Ketahanan Kota Terhadap Perubahan Iklim

Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 1 1. KONTEKS Intergovernmental Panel on Climate Change IPCC melaporkan bahwa rata-rata suhu permukaan bumi meningkat sebanyak 0.76˚C selama 150 tahun dan akan terus meningkat hingga mencapai 4˚C dalam tahun 2100. Peningkatan suhu tersebut menyebabkan perubahan pola curah hujan, cuaca ekstrim, dan kenaikan muka air laut dan berakibat pada beberapa bahaya iklim. Beberapa bahaya yang berkaitan dengan perubahan iklim meliputi banjir, longsor, dan kekeringan dalam periode yang lebih lama. Bahaya ini menyebabkan dampak negatif juga terhadap hal-hal lain seperti ketahanan pangan, ketersediaan air, dan perkembangan penyakit vektor. Seluruh hal tersebut tentu tidak terlepas dari mata pencaharian, aset properti, infrastruktur, dan lain sebagainya yang terkait dengan pembangunan. Tanpa adanya langkah apapun untuk menghadapi situasi tersebut, bukan tidak mungkin kondisinya akan semakin memburuk di masa depan. Di waktu yang sama, dunia sedang mengalami proses urbanisasi yang pesat. Hasil laporan dari World Bank menyatakan bahwa populasi perkotaan akan meningkat dari 3,5 miliar penduduk menjadi 5 miliar di tahun 2030, yang mencakup 23 dari total populasi dunia. Fenomena migrasi dari perdesaan ke perkotaan akan lebih banyak terjadi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Penduduk miskin perkotaan merupakan yang paling banyak tinggal di daerah rawan dan memiliki keterbatasan terhadap sumber daya dalam mengatasi bencana. Oleh karena itu, penduduk miskin perkotaan akan menjadi pihak yang paling rentan dan dipaksa untuk mampu beradaptasi dengan dampak perubahan iklim.

1.1 Ketahanan Kota Terhadap Perubahan Iklim

Istilah Ketahanan Kota terhadap Perubahan Iklim lebih dikenal di dunia internasional dengan istilah Urban Climate Change Resilience UCCR. The Institute for Social and Environmental Transition ISET, sebuah lembaga penelitian mendeinisikan UCCR sebagai upaya untuk menghadapi perubahan dan ketidakpastian menggunakan berbagai sumber daya dan kemampuan yang memungkinkan pembangunan untuk tetap berfungsi dan berjalan di tengah dampak-dampak perubahan iklim yang terjadi ISET, 2013. Melalui konsep Urban Climate Resilience Planning Framework UCRPF, ketahanan dideinisikan dengan bagaimana sistem perkotaan, agen sosial, dan tata kelola berinteraksi untuk ‘menyerap gangguan dan belajar dari gangguan’ dalam menghadapi dampak dari perubahan iklim. Sistem perkotaan adalah “apa” saja yang akan dikelola baik itu infrastruktur dan ekosistem; agen adalah “siapa” saja yang dapat membuat keputusan dan kemudian bertindak berdasarkan keputusannya baik itu organisasi dan perorangan; dan institutiontata kelola merupakan pedoman “bagaimana” suatu tindakan diperbolehkan atau dilarang hukum, peraturan, perundang-undangan, dan struktur. Ketika kota mengalami kejadian bencana, hal yang penting adalah bagaimana sistem pelayanan di kota dapat tetap berfungsi, bisa pulih dan beradaptasi dengan cepat. Ini dipengaruhi oleh kapasitas dari kota tersebut berdasarkan leksibilitasnya termasuk pengetahuan dan pengalaman dari peristiwa sebelumnya, kemampuan mengelola kapasitas dan kemampuan untuk mengalihkan sebagian sistem yang mengalami kerusakan, serta kemampuan menghindari efek bola salju snowball effect. Hal ini juga bergantung kepada interdependensi dari sistem itu sendiri. Kegagalan dari sistem yang kritis seperti energi dan ketersediaan air, contohnya, dapat memberikan dampak terhadap sistem lainnya seperti pelayanan kesehatan. 2 Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim Analisis hubungan dan keterkaitan diantara sistem perkotaan, para pelaku, dan sistem tata kelola dapat menentukan ketahanan suatu kota. Keterkaitan dan hubungan saling ketergantungan yang positif diantara ketiga komponen tersebut dan juga pembelajaran yang terus terjadi dapat meningkatkan ketahanan kota itu sendiri. Asian Cities Climate Change Resilience Network ACCCRN – Jejaring Ketahanan Kota-Kota Asia Terhadap Perubahan Iklim Saat ini berbagai isu yang berkaitan dengan perubahan iklim dan pembangunan perkotaan banyak menarik perhatian baik pihak masyarakat, komunitas, pemerintah, dan swasta private sector. ACCCRN merupakan kegiatan yang diinisiasi oleh Rockefeller Foundation yang berjalan dari tahun 2008 sampai tahun 2016. ACCCRN bertujuan untuk membangun jaringan ketahanan kota-kota Asia terhadap dampak perubahan iklim melalui fokus pendanaan dan kegiatan dengan perhatian kepada kebutuhan masyarakat yang miskin dan rentan. Di awal, ACCCRN bekerja di 10 kota dengan jumlah penduduk berkisar 2 juta jiwa yang mencakup di Gorakhpur, Indore dan Surat India, Semarang dan Bandar Lampung Indonesia, Hat Yai dan Chiang Rai Thailand, Da Nang, Quy Nhon, dan Can Tho Vietnam, dan saat ini masih terus berkembang. Dampak perubahan iklim terparah kemungkinan besar akan terjadi di kawasan perkotaan karena perkotaan merupakan lokasi terkonsentrasinya penduduk, sumber daya dan infrastruktur World Bank, 2008. Di Indonesia, diperkirakan sekitar 67.5 dari total populasi akan tinggal di area perkotaan pada tahun 2025 dan sebagian besar penduduk perkotaan di Indonesia tinggal di daerah pesisir sehingga rentan terhadap bencana banjir, kenaikan muka air laut, dll UN-Habitat, 2012. Urbanisasi yang pesat memberikan tekanan terhadap pelayanan perkotaan seperti penyediaan air bersih, sanitasi, sistem kesehatan, kelistrikan, dan infrastruktur transportasi. Selain itu, urbanisasi juga memberikan tekanan sosial seperti jumlah angka pengangguran yang terkonsentrasi di area perkotaan dan terus meningkat dari 55,2 di tahun 2008 menjadi 60,2 di tahun 2012 Depnakertrans, 2012. Mercy Corps Indonesia berdiri sejak tahun 1999 merupakan implementer untuk program ACCCRN di Indonesia. Beberapa lingkup kerja Mercy Corps Indonesia selain untuk program adaptasi perubahan iklim yaitu pengembangan ekonomi, kesehatan, sanitasi, dan pengurangan risiko bencana. Program ACCCRN mencoba untuk mencapai tiga hal, di antaranya: • Pengembangan kapasitas: Meningkatkan kapasitas untuk merencanakan, mencari peluang pendanaan, berkordinasi, dan melaksanakan strategi ketahanan terhadap perubahan iklim. • Mengembangkan jejaring untuk pengetahuan dan pembelajaran: Berbagi pengalaman dan pengetahuan praktik dalam membangun ketahanan kota terhadap perubahan iklim urban climate change resilience . Agen para pelaku merupakan kunci terpenting karena merekalah yang membuat keputusan berdasarkan motivasi dan informasi yang berbeda-beda, dan memiliki kapasitas untuk mengantisipasi isu-isu dan memvisualisasikan solusi berdasarkan pengalamannya. Tindakan-tindakan para pelaku bersifat dinamis meskipun sistem bersifat tetap dari waktu ke waktu. Para pelaku yang memiliki kapasitas pelengkap-seperti dunia usaha dengan sumber daya inansial dan kelompok masyarakat dengan kekuatan untuk mengorganisir dapat meningkatkan ketahanan kota melalui kolaborasi antar pelaku. Reformasi tata kelola sangat penting dilakukan untuk meningkatkan ketahanan dari sistem perkotaan karena dapat juga melatih para pelaku kota untuk dapat bertindak lebih leksibel. Tata kelola yang mendukung kebijakan terkait dengan inklusivitas gender, contohnya, dapat menurunkan marginalisasi sosial dan meningkatkan kapasitas dari para pelaku untuk membangun ketahanan. 1. KONTEKS Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim 3 1. KONTEKS • Perluasan dan peningkatan: Memperkuat ketahanan di kota-kota yang telah berpartisipasi, dan memperluas dampak melalui replikasitransfer praktek kepada kota baru dan stakeholder yang beragam Dokumen ini menyediakan bagian dari proses, penjelasan bagaimana kajian risiko iklim CRA dan strategi ketahanan kota CRS dapat disusun berdasarkan pengalaman dan pembelajaran mengenai ‘apa yang bekerja’ dan ‘apa yang dibutuhkan’ untuk terus berimprovisasi.

1.2 Tujuan dari Dokumen CRA