Sistematika dan lsi Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dalam Bentuk Wilayah Berpemerintahan Sendiri.
Proses pembahasan terangkai dalam empat kali rapat paripurna, enam kali rapat Badan Musyawarah atau BAMUS, dan empat kali pertemuan konsultasi antara
DPR RI dengan pihak pemerintah. RUU tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dalam Bentuk Wilayah Berpemerintahan Sendiri terdiri atas 23 Bab dan 76
Pasal. Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus Papua dirumuskan dengan dilandaskan pada nilai dasar yang tetap bersumber pada pancasila dan UUD 1945,
nilai-nilai yang dimaksud adalah;
20
1. Perlindungan terhadap hak-hak dasar
penduduk asli Papua;
2. Demokrasi dan implementasi;
3. Penghargaan terhadap etika dan moral;
4. Penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia;
5. Supermasi hukum;
6. Penghargaan terhadap pluralisme; dan
7. Persamaan kedudukan, hak dan kewajiban
sebagai warga negara. Terdapat pokok-pokok yang dibahas dalam RUU Otsus Papua,
1. Pembagian kewenangan Pusat dan Provinsi; 2. Tanggung jawab untuk men gurus diri sendiri;
3. Identitas provinsi Papua di dalam NKRI; 4. Perlindungan hak-hak penduduk asli;
20
Risalah Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
5. Komitmen untuk melindungi, menegakkan dan menyelesaikan pelanggaran HAM serta mencegahnya di kemudian hari;
6. Penataan kembali pembangunan Papua dalam rangka meningkatkan mutu SDM Papua dan kesejahteraan rakyat pada umumnya;
7. Pemberdayaan rakyat; dan 8. Aktualisasi, pengawasan dan penegakan hukum dan demokrasi.
Nilai-nilai tersebutlah yang menjadi dasar pembahasan dan perumusan Undang- Undang Otsus Papua, seperti halnya yang di jawab oleh DPR bahwa,
Dalam merespon kondisi di Irian JayaPapua, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia telah bertindak arif dengan menetapkan
Ketetapan MPR RI Nomor IVMPR1999 tentang GBHN Tahun 1999- 2004, Bab IV huruf G. Pembangunan Daerah, angka 2, yang antara lain
menyebutkan bahwa, ... mempertahankan integrasi bangsa di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tetap menghargai
kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Irian Jaya melalui penetapan Daerah Otonomi Khusus yang diatur dengan undang-
undang dan menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia di Irian Jaya melalui proses pengadilan yang jujur dan bermartabat ... . Melalui
Ketetapan MPR RI Nomor IV MPR2000, tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Bagian III.
Rekamendasi, angka 1, ditegaskan bahwa; ... Undang-undang tentang Otanomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh dan Irian Jaya, sesuai
amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IVMPRI999 tentang GBHN Tahun 1999-2004, agar dikeluarkan selambat-Iambatnya 1
Mei 2001 dengan memperhatikan aspirasi masyarakat daerah yang bersangkutan.
21
Sidang Paripurna tersebut menetapkan 50 anggota Panitia Khusus atau selanjutnya disebut dengan Pansus yang akan menangani pembahasan RUU Otsus
Papua dengan Sabam Sirat yang terpilih sebagai ketua Pansus, Ferry Mursyidan Baldan, H.M Thahir Saimima dan Effendy Choirie sebagai wakil ketua Pansus RUU
Otsus Papua, melalui Keputusan Pimpinan DPR RI Nomor 112PIMPIV2000-2001
21
Ibid., Halaman 26.
tentang Penetapan Pimpinan Panitia Khusus DPR RI Mengenai Rancangan Undang- Undang tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Irian Jaya dan Keputusan DPR RI
Nomor: 60DPRRIIV2000-2001
tentang Pembentukan Panitia Khusus DPR RI mengenai Rancangan Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Daerah Irian Jaya
antara lain: DAFTAR NAMA-NAMA ANGGOTA PANITIA KHUSUS
RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG OTONOMI KHUSUS BAGI PROVINSI IRIAN JAYA
Fraksi No
Nama
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
1 R.K. Sembiring Meliala
2 Sabam Sirait
3 Alexander Litaay
4 Prof. Dr. Dimyati Hartono. S.H.
5 Drs. Paul Baut
6 Pdt. Lukas Sabarofak
7 Daniel Yoku
8 Lukas Karl Degey
9 Pataniari Siahaan
10 Hj. Tumbu Saraswati. S.H.
11 Drs. Marsudi Fandinegara
12 lrmadi Lubis
13 Peter Sutanlo
14 Matheos Pormes
15 Paulus M. Saul De Ornay
Partai Golongan Karya 16
Drs. Ferry Mursyidan Baldan 17
Drs. T.M. Nurlif 18
GBPH. H. Joyokusumo 19
M. Akil Mochtar, S.H. 20
Drs. J.M. Nailiu 21
Prof. Dr. H. Paturungi Parawansa 22
Drs. Jasin Baruadi Idango Cono 23
Ny. Marthina Mehue Wally, S.E. 24
Ir. S.M. Tampubolon 25
Alex Hesegem 26
Drs. Ruben Gobay 27
Drs. Simon Patrice Morin
Partai Persatuan Pembangunan
28 H. Syafriansyah. B.A.
29 H.M. Thahir Saimima, S.H.
30 Ny. Hj. Nurdahri Ibrahim Nain
31 H.M. Syaiful Rachman, S.H.
32 H. Chairul Anwar Lubis
33 H. Alimarwan Hanan, S.H.
Kebangkitan Bangsa 34
Dr. K.H. Maruf Amin 35
KH. Hanif Muslih, LC. 36
Effendy Choirie, S.Ag. 37
H. Rodjil Ghufron AH, S.H. 38
Drs. Susono Yusuf Reformasi
39 Dr. Ahmad Farhan Hamid, MS
40 Drs. H. Rahman Sulaiman, M.B.A
41 H. Mutammimul Ula, S.H.
42 Drs. Ir. H.T. Syaiful Ahmad, BMuE
TNIPOLRI 43
Drs. P.L. Tobing 44
Yahya Sacaawirya 45
Bachrum Rasir 46
Christina M. Rentetana. S.K.M. M.P.H
Partai Bulan Bintang 47
Hamdan Zoelva, S.H. Kesatuan Kebangsaan
Indonesia 48
Drs. Anthonius Rahail Perserikatan Daulatul Ummah
49 Sayuti Rahawarin
Partai Demokrasi Kasih Bangsa
50 Prof. Dr. Ing. K. Tunggul Sirait
Sumber : Risalah sidang pembahasan RUU Otsus DPR-RI
Agenda tersebut dilanjutkan dengan surat ketua DPR RI Akbar Tandjung kepada Presiden terkait RUU Otsus tertanggal 21 September 2001, beserta dengan draft RUU
Otsus Papua dan penjelasan. Perumus RUU Otsus Papua dilakukan dalam forum kerja berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat atau LSM, kalangan cendikiawan dan
intelektual juga Kongres II Papua. Pergolakan internal wilayah Papua juga terus bergejolak dikarenakan hal ini tetap menjadi sensitif kelompok yang masih
berkeinginan memisahkan diri dengan NKRI. Seperti yang dikutip dalam risalah
pembahasan RUU Otsus bagi Papua dengan agenda Rapat Dengar Pendapat Umum ke-1 sd ke-5 tanggal 27 Juli sd 26 September 2001 yang diantaranya;
1. Rapat Dengar Pendapat Umum Ke-1 Tanggal 27 Juli 2001 Terdapat dua agenda dalam Rapat ini yakni mendengar keterangan Tim Asistensi
Papua dan pengesahan jadwal acara serta mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang Otsus Papua. Perwakilan Papua diwakili oleh berbagai elemen
dan menjelaskan urgensi serta konsep otonomi khusus yang diinginkan rakyat Papua seperti yang ditegaskan oleh perwakilan Papua seperti berikut:
Pak Rektor kita melihat bahwa pada saat ini ada juga sekelompok masyarakat Papua yang tidak menerima otonomi khusus dan mereka menyampaikan
aspirasi untuk merdeka, ini bagaimana?
Definisi otonomi itu yang benar, definisinya yang salah di sini. Definisi yang di sini itu pro adalah ikut Republik Indonesia, menolak adalah pisah
dari Republik Indonesia. Definisi itu keliru. Definisi yang benar mengenai otonomi menurut ilmu pengetahuan definisi adalah kebebasan untuk
mengurus diri sendiri, itulah otonomi. Jadi rakyat di sini memang dari awal bertolak dari definisi yang salah.
Masyarakat memahami arti pentingnya otonomi khusus ini dalam rangka memperjuangkan hak-hak mereka. Masalahnya adalah ada salah
pengertian, ada p,ersepsi-persepsi yang keliru terhadap pola pikir yang keliru yang harus kita luruskan, pertama sekali pada masyarakat di tingkat
bawah, di tingkat desa - desa, kampong - kampung dan mudah-mudahan melalui penjelasan-penjelasan baik secara umum di gedung pertemuan
maupun secara khusus di pertemuan yang lebih kecil untuk Saudara- saudara yang agak keras.
Rancangan Undang-Undang Otsus bagi Papua muncul dengan dilatarbelakangi oleh permasalahan serta konflik berkepanjangan antara Papua dengan pemerintah
pusat pihak Papua, sehingga diperlukan metode khusus untuk menjalin hubungan yang saling komunikatif dan menjaga setiap aspirasi rakyat Papua.
Yang pertama, adalah perlindungan hak-hak dasar penduduk asli, dan ini pun sejalan dengan salah satu butir hasil Kongres II Papua, kemudian yang
menyangkut demokrasi dan kedewasaan berdemokrasi yang kita ketahui
bahwa sesungguhnya masyarakat adat di seluruh tanah air termasuk di tanah Papua telah mengenal cara-cara berdemokrasi yang baik. Dan
masalahnya adalah bagaimana demokrasi yang hidup dalam masyarakat itu dapat berkembang ke arah yang lebih dewasa dan ini juga menjadi
salah satu pemahaman dasar kami dalam men coba merumuskan hal-hal yang menyangkut kepentingan di daerah itu. Kemudian penghargaan
terhadap etika dan moral, seperti saya katakan tadi bahwa pada akhirnya masyarakat Papua sesungguhnya melihat para pemimpin formal tidak lagi
atau kurang memperlihatkan etika dan moral kepemimpinannya sehingga sebagaimana kita ketahui kami di sana menyaksikan masyarakat Papua
justru lebih percaya pada pemirnpin informal, pirnpinan lernbaga adat dan juga pirnpinan-pirnpinan dari lembaga keagamaan. Dan ini justru akan
merugikan apabila kepercayaan itu tidak dikernbalikan kepada Pemerintah. Penghormatan terhadap HAM merupakan salah satu hal yang
sangat didambakan dan ini juga merupakan suatu hasil dari Kongres II Papua, tentu saja dari seluruh lapisan masyarakat karena berdasarkan
pengalaman sebelumnya sejak daerah itu dan masyarakat Papua kembali berintegrasi dalam NKRI. Penegakan hukum dan supremasi hukum
sebagaimana juga dialami di daerah lain mungkin secara khusus merupakan salah satu keperluan utama di daerah kami di tanah Papua.
Penghargaan terhadap pluralisme juga merupakan salah satu aspek yang penting karena pada akhirnya secara nasional sebagai suatu bangsa
rnernang pluralisrne itu penting kita jadikan salah satu pegangan dalam berbangsa, bemegara, dan bermasyarakat. Berdasarkan nilai-nilai filosofis
tadi, maka tim kami berupaya untuk menjabarkan di dalam bab-bab dan pasal yang termuat di dalam RUU ini, ada 23 bab dan 76 pasal. Pokok-
pokok ini meliputi pengaturan dan pembagian kewenangan Pusat dan Provinsi, identitas Provinsi Papua, perlindungan hak-hak penduduk
asli, penyelesaian pelanggaran HAM, pelaksanaan pembangunan Papua. Pembagian kewenangan Pusat dan Provinsi terutama dalam pasal
yang berkaitan sesuai dengan tujuan dari otonomi khusus ini maka ada kewenangan-kewenangan Pemerintah Pusat dan kewenangan-kewenangan
Pemerintah Provinsi dan ada kewenangan-kewenangan Pemerintah Kabupaten dan Kota. Pasal-pasal yang menyangkut kewenangan-
kewenangan ini juga jelas menunjukkan tentang pembagian Pusat dan Daerah itu. Penataan kembali Papua dalam rangka peningkatan mutu
SDM dan kesejahteraan rakyat bagi kami dari tim perumus sesungguhnya ini adalah salah satu yang merupakan fokus utama dari
RUU ini. Ketertinggalan masyarakat Papua, ketertinggalan daerah Irian
Keputusan dari Rapat Dengar Pendapat Umum Ke-1 oleh para anggota rapat terdapat tiga hal, yakni :
1. Pansus memutuskan menyetujui Rancangan Jadwal Acara Rapat Pansus, dengan catatan sewaktu-waktu dapat diubah sesuai dengan kesepakatan.
2. Pansus memutuskan bahwa pada setiap pelaksanaan rapat, diharapkan perwakilan Tim Asistensi Otonomi Khusus Papua untuk menghadirinya.
3. Berkaitan dengan saran anggota Pansus tentang permasalahan yang timbul di salah satu Kecamatan, Kabupaten Manokwari, Pansus memutuskan
menugaskan kepada salah satu Anggota Pansus dari PDI Perjuangan R.K Sembiring Meliala untuk menyampaikan masalah tersebut kepada Menteri
Koordinator Politik, Sosial dan Keamanan agar dapat segera diselesaikan. 2. Rapat Dengar Pendapat Umum Ke-2 Tanggal 28 Juli 2001
Rapat ini dianggendakan untuk mendengar pendapat umum dari para pakar, yakni Professor Selo Soemardjan Pakar Sosiologi, Professor Ryaas Rasyid Pakar
Otonomi Daerah, Dr. Todung Mulya Lubis Pakar Hukum dan Professor Mubyarto Pakar Ekonomi Kerakyatan. Selo Soemardjan membacakan lebih dahulu
pandangannya terkait RUU Otsus Papua, yang dalam hal ini Ia lebih banyak mengarahkan pembicaraan pada latarbelakang munculnya keinginan otonomi khusus
dan permasalahan mendasar yang belum terselesaikan, seperti dikutip dalam risalah rapat dengan pendapat yakni:
Motivasi Pertama Setelah saya membaca bahan-bahan ini, RUU otonomi, saya melihat pertama-tama, kok kenapa sih masyarakat Irian Jaya itu
bersemangat benar untuk mendapat otonomi khusus malahan kalau bisa menjadi, negara merdeka lepas dari Republik Indonesia. Itukan sejarahnya
demikian. Apa sebabnya? Saya cari-cari itu motivasinya ada 4 empat macam, yaitu seperti yang tersebut di dalam konsiderans dari RUU ini,
konsiderans f dan g. Konsiderans kalau saya cari itu kok selalu tidak ketemu- ketemu ya. Nah dalam konsiderans f dan g, f menyatakan bahwa
penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di tanah Papua selama ini belum menjawab seluruh aspirasi masyarakat, belum memenuhi
rasa keadilan,belum memungkinkan tercapainya kesejahteraan seluruh rakyat, belum mendukung terwujudnya penegakan hukum, belum menampakkan
penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia Papua. Motivasi Kedua Selanjutnya tadi disebut hasil pelurusan sejarah pada Pasal
43. Pasal 43 itu mengatakan, dalam rangka penyelesaian secara tuntas dan menyeluruh perbedaan pendapat mengenai sejarah integrasi Papua ke dalam
Republik Indonesia dibentuk Komisi Pelurusan Sejarah Papua KPSP. Pengaturan pelaksanaan tugas dan pembiayaan komisi tersebut di atas diatur
dengan Peraturan Provinsi. Jadi yang bikin ini provinsi sendiri. Nah kalau saya menangkap apa yang diterangkan kepada saya oleh
mereka yang membawa ini kepada saya, maka mereka itu mengakui bahwa integrasi Papua ke dalam Republik Indonesia itu didasarkan atas keputusan
Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB setelah mendengarkan laporan tentang Pepera di Indonesia, kalau tidak salah tahun 1969.
Motivasi Ketiga Selain daripada itu motivasi yang ketiga itu adalah pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia HAM oleh ABRI, waktu ABRI
di daerah Irian Jaya dulu harus menanggapi kegiatan-kegiatan, operasi-operasi bersenjata oleh OPM. Nah ini tampaknya dari pembicaraan-pembicaraan saya
dengan, tokoh-tokoh di Irian Jaya tampaknya ini di dalam kalangan rakyat sana itu mendalam sekali pelanggaran-pelanggaran HAM itu. Oleh karen apa,
oleh karen a mereka itukehilangan bapaknya, kehilangan saudaranya, kehiIangan kawannya, kehilangan rumahnya selama ada operasi bersenjata
antara ABRI dan OPM itu tadi. Ini rasa dendam ini selalu harus diperhatikan, tidak bisabegitu saja kita anggap sepi.
Motivasi Keempat Selanjutnya yang keempat, yang menjadi motivasi adalah adanya kesenjangan sosial antara pl;ra penduduk setempat,
pen~uduk asli, penduduk Papua dan para penduduk pendatang. Nah jadi gampangnya begini bahwa banyak penduduk pendatang yang menempatkan
diri di Irian Jaya, banyak itu dari Buton dan dari Makasar, dan daerah Sulawesi Selatan, itu disana banyak yang masuk di dalam ekonomi di bagian
rendah, di pasar-pasar atau sebagai buruh kasar, begitulah. Nah itu merupakan suatu kongkurensi, persaingan dengan tenaga-tenaga kerja di daerah sendiri
atau di dalam ekonomi kerakyatan di daerah sendiri. Dan kalau dilihat kenyataannya penduduk daerah setempat itu terdesak atau kalah dalam.
saingan ekonomi. Nah ini menimbulkan suatu kesenjangan sosial yang di dalam ini disebut bahwa mereka jtu merasa amat tidak senang dengan keadaan
yang demikian itu. Akan tetapi, mereka juga, mengakui bahwa kalau dibanding pengalaman hidup atau pendidikan atau ketrampilan di dalam
urusan-urusan yang moderen itu mereka masih kekurangan tenaga yang trampil atau kekurangan tenaga yang berpendidikan.
Selanjutnya Pakar ekonomi kerakyatan memberikan pandangannya terkait ketertinggalan ekonomi di Papua dan kegagalan beberapa program yang dijalankan di
tanah Papua, Murbyanto pun memberikan beberapa gagasan terkait hal tersebut yang terangkum dalam pembacaan keterangan pendapat umum dari para pakar sebagai
berikut: Apa yang dimaksud pendekatan partisipatif, kegiatan kaji-tindak
empat kecamatan di Jayawijaya yang sudah berjalan 16 bulan pada tahun 1998 itu dimaksudkan untuk meningkatkan kesiapan masyarakat desa tertinggal untuk
memacu kegiatan ekonorni mereka untuk tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan baik di dalam pertaniannya, dalam peternakannya dalam
perikanannya maupun di dalam kerajinannya. Sasaran Program IDT
22
dalam pengembangan perekonomian rakyat Irian Jaya adalah agar dalam sepuluh tahun
misalnya setiap keluarga maupun memproduksi surplus hasil pertanian, peternakan dan perikanan yang dapat dipasarkan. Tidak saja menutup anggaran
pemenuhan kebutuhan dasarnya tetapi juga ada sisa atau ada tabungan bagi pemenuhan pendidikan anak-anak, kesehatan dan kebutuhan-kebutuhan darurat
seperti kekeringan pada tahun 1997. Sasaran yang tampak sederhana ini membutuhkan dukungan pembangunan sektoral dan pembangunan regional yang
tidak sederhana, misalnya dalam penyediaan berbagai macam bibit pertanian, peternakan, perikanan dalam teknologi pengolahan atau pengawetan hasil. Di
dalam teknologi penyimpanan dan tentu saja dalam teknologi pemasarannya. Sudah cukup lama sebenarnya LIPI mempelopori pengembangan tananian
komoditi yang cocok untuk diusahakan, termasuk teknologinya tetapi hasilnya belum· memadai, misalnya desa pegunungan di Apoyoma di Kecamatan Kurima
yang kami kunjungi baru mengenal tanaman-tanaman sayuran seperti wortel, bawang merah dan bawang putih, kacang-kacangan dalam lima tahun terakhir.
Dimulai tahun 1993 baru dikenal dan itupun akhirnya terhambat oleh pemasaran hasilnya. Pembangunan partisipatif yang mengundang penduduk setempat terlibat
langsung di dalamnya dan kemudian melanjutkannya sendiri memerlukan bantuan dan dukungan pemihakan sepenuh hati dari semua pihak. Baik dari LSM, gereja-
gereja, pergurnan tinggi setempat maupun tentu saja pemerintah daerah. Jika kita mengatakan ketertiban atau kepedulian pihak-pihak luar ini masih
memprihatinkan maka berarti masih ada jarak antara warga desa dengan warga luar desa. Dalam pembangunan yang bersifat partisipatif, jarak ini mutlak harns
dihilangkan, yang berarti pihak-pihak Iuar yang bertekad membantu penduduk desa yang miskin harns ajer-ajer. Ajer-ajer itu jadi satu, mencair atau menyatu
dengan warga masyarakat secara berkelanjutan fisik maupun kejiwaan, apabila dalam kenyataan setelah berbagai kebijaksanaan dan program pembangunan
pedesaan diluncurkan toh kondisi kesejahteraan penduduk pedalaman Irian Jaya masih tetap amat rendah, patut kita bertanya apanya yang kurang? apanya yang
keliru ? Dan apabila ada kekeliruan kebijaksanaan atau program-programnya mengapa hal ini berlangsung berkepanjangan, harns kita teliti. Strategi atau
pendekatan yang benar yang mampu mengubah kondisi kehidupan penduduk Irian Jaya menjadi jauh lebih baik, yang tidak tertinggal dengan saudara-
22
IDT merupakan singkatan dari Inpres Daerah tertinggal, kebijakan pemerintah untuk daerah-daerah di Indonesia
saudaranya di daerah lain sudah semestinya kita kuasai setelah pengalaman 35 tahun merdeka. Irian Jaya memang merdekanya terbelakang dibandingkan dengan
bagian lain di Indonesia dan ini harus diterapkan. Saya kira dengan membaca ini, saya betul-betul tidak menyiapkan diri lagi setelah tiga tahun tidak mengikuti saya
kaget, itupun hari Minggu yang lalu diminta hadir di sini kalau saudara semua sudah terlibat di RUU Aceh. Pak Ryaas Rasyid memang orang Jakarta yang tiap
hari berkecimpung dalam hal otonomi ini, jadi saya tidak punya bahan baru tetapi buku ini kami susun tiga tahun lalu sebagai hadiah ulang tahun, pada halaman
pertama, buku ini adalah hadiah ulang tahun kemerdekaan RI kepada penduduk miskin Irian Jaya dan para pejuang pendampingnya dimanapun berada. Sampai
hari ini, tiga tahun kami kirim dua ratus kopi waktu itu ke sana. Bapak-bapak dari Irian itu pemah membaca buku ini. Ini juga suatu masalah bagaimana republik ini
kok bisa kami bekerja sungguh-sungguh di sana melapor seperti ini tetapi hasilnya juga tidak sempat dibaca. Yang salah dimana kami tidak tahu.
Dilanjutkan dengan penjelasan Ryaas Rasyid yang memberikan pandangan langsung dalam perspektif kajian otonomi daerah, pendapat yang dikemukakan adalah sebuah
dasar pijakan otonomi khusus di Indonesia dan menjelaskan pengalaman sejarah otonomi khusus serta kebijakan keinginan dari pemerintah terkait provinsi terujung
Indonesia ini, Otonomi khusus Irian dan Aceh itu adalah sesuatu yang tidak bisa dihindarkan
bahkan saya pemah berpendapat seandainya dua provinsi menjadi negara bagian sayapun tidak berkeberatan, karena memang itu sesuatu yang harus kita jawab
bahwa waktu yang cukup lama ada perlakuan yang tidak adil pada dua provinsi itu. Kita yang hadir di sini terpaksa memikul dosa-dosa yang dilakukan oleh
orang-orang dulu di sana. Terpaksa kita pikul itu. J adi memang ini saya kembangkan suatu teori tentang apa yang disebut sebagai assymetric federalis
sehingga kita memberikan kesempatan kepada daerah untuk membuktikan bahwa dia bisa berbuat banyak bagi masyarakatnya. Tapi alhamdulillah Aceh dan Irian
sepakat untuk otonomi khusus, suatu hal yang sebenamya sangat baik dan sangat memberikan peluang, baik bagi republik maupun pemerintah daerah untuk
membuktikan bahwa kita sungguh-sungguh, mempunyai niat baik untuk memajukan masyarakat setempat. Dan khusus untuk Aceh dan Irian itu adalah
untuk mengembalikan harga diri mereka dan juga untuk mengkompensasi berbagai rupa kegagalan yang selama ini menyertai perjalanan kita bersama
sebagai pemerintahan dan bangsa Indonesia.
Mengenai mengenai kebijaksanaan affirmative, soal dalam kurun waktu tertentu, kalau kita membicarakan mengenai ini, saya kira sangat baik atau ditentukan,
katakanlah secara tepatnya untuk setiap investasi di Irian atau di Papua harus ada
sekian persen dari karyawan yang direkrut dari perusahaan yang bersangkutan, tentukan saja begitu. Bila sudah dibahas di Jakarta dan tiba-tiba keluar peraturan
Provinsi lagi kita tidak tahu lagi, entar 90 lagi repot kita. Saya kira itu mendistrasi investasi begitu, kalau kita bicara affirmatif ini perjelas saja Pak,
misalnya sektor pemerintah berapa persen mutlak, sektor swasta berapa persen mutlak, karena apa? karena affirmative itu juga bukan akomodasi tujuannya
adalah mendidik mereka supaya dia kualified untuk pekerjaanpekerjaan yang diambil itu sebagai haknya Pak. Jadi ditentukan sepertinya sepuluh yang masuk
sepuluh tanpa kualifikasikan itu report. Nah itu kalau itu perusahaan swasta memerlukan tenaga kerja sekian, dan sekian persen orang Irian sekaJigus
perusahaan itu tahu kewajiban mereka mendidik tenaga kerja orang Irian itu berapa lama dan untuk keahlian apa? Ini saya yang penting, kalau kita bicara
mengenai afirmative action. Soal transmigrasi tegas sekali dikatakan, ini ditiadakan tergantung kesepakatan. Saya berulang-ulang mempertahankan ini.
Kemudian Pasal 75 ini yang paling serius buat saya ini dari semuanya ini. Yang paling serius adalah Pasal 75, saya mau tanya ini Pasal 75 ini Pak, selama 5 tahun
undang-undang ini diundangkan dan ternyata tidak dapat dilaksanakan secara efektif maka rakyat Papua melalui Parlemen Papua minta kepada MPR RI agar
bersidang dan seterusnya. Yang melaksanakan undang-undang ini kan Bapak, bukan Pemerintah Pusat. Yang melaksanakan pemerintah Provinsi Papua, nah
kalau Bapak tidak melaksanakan sendiri dan secara tiba-tiba ada alasan untuk merdeka, itu bisa merdeka tahun depan Pak. Jadi kesepakatannya karen a punya
alasankan. Jadi saya kira perlu dikoreksi kalimatnya ini. Mestinya pasal ini berbunyi begini, setelah 5 tahun undang-undang ini diundangkan dan ternyata
tidak dapat dilaksanakan secara efektif maka pemerintah pusat mencabut kembali undang-undang ini, mestinya begitu Pak. Ini Bapak yang melaksanakan dan tidak
melaksanakan kok malah, memisahkan diri bagaimana? Jadi saya kira kalimatnya hams diperbaiki ini komitmen kita bagaimana ini sukses tidak usah pakai
ngancam-ngancam begini. Ini bisa dieksploitasi oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab Pak. Saya tidak percaya orang Irian ekstrim seperti itll. Jadi ini
pelaksanaannya adalah tanggungjawab pemerintah daerah justru pemerintah pusat mengawasi pelaksanaan undang-undang ini. Inikan produk nasional yang
bertanggungjawab mengawasi pelaksanaannya adalah pemerintah nasional Pak. Bapak dilaksanakan atau tidak janganjangan 80 itu tidak dipergunakan untuk
rakyat kan bisa begitu, jangan-jangan pengadilannya sewenang-sewenang, diskriminatif dan sebagainya kan begitu, jangan-jangan ekonominya diskriminatif
memsak alam dan Iingkungan dan setemsnya. Itu pengawasan tetap pemerintah pusat Pak. Yang menerima sanksi Bapak bukan. pemerintah pusat yang menerima
sanksi, karena Bapak tidak melaksanakan dengan baik. Saya kira demikian pendapat saya. Saya mohon maaf karena saya terlalu cinta dengan Irian. Padahal
sejujurnya lah dan itu Bapak bisa periksa sebetulnya trackrecord, saya selalu memihak kepada kepentingan Irian, tapi demi kepentingan bersama salah satu
bangsa, saya harus katakan apa adanya.
Pakar hukum Todung Mulya Lubis tidak bisa memberikan keterangannya dengan alasan berhalangan hadir, akan tetapi ketiga pakar tersebut telah memberikan
perspektif yang berbeda dalam menanggapi RUU Otsus yang didasari pada pengkritisan dari latarbelakang, pelaksanaan hingga substansi yang terkandung di
dalam draf RUU Otsus Papua beserta penjelasannya. 3. Rapat Dengar Pendapat Umum Ke-3 dan Ke-4 Tanggal 3-4 September 2001
Rapat ini diagendakan dengan penjelasan Tim Asistensi Pemda Provinsi Irian Jaya, dalam rapat ini tim asistensi diwakili oleh beberapa orang dari Tim Asistensi
antara lain Frans A. Waspakrik dan Agus Samule untuk menjelaskan secara terperinci terkait RUU Otsus Papua dalam karakteristik dan aspirasi yang diinginkan oleh rakyat
Papua dalam pengesahan RUU Otsus tersebut, berikut penjelasannya; Otsus bagi provinsi Irian Jaya adalah sebagai solusi politik dan ini kami lihat
sesuai dengan TAP MPR-RI Nomor IV1999 dan TAP MPR-RI Nomor IV2000. Sebagaimana kita ketahui bahwa TAP MPR RI Nomor IV1999 mengamanatkan
bahwa integrasi bangsa dipertahankan di dalam wadah NKRI dengan tetap menghargai kesetaraan dan keragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Irian
Jaya melalui Penetapan Daerah Otsus yang diatur dengan undang-undang ini. Kami kutip dan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Irian Jaya melalui
proses pengadilan yang jujur dan bermartabat. TAP MPR-RI Nomor IV1999 tersebut pada dasarnya mengamanatkan 3 hal yang tidak dipisahkan satu sama
lain. Yang pertama bahwa otsus bagi Irian Jaya yang diatur dengan undang- undang harus ditetapkan untuk mempertahankan integrasi bangsa di dalam NKRI.
Yang kedua bahwa otsus bagi Irian Jaya berarti bahwa keragaman kehidupan sosjal, budaya masyarakat hams diakomodir dengan sebaik-baiknya. Yang ketiga,
diakui bahwa telah terjadi. pelanggaran HAM di Irian Jaya dan karenanya harus diselesaikan melalui proses pengadilan yang jujur dan bermartabat. Kemudian
rekomendasi MPR pada Pemerintah dan DPR sebagaimana dicantumkan di dalam TAP MPR RI Nomor IV2000 menyatakan bahwa kami kutip, Undang-Undang
tentang Otsus bagi Daerah Istimewa Aceh dan Irian Jaya sesuai amanat TAP MPR RI Nomor IV1999 tentang GBHN tahun 1999- 2004 agar dikeluarkan selambat-
Iambatnya 1 Mei 2000 dengan memperhatikan aspirasi masyarakat daerah yang bersangkutan. Dalam hal kaitan itulah kami sangat menghargai sikap anggota
DPR-RI yang telah bersedia menerima dengan baik RUU Otsus Papua yang diusulkan oleh rakyat dan mengajukan RUU Otsus Papua tersebut sebagai usul
inisiatif sesuai dengan hak inisiatif yang dimiIiki DPR-RI.
Penting bagi saya pada kesempatan ini untuk menekankan bahwa RUU ini sungguh-sungguh bertujuan untuk menjaga integritas NKRI. Hal ini dapat dilihat
dari ciri-ciri RUU tersebut antara lain : Menjaga keutuhan NKRI dibuat dengan tegas.
Kewenangan-kewenangan Pusat diakui, dihormati dan ditunjang. Identitas nasional tetap dijunjung tinggi dan identitas daerah tidak
dimaksudkan untuk mengganti atau merendahkan martabat identitas nasional. Sistem hukum nasional tetap berlaku.
Komitmen ikut mendukung pembiayaan pusat dimuat dengan tegas. Sistim dan pola pemerintahan mengacu pada sistem nasional.
Kebudayaan provinsi dikembangkan untuk memperkaya khasanah kebudayaan nasional.
Penyelenggaraan pembangunan pendidikan, kesehatan dan pelayanan sosial lainnya dilakukan untuk memenuhi cita-eita nasional dengan berpedoman
pada standard kebijakan nasional. Pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan sejalan dengan
kebijakan nasional. Perlindungan HAM sesuai dengan UUD 1945 dan Ratifikasi Nasional.
Jaminan sosial dan kesejahteraan berdasarkan prinsip-prinsip yang digariskan oleh UUD 1945.
Keberadaan dan kebebasan pemeluk agama-agama nasional dijamin dan dipelihara.
Berikut ini kami akan memberikan gambaran dinamika sosial di Papua dalam kaitan diterimanya RUU Otsus Papua sebagai usul inisiatif DPR RI.
Selanjutnya Agus Samule menambahkan bahwa semangat mengadakan Otonomi Khusus lebih diperkuat kepada rasa nasionalis rakyat Papua pada NKRI sehingga dalam
penjelasannya Ia meyakinkan dewan bahwa terkait otonomi khusus tidaklah ragu atau bahkan membatasi kewenangan daerah secara frontal.
Pertama, pelaksanaan otonomi khusus ini sebetulnya menurut hemat kami adalah upaya kita bersama untuk membangun satu platform yang kokoh, satu platform
yang kuat untuk pelaksanaan dialog. Sebagai kaum akademisi kami menyadari bahwa soal pelurusan sejarah itu bukan persoalan satu atau dua hari, itu persoalan
yang akan memakan waktu bertahun-tahun. Sebab yang kita bicarakan bukan saja persoalan yang terjadi di Papua, tetapi juga konteks politik dunia pada saat itu
yang melibatkan berbagai banyak negara, yang sangat terkait dengan perang dingin. Oleh sebab itu kami beranggapan bahwa sebetulnya masalah pelurusan
sejarah ini hendaknya dilihat di dalam konteks otonomi khusus itu secara keseluruhan. Kami beranggapan atau kami berpendapat bahwa apabila harkat
rakyat itu dikembalikan, mereka bisa berekspresi secara baik lewat hal-hal yang tadi sudah disampaikan oleh rekan kami, mereka bisa mengembangkan
ekonominya secara baik. Maka mudah-mudahan hubungan yang sekarang ini mungkin tidak baik antara Jakarta dan Irian Jaya itu bisa pelan-pelan diperbaiki,
sehingga kalau di waktu lalu hubungan itu misalnya antar musuh, maka suatu waktu dia akan berubah antar ternan, maka masalah-masalah pelik termasuk soal
pelurusan sejarah ini pasti dapat diselesaikan. Nah tentu kita bisa berkaca dari pengalaman Afrika Selatan mengenai hal-hal seperti ini. Kedua, kami juga
berpikir bahwa soal pelurusan sejarah adalah soal healthing, soal penyembuhan. Bapak dan Ibu tentunya lebih berpengalaman dari kami karen a pasti sudah
banyak terlibat dalam hal itu. Tetapi kita tahu bahwa ketika orang itu dikasih kesempatan untuk melihat apa yang terjadi di waktu lalu secara baik dan benar
maka yang terjadi itu adalah suatu proses penyembuhan, suatu proses healthing. Sehingga mudah-mudahan ketika masalah itu sudah diluruskan dan ada komitmen
untuk tetap bersatu di dalam NKRI, karen a otonomi khusus sudah membuatkan hasil maka kita bisa menutup masa lalu yang kelam itu dan bisa maju ke depan
dalam suatu suasana Indonesia yang baru. Dan yang terakhir yang ingin kami sampaikan bahwa ketika kami menyusun hal ini, dan ini pernah kan:ti sampaikan
kepada Bapak Menko Polsoskam ketika kami beraudiensi dengan beliau Bapak Soesilo Bambang Yudhoyono, kami bersepakat dengan beliau bahwa ukuran-
ukuran yang harus dipakai untuk menilai masa lalu tidak bisa ukuran-ukuran masa kini. Konteks yang dipakai tidak bisa konteks masa kini. Rezim yang dinilai tidak
bisa rezim masa kini. Pemerintah yang dinilai tidak bisa Pemerintah masa kini. DPR yang dinilai tidak bisa DPR masa kini. Dan saya kira berbagai tokoh pun
memahami hal itu. Tetapi kalau tidak itu dibahas maka itu akan selalu menjadi masalah yang akan menghantui kita di waktu akan datang.
Rapat Dengar Pendapat Umum Ke-3 dan Ke-4 yang dilakukan Pansus RUU Otsus Papua dengan agenda meminta penjelasan pada Tim Asistensi Papua terkait
gagasan pokok dan karakteristik Papua memiliki dinamika tersendiri dalam ruang rapat. Sejatinya Tim Asistensi mengungkapkan keinginan Otonomi Khusus yang luas hingga
pada kewenangan menciptakan mata uang sendiri, sedangkan dewan dan pakar mencoba menyeimbangkan antara otonomi khusus dengan latarbelakang Papua sebagai
tanah atau wilayah yang ingin merdeka sejak lama. Rapat Dengar Pendapat Umum Ke- 3 memiliki beberapa keputusan dan kesimpulan dalam memberikan paradigma masing-
masing pihak terhadap RUU Otsus Papua.
Pemaparan yang disampaikan mempertegas kondisi rakyat Papua yang dijabarkan dalam empat hal yakni, pertama ketertinggalan dalam berbagai
pembangunan nasional beserta permasalahan yang dapat diselesaikan pada daerah lain, namun masih belum terselesaikan di wilayah Papua seperti halnya pendidikan,
kesehatan dan lain sebagainya. Berikutnya yang kedua terdapat kurang terakomodasinya identitas sosial searah pada pembedaan stratifikasi sosial dan
kebudayaan rakyat dalam pembangunan nasional, nama Papua seringkali dijadikan stigma politik dalam orientasi daerah yang berlainan dengan NKRI. Ketiga terdapat
pelanggaran Hak Asasi Manusia atau HAM yang terus menerus sejak terintegrasinya Papua ke Indonesia dan keempat terdapat campur tangan yang begitu kuat dari pihak
luar Papua terhadap pengelolaan sumber daya alam yang berlimpah di Papua. Permasalahan identitas daerah yang sangat sensitif karena berhubungan dengan
identitas gerakan makar pada bendera yang bergambar bintang kejora, ditanggapi sebagai sebuah demokrasi yang berfilosofi pada kehidupan baru yang bertanda bintang.
Rapat Dengar Pendapat Umum Ke-4 lebih menekankan pada spesifik dari permasalahan seperti kewenangan mata uang, sistem bikameral dan parpol lokal,
peraturan yang akan diciptakan serta pelusuran sejarah Pepera Papua. 4. Rapat Dengar Pendapat Umum Ke-5 Tanggal 26 September 2001
Rapat ini diagendakan dengan dengar pendapat dari Asosiasi Profesi, yang terdapat 17 orang Anggota Asosiasi. Terdapat Asosiasi Pertambangan Indonesia atau
API, Perhimpunan Ahlu Pertambangan Indonesia atau PERHAPI, Ikatan Ahli Geologi Indonesia atau IAGI, kemudian dari Indonesia Petrolium Asosiation atau
IPA, kemudian Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia atau IATMI, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia atau APHI dan Indonesian Gas Asosisation atau IGA.
Rapat Dengar Pendapat Umum telah diselesaikan selanjutnya Pansus membawa hasil Rapat pada Rapat Pleno Pembicaraan Tingkat IPenjelasan Pansus
atas RUU Usul Inisiatif DPR RI tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua tanggal 27 September 2001, yang dihadiri oleh 357 dari 483 anggota DPR,
Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Dalam Negeri dan Tim Asistensi Papua. Bagian selanjutnya adalah pembicaraan tingkat IIIPembahasan RUU Usul Inisiatif
DPR RI tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, melalui agenda pembahasan; 1. Daftar Inventarisasi Masalah atau DIM;
2. Rapat Kerja Panitia Khusus dan Laporan Singkat