penetapan Presiden Nomor 1 tahun 1963 menjadi undang-undang dengan ketentuan bahwa harus diadakan penyempurnaan. Pada tanggal 10 november 1969 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat disahkan.

1.2 Landasan Hukum