104
2. Visi Bernegara Indonesia tentang Hubungan antara Negara dan
Agama
Visi bernegara Indonesia tentang hubungan antara negara dan agama bersifat
ambigu lihat kembali
supra
Sub-judul A. Negara Indonesia menolak predikat sebagai negara agama dan sebagai negara sekuler.
116
Kondisi ini menimbulkan dampak negatif pada aras kebijakan negara berkenaan dengan soal-
soal keagamaan. Walaupun kebebasan beragama merupakan hak yang universal, namun pelaksanaan perlindungan terhadap hak tersebut di Indonesia sangat
dipengaruhi oleh visi yang ambigu tentang hubungan antara negara dan agama. Konsekuensi logisnya adalah ketiadaan batasan secara tegas terhadap kekuasaan
intervensionis negara untuk soal-soal keagamaan.
Hal ini merupakan keprihatinan serius sejumlah tokoh bangsa yang memiliki aspirasi supaya kemajemukan Indonesia dikelola berdasarkan asas
pluralisme, bukan eksklusivisme. Salah satu tokoh bangsa yang sangat
concern
dengan isu ini adalah K.H. Abdurrahman Wahid Gus Dur. Gus Dur secara tegas menentang pencampuradukan urusan agama dan negara, serta memilih untuk
berpihak pada asas pluralisme sebagai dasar hubungan antara negara dan agama.
117
Gus Dur meminta legislator untuk melihat Pancasila sebagai dasar negara serta prinsip non-diskriminasi dalam kebebasan beragama, sehingga tidak
terjadi intervensi yang berlebihan pada urusan agama yang berujung pada
116
Nicola Cobran, Op. Cit ., hlm. 683. “Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan hasil kompromi
antara kelompok pendukung nasionalisme sekuler dan kelompok yang menginginkan Islam sebagai dasar negara.
117
Abdurrahman Wahid, Membangun Demokrasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1999, hlm. 29.
105 diskriminasi.
118
Agama ditekankan hanya sebagai dasar moral dalam kehidupan bernegara, bukan sebagai dasar penyusunan peraturan perundang-undangan.
119
Perdebatan mengenai konsep hubungan negara dan agama mencapai konsensus puncak dalam UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara menjamin
kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agama apa pun dan untuk menjalankan ibadahnya sesuai dengan agama masing-masing.
120
Namun desain konstitusional tersebut tidak cukup kuat untuk membentengi hak atas kebebasan
beragama di Indonesia. Sehingga yang kemudian terjadi, peraturan perundang- undangan sebagai pengaturan mengenai persoalan keagamaan di Indonesia tidak
mampu memberikan perlindungan terhadap hak atas kebebasan beragama bagi setiap orang sebagai hal yang prinsip. Sebaliknya, hal itu justru menjadi legitimasi
bagi pemerintah untuk melakukan intervensi secara berlebihan dan sekaligus menjadi alasan bagi sebagian orang untuk bersikap tidak toleran terhadap
penganut agama berbeda. Hal ini adalah sumber utama inkoherensi pengaturan hukum nasional dengan hukum internasional sebagaimana akan didiskusikan
selanjutnya di bawah.
3. Prinsip Non-Intervensi dan Prinsip Non-Diskriminasi