18
dan ini berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpalkan negara pada pembuat delik itu. Selanjutnya Roeslan Saleh menyatakan bahwa memang nestapa ini
bukanlah suatu tujuan yang terakhir dicita-citakan masyarakat.
18
Beberapa defenisi di atas dapatlah disimpulkan bahwa pidana mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut : Pidana itu pada
hakikatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat- akibat lain yang tidak menyenangkan, pidana itu diberikan dengan sengaja oleh
orang atau badan yang mempunyai kekuasaan oleh yang berwenang, Pidana itu dikenakan kepada seseorang atau badan hukum korporasi yang telah melakukan
tindak pidana menurut undang-undang.
19
Menurut Van Hamel mengemukakan bahwa arti pidana atau straf menurut hukum positif dewasa kini, ialah “suatu penderitaan yang
bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab
dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggarnya, yaitu semata- mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang
harus ditegakkan oleh negara.”
20
2. Pengertian Tindak Pidana
Berdasarkan berbagai pandangan para ahli tentang arti pidana, tidak dapat dipungkiri bahwa nestapa atau penderitaan itu merupakan suatu unsur yang
memang ada dalam suatu pidana.
Berbicara tentang hukum pidana tidak akan terlepas dari masalah pokok yang menjadi titik perhatiannya, masalah pokok dalam hukum pidana tersebut
meliputi masalah tindak pidana perbuatan jahat, kesalahan, dan pidana serta
18
Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama : Bandung, 2006, hlm 6.
19
Ibid, hlm 7.
20
Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Jakarta : Cetakan Pertama, Prandya Paramita, 1996, hlm 57.
Universitas Sumatera Utara
19
korban.
21
Dalam Kepustakaan hukum pidana, istilah tindak pidana merupakan istilah yang dipakai sebagai terjemahan dari istilah bahasa belanda strafbaarfeit.
Tindak pidana merupakan perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, dimana pengertian perbuatan disini selain perbuatan yang
bersifat aktif melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang oleh hukum dan juga perbuatan yang bersifat pasif tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan
oleh hukum.
22
3. Teori-teori pemidanaan
Mengenai teori pemidanaan, pada umumnya dapat dikelompokkan dalam tiga golongan besar, yaitu :
a Teori absolut atau teori pembalasan vergeldings theorien
Teori absolut atau teori retributif memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan. Jadi berorientasi
pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Teori retributif mencari pendasaran pemidanaan dengan memandang ke masa lampau, yaitu
memusatkan argumen pada tindakan kejahatan yang sudah dilakukan. Menurut Sahetapy, teori absolut merupakan teori tertua, setua sejarah manusia. Teori ini
memandang pidana sebagai pembalasan terhadap pelaku kejahatan.
23
Menurut Karl O. Cristiansen, mengidentifikasi ciri-ciri pokok dari teori retributif, yakni : tujuan pidana semata-mata untuk pembalasan, pembalasan
merupakan tujuan utama, tanpa mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain,
21
Fuad Usfa dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana, Malang : Universitas Muhammadiyah Malang Press, 2004, hlm 32.
22
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012, hlm 50.
23
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track System dan Implementasinya, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003, hlm 34.
Universitas Sumatera Utara
20
misalnya kesejahteraan rakyat. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat bagi adanya pidana, pidana harus disesuaikan dengan kesalahan pembuat, pidana
melihat ke belakang yang merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik atau memasyarakatkan kembali pelanggar.
24
b Teori relatif atau teori tujuan
Berdasarkan hal tersebut, dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang berdasarkan Pancasila, teori pembalasan tidak mendapat tempat dalam
sistem pemidanaan di indonesia. Ajaran hukum pidana modern, teori pembalasan sudah ditinggalkan sejak abad ke 18.
Teori relatif atau teori tujuan berporos pada tiga tujuan utama pemidanaan, yaitu preventif, deterrence dan reformatif. Tujuan prevention dalam
pemidanaan adalah untuk melindungi masyarakat dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari masyarakat. Berdasarkan kepustakaan pemidanaan, hal ini
disebut incapacitation. Tujuan menakuti atau deterrence dalam pemidanaan adalah menimbulkan rasa takut melakukan kejahatan. Tujuan ini dibedakan dalam
tiga bagian, yaitu tujuan yang bersifat individual, tujuan yang bersifat publik dan tujuan yang bersifat jangka jangka panjang. Tujuan deterrence yang bersifat
individual dimaksudkan agar pelaku menjadi jera untuk melakukan kejahatan, sedangkan tujuan deterrence yang bersifat publik, agar anggota masyarakat lain
merasa takut untuk melakukan kejahatan. Tujuan deterrence yang bersifat jangka panjang atau long term deterrence adalah agar dapat memelihara keajegan sikap
24
Ibid, hlm 35.
Universitas Sumatera Utara
21
masyarakat terhadap pidana. Teori ini sering disebut sebagai educative theory atau denunciation theory.
Teori relatif memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai tujuan yang bermanfaat
untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. dari teori ini muncullah tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusu
khusus yang ditujukan pada si pelaku maupun pencegahan umum yang ditujukan pada masyarakat.
25
c Teori Gabungan
Teori gabungan ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar
dari penjatuhan pidana. Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu sebagai berikut : Teori gabungan yang mengutamakan
pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya tata tertib masyarakat, dan teori
gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat dari pada perbuatan
yang dilakukan terpidana.
26
4. Pengertian Narapidana