2.3.1.1. Cara membuat keripik nanas :
• Nanas dikupas, lalu dibuang hati buahnya. Kemudian nanas dipotong
dalam ukuran seragam 0,5 cm. Kemudian dipotong kembali menjadi dua
atau empat bagian. Catatan, ketebalan ini berkaitan erat dengan waktu
penggorengan. •
Potongan nanas direndam dalam larutan garam 10 gr100lt selama 1-3 jam untuk menambah citarasa, lalu tiriskan. Kemudian rendam lagi di dalam
air kapur selama 1-2 jam. Tiriskan. Cuci dan bilas buah untuk menghilangkan bau kapur.
• Celupkan blanching potongan buah ke dalam air mendidih beberapa kali
selama 5 menit. Kemudian rendam irisan buah nanas pada larutan
natriumkalium bisulfit selama 15 menit lalu ditiriskan.
• Goreng atau masukkan irisan buah nanas pada vacuum fryer dengan suhu
80-85
o
C. Angkat dan tiriskan. Penirisan dapat menggunakan mesin peniris spinner. Kemudian, kemas keripik dalam wadah yang telah
disiapkan Suprapti, 2001 dalam Rahmat, Farid 2007. 2.3.2. Keripik Nangka
Keripik nangka salah satu jenis makanan olahan baru yang terbuat dari buah nangka prinsip pembuatan keripik nangka adalah pengeringan pada suhu
rendah. Dalam proses pembuatannya tidak mengalami penambahan zat-zat kimia karena sebagai bahan baku keripik nangka, rasa dan aroma nangka yang lebih
diutamakan. Tuntutan mengenai kualitas buah memang belum diterapkan maupun tentang syarat varietas dan ketebalan daging buahnya, namun di lebih
dipentingkan adalah syarat kuantitas buahnya sebab untuk mendapatkan bahan
baku buah nangka relatif sulit akibat belum adanya pemasok buah nangka yang
sanggup mensuplai kebutuhan bahan baku secara berkesinambungan. Bona Lestari,2008
2.3.2.1. Cara Pembuatan Keripik nangka
• Nangka utuh dibelah kemudian dipisahkandiambil daging dari bijinya
kemudian diiris kecil kecil dengan Ukuran kurang lebih 2 x 2 cm atau 2 x 3cm atau 3 x 4 cm, Nangka yang sudah ditiriskan tidak boleh terkena air
• Masukkan nangka kedalam tabung penggoreng. Sebelum dimasukkan
kedalam tabung penggoreng, minyak dipanaskan terlebih dahulu selama 20 – 30 menit, Setelah nangka dimasukkan tabung ditutup. Kapasitas nangka
dan jumlah minyak tergantung jenis mesinnya, kecil, sedang, besar. Proses penggorengan : 1 jam 15 menit sd 1 jam 30 menit, suhu minyak sd 90
C memanaskan kompor 0.9 bar
• Dipanaskan dengan sekali-sekali diaduk, Dari lubang kaca, dapat dilihat
gelembung–gelembung minyak sudah tenang menandakan nangka sudah matang angkat dan tiriskan. Penirisan dapat menggunakan mesin peniris
spinner, kemudian kemas keripik dalam wadah yang telah disiapkan.
Effendi, 2010 2.4. Karakteristik Agroindustri
Sebelum mengembangkan agroindustri pemilihan jenis agroindustri merupakan keputusan yang paling menentukan keberhasilan dan keberlanjutan
agroindustri yang akan dikembangkan. Pilihan tersebut ditentukan oleh kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada tiga komponen dasar
agroindustri, yaitu pengadaan bahan baku, pengolahan dan pemasaran.
Pemasaran biasanya merupakan titik awal dalam analisis proyek agroindustri. Analisis pemasaran mengkaji lingkungan eksternal atau respon
terhadap produk agroindustri yang akan ditetapkan dengan melakukan karakteristik konsumen, pengaruh kebijaksanaan pemerintah dan pasar
internasional. Kelangsungan agroindustri ditentukan pula oleh kemampuan dalam pengadaan bahan baku. Tetapi pengadaan bahan baku jangan sampai merupakan
isu yang dominan sementara pemasaran dipandang sebagai isu kedua, karena baik pemasaran maupun pengadaan bahan baku secara bersama menentukan
keberhasilan agroindustri. Tetapi karena pengkajian agronomi memerlukan waktu dan sumberdaya yang cukup banyak maka identifikasi kebutuhan pasar sering
dilakukan terlebih dahulu. Alasan lain adalah karena lahan dapat digunakan untuk berbagai tanaman
atau ternak, sementara pengkajian pemasaran dapat memilih berbagai alternatif tanaman atau ternak. Karakteristik agroindustri yang menonjol sebenarnya adalah
adanya ketergantungan antar elemen-elemen agroindustri, yaitu pengadaan bahan baku, pengolahan, dan pemasaran produk. Agroindustri harus dipandang sebagai
suatu sistem yang terdiri dari empat keterkaitan sebagai berikut: a. Keterkaitan mata rantai produksi, adalah keterkaitan antara tahapan-
tahapan operasional mulai dari arus bahan baku pertanian sampai ke prosesing dan kemudian ke konsumen.
b. Keterkaitan kebijaksanaan makro-mikro, adalah keterkaitan berupa pengaruh kebijakan makro pemerintah terhadap kinerja agroindustri.
c. Keterkaitan kelembagaan, adalah hubungan antar berbagai jenis organisasi yang beroperasi dan berinteraksi dengan mata rantai produksi agroindustri.
d. Keterkaitan internasional, adalah kesaling ketergantungan antara pasar nasional dan pasar internasional dimana agroindustri berfungsi.
Pengelolaan agroindustri dapat dikatakan unik, karena bahan bakunya yang berasal dari pertanian tanaman, hewan, buah mempunyai tiga karakteristik,
yaitu musiman seasonality, mudah rusak perishabelity, dan beragam variability. Tiga karakteristik lainnya yang perlu mendapat perhatian adalah:
Pertama, karena komponen biaya bahan baku umumnya merupakan komponen
terbesar dalam agroindustri maka operasi mendatangkan bahan baku sangat menentukan operasi perusahaan agroindustri. Ketidakpastian produksi pertanian
dapat menyebabkan ketidakstabilan harga bahan baku sehingga merumitkan
pendanaan dan pengelolaan modal kerja. Kedua, karena banyak produk-produk
agroindustri merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi atau merupakan komoditas penting bagi perekonomian suatu negara maka perhatian dan
keterlibatan pemerintah dalam kegiatan agroindustri sering terlalu tinggi. Ketiga,
karena suatu produk agroindustri mungkin diproduksi oleh beberapa negara maka agroindustri lokal terkait ke pasar internasional sebagai pasar alternatif untuk
bahan baku, impor bersaing, dan peluang ekspor. Fluktuasi harga komoditas yang tinggi di pasar internasional memperbesar
ketidakpastian finansial disisi input dan output. Salah satu permasalahan yang timbul akibat sifat karakteristik bahan baku agroindustri dari pertanian adalah
tidak kontinyunya pasokan bahan baku, sehingga seringkali terjadi kesenjangan antara ketersediaan bahan baku dengan produksi dalam kegiatan agroindustri idle
investment. Sebagai salah satu contoh pada tahun 1986 dari 6 janis kegiatan
agroindustri terjadi idle investment sekitar 20–60 persen dengan urutan
agroindustri adalah margarine, minyak kelapa, makanan ternak, dan pengolahan
ikan Lukmana, A. 1995 2.5. Analisis Efisiensi Usaha
Menurut Soekartawi 1995, biaya di klasifikasikan menjadi dua yaitu biaya tetap fixed cost dan biaya tidak tetap variable cost. Biaya tetap
didefinisikan Biaya yang penggunaannya tidak habis dalam sekali proses produksi seperti biaya penyusutan alat, biaya penyusutan Bangunan dan pajak, biaya tidak
tetap adalah biaya yang besar kecilnya sangat tergantung pada besarnya skala produksi seperti biaya bahan baku, biaya bahan penunjang dan biaya tenaga kerja.
Sumodiningrat dan Iswara dalam Khairudin 2008 mengemukakan
bahwa faktor produksi yang diperlukan dalam proses produksi dapat diklasifikasikan menjadi 1. Faktor produksi alam meliputi tanah, bahan tambang
dan bahan mineral, kekuatan air dan hewan dan hasil pertanian, 2. Faktor produksi tenaga kerja merupakan elemen yang mengorganisasikan proses
produksi, 3. Faktor produksi modal yaitu setiap barang yang timbul karena produksi dan berguna lagi bagi produksi selanjutnya
Umumnya faktor produksi yang dialokasikan pengusaha terdiri dari faktor produksi yang dapat dihitung dan faktor produksi yang tidak dapat dihitung.
Faktor produksi yang dapat dihitung misalnya jumlah bahan baku, jumlah bahan penunjang serta jumlah tenaga kerja sedangkan faktor produksi yang tidak dapat
dihitung seperti keterampilan dan manajemen yang dimiliki.Sofyansori dalam khairudin 2008
Soekartawi 2001 mengemukakan bahwa pendapatan bersih usaha
adalah selisih antara penerimaan dan pengerluaran usaha dalam jangka waktu
tertentu, baik yang dijual maupun tidak dijual. Penerimaan dihitung dengan jalan mengalihkan produksi dengan harga yang berlaku dipasar. Sedangkan
pengeluaran total usaha adalah nilai semua masukkan yang habis dipakai atau dikeluarkan dalam proses produksi. Pendapatan bersih digunakan untuk mengukur
imbalan yang diperoleh dari penggunaan faktor-faktor produksi seperti tempat usaha, tenaga kerja, modal dan pengolahan.
Pendapatan kotar adalah sebagai nilai produk total dalam waktu tertentu baik yang dijual maupun yang tidak dijual, pengeluaran total diperoleh dari nilai
semua masukkan yang habis dipakai dan dikeluarkan dalam satu kali produksi. Pengusaha selalu berusaha untuk mendapatkan suatu penerimaan yang
lebih baik. Ukuran penerimaan adalah semua pendapatan yang berasal dari penjualan hasil produksi setelah dikurangi dengan pengeluaran baik pengeluaran
tetap maupun pengeluaran tidak tetap. Pencapaian tujuan produksi dan produktivitas melalui perusahaan pertanian harus benar-benar memperhitungkan
pengeluaran dan pemasukkan dan harus menjual produksinya dipasar dengan
harga yang tinggi Soekartawi,1993 dalam Bona Lestari, 2008
Perhitungan Nilai tambah diperoleh dari selisih nilai produk dengan penjumlahan nilai bahan baku utama dan nilai bahan baku penunjang. Analisis
Nilai Tambah ini berguna untuk melihat besar kecilnya nilai tambah yang terdapat pada produk agroindustri yang dihasilkan dari bahan baku dan bahan penunjang
yang diolah per proses produksi.
Menurut Mubyarto 1991 bahwa besar kecilnya pendapatan dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu 1. Efisiensi biaya produksi, produk yang efisien akan meningkatkan pendapatan bersih pengusaha, karena proses produksi yang efisisen
akan menyebabkan biaya perproses produksi akan semakin rendah, 2. Efisiensi pengadaan bahan baku dan faktor- faktor produksi.
Efisiensi usaha agroindustri dapat diketahui melalui beberapa alat ekonomi diantaranya Return Cost Ratio RCR dengan tujuan untuk mengetahui
keuntungan yang akan diperoleh. Dalam hal ini erat dengan layak atau tidaknya usaha untuk dikembangkan dan mempunyai prospek yang baik, untuk dilanjutkan
dengan kriteria sebagai berikut RCR 1 usaha tersebut efisien dan menguntungkan, jika RCR 1 maka usaha tersebut tidak layak atau rugi dan bila
RCR =1 berarti Impas Kardinan A. R,2004 dalam Bona Lestari,2008
BAB III METODE PENELITIAN