panduan penyusun kajian risiko iklilm climate risk assessment cra final a4

(1)

PANDUAN PENYUSUNAN

KAJIAN RISIKO IKLIM

CLIMATE RISK ASSESSMENT (CRA)


(2)

darurat bencana. Melalui berbagai programnya, Mercy Corps Indonesia telah membantu masyarakat Indonesia yang tersebar di berbagai daerah di Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan, Bali, Sulawesi, Nusa Tenggara, Papua, Papua Barat dan Maluku.

Kontributor:

Shinta Michiko Puteri Fanni Harliani

Latifa Sitadevi Editor:

Aniessa Delima Sari Nyoman Prayoga Ratri Sutarto Layout:

Philco Aritonang Kevin Simon


(3)

PANDUAN PENYUSUNAN

KAJIAN RISIKO IKLIM

CLIMATE RISK


(4)

yang berdampak ke kota sehingga selanjutnya dapat disusun aksi-aksi strategis dalam membangun ketahanan kota terhadap perubahan iklim. Dokumen panduan ini memiliki metodologi yang dapat terus diperbarui serta dikembangkan untuk menilai risiko iklim yang direkomendasikan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC).

Dokumen Climate Risk Assessment – Kajian Risiko Iklim (CRA) ini merupakan panduan untuk menilai

kerentanan suatu kota, bahaya iklim yang dihadapi, serta risiko yang dimiliki sebagai dampak dari perubahan iklim. Hal ini meliputi cara kota itu sendiri dalam merespon dampak perubahan iklim yang dilihat berdasarkan elemen sosial, lingkungan, ekonomi, dan pemerintahan.

Kajian risiko iklim, yang akan dibahas lebih lanjut dalam dokumen ini, memiliki beberapa tujuan di antaranya:

• Menyediakan gambaran umum tentang kerentanan kota, potensi bahaya iklim, dan dampaknya terhadap sistem perkotaan dan pembangunan kota.

• Menilai peluang dan kesenjangan kapasitas yang dimiliki kota dalam menghadapi kerentanan dan bahaya iklim.

• Menyusun informasi dasar mengenai kerentanan yang dapat ditinjau kembali secara berulang dan mengintegrasikannya ke dalam perencanaan dan proses penganggaran pemerintah daerah.

Perencanaan Ketahanan Kota; Mengapa Penting?

Isu perubahan iklim sebagai ancaman terhadap kota-kota di Indonesia

Perubahan iklim merupakan implikasi dari pemanasan global yang semakin nyata dirasakan oleh masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Dampak perubahan iklim stendiri sudah dirasakan banyak masyarakat perkotaan, namun banyak yang belum paham betul tentang apa yang terjadi. Maka, pemahaman mengenai perubahan iklim secara ilmiah maupun praktis perlu ditingkatkan.

Perlu diketahui, yang paling rentan terhadap perubahan iklim adalah negara pesisir pantai, kepulauan, dan negara berkembang dan Indonesia termasuk dalam ketiga tipe tersebut. Kajian BNPB tahun 2011 menyebutkan bahwa frekuensi bencana terkait iklim dan cuaca di Indonesia terus meningkat dalam 10 tahun terakhir. Di tahun 2013 saja, setidaknya terdapat 1.254 kejadian bencana iklim dan cuaca yang memberikan dampak pada lebih dari 800 ribu orang dan menyebabkan lebih dari 300 ribu orang mengungsi.

Perubahan iklim telah berdampak pada semakin tingginya intensitas dan jenis bencana perubahan iklim yang terjadi seperti banjir, rob, kekeringan, angin puting beliung, ketidakpastian musim, penurunan produktivitas pertanian, serta wabah penyakit. Hal ini mengakibatkan besarnya kerugian yang dialami masyarakat di perkotaan baik secara material maupun immaterial. Langkah antisipatif sebaiknya mulai dilakukan dari sekarang sebelum keadaan semakin memburuk. Maka dari itu, dibutuhkan suatu perencanaan ketahanan iklim yang dapat dilakukan melalui penyusunan Kajian Risiko Iklim serta Strategi Ketahanan Kota.


(5)

Instrumen Kebijakan Nasional yang Mendukung Perencanaan Ketahanan Kota

Pemerintah pusat telah mendukung berbagai upaya untuk menghadapi dampak perubahan iklim. Di antaranya ada beberapa kebijakan nasional yang mendukung kebutuhan agar kota-kota mulai bergerak dalam konteks perubahan iklim.

• RAN-API (Rencana Aksi Nasional – Adaptasi Perubahan Iklim) yang dikeluarkan oleh Bappenas tahun 2014 memberi arahan bagi kota dan wilayah yang rentan terhadap dampak perubahan iklim untuk menyusun kajian kerentanan dan risiko iklim;

• RAN-GRK (Rencana Aksi Nasional – Gas Rumah Kaca) disusun untuk memberikan kerangka kebijakan untuk pemerintah pusat, pemerintah daerah, pihak swasta dan para pemangku kepentingan lainnya dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan upaya mengurangi emisi gas rumah kaca;

• Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sedang menyusun sistem kajian kerentanan online bernama SIDIK (Sistem Inventarisasi Data Indeks Kerentanan Perubahan Iklim) yang akan memberi kesempatan ke kota untuk dapat melihat dan menilai secara mandiri kerentanan dan risiko daerahnya masing-masing;

• Saat ini di dalam SDGs (Sustainable Development Goals) yang juga harus diikuti oleh Indonesia

telah mencantumkan salah satu fokus untuk menghadapi perubahan iklim, yaitu “take urgent action tocombat climate change and its impacts” dalam aksi ke-13 Climate Action.

• Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat ini telah mengeluarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.33/Menlhk/Setjen/Kum.1/3/2016 tentang Pedoman Penyusunan Aksi Adaptasi Perubahan Iklim yang memberikan arahan untuk setiap kota-kota di Indonesia menyusun dokumen Adaptasi Perubahan Iklim.

Apa itu Kajian Risiko Iklim dan Strategi Ketahanan Kota?

Kajian Risiko Iklim – Climate Risk Assessment (CRA)

Dokumen Kajian Risiko Iklim atau sering disebut Climate Risk Assessment (CRA) berisi analisis

risiko perubahan iklim kota yang terdiri dari dua konten utama, yaitu analisis kerentanan dan analisis bencana iklim. Dokumen ini dapat menunjukkan karakter isik, sosial, ekonomi kota lokasi-lokasi yang rawan atau yang membutuhkan peningkatan kapasitas kota terhadap bahaya perubahan iklim. Dengan mengetahui sektor-sektor dan area yang rentan terdampak perubahan iklim, maka diharapkan dapat menjadi acuan kota untuk melakukan aksi adaptasi perubahan iklim.

Dokumen ini diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi pemerintah daerah dan bagi stakeholder lainnya seperti kalangan akademisi, LSM, kelompok masyarakat, dan dunia usaha untuk berkontribusi dalam usaha membangun ketahanan terhadap perubahan iklim. Dokumen ini bukanlah dokumen yang statis karena dapat disesuaikan dengan perkembangan metode dan kebutuhan kota.


(6)

Setelah kota memiliki Kajian Risiko Iklim atau CRA, maka selanjutnya kota perlu memiliki dokumen Strategi Ketahanan Kota atau sering disebut dengan City Resilience Strategy (CRS). Dokumen ini berisi kumpulan strategi aksi yang merespon perubahan iklim dan penjabaran rencana aksi atau kegiatan yang perlu dilakukan sehingga dapat berkontribusi untuk meningkatkan ketahanan kota terhadap perubahan iklim.

Dokumen ini dapat menjadi dasar bagi kota untuk mengakses pendanaan baik melalui sistem pendanaan daerah dan nasional, maupun dari pendanaan eksternal lainnya seperti swasta, donor, maupun bentuk kerjasama lainnya di bidang pembangunan. Dokumen ini diharapkan dapat diakses oleh publik sehingga dapat mendorong kontribusi berbagai pihak secara lebih luas. Dengan begitu diharapkan kota dapat mengakselerasi terwujudnya kota yang berketahanan iklim.

CRA dan CRS merupakan dokumen yang terintegrasi dan saling terkait dan disebut sebagai CRP atau Climate Resilience Planning (Perencanaan Ketahanan Kota). Pemerintah Kota dapat menggunakan dokumen tersebut untuk diintegrasikan ke dalam perencanaan pembangunan dan proses penganggaran pemerintah. Terbatasnya anggaran pemerintah sering menjadi kendala dalam pelaksanaan pembangunan kota. Dokumen CRP ini dapat menjadi peluang bagi pemerintah daerah untuk mengajak stakeholder yang lebih luas untuk berkontribusi dalam aksi-aksi pembangunan kota dan sekaligus menyelesaikan permasalahan perkotaan.


(7)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

I

DAFTAR TABEL

II

DAFTAR GAMBAR

III

GLOSARIUM

IV

1.

KONTEKS

1

1.1 Ketahanan Kota Terhadap Perubahan Iklim

1

1.2

Tujuan dari Dokumen CRA

3

1.3

Proses Penyusunan Dokumen CRA dan CRS 4

2.

DEFINISI DAN KONSEP DASAR

6

2.1 D

eini

si yang Berkaitan dengan Konsep Umum

6

2.1.1 Fenomena Perubahan Iklim

6

2.1.2 Adaptasi Perubahan Iklim

6

2.1.3 Ketahanan

6

2.2

Deinis

i & Konsep yang Berhubungan dengan Kajian Risiko Iklim

7

2.2.1 Risiko

7

2.2.2 Bahaya

8

2.2.3 Kerentanan

9

2.3

Kajian Risiko Iklim: Tidak Ada Framework yang Standar

10

3.

ELEMEN DASAR (

BUILDING BLOCKS

) KAJIAN RISIKO IKLIM

14

3.1

Kajian Risiko Iklim dalam Sistem Perencanaan dan Pemerintahan

15

3.2

Tim Kota

15

3.3

Tim Kajian Risiko Iklim (Risk Assessment Team)

17

3.4

Shared Learning Dialogues/Konsultasi Publik

18

3.5

Pengumpulan Data : Sumber dan Metode

21

4.

PENYUSUNAN KAJIAN RISIKO IKLIM

24

A.

Proil Kota

25

A.1 Informasi Umum

26

A.2 Aspek Fisik dan Lingkungan

26

A.3 Aspek Sosial

26

A.4 Aspek Ekonomi

26

B

Fenomena Perubahan Iklim

27


(8)

C

Analisis Bahaya Iklim

34

C.1 Identiikasi Bahaya

34

C.2 Matriks Bahaya

35

C.3 Skoring Bahaya

37

C.4 Tingkat Bahaya Gabunga

37

D

Analisis Kerentanan

38

D.1 Identiikasi dan Kategorisasi Indikator

38

D.2 Pengolahan Data

39

D.3 Normalisasi

39

D.4 Pembobotan

39

D.5 Penentuan Kuadran

40

E

Analisis Risiko

42

E.1 Analisis Risiko Iklim Saat Ini

43

E.2 Analisis Risiko Iklim di Masa Depan

44

F

Kapasitas Tata Kelola dan Kapasitas Pelaku

44

F.1 Pilihlah Institusi/Organisasi yang Akan di Nilai

45

F.2 Wawancara Stakeholder

45

F.3 Analisis Hasil Wawancara

46

5.

REKOMENDASI UNTUK MENDUKUNG PROSES

50

5.1

Bagaimana

Cara

Menyusun

Dokumen?

50

5.2

Bagaimana

Cara

Membuat

Dokumen

Advokasi?

52

5.3

Mengupdate

Kajian

Risiko

Iklim 53

DAFTAR TABEL

Tabel

2.

1

Daftar

Bahaya

Meteorologi

8

Tabel 3. 1 Peran Kelompok Stakeholder dalam Tim Kota

16

Tabel 4. 1 Skenario dalam Proyeksi Iklim Kota

30

Tabel 4. 2 Hubungan Nilai Peluang dan Periode Ulang Kejadian Iklim

31

Tabel 4. 3 Contoh Tampilan Keluaran Hasil Pengolahan Data Per Skenario

32

Tabel 4. 4 Matriks Peluang Terjadinya Iklim Ekstrim

33

Tabel

4.

5

Skala

Kemungkinan

Bahaya 35

Tabel 4. 6 Penentuan Skala Konsekuensi Bahaya

36

Tabel 4. 7 Matriks Penentun Tingkat Bahaya

36

Tabel

4.

8

Contoh

Skoring

Bahaya

37

Tabel 4. 9 Kategorisasi Tingkat Kerentanan Berdasarkan Nilai IKS dan IKA

40

Tabel 4. 10 Matriks Penentuan Tingkat Risiko

43

Tabel 4. 11 Contoh Kajian Peraturan-Peraturan

47


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Konsep Umum Kajian Risiko Iklim

7

Gambar 4.1 Tahapan Menyusun Kajian Risiko Iklim (Risk Assessment) 24

Gambar

4.2

Skenario

SRES

30

Gambar

4.3

Posisi

Kuadran

Tingkat

Kerentanan

41

Gambar

4.4

Konsep

Risiko

Iklim

42


(10)

ACCCRN (Asian Cities Climate Change Resilience Network – Jejaring Ketahanan

Kota-Kota Asia terhadap Perubahan Iklim)

Jejaring kota-kota di 6 negara (Indonesia, India, Thailand, Bangladesh, Filipina, dan Vietnam) untuk menghasilkan contoh-contoh praktik bagaimana kota dengan tantangan urbanisasi yang pesat, serta dengan kondisi penduduk di tingkat pendapatan menengah ke bawah, mampu membangun kota yang berketahanan terhadap berbagai dampak dari perubahan iklim. (ARUP, 2014)

Adaptasi

Proses penyesuaian terhadap kondisi iklim aktual atau kondisi iklim di masa mendatang terhadap dampaknya. Di dalam sistem manusia, adaptasi bertujuan untuk menghindari bahaya yang bersifat moderat dan/atau memanfaatkan peluang yang ada. Di dalam sistem alam, adaptasi berbentuk intervensi dari manusia yang dapat memfasilitasi penyesuaian terhadap kondisi iklim yang diharapkan dan dampaknya. (IPCC, 2014)

CBVA

Community Based Vulnerability Assessment (Kajian Kerentanan Berbasis Masyarakat)

CRA

Climate Risk Assessment – Kajian Risiko Iklim. Merupakan dokumen yang memberikan panduan

mengenai bagaimana cara menilai kerentanan suatu kota, bahaya iklim yang dihadapi, serta risiko yang dimiliki sebagai dampak dari perubahan iklim. (CRA Guidelines ACCCRN, 2015)

CRS

City Resilience Strategy – Strategi Ketahanan Kota. Merupakan dokumen perencanaan kota yang

menggambarkan roadmap spesiik, rincian strategi, dan rencana aksi adaptasi perubahan iklim, serta menyediakan dasar-dasar untuk proyek intervensi di masa depan dan aktivitas-aktivitas untuk meningkatkan ketahanan kota terhadap dampak perubahan iklim.

Keterpaparan (

Exposure

)

Kondisi dan keberadaan aset-aset seperti penduduk, mata pencaharian, spesies, ekosistem, sumber daya lingkungan, infrastruktur, ekonomi, sosial, atau budaya di daerah-daerah yang mungkin terpengaruh atau terdampak. (IPCC, 2014)

Bahaya (

Hazard

)

Potensi terjadinya bencana akibat ulah manusia atau alam yang dapat mengakibatkan kehilangan jiwa, kecelakaan, atau dampak lainnya seperti kerusakan dan kehilangan tempat tinggal, infrastruktur, pelayanan sosial serta sumber daya lingkungan. Berkaitan dengan perubahan iklim, hal ini mengacu pada kejadian isik yang berhubungan dengan iklim. (IPCC, 2014)


(11)

G GLOSARIUM

FGD

Focus Group Discussion. Diskusi kelompok yang berfokus pada satu tema tertentu

ICCSR

Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap. Acuan atau arahan dari Bappenas yang disusun secara

sektoral dalam menghadapi isu perubahan iklim dan dipublikasikan pada tahun 2010.

IPCC

Intergovernmental Panel on Climate Change atau Panel Antarpemerintah Tentang Perubahan Iklim

adalah suatu panel ilmiah yang terdiri dari para ilmuwan dari seluruh dunia untuk mengevaluasi risiko perubahan iklim akibat aktivitas manusia, dengan meneliti semua aspek berdasarkan pada literatur teknis/ilmiah yang telah dikaji dan dipublikasikan.

LSM (NGO)

Non-Government Organization atau Lembaga Swadaya Masyarakat

RAN-API (Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim)

RAN-API merupakan dokumen rencana pembangunan nasional yang disusun dalam periode 2013-2025 untuk membantu publik dalam mempersiapkan upaya beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim.

RAN-MAPI (Rencana Aksi Nasional Mitigasi Adaptasi Perubahan Iklim)

RAN-MAPI merupakan dokumen rencana pembangunan nasional yang dapat membantu publik dalam mempersiapkan upaya untuk melakukan aksi mitigasi dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim.

Ketahanan (

Resilience

)

Kapasitas stakeholder, sistem, atau kelembagaan untuk secara dinamis dan efektif merespon dampak

dari perubahan iklim yang berupa guncangan dan tekanan. (Asian Cities Climate Change Resilience Network, 2009).

Risiko (

Risk

)

Risiko adalah kemungkinan kerusakan maupun kehilangan pada jiwa, harta benda dan/atau lingkungan yang dapat terjadi apabila ancaman dari bahaya menjadi kenyataan, termasuk tingkat keparahan yang perlu diantisipasi. (IPCC, 2007)


(12)

SLD

Shared Learning Dialogue, merupakan wadah untuk saling berbagi pengetahuan antar pemangku

kepentingan dan merupakan proses untuk mengidentiikasi kendala dan peluang untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim, dengan memahami kompleksitas kondisi perkotaan. (ISET, 2013)

UCCR (

Urban Climate Change Resilience – Ketahanan Kota terhadap Perubahan

Iklim

)

Upaya untuk menghadapi perubahan dan ketidakpastian menggunakan berbagai sumber daya dan kemampuan yang memungkinkan pembangunan untuk tetap berfungsi dan berjalan di tengah dampak-dampak perubahan iklim yang terjadi (ISET, 2013).

Kerentanan (

Vulnerability

)

Kecenderungan untuk terkena dampak negatif/kerugian. Kerentanan meliputi berbagai konsep termasuk sensitivitas, keterpaparan terhadap bahaya, dan kurangnya kapasitas untuk menghadapi serta beradaptasi. (IPCC, 2014)


(13)

1.

KONTEKS

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) melaporkan bahwa rata-rata suhu permukaan

bumi meningkat sebanyak 0.76˚C selama 150 tahun dan akan terus meningkat hingga mencapai 4˚C dalam tahun 2100. Peningkatan suhu tersebut menyebabkan perubahan pola curah hujan, cuaca ekstrim, dan kenaikan muka air laut dan berakibat pada beberapa bahaya iklim. Beberapa bahaya yang berkaitan dengan perubahan iklim meliputi banjir, longsor, dan kekeringan dalam periode yang lebih lama. Bahaya ini menyebabkan dampak negatif juga terhadap hal-hal lain seperti ketahanan pangan, ketersediaan air, dan perkembangan penyakit vektor. Seluruh hal tersebut tentu tidak terlepas dari mata pencaharian, aset properti, infrastruktur, dan lain sebagainya yang terkait dengan pembangunan. Tanpa adanya langkah apapun untuk menghadapi situasi tersebut, bukan tidak mungkin kondisinya akan semakin memburuk di masa depan.

Di waktu yang sama, dunia sedang mengalami proses urbanisasi yang pesat. Hasil laporan dari World Bank menyatakan bahwa populasi perkotaan akan meningkat dari 3,5 miliar penduduk menjadi 5 miliar

di tahun 2030, yang mencakup 2/3 dari total populasi dunia. Fenomena migrasi dari perdesaan ke perkotaan akan lebih banyak terjadi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Penduduk miskin perkotaan merupakan yang paling banyak tinggal di daerah rawan dan memiliki keterbatasan terhadap sumber daya dalam mengatasi bencana. Oleh karena itu, penduduk miskin perkotaan akan menjadi pihak yang paling rentan dan dipaksa untuk mampu beradaptasi dengan dampak perubahan iklim.

1.1 Ketahanan Kota Terhadap Perubahan Iklim

Istilah Ketahanan Kota terhadap Perubahan Iklim lebih dikenal di dunia internasional dengan istilah

Urban Climate Change Resilience (UCCR). The Institute for Social and Environmental Transition (ISET),

sebuah lembaga penelitian mendeinisikan UCCR sebagai upaya untuk menghadapi perubahan dan ketidakpastian menggunakan berbagai sumber daya dan kemampuan yang memungkinkan pembangunan untuk tetap berfungsi dan berjalan di tengah dampak-dampak perubahan iklim yang terjadi (ISET, 2013).

Melalui konsep Urban Climate Resilience Planning Framework (UCRPF), ketahanan dideinisikan

dengan bagaimana sistem perkotaan, agen sosial, dan tata kelola berinteraksi untuk ‘menyerap gangguan dan belajar dari gangguan’ dalam menghadapi dampak dari perubahan iklim. Sistem perkotaan adalah “apa” saja yang akan dikelola (baik itu infrastruktur dan ekosistem); agen adalah “siapa” saja yang dapat membuat keputusan dan kemudian bertindak berdasarkan keputusannya (baik itu organisasi dan perorangan); dan institution/tata kelola merupakan pedoman “bagaimana” suatu

tindakan diperbolehkan atau dilarang (hukum, peraturan, perundang-undangan, dan struktur).

Ketika kota mengalami kejadian bencana, hal yang penting adalah bagaimana sistem pelayanan di kota dapat tetap berfungsi, bisa pulih dan beradaptasi dengan cepat. Ini dipengaruhi oleh kapasitas dari kota tersebut berdasarkan leksibilitasnya (termasuk pengetahuan dan pengalaman dari peristiwa sebelumnya), kemampuan mengelola kapasitas dan kemampuan untuk mengalihkan sebagian sistem yang mengalami kerusakan, serta kemampuan menghindari efek bola salju (snowball effect). Hal ini

juga bergantung kepada interdependensi dari sistem itu sendiri. Kegagalan dari sistem yang kritis seperti energi dan ketersediaan air, contohnya, dapat memberikan dampak terhadap sistem lainnya seperti pelayanan kesehatan.


(14)

Analisis hubungan dan keterkaitan diantara sistem perkotaan, para pelaku, dan sistem tata kelola dapat menentukan ketahanan suatu kota. Keterkaitan dan hubungan saling ketergantungan yang positif diantara ketiga komponen tersebut dan juga pembelajaran yang terus terjadi dapat meningkatkan ketahanan kota itu sendiri.

Asian Cities Climate Change Resilience Network (ACCCRN) – Jejaring Ketahanan Kota-Kota Asia Terhadap Perubahan Iklim

Saat ini berbagai isu yang berkaitan dengan perubahan iklim dan pembangunan perkotaan banyak menarik perhatian baik pihak masyarakat, komunitas, pemerintah, dan swasta (private sector).

ACCCRN merupakan kegiatan yang diinisiasi oleh Rockefeller Foundation yang berjalan dari tahun 2008 sampai tahun 2016. ACCCRN bertujuan untuk membangun jaringan ketahanan kota-kota Asia terhadap dampak perubahan iklim melalui fokus pendanaan dan kegiatan dengan perhatian kepada kebutuhan masyarakat yang miskin dan rentan. Di awal, ACCCRN bekerja di 10 kota dengan jumlah penduduk berkisar 2 juta jiwa yang mencakup di Gorakhpur, Indore dan Surat (India), Semarang dan Bandar Lampung (Indonesia), Hat Yai dan Chiang Rai (Thailand), Da Nang, Quy Nhon, dan Can Tho (Vietnam), dan saat ini masih terus berkembang.

Dampak perubahan iklim terparah kemungkinan besar akan terjadi di kawasan perkotaan karena perkotaan merupakan lokasi terkonsentrasinya penduduk, sumber daya dan infrastruktur (World Bank, 2008). Di Indonesia, diperkirakan sekitar 67.5% dari total populasi akan tinggal di area perkotaan pada tahun 2025 dan sebagian besar penduduk perkotaan di Indonesia tinggal di daerah pesisir sehingga rentan terhadap bencana banjir, kenaikan muka air laut, dll (UN-Habitat, 2012). Urbanisasi yang pesat memberikan tekanan terhadap pelayanan perkotaan seperti penyediaan air bersih, sanitasi, sistem kesehatan, kelistrikan, dan infrastruktur transportasi. Selain itu, urbanisasi juga memberikan tekanan sosial seperti jumlah angka pengangguran yang terkonsentrasi di area perkotaan dan terus meningkat dari 55,2% di tahun 2008 menjadi 60,2% di tahun 2012 (Depnakertrans, 2012).

Mercy Corps Indonesia (berdiri sejak tahun 1999) merupakan implementer untuk program ACCCRN di Indonesia. Beberapa lingkup kerja Mercy Corps Indonesia selain untuk program adaptasi perubahan iklim yaitu pengembangan ekonomi, kesehatan, sanitasi, dan pengurangan risiko bencana. Program ACCCRN mencoba untuk mencapai tiga hal, di antaranya:

• Pengembangan kapasitas: Meningkatkan kapasitas untuk merencanakan, mencari peluang pendanaan, berkordinasi, dan melaksanakan strategi ketahanan terhadap perubahan iklim. • Mengembangkan jejaring untuk pengetahuan dan pembelajaran: Berbagi pengalaman dan

pengetahuan praktik dalam membangun ketahanan kota terhadap perubahan iklim (urban climate

Agen (para pelaku) merupakan kunci terpenting karena merekalah yang membuat keputusan berdasarkan motivasi dan informasi yang berbeda-beda, dan memiliki kapasitas untuk mengantisipasi isu-isu dan memvisualisasikan solusi berdasarkan pengalamannya. Tindakan-tindakan para pelaku bersifat dinamis meskipun sistem bersifat tetap dari waktu ke waktu. Para pelaku yang memiliki kapasitas pelengkap-seperti dunia usaha dengan sumber daya inansial dan kelompok masyarakat dengan kekuatan untuk mengorganisir dapat meningkatkan ketahanan kota melalui kolaborasi antar pelaku.

Reformasi tata kelola sangat penting dilakukan untuk meningkatkan ketahanan dari sistem perkotaan karena dapat juga melatih para pelaku kota untuk dapat bertindak lebih leksibel. Tata kelola yang mendukung kebijakan terkait dengan inklusivitas gender, contohnya, dapat menurunkan marginalisasi sosial dan meningkatkan kapasitas dari para pelaku untuk membangun ketahanan.


(15)

1.

KONTEKS

• Perluasan dan peningkatan: Memperkuat ketahanan di kota-kota yang telah berpartisipasi, dan memperluas dampak melalui replikasi/transfer praktek kepada kota baru dan stakeholder yang beragam

Dokumen ini menyediakan bagian dari proses, penjelasan bagaimana kajian risiko iklim (CRA) dan strategi ketahanan kota (CRS) dapat disusun berdasarkan pengalaman dan pembelajaran mengenai ‘apa yang bekerja’ dan ‘apa yang dibutuhkan’ untuk terus berimprovisasi.

1.2 Tujuan dari Dokumen CRA

Panduan Kajian Risiko Iklim (CRA Guideline) ini menyediakan arahan dan langkah-langkah panduan mengenai bagaimana cara mengidentiikasi dan mendeskripsikan kajian risiko iklim di kota-kota. Hal ini dimulai dengan mendeinisikan elemen dasar (building blocks) yang sederhana mengenai kerentanan dengan kompleksitas yang dapat bertambah sesuai dengan konteks lokal kota.

Tujuan dari proses ini adalah mengembangkan dokumen dasar untuk memahami kondisi kota terkait dengan dampak dari perubahan iklim yang terjadi. Hal ini memerlukan penilaian terhadap tren masa lalu, saat ini, dan masa depan dan mengidentiikasi siapa dan apa yang akan terpapar di kota (ditambah adanya dampak negatif dari urbanisasi), serta mengeksplor elemen-elemen apa saja yang lebih rentan dan kurang rentan. Dokumen ini juga akan memberikan penjelasan mengenai sumber daya yang dapat digunakan untuk merekomendasikan langkah-langkah untuk beradaptasi, meliputi pengetahuan dari komunitas, data-data kota, dan proyeksi iklim. Semuanya diharapkan dapat membantu menginformasikan solusi untuk kota dalam merespon perubahan iklim.

Dokumen CRA (Climate Risk Assessment) berisi mengenai kondisi kota yang dilihat dari analisis

kerentanan dan analisis bencana iklim sehingga menunjukkan risiko perubahan iklim yang memberi dampak pada kota tersebut. Dokumen ini dapat menunjukkan lokasi-lokasi yang rawan atau yang membutuhkan peningkatan kapasitas kota terhadap bahaya perubahan iklim. Konteks kajian di sini juga meliputi aspek sosial, lingkungan, ekonomi, dan pemerintahan yang dinilai tingkat kerentanan dan responnya.

Tujuan utama dari kajian risiko iklim adalah untuk menyediakan informasi mengenai proil, pola, dan perubahan risiko, agar ke depannya dapat digunakan untuk mendeinisikan prioritas, menentukan strategi alternatif, atau memformulasikan strategi sebagai respon baru. Kajian risiko iklim memiliki beberapa tujuan diantaranya:

• Menyediakan gambaran umum mengenai kerentanan kota, bahaya iklim yang berpotensi di kota, serta

• kecenderungannya dalam memberikan dampak terhadap perkembangan kota dan sistem perkotaan;

• Menilai kapasitas yang dimiliki kota serta kesenjangannya (gap) dengan kerentanan serta dengan bahaya iklim yang berpotensi terjadi di kota tersebut;

• Memberikan dasar untuk tindakan-tindakan spesiik yang dapat diambil di dalam sektor prioritas, • komunitas atau lokalitas di dalam Strategi Ketahanan Kota (City Resilience Strategy);


(16)

1.3 PROSES PENYUSUNAN DOKUMEN CRA DAN CRS

SLD 1 Pengenalan

CRA

Membentuk Tim Penyusun

Penyusunan Kebutuhan

Data CRA

Workshop Penyusunan

CRA

Menyusun dan Melengkapi

CRA

SLD 2 Review CRA Finalisasi CRA

SLD 3 Pengenalan

CRS Penyusunan

Kebutuhan Data CRS

Workshop Penyusunan CRS

(Perencanaan Partisipatif)

Diskusi dan Penyusunan Strategi secara

partisipatif

SLD4 Review Strategi

dengan para

expert (konsultasi publik)

Penyusunan


(17)

DEFINISI DAN

KONSEP DASAR

2


(18)

Bagian ini akan menjelaskan tentang konsep kunci dan deinisi dari adaptasi perubahan iklim serta isu-isu ketahanan dalam konsep umum dan spesiik dalam hubungannya dengan kajian risiko iklim. Hal ini akan membantu tim kota untuk memahami ide dari isu-isu dan hubungannya dengan opininya sendiri mengenai apa yang sedang terjadi di kotanya.

2.1 Deinisi yang Berkaitan dengan Konsep Umum

2.1.1 Fenomena Perubahan Iklim

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) mendeinisikan perubahan iklim sebagai perubahan

yang terjadi terhadap iklim dari waktu ke waktu, baik itu karena faktor alam maupun dampak dari aktiitas manusia. United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCC) menambahkan bahwa

perubahan iklim yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan aktiitas manusia mampu merubah komposisi dari atmosir bumi yang mengakibatkan perubahan variasi iklim dan dapat diamati dan dibandingkan selama kurun waktu tertentu. Dalam pedoman ini, perubahan iklim mengacu pada adanya perubahan dari hasil observasi dan hasil proyeksi terhadap komponen iklim rata-rata bumi (suhu udara, curah hujan, dll).

2.1.2 Adaptasi Perubahan Iklim

Adaptasi perubahan iklim adalah proses penyesuaian dan respon terhadap dampak perubahan iklim dari kondisi iklim aktual atau di masa depan. Di dalam sistem manusia, adaptasi bertujuan untuk menghindari bahaya yang bersifat moderat dan/atau termasuk memanfaatkan peluang yang ada. Di dalam sistem alam, adaptasi yang berbentuk intervensi dari manusia dapat memfasilitasi penyesuaian terhadap kondisi iklim yang diharapkan dan dampaknya (IPCC, 2014).

2.1.3 Ketahanan

Ketahanan adalah kapasitas dari individu, komunitas, dan sistem untuk bertahan, beradaptasi, dan berkembang dalam menghadapi tekanan dan bencana (shocks & stresses), dan juga bertransformasi

ketika kondisi membutuhkannya (Rockefeller Foundation, 2013). Shocks/fast onset /bencana merupakan

dampak perubahan iklim yang terjadi secara cepat contohnya bajir, gelombang panas, angin topan, dan cuaca ekstrim lainnya. Stress/slow onset/tekanan merupakan dampak perubahan iklim yang terjadi

secara perlahan-lahan contohnya kenaikan muka air laut, perubahan waktu periode musim. Sementara itu, IPCC (2007) mendeinisikan ketahanan sebagai kemampuan dari sistem sosial dan ekologi untuk menyerap gangguan, kemampuan untuk mengorganisasikan secara mandiri, dan kemampuan untuk beradaptasi terhadap tekanan dan perubahan. Ketahanan membuat individu, komunitas, dan sistem dapat mempersiapkan dengan lebih baik untuk bertahan dari peristiwa isik – baik alam maupun buatan – dan dapat bangkit kembali dengan lebih cepat dan lebih kuat dari tekanan dan bencana (shocks & stresses) tersebut.

PERSENTASI SLIDE MENGENAI KONSEP KUNCI DAN DEFINISI TERSEDIA DI DALAM

TRAINING TOOLS 0.1


(19)

2.2 Deinisi & Konsep yang Berhubungan dengan Kajian Risiko Iklim

(

Climate Risk Assessment

)

Dalam tujuan untuk menilai risiko, klariikasi mengenai konsep umum yang berhubungan dengan risiko iklim berikut ini dapat membantu untuk memahami dengan lebih baik terhadap konsep dan aplikasinya:

Secara komprehensif, pengembangan frameworkmengenai kajian risiko iklim (climate risk assessment) terbagi kedalam 4 tahapan. Tahap pertama merupakan analisis mengenai perubahan iklim atau analisis iklim kota; analisis ini menggambarkan fenomena perubahan iklim di kota. Tahap kedua yaitu analisis bahaya dari dampak perubahan iklim yang dihadapi oleh masyarakat, tahap ketiga adalah analisis kerentanan kota, dan tahap keempat adalah analisis risiko yang merupakan overlay dari hasil tahap kedua dan ketiga.

Setelah menghasilkan analisis risiko iklim kemudian dilanjutkan dengan penyusunan strategi dan aksi adaptasi untuk merespon dampak perubahan iklim yang terjadi dalam dokumen selanjutnya yaitu dokumen strategi ketahanan kota/city resilience strategy (CRS).

2.2.1 Risiko

Risiko dideinisikan sebagai suatu ukuran dari kemungkinan kerusakan jiwa, harta benda dan/atau lingkungan, yang dapat terjadi apabila ancaman menjadi kenyataan, termasuk tingkat keparahan yang diantisipasi dari konsekuensi terhadap manusia (IPCC, 2007). Risiko merupakan hasil overlay

antara bahaya dan kerentanan (Affeltranger et al., 2006 dalam Kementerian Lingkungan Hidup, 2010). Kerangka kajian risiko menurut Wisner (2004) dapat dinotasikan sebagai berikut (Jones et al., 2004).

Risk = f (Bahaya, Kerentanan)

Terdapat perbedaan yang jelas antara risiko bencana dan risiko iklim. Risiko di dalam framework

bencana dibedakan berdasarkan setiap bahayanya. Komponen kerentanan dalam risiko bencana terdiri dari indikator sederhana, seperti populasi dan kepadatan bangunan. Berbeda dengan framework

bencana, risiko iklim menggabungkan banyak indikator yang dapat dikategorisasikan.

2.

DEFINISI DAN KONSEP DASAR

FENOMENA PERUBAHAN IKLIM

ANALISIS KERENTANAN

ANALISIS BAHAYA

ANALISIS RISIKO

Strategi & Aksi Adaptasi

(CRS)


(20)

2.2.2 Bahaya

Bahaya merupakan potensi kerugian bagi manusia atau kerusakan tertentu bagi lingkungan hidup yang dapat memberikan dampak yang merugikan terhadap elemen-elemen yang rentan dan terpapar (IPCC, 2012). Meskipun dalam waktu yang sama, bahaya sering disamakan dengan pengertian risiko, namun perlu diperjelas bahwa bahaya merupakan komponen dari risiko dan tidak sama dengan risiko itu sendiri (IPCC, 2012).

Peristiwa isik dapat menjadi bahaya ketika elemen sosial (atau sumber daya lingkungan yang mendukung kesejahteraan dan keamanan manusia) terpapar terhadap dampak yang merugikan dan terjadi di bawah kondisi ketika mereka mudah terkena dampaknya. Dengan demikian, bahaya merupakan ancaman atau potensi terjadinya dampak yang merugikan, bukan peristiwa isik itu sendiri (IPCC, 2012).

Terdapat dua jenis bahaya, bahaya geologis dan bahaya meteorologis. Akan tetapi bahaya yang dipertimbangkan dalam kajian risiko iklim adalah bahaya meteorologis yang disebabkan oleh faktor perubahan iklim. Di bawah ini merupakan daftar contoh-contoh dari bahaya meteorologis.

Tabel 2. 1

Daftar Bahaya Meteorologi

Tipe Bahaya

Parameter Utama

Ti d a k L a n g su n g (n o n -b e n c a n a

) Gagal tanam & panen Produksi pertanian, hasil panen, lahan pertanian

Penyakit tular vektor Curah hujan, temperatur, tingkat pengaruh

ISPA La n g su n g ( b e n c a n a ) Kebakaran hutan

Banjir Curah hujan, SLR, jenis tanah, perubahan tata guna lahan, kenaikan muka air laut

Longsor Curah hujan, temperatur, jenis tanah, perubahan tata guna lahan

Kekeringan

Curah hujan, temperatur, jenis tanah, perubahan tata guna lahan, jumlah run-off, populasi, tata guna lahan, akuifer geometric, permeabilitias, ketersediaan air

Angin ribut Abrasi


(21)

2.

DEFINISI DAN KONSEP DASAR

Daerah yang berbeda akan terpapar oleh bahaya iklim yang berbeda pula; hal ini akan bergantung pada kondisi geograis, jenis permukiman, demograi, dan jenis infrastruktur. Penting untuk mengidentiikasi daerah mana yang paling terpapar untuk dijadikan prioritas dimana bahaya iklim akan memberikan dampak yang paling besar.

2.2.3 Kerentanan

Kerentanan dalam pengertian umumnya mengacu pada potensi untuk mengalami kerugian. Akan tetapi, tidak jarang kerentanan diidentiikasi dan dideinisikan melalui sudut pandang spesiik secara sektoral atau tematik, misalnya hanya berfokus pada lingkungan, ketahanan pangan, gender, dll. Dalam membangun Urban Climate Change Resilience (UCCR) – ketahanan kota terhadap dampak perubahan iklim, dibutuhkan pendeinisian konsep kerentanan dalam sudut pandang target atau dalam hal ini masyarakat yang terdampak. Ini dibutuhkan agar masyarakat nantinya dapat terlibat dan memahami apa tantangan yang mereka hadapi sebenarnya. Terlebih lagi, ancaman dari perubahan iklim dapat beragam pada masing-masing kota sehingga setiap daerah memiliki isu kerentanan yang berbeda-beda pula dan tidak tidak bisa disamakan dengan daerah lainnya.

Dalam konteks perubahan iklim, IPCC (2007) mendeinisikan kerentanan sebagai tingkatan dimana suatu sistem rawan, dan tidak mampu mengatasi dampak dari perubahan iklim, termasuk kaitannya dengan variabilitas iklim dan iklim ekstrim. Konteks kerentanan dapat dilihat pada berbagai skala dan aspek yang berbeda dalam masyarakat seperti rumah tangga, lingkungan, kota, negara, dan sektor ekonomi atau sektor sosial. Dalam cara yang lebih mudah, kerentanan dapat dideinisikan sebagai kondisi isik, sosial, ekonomi di suatu daerah yang mungkin dapat terkena dampak dari bahaya perubahan iklim.

Dengan demikian, meskipun terdapat suatu daerah dengan lokasi administratif dan area rawan bencana yang sama, tetapi kondisi dan tingkat kerentanannya belum tentu sama. Sebagai contoh, jika suatu daerah berada di lereng bukit, daerah tersebut mungkin termasuk ke dalam daerah yang sangat terpapar dari bencana/bahaya, akan tetapi tidak dalam kondisi yang rentan jika seluruh populasi penduduknya memiliki tingkat penghasilan yang tinggi sehingga memiliki kemampuan untuk membangun tempat tinggal dengan fondasi yang kuat, dan didukung infrastruktur tahan bencana longsor yang memadai. Kerentanan terdiri dari tiga komponen yaitu keterpaparan, sensitivitas, dan kapasitas adaptif. Dalam contoh ilustrasi di atas, daerah lereng tinggi mengindikasikan komponen keterpaparan, jenis perumahan mengindikasikan komponen sensitiitas, dan tingkat pendapatan & fasilitas publik mengindikasikan komponen kapasitas adaptif.


(22)

Komponen Keterpaparan (E),

sangat tergantung dari fungsi geografis berdasarkan variasi iklim yang dapat menyebabkan bencana. Contohnya, penduduk yang tinggal di lereng bukit lebih rawan terkena longsor, sedangkan yang tinggal di pesisir memiliki peluang terekspos lebih tinggi terhadap kenaikan permukaan air laut.

Komponen Sensitivitas (S),

sejauh mana suatu kota dipengaruhi oleh bencana akibat perubahan iklim. Dampaknya bisa langsung dirasakan oleh masyarakat namun ada juga yang tidak langsung dirasakan. Contohnya, masyarakat yang sama-sama tinggal di tepi sungai, namun memiliki perbedaan tipe rumah, ada yang rumahnya non-permanen (kayu, seng), ada juga yang permanen (batu bata). Tipe rumah non-permanen lebih rawan (sensitif) karena lebih mudah terbawa arus banjir.

Komponen Kapasitas Adaptif (AC),

kemampuan kota untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim dengan mengurangi potensi kerusakan, memanfaatkan sumber daya dan kesempatan yang ada atau dengan mengatasi konsekuensinya. Sebagai contoh, penduduk dengan tingkat penghasilan yang tinggi akan semakin memiliki kemampuan untuk mengatasi konsekuensi dan merespon perubahan iklim atau setelah bencana iklim terjadi.

2.3 Kajian Risiko Iklim: Tidak Ada Framework yang Standar

Sebelum dilakukan pengumpulan data, ruang lingkup analisis penting untuk disusun. Kota-kota yang memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi perlu mempertimbangkan kerentanan kota baik kota tersebut sudah memiliki kapasitas dan pendanaan, maupun tidak. Kajian risiko iklim dapat disebut sebagai landasan dari penelitian kota yang berketahanan terhadap perubahan iklim (Urban Climate Change Resilience), yang dapat direvisi tahunan (atau kapanpun) sesuai kebutuhan. Pemahaman dalam

membangun UCCR akan meningkatkan justiikasi untuk melaksanakan aksi-aksi mitigasi maupun adaptasi perubahan iklim di dalam pembangunan dan juga pengarusutamaan di dalam lingkup pemerintahan.

Mengingat bahwa ada beberapa pilihan metode dalam menyelesaikan kajian risiko iklim, mulai dari kajian risiko iklim yang sederhana hingga ke tingkat kedetilan dan kedalaman yang lebih, maka kota perlu menyesuaikan metode yang dipilih dengan kondisi kota itu sendiri. Hal ini bergantung pada sumber daya yang dimiliki oleh kota meliputi kapasitas sumber daya manusia, ketersediaan waktu, ketersediaan data, dan tingkat kepentingan dalam menyusun analisis yang mendalam.

Kajian risiko iklim dapat bersifat informatif di tingkat-tingkat tertentu, meskipun sesederhana apapun bentuknya. Walaupun dimulai dengan penilaian berbasis komunitas (community-based assessment), pembelajarannya dapat diaplikasikan dalam tingkat kota. Penilaian secara sektoral juga dapat menghantarkan kota untuk memperoleh tujuan yang sama.


(23)

2.

DEFINISI DAN KONSEP DASAR

Penyusunan kajian risiko iklim akan sangat bergantung pada ukuran kota dan jenis informasi yang tersedia. Kajian tersebut bisa dibuat dalam skala cakupan wilayah yang berbeda, seperti di tingkat kecamatan atau kelurahan. Memilih salah satu skala dari yang lain akan sangat mempengaruhi jenis analisis dan jenis kesimpulan yang dapat ditarik dari penilaian.

Salah satu cara terbaik untuk memutuskan cakupan dan metode yang dipilih adalah dengan mengevaluasi seberapa besar ukuran kota; dalam kasus kota-kota kecil, dengan kecamatan yang sedikit, lebih baik untuk melakukan penilaian di level kelurahan. Jika ukuran kota sangat besar, dengan banyak kelurahan, pilihan yang terbaik adalah untuk melakukan penilaian di tingkat kecamatan.

Terdapat berbagai macam pendekatan dan teknik untuk kajian risiko iklim mulai dari penilaian berdasarkan indikator nasional atau global hingga pendekatan partisipatori di tingkat lokal., Semuanya memiliki fungsi dan tujuan yang berbeda tetapi dapat digunakan selama dapat mencapai tujuan utama dan kebutuhan kota dari kajian risiko iklim (IPCC, 2012). Pendekatan kuantitatif untuk menilai risiko perlu dilengkapi dengan pendekatan kualitatif untuk melihat kompleksitas dan aspek tangible maupun intangible risiko dari dimensi yang berbeda. Sistem yang kompleks dengan mencakup variabel yang banyak (isik, sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungan) perlu memperhatikan variasi metode yang relevan dan terintegrasi.


(24)

(25)

ELEMEN DASAR

KAJIAN RISIKO

IKLIM


(26)

Kajian risiko iklim (CRA) harus dapat mengkomunikasikan secara efektif risiko prioritas suatu kota untuk menghadapi dampak perubahan iklim. Ini berguna untuk mendukung upaya fasilitasi keterlibatan pemerintah dan berbagai stakeholder yang merepresentasikan kota dalam membangun UCCR. Agar dapat memberikan informasi yang bisa digunakan oleh kota-kota, maka identiikasi terhadap elemen dasar dari kajian risiko iklim perlu dilakukan. Jika pengidentiikasian ini tidak dilakukan dengan tepat, maka kajian risiko iklim akan cenderung diabaikan dari waktu ke waktu.

Elemen dasar yang diperlukan dalam penyusunan kajian risiko iklim (Climate Risk Assessment) ada lima elemen yaitu :

Perlu dipahami bahwa elemen dasar dan tahapan penyusunan kajian risiko iklim yang akan dijelaskan dalam pedoman ini didasari oleh kondisi pembangunan kota yang berketahanan di kota-kota Indonesia dengan konteks struktur pemerintahannya saat ini. Dengan demikian jika rekomendasi dalam pedoman ini akan diaplikasikan di luar konteks yang telah disebutkan, maka perlu dilakukan penyelarasan dengan konteks baru.

1.

Sistem

Perencanaan &

Pemerintahan

2.

Tim Kota

3.

Tim CRA

4.

SLD

5.

Pengumpulan

Data

1. Sistem perencanaan & pemerintahan, yaitu mengidentiikasi kedudukan kajian risiko iklim dalam mekanisme pembangunan kota untuk mencapai pengarusutamaan isu adaptasi perubahan iklim dalam pembangunan daerah.

2. Tim kota, yaitu suatu kelompok kerja yang merepresentasikan seluruh stakeholder di perkotaan mulai dari pemerintah, masyarakat, LSM, akademisi, dan dunia usaha.

3. Tim penyusun CRA, yaitu kelompok lebih kecil yang memiliki fokus untuk menyusun dokumen kajian risiko iklim secara teknis dan operasional.

4. SLD, atau shared learning dialogue merupakan wadah untuk berkomunikasi dan berdiskusi antar seluruh pemangku kepentingan di kota terkait penyusunan kajian risiko iklim.

5. Pengumpulan data, meliputi metode-metode yang digunakan untuk mengumpulkan data-data yang dibutuhkan dalam menganalisis termasuk sumber data yang diperoleh serta cara pengumpulan datanya.


(27)

3.

ELEMEN DASAR (

BUILDING BLOCKS

)

KAJIAN RISIKO IKLIM

3.1 Kajian Risiko Iklim dalam Sistem Perencanaan dan Pemerintahan

Salah satu dari tujuan disusunnya kajian risiko iklim adalah agar perubahan iklim dapat diarusutamakan (mainstreamed) ke dalam mekanisme pembangunan. Dengan demikian, salah satu elemen dasar dari

kajian risiko iklim adalah dengan memanfaatkan sistem perencanaan dan pemerintahan yang sesuai pada tempatnya. Dari hasil pembelajaran sebelumnya, terlihat bahwa kota-kota yang cenderung berhasil dalam menyusun kajian risiko iklim memiliki motivasi dan tingkat partisipasi pemerintah kota yang tinggi. Oleh karena itu jika kota-kota dari awalnya kurang memiliki tingkat ketertarikan terhadap isu perubahan iklim itu sendiri, maka akan sulit untuk mencapai keberhasilan penyusunan kajian tersebut.

Sebagai informasi, di antara negara-negara yang terlibat dalam program ACCCRN, terdapat sistem dan struktur pemerintahan yang berbeda-beda sehingga membutuhkan pendekatan yang berbeda pula. Proses ACCCRN harus dapat leksibel dalam berbagai sistem dan struktur pemerintahan, tetapi juga tetap dibutuhkan dukungan aktif dari pemerintah itu sendiri.

3.2 Tim Kota

Tim kota dalam konteks ini adalah tim manajemen eksekutif yang bertanggung jawab untuk mengimplementasikan program ketahanan perubahan iklim di kotanya, bisa dibentuk baru ataupun menggunakan tim kota yang sudah ada (yang relevan). Di Indonesia, tim kota (city team) sering disebut sebagai ‘kelompok kerja’ seperti contohnya Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL), Kelompok Kerja Perumahan dan Kawasan Permukiman (Pokja PKP), dsb. Secara struktur, sangat direkomendasikan untuk memiliki dasar hukum (biasanya dengan keberadaan SK/ Surat Keputusan dari pemerintah daerah setempat) dan harus merepresentasikan elemen pemerintahan dengan unsur berbagai SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) seperti Bappeda, BLH, dan sebagainya, serta merepresentasikan LSM lokal atau kelompok masyarakat, universitas, atau bahkan sektor swasta. Tim kota untuk mengimplementasikan program ketahanan perubahan iklim sendiri di kota-kota sering disebut dengan Pokja Ketahanan Perubahan Iklim.

PANDUAN LANGKAH-LANGKAH MEMBENTUK TIM KOTA

A. KENALI STAKEHOLDER. Salah satu komponen kunci dari stakeholder yang harus ikut serta dalam Tim Kota adalah pemerintah. Komponen pemerintah bisa meliputi Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Badan Lingkungan Hidup (BLH), Dinas Kesehatan, Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Tata Ruang, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Dinas Sosial, dan lainnya sesuai dengan konteks kebutuhan kota. Selain itu, komponen stakeholder juga sebaiknya berasal dari sektor lain seperti akademisi, lembaga non-pemerintah seperti LSM, serta tidak menutup kemungkinan adanya representatif dari dunia usaha. Keragaman ini dibutuhkan karena isu perubahan iklim perlu dipikirkan secara bersama-sama mengingat dampaknya yang bisa ditanggapi berbeda-beda juga oleh berbagai komponen stakeholder tersebut. Ini juga untuk mendorong kapasitas yang lebih beragam dan sekaligus merepresentasikan komunitas tertentu yang terkait dan tertarik dengan isu perubahan iklim.


(28)

TIPS

• Cari champion yang proaktif

Seorang “champion” adalah orang yang proaktif dan memiliki passion dan otoritas untuk

membawa kerja tim kota terus maju. Para champion menjadi salah satu hal yang membedakan

tim yang hanya memenuhi kriteria, dan suatu tim yang menciptakan perubahan signifikan.

Para champion harus dibimbing mengenai pengetahuan ketahanan terhadap perubahan iklim

baik mengenai konsep maupun aplikasinya. • Tim kota yang inklusif

Untuk membangun ketahanan kota terhadap perubahan iklim, tim kota harus bersifat inklusif

dan memanfaatkan pengetahuan dari pemimpin dan anggota komunitas. Keterlibatan mereka

akan meningkatkan kemungkinan program-program ketahanan kota relevan dan tercapai dengan baik.

• Saling berbagi

Tim kota dari seluruh Indonesia harus bisa terhubung dan dapat saling berbagi pembelajaran

dan pengalaman. Tim kota juga dapat menerima manfaat dengan membuat hubungan/

jejaring dengan pihak dari luar wilayah, negara, dan internasional yang juga fokus kepada urbanisasidalam konteks perubahan iklim dan ketahanan kota.

Kelompok Stakeholder

Peran

Pemerintah

Merumuskan dan melaksanakan kebijakan;

Mengoordinasikan fungsi dan peran antar lembaga; Menyediakan akses data pemerintahan;

Melakukan proses penganggaran daerah

LSM/ NGO

Memberikan keahlian pendampingan di masyarakat; Menyediakan kapasitas pelaksanaan teknis di lapangan; Melaksanakan fungsi advokasi, monitoring dan evaluasi ;

Akademisi

Menyediakan keahlian penelitian atau pengetahuan pada bidang tertentu; Memberikan peningkatan kapasitas materi atau teknis pada bidang tertentu; Memberikan fasilitasi pada forum diskusi sesuai kebutuhan;

Membantu proses publikasi melalui hasil penelitian atau pendokumentasian pembelajaran, serta monitoring dan evaluasi suatu aksi;

Dunia Usaha Menyediakan sumber pendanaan alternatif;

Menyediakan peluang kolaborasi dengan mekanisme kerjasama lainnya;

B. IDENTIFIKASIKAN LEADING AGENCY. Dalam tim kota, dibutuhkan fungsi koordinasi yang baik

mengingat keragaman komponen stakeholder yang ada. Berdasarkan pengalaman sebelumnya, Bappeda dan BLH sering kali menjadi stakeholder kunci yang dianggap memiliki kapasitas untuk mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan terkait perubahan iklim di kota. Bappeda memiliki kapasitas untuk mengkoordinasikan SKPD-SKPD di kota dan mengintegrasikan perencanaan perubahan iklim ke dalam proses perencanaan kota. Di sisi lain, BLH sering lebih diasosiasikan dengan isu-isu perubahan iklim sehingga dianggap cocok untuk mengoordinir kegiatan-kegiatan yang terkait. Setiap kota dapat memiliki leading agency yang berbeda-beda tergantung pada struktur pemerintahan dan kebijakan kotanya sendiri.


(29)

3.

ELEMEN DASAR (

BUILDING BLOCKS

)

KAJIAN RISIKO IKLIM

C. MENDEFINISIKAN STRUKTUR. Tahapan ini bergantung pada kebutuhan dan komposisi dari tim

kota. Salah satu bentuk struktur dari tim kota yang berhasil yaitu terdiri dari tim eksekutif kecil (tim teknis) dengan adanya peran dari pemimpin yang aktif dan juga terdapat tim yang lebih besar yang lebih berperan sebagai penasehat (advisory). Sekali lagi, setiap kota dapat memiliki bentuk struktur

yang berbeda-beda tergantung pada kebijakan kotanya sendiri.

D. MEMFORMALKAN PARTISIPASI. Leading agency harus mengirimkan surat undangan yang formal kepada SKPD-SKPD yang turut berpartisipasi di tim kota. Tim kota juga harus dapat mengidentiikasi alat birokrasi yang dapat melegalkan/memformalkan tim kota di dalam struktur pemerintahan. Jika diperlukan, tambahkan persetujuan atau himbauan dari pimpinan kota (Walikota) yang akan mewajibkan anggota-anggota dari tim kota untuk fokus bekerja di tim kota.

E. PAHAMI GAP KAPASITASKapasitas dari tim kota merupakan faktor penting penentu keberhasilan

program. Tim kota memerlukan berbagai sumber daya yang dapat membantu mereka untuk mengkaji, mengembangkan aktivitas, rencana, pendanaan, dan mengidentiikasi peluang pendanaan untuk implementasi strategi-strategi ketahanan kota terhadap dampak perubahan iklim. Ketika gap kapasitas teridentiikasi, maka tim kota juga harus dapat mengidentiikasi langkah-langkah selanjutnya untuk menutup gap dan meningkatkan kapasitas tim. Kapasitas yang dimaksud bisa mencakup pengetahuan, keahlian, keterampilan dalam membangun jaringan (networking), sarana dan prasarana, dll.

F. TENTUKAN JADWAL. Untuk memastikan adanya pertemuan dan keterlibatan rutin dari tim kota,

buatlah jadwal pertemuan/rapat yang teratur contoh setiap 3-6 bulan sekali untuk tim penasehat dan 1 bulan sekali untuk tim eksekutif. Jika ingin mengikuti model tim eksekutif kota, pertemuan harus dijadwalkan baik itu untuk tim eksekutif maupun untuk tim penasehat. Tim kota mungkin akan membutuhkan keterlibatan dari setiap perwakilan SKPD untuk secara konsisten hadir dan berpartisipasi dalam setiap pertemuan.

G. BUATLAH MEKANISME DISEMINASI. Stakeholder-stakeholder yang sudah diidentiikasi akan

membutuhkan informasi mengenai kerentanan kota terhadap perubahan iklim dan diskusi yang sedang berjalan mengenai bagaimana hal tersebut berdampak terhadap kota sehingga mereka dapat terlibat dalam diskusi untuk menentukan solusi-solusinya. Maka dari itu, tim kota perlu mengembangkan mekanisme untuk mendiseminasikan informasi kepada mereka. Hal ini dapat dilakukan melalui pembentukan milis (mailing list), penyebaran publikasi, menambahkan info terbaru di website/sosial media lainnya (jika ada), atau melalui adanya pertemuan untuk menyebarkan informasi secara berkala. Anggota dari tim kota juga dapat memberikan persentasi atau paparan, yang berfokus pada program kerja yang dilakukan oleh setiap SKPD pemerintah atau institusi terkait melalui adanya SLD (Shared Learning Dialogue).

3.3 Tim Kajian Risiko Iklim (

Risk Assessment team

)

Tim penyusun Kajian Risiko Iklim dapat diambil dari anggota Tim Kota yang sudah terbentuk. Sebaiknya, mereka yang memiliki dedikasi dan kemampuan teknis yang lebih dapat diarahkan untuk menghasilkan kajian risiko iklim tersebut. Kemampuan tersebut meliputi kemampuan mengumpulkan, mengorganisasikan, dan menganalisis data, serta kemampuan dalam mengartikulasikan temuan-temuan. Maka dari itu tim penyusun harus mampu mengelola informasi dari berbagai stakeholder kota,


(30)

dari tim kajian risiko iklim harus bisa menulis, mengartikulasikan, dan mendiseminasikan informasi dari hasil temuannya secara jelas. Hal yang penting bahwa tim kota juga harus memiliki pengalaman dengan isu-isu pembangunan, administrasi publik, perubahan iklim, dan perencanaan perkotaan.

Di bawah ini merupakan kemampuan-kemampuan yang penting untuk dimiliki oleh tim kajian risiko iklim:

• Kemampuan untuk mengumpulkan data dari berbagai instansi pemerintahan dan juga mengumpulkan sumber-sumber data lainnya yang relevan.

• Kemampuan untuk menstandarisasikan dan mensintesiskan data dari sumber data-data numerik dan dipresentasikan dalam bentuk peta serta format lainnya, yang dapat dikomunikasikan secara sederhana dan efektif kepada stakeholder lain.

• Kemampuan untuk memilih dan mewawancarai stakeholder-stakeholder serta memfasilitasi FGD (Focus Group Discussion) atau SLD dengan keterlibatan kelompok dari komunitas yang

beragam.

• Kemampuan untuk mereview dokumen perencanaan dan penganggaran pemerintah serta regulasi dan kebijakan yang ada.

• Kemampuan untuk menganalisis dan mensintesiskan informasi ke dalam dokumen.

3.4

SHARED LEARNING DIALOGUES

/KONSULTASI PUBLIK

SLD merupakan sebuah metode untuk membagikan informasi dan mengumpulkan masukan dari stakeholder internal maupun eksternal dalam suatu kota. Beberapa stakeholder tersebut contohnya seperti tenaga ahli, pemerintah, universitas, LSM, pihak swasta, dan kelompok komunitas. SLD harus bisa mendorong diskusi untuk berbagi pengetahuan sektoral dari peserta forum dalam rangka untuk meningkatkan realibilitas dan relevansi kajian kerentanan. Dengan begitu, kualitas dan efektiitas dari pembuatan keputusan akan lebih meningkat. Proses SLD juga dapat membantu memecahkan batasan-batasan sosial yang dapat menyebabkan suatu kelompok tertentu memiliki perspektif yang sempit terhadap kelompok lainnya. Bentuk dari SLD bisa bermacam-macam mulai dari pertemuan seperti rapat, workshop, pameran, atau acara kreatif lainnya.

TIPS

Tim Kajian risiko iklim bisa terdiri dari individu-individu yang berasal dari pemerintah kota, akademisi, LSM lokal, dan individu yang kompeten. Pemerintah kota bisa memimpin proses ini atau menyederhanakan tugas ini, dengan suatu panduan yang mereka berikan kepada lembaga atau universitas yang mengerjakannya.


(31)

3.

ELEMEN DASAR (

BUILDING BLOCKS

)

KAJIAN RISIKO IKLIM

PANDUAN LANGKAH-LANGKAH

Pilihlah tim kendali. Dari tim kota, pilihlah tim kendali atau pengontrol untuk mengorganisasikan SLD. Tim kendali ini bertanggung jawab untuk merancang dan mengelola proses SLD.

Bentuklah SLD Pertama. Tim kendali harus menentukan prioritas dari topik-topik SLD berdasarkan kebutuhan kota. Beberapa contoh misalnya:

SLD 1: Pengenalan program dan mendeinisikan terminologi kunci dan memahami komponen-komponen dari penilaiain risiko. Pertemuan pertama harus bisa memberikan pemahaman kepada seluruh partisipan mengenai proses kajian risiko iklim dan kenapa hal tersebut penting dilakukan.

SLD 2: Meninjau kembali dan mendiskusikan hasil-hasil dari draft kajian risiko yang sudah

disusun.

SLD 3: Mengembangkan strategi-strategi dan pilot project untuk merespon hasil dari kajian

risiko iklim dan mengidentiikasi peluang untuk mengarusutamakan strategi-strategi tersebut ke dalam perencanaan daerah.

Tentukan peran. Tentukan peran dari tim kendali mencakup siapa yang akan memimpin dan memfasilitasi pertemuan, dan siapa yang bertugas menjadi sekretaris/notulensi. Perwakilan dari tim kendali yang memiliki peran-peran tersebut harus konsisten menjalankan perannya selama proses SLD. Tim kota dapat mengimprovisasi proses dan bentuk dari SLD berdasarkan kebutuhan kota, alokasi dana, dan ketersediaan waktu dari tim kota dan stakeholder terkait.

• Identiikasi partisipan. Berdasarkan topik yang telah ditentukan, perlu diidentiikasi tenaga ahli lokal, nasional dan bisa juga dari internasional untuk memfasilitasi dan berpartisipasi dalam setiap SLD. Partisipan tersebut bisa meliputi pemimpin komunitas lokal, pemerintah kota, atau akademisi dari universitas. Walikota atau pejabat kota lainnya jika perlu untuk diundang dalam salah satu pertemuan untuk dapat mendelegasikan tugas dan tanggung jawabnya.

Pastikan adanya dukungan penuh dari berbagai lembaga. Dukungan dari berbagai lembaga penting untuk diberikan secara resmi untuk memastikan bahwa setiap orang memahami proses kajian risiko iklim dan memiliki kemauan untuk berkolaborasi.

Penyelenggaraan SLD. Selenggarakan SLD sesuai dengan tanggal, waktu, dan agenda untuk SLD yang telah disosialisasikan kepada para partisipan sebelumnya. Pada saat penyelenggaraan SLD ini diharapkan para partisipan sudah mempersiapkan bahan untuk didiskusikan sesuai agenda yang telah ditentukan.

Diseminasikan hasil. Tentukan strategi yang tepat dan efektif untuk mensosialisasikan hasil dari SLD, paling tidak untuk memastikan pemangku kepentingan dan publik yang terkait memahami keberadaan kajian risiko iklim tersebut. Metode diseminasi bisa dilakukan dengan menyelenggarakan suatu forum atau melalui media komunikasi publikasi seperti pamlet, website pemerintah, radio, televisi, atau koran lokal. Akan tetapi sebelumnya perlu dipastikan terlebih dahulu bahwa seluruh partisipan dalam SLD sudah memahami ruang lingkupnya.


(32)

(33)

3.

PRINSIP DASAR (BUILDING BLOCKS)

KAJIAN RISIKO IKLIM

3.5 Pengumpulan Data : Sumber dan Metode

Sebelum mengumpulkan data, perlu disusun ruang lingkup analisis. Pengumpulan sumber data statistik, pemetaan dan dokumen relevan lainnya dari berbagai lembaga merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Pengumpulan data harus dimulai paling awal dan membutuhkan koordinasi dari antar lembaga. Metode dalam pengumpulan data bisa beragam, bergantung pada jenis-jenis data yang diperlukan. Dalam kasus ini, sebagian besar data dikumpulkan dari survei terhadap instansi-instansi. Dokumen-dokumen di bawah ini dibutuhkan untuk mendukung penyusunan kajian risiko iklim yang komprehensif dan tersedia di berbagai lembaga pemerintahan yang berbeda-beda. Data-data dapat berbentuk hard copy maupun soft copy. Ketersediaan dalam bentuk soft copy akan mempermudah proses penyusunan kajian. Lalu dalam membuat peta dibutuhkan ile dalam bentuk GIS (Geographic Information System) yang membutuhkan program ArcGIS, ArcView, QGIS ataupun program lainnya

untuk mengoperasikannya.

• Kota dalam Angka dari Badan Pusat Statistik (BPS); • Kecamatan dalam Angka dari Badan Pusat Statistik (BPS);

• Potensi Desa (PODES) dari Kelurahan atau Badan Pusat Statistik (tahun terbaru);

• Survei Sosial Ekonomi Daerah (SUSEDA) dari Badan Perencanaan Daerah (jika tersedia); • Dokumen Mitigasi Bencana dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (jika tersedia); • Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) dari Badan Lingkungan Hidup Daerah (tahun terbaru); • Data Kemiskinan dari Badan Pusat Statistik (tahun terbaru);

• Rencana Tata Ruang Wilayah Kota dari Badan Perencanaan Daerah;

• Batas Administrasi Kelurahan/Kecamatan (ile .shp atau .dwg untuk penggunaan GIS); • Data Curah Hujan dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geoisika (20 tahun terakhir);

• KNMI Climate Explorer (dapat ditemukan dengan analisis di: http://climexp.knmi.nl/ ; akan dibahas pada bagian pembahasan selanjutnya).

TIPS

SLD harus bisa memfasilitasi kebutuhan terhadap informasi mengenai ACCCRN dan kajian kerentanan risiko iklim. Hal ini dapat membantu mendorong partisipasi dan rasa memiliki dari partisipan. Terkadang stakeholder akan mengirimkan perwakilan yang berbeda untuk datang pada setiap SLD. Jika memungkinkan, cobalah untuk tetap mempertahankan perwakilan yang sama dalam berpartisipasi pada setiap SLD untuk memastikan bahwa mereka familiar dengan terminologi dan konsep. Hal ini akan meningkatkan pemahaman serta pembuatan keputusan.


(34)

(35)

PENYUSUNAN

KAJIAN RISIKO

IKLIM


(36)

Dalam menyusun kajian risiko, tim kota harus memahami keseluruhan proses dan bagaimana satu tahapan berkaitan dengan tahapan lainnya. Penjelasan singkat untuk para trainer disediakan dalam / Training Tools CRA 0.2 (terlampir) dan penjelasan untuk setiap tahapan dijelaskan dalam Training Tools CRA 1 – 7 (terlampir). Training tools untuk latihan praktik juga disediakan untuk tim kota.

4.1 Langkah-Langkah Menyusun Kajian Risiko Iklim

Kajian risiko iklim dirancang untuk menganalisis dan membangun pemahaman mengenai kerentanan terhadap perubahan iklim guna mendukung dan memberi informasi dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan di suatu kota. Tujuan utama dari pendekatan kajian risiko iklim adalah untuk menyediakan informasi mengenai proil, pola, dan perubahan risiko dengan tujuan untuk mendeinisikan prioritas, memilih alternatif strategi, atau memformulasikan respon strategi baru (IPCC, 2012).

Kajian risiko iklim distrukturkan sebagai suatu proses identiikasi dan deskripsi yang terdiri dari dua komponen yaitu bahaya dan kerentanan. Proses ini dimulai dengan mengumpulkan dan menganalisis data untuk membentuk framework dan konteks penilaian (assessment), dan juga menilai kondisi

kerentanan saat ini. Tahapan berikutnya adalah melihat kondisi di masa depan; seperti skenario/ prediksi di masa depan yang berhubungan dengan bagaimana kondisi kerentanan dan risiko iklim mungkin dapat berubah dari waktu ke waktu. Metodologi untuk menyusun penilaian ini disimpulkan dalam diagram berikut.

Gambar 4. 1

Tahapan Menyusun Kajian Risiko Iklim (

Risk Assessment

)

❇ ✁✂ ✄☎✆✂ ✄✝✞✂ ✟✠❇ ✝✡ ✝✄☛☞ ✌☛✆ B.1 Kondisi Iklim Saat Ini

B.2 Proyeksi Iklim

✂ ✝✄✝✌☛❊☛❊✟☛❊☛☞ ☎ E.1 Analisis Risiko Iklim Saat Ini E.2 Analisis Risiko Iklim di Masa Depan

❉ ✝✄✝✌☛❊☛❊☞✂✟✂ ✄✍ ✝✄✝✄ D.1 Iden>fikasi & Kategorisasi Indikator D.2 Pengolahan Data

D.3 Normalisasi  D.4 Pembobotan D.5 Penentuan Kuadran ❈ ✝✄✝✌☛❊☛❊❇✝✡ ✝✎✝

C.1 Iden>fikasi Bahaya C.2 Matriks Bahaya C.3 Skoring Bahaya

C.4 Tingkat Bahaya Gabungan A.1 Informasi Umum

A.2 Aspek Fisik dan Lingkungan A.3 Aspek Sosial

A.4 Aspek Ekonomi

✝ ✞ ✟☎✁☛ ✌☞ ☎✍✝

F.1 Pemilihan ins>tusi/organisasi yang akan dinilai F.2 Wawancara stakeholder terpilih

F.3 Analisis hasil wawancara


(37)

4.

PENYUSUNAN KAJIAN

RISIKO IKLIM

TAHAPAN DALAM MENYUSUN KAJIAN RISIKO IKLIM (

RISK ASSESSMENT

)

A. PROFIL KOTA

Merupakan gambaran kondisi umum wilayah perkotaan yang dapat dideskripsikan berdasarkan gambaran kondisi isik dan lingkungan perkotaan, kondisi sosial perkotaan, dan kondisi ekonomi perkotaan. Proil kota dapat diperoleh dari dokumen-dokumen perencanaan pembangunan kota maupun dokumen statistik perkotaan.

D. ANALISIS KERENTANAN

Merupakan gambaran kondisi internal perkotaan dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Analisis ini dilakukan dengan menentukan indikator-indikator dan komponen kerentanan wilayah yaitu indikator keterpaparan (E), sensitiitas (S), dan kapasitas adaptif (AC).

B. FENOMENA PERUBAHAN IKLIM

Merupakan analisis kondisi iklim perkotaan di masa kini dan masa yang akan datang untuk memprediksi bahaya yang akan terjadi jika kondisi iklim berubah. Kondisi iklim di masa yang akan datang diperoleh dengan melakukan proyeksi iklim.

E. ANALISIS RISIKO

Risiko merupakan hasil overlay antara bahaya dan kerentanan (Affeltranger et al., 2006). Maka, pada tahap ini dilakukan overlay dari hasil analisis pada langkah C dan langkah D.

C. ANALISIS BAHAYA

Pada tahap ini mengidentiikasi bahaya iklim (langsung maupun tidak langsung) yang terjadi di perkotaan berdasarkan karakter, besaran, dan dampaknya di masa kini dan masa yang akan datang dengan mengacu pada historis terjadinya bencana.

F. KAPASITAS INSTITUSI DAN MASYARAKAT

Pada bagian ini menjelaskan terkait kapasitas adaptasi yang dimiliki oleh perkotaan saat ini baik dari elemen institusi, maupun masyarakat dalam menghadapi dampak perubahan iklim.

Tahapan-tahapan tersebut dapat dimodiikasi menjadi check list panduan implementasi analisis kajian

risiko iklim berdasarkan elemen dasar dan persiapan sebelumnya.

A. PROFIL KOTA

Perubahan iklim tidak terbatas pada batasan administrasi kota/daerah. Beberapa dimensi solusi yang ditawarkan akan terbatas pada batasan administrasi suatu daerah, akan tetapi yang lainnya mungkin berkaitan dengan wilayah yang lebih luas seperti aliran sungai lintas wilayah. Proil mengenai kondisi iklim mikro pada tingkat lokal seperti kerapatan bangunan, kondisi vegetasi, kondisi tanah

✏✑✒✓✔ ✕✖ ✓✔✗✘ ✓✙✚✏✗ ✛✗ ✔ ■✜✢■✖

✤✑✗ ✔✗✢■✣■✣ ✜✓✙✓✔❑✗✔✗✔

✗ ✑✘ ✙✕✒■✢✜✕❑✗ juga tidak boleh terlupakan. Bagian

lain dari proil kota adalah ringkasan mengenai kecenderungan dan perubahan paling besar dalam aspek ekonomi, lingkungan, demograi, dan sosial. Berikut ini merupakan informasi yang dibutuhkan untuk


(38)

A1. Informasi umum.

TIPS

Lihat bagian sumber data untuk membantu mencari informasi data yang dibutuhkan tersebut. Ingat, bahwa daftar data disini belum lengkap! Jika anda menemukan data lainnya yang belum disertakan di pedoman ini, sertakanlah pada dokumen CRA kota anda.

Lengkapi informasi spesiik seperti koordinat kota, unit administratif, area, dan pemetaan dalam skala wilayah dan juga skala kota, sertakan tabel mengenai informasi dasar mengenai kota. Jelaskan pula mengenai kondisi politik/pemerintahan (seperti periode pemerintahan kota saat ini) dan batasan administratif kota yang lebih rinci (jumlah kecamatan, kelurahan, RW, RT, dll).

A.2 Aspek Fisik dan Lingkungan.

Meliputi kondisi isik buatan dan isik alam dari kota. Proil lingkungan mencakup deskripsi mengenai sungai utama, topograi, luasan ruang terbuka hijau, serta karakter isik alam lainnya. Proil isik buatan mencakup deskripsi mengenai pelayanan dasar yang terdapat di kota. Data-data infrastruktur dari PLN, PDAM dan Pekerjaan Umum, mendeskripsikan cakupan area yang dilayani oleh pelayanan dasar publik di kota. Informasi tersebut harus bisa mendeskripsikan secara numerik dan visual berapa banyak penduduk kota yang dapat mengakses pelayanan dasar tersebut dan juga sebaran geograis penduduk kota. Pelayanan publik meliputi akses terhadap sanitasi, air bersih, listrik, dan pengelolaan limbah padat. Informasi tersebut disertai dengan peta yang menggambarkan distribusi dari pelayanan dasar tersebut.

A.3 Aspek Sosial.

Meliputi kondisi demograi, pendidikan, dan kesehatan. Kondisi demograi memberikan gambaran mengenai populasi saat ini di kota. Jika memungkinkan, disediakan dalam bentuk tabel dan peta dari jumlah populasi dalam tingkat kelurahan/kecamatan dan dibuat pertumbuhan rata-rata penduduk dalam kurun waktu 20 tahun terakhir untuk diproyeksikan dalam 20 hingga 30 tahun yang akan datang. Akses terhadap pendidikan dan kesehatan juga merupakan hal yang penting untuk mendeskripsikan akses terhadap pelayanan dasar. Beberapa data yang menarik seperti rata-rata ketidakhadiran partisipasi sekolah, distribusi daerah yang terkena wabah penyakit, dan lokasi dari pusat-pusat pelayanan kesehatan dan pendidikan dapat ditampilkan jika tersedia.

A.4 Aspek Ekonomi.

Meliputi kondisi ekonomi dan kemiskinan. Proil ekonomi kota menggambarkan sektor-sektor ekonomi yang berbeda-beda yang berkontribusi terhadap ekonomi kota (dalam bentuk diagram lingkaran), dan juga mendeskripsikan sektor ekonomi yang paling berperan besar dalam ekonomi kota. Data yang dapat digunakan untuk mendeskripsikan kondisi tersebut adalah data PDRB (Pendapatan Domestik Regional Bruto). Untuk tiga sektor ekonomi utama, jelaskan mengapa sektor tersebut berperan besar terhadap kota dan jelaskan pula kecenderungannya di masa lalu dan saat ini apakah meningkat atau menurun. Untuk proil kemiskinan, kumpulkan data mengenai jumlah keluarga miskin di kota dan hubungkan data tersebut dengan jumlah keluarga total di kota untuk mendapatkan proporsi tingkat kemiskinannya. Jika tersedia informasi mengenai distribusi jumlah keluarga miskin, data tersebut harus dipetakan untuk menggambarkan konsentrasi daerah miskin. Jelaskan dimana saja daerah-daerah yang terdapat keluarga miskin di kota.


(39)

4.

PENYUSUNAN KAJIAN

RISIKO IKLIM

Contoh data proil kota yang dapat digunakan untuk menilai kerentanan kota diantaranya: 1. Peta area kota dengan format dasar GIS (.shp atau yang lainnya)

2. Data Potensi Desa 3. Data lainnya:

a. Data Millennium Development Goals (MDG’s) kota. Target MDG’s tahun 2015 atau target Sustainable Development Goals (SDG’s) untuk setelah tahun 2015

b. Dokumen perencanaan yang berlaku di kota: RPJMD, RTRW, RPJPD, master plan, dll.

Prioritaskan target dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan hal tersebut tidak tercapai c. Data Ruang Terbuka Hijau

d. Data Provinsi dalam Angka dan data Kabupaten dalam Angka

e. Data jumlah pengguna PDAM, cakupan pelayanan (dalam beberapa tahun) dan rencana penambahan pengguna serta cakupan pelayanannya

f. Dan lain-lain

B. FENOMENA PERUBAHAN IKLIM

✧★✩✪✫✬ ✭ ✪✫✮✯ ✪✰✱✧✮ ✲✮ ✫ ✳✴✵ ✳✭

✪★✮✫✮✵ ✳✶✳ ✶✰✳✶✳✴✬ ✷★✮✫✮✵ ✳ ✶✳✶ ✴✪ ✰✪✫✸✮ ✫✮✫

✹★✮✫✮✵ ✳✶ ✳✶✧✮ ✲✮✺✮

✮ ★✯✰✬ ✩✳✵✴✬✸ ✮

✩★✴✮ ✯✮✶✳✸ ✮✶✳✫✶✸✳✸✱✶ ✳✷✮ ✫✭✮✶✺✮✰✮✴✮ ✸

Pada bagian fenomena perubahan iklim dapat dijelaskan dengan mendeskripsikan kondisi iklim saat ini yang terjadi di perkotaan. Keluaran dari analisis ini dapat berupa graik yang menjelaskan rata-rata suhu, suhu maksimum, dan rentang suhu harian yang

B.1 Kondisi Iklim Saat Ini

terjadi di perkotaan saat ini atau dalam kurun waktu tertentu (misalnya 10 tahun terakhir) berdasarkan data historis yang tersedia.

Data-data yang dikumpulkan dapat diperoleh dari data sekunder yang terdapat dalam dokumen statistik kota maupun dari data-data atau dokumen BMKG. Berikut ini beberapa data terkait iklim yang dapat menjelaskan kondisi iklim perkotaan:

1. Jumlah Hari Hujan per tahun, dapat menghasilkan analisis perkembangan jumlah hari hujan di perkotaan setiap tahunnya serta menganalisis dampaknya terhadap kegiatan atau aktiitas penduduk. Sebagai contoh, jumlah hari hujan yang luktuatif berdapak negative terhadap aktivitas perekonomian kota terutama di sektor pertanian yang sangat bergantung pada intensitas hujan. 2. Curah Hujan per tahun, sama seperti data jumlah hari hujan dapat menghasilkan analisis

perkembangan curah hujan dalam beberapa tahun terakhir serta dampaknya terhadap aktivitas di sektor-sektor yang sangat bergantung atau berdampak dari intensitas hujan.


(1)

3. Proil Kota

a. Informasi umum (posisi geograi, berdasarkan dokumen kota, dan menampilkan peta kota dan posisinya di peta Indonesia, administratif kota, sumber daya termasuk SDA, wilayah pesisir, dan tata guna lahan. Tambahkan jika diperlukan)

b. Kondisi isik dan lingkungan c. Kondisi demograi dan sosial d. Kondisi ekonomi

4. Metodologi

a. Metode proyeksi iklim

b. Metode analisis bahaya c. Metode analisis kerentanan

d. Metode analisis risiko

5. Kondisi iklim historis dan kejadian ekstrim

a. Iklim historis dan kejadian ekstrim

b. Analisis tren perubahan iklim c. Tren curah hujan

d. Tren suhu/temperatur

• Analisis proyeksi perubahan iklim

• Dampak perubahan iklim terhadap bioisik dan sosial ekonomi

6. Analisis bahaya

a. Data bahaya yang terjadi di kota beserta penjelasannya dari setiap bahaya b. Skoring setiap bahaya dan jumlahnya untuk bahaya gabungan

c. Sertakan peta bahaya gabungan

7. Analisis kerentanan

a. Penjelasan indikator terpilih, deinisi dari setiap indikator yang sudah dikategorikan sebagai IKA atau IKS

b. Tabel perhitungan indikator

c. Klasiikasi kelurahan berdasarkan tingkat kerentanan dan kapasitas adaptifnya • Peta IKS, IKA, dan IKR (Indeks Kerentanan)


(2)

52

Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim

8. Analisis Risiko Iklim

a. Klasiikasi kelurahan berdasarkan keterpaparannya terhadap risiko iklim b. Sertakan: Peta risiko iklim

9. Aspek Kapasitas Institusi

a. Peran dan tanggung jawab institusi

• Pemetaan stakeholder yang berkaitan dengan perubahan iklim

• Analisis peran, tanggung jawab dan ruang lingkup pekerjaan masing-masing institusi, dan peluang keterlibatan dalam isu perubahan iklim

b. Inisiasi program dalam menghadapi dampak perubahan iklim

• Apa saja peraturan, kebijakan, dan mekanisme untuk mempertimbangkan dampak perubahan iklim terhadap agenda kota

• Analisis pendanaan untuk pemerintah kota dan nasional serta institusi lainnya

5.2 Bagaimana Cara Membuat Dokumen Advokasi?

Dokumen advokasi meningkatkan kepedulian dan kesadaran untuk melakukan tindakan. Hal ini berdasarkan fakta dan analisis, tetapi juga menampilkan penjelasan naratif yang mendorong aktor-aktor untuk membuat perubahan.

Meskipun penjelasan ilmiahnya terdapat di CRA, dokumen advokasi juga menjelaskan pentingnya dampak perubahan iklim terhadap kota. Dengan demikian dokumen advokasi perlu disusun dengan jelas, dan berisi data dan analisis ilmiah, serta penjelasan singkat dan jelas mengenai informasi yang kompleks.

Meskipun isi dari dokumen CRA cenderung leksibel, penyusun dokumen CRA harus hati-hati dalam mempertimbangkan target pembaca. Dokumen ini akan menjadi alat utama yang digunakan oleh anggota tim kota untuk mengembangkan strategi ketahanan kota. Penyusun juga harus mempertimbangkan hal-hal seperti pengetahuan ilmiah mereka, waktu yang dibutuhkan oleh pembaca untuk membaca dan memahami dokumen dengan informasi yang cukup panjang, dan ketersediaan tim penyusun CRA untuk membantu pembaca dalam memahami dokumen. Hal-hal tersebut akan menentukan struktur dokumen itu sendiri.

Tim penyusun dokumen CRA juga harus memikirkan bagaimana dokumen dapat digunakan dan bermanfaat bagi masyarakat. Sebagai contoh, jika dokumen akan berguna sebagai alat bagi para praktisi lingkungan untuk memahami kerentanan di suatu kawasan, tim penyusun harus dapat menyesuaikan dengan cara berpikir mereka. Hal ini dikarenakan para praktisi lingkungan biasanya tidak terlalu membutuhkan dokumen yang bersifat ilmiah, sehingga bahasa dalam dokumen harus singkat, jelas, dan mudah dipahami. Atau, jika universitas lokal atau LSM mungkin ingin menggunakan informasi dari CRA, maka dokumen CRA harus memiliki analisis ilmiah yang kuat, mengutip sumber data, dan informasi lainnya secara rinci.


(3)

5.3 Mengupdate Kajian risiko iklim

Kondisi kota dan lingkungan akan terus berubah, sehingga kajian risiko iklim harus tetap relevan dengan kondisi yang berkembang. Kajian risiko iklim atau CRA adalah dokumen yang bersifat dinamis, hal ini berarti bahwa data yang digunakan harus terus diperbarui, sehingga analisis dan peta juga akan berubah. Untuk kerangka global dan metode penilaian risiko (CRA), dapat dilihat dalam referensi

internasional dari:

Intergovernmental Panel for Climate Change (IPCC) Working Group II

http://www.ipcc-wg2.gov/

IPCC adalah lembaga internasional yang menjadi acuan utama dalam penilaian perubahan iklim. IPCC didirikan oleh dua lembaga PBB (UN); Program Lingkungan PBB (UNEP) dan Organisasi Meteorologi

Dunia (World Meteorological Organization - WMO) pada tahun 1988. Tujuan IPCC adalah untuk memberikan dasar ilmiah tentang perubahan iklim, termasuk dampaknya terhadap lingkungan dan sosial-ekonomi, sehingga kota yang dapat memantau perkembangan kerangkanya.

Pada tahun 2012, IPCC merilis Laporan Khusus tentang Mengelola Risiko Kejadian Ekstrim dan Bencana untuk Meningkatkan Adaptasi Perubahan Iklim (SREX) dokumen: http://ipcc-wg2.gov/SREX/. Dokumen ini dapat dijadikan landasan untuk mengembangkan kerangka kerja tentang konsepsi kerentanan, dampak iklim dan bahaya, dan adaptasi perubahan iklim. SREX telah menggabungkan pendekatan pengurangan risiko bencana dengan adaptasi perubahan iklim. Kemungkinan besar, kerangka kerja yang akan diterapkan dalam Laporan Penilaian 5 (AR 5) dari IPCC Kelompok Kerja II Februari 2014. Untuk referensi nasional, dapat melihat metode lanjutan dari Kementerian Lingkungan Hidup di tingkat pusat atau Pusat Penelitian Perubahan Iklim Nasional (jika ada).


(4)

54

Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim

FAQ (FREQUENTLY ASKED QUESTIONS)

1. Apa korelasi antara analisis proyeksi iklim dengan analisis bahaya?

Analisis proyeksi iklim dapat digunakan untuk mendeinisikan analisis bahaya di masa mendatang, namun hanya untuk dua jenis bahaya, yaitu banjir dan kekeringan. Kekurangannya yaitu skalanya dalam skala kota, bukan kelurahan/kecamatan.

2. Bagaimana mendeinisikan bahaya di kota? Kriteria tiap jenis bahaya?

Standar/kriteria bahaya dapat dilihat di Perka BNPB Nomor 2 Tahun 2012, atau mengikuti standar lembaga/instansi/SKPD setempat.

3. Apa keterbatasan dari analisis proyeksi iklim?

Analisis proyeksi iklim ini hanya melihat satu dari banyak komponen iklim, yaitu presipitasi (curah hujan). Padahal komponen iklim ada banyak, antara lain temperatur, angin, kelembaban, dsb. Selain itu, skalanya juga skala kota, bukan kelurahan/kecamatan.

4. Mengapa analisis proyeksi iklim itu penting? Apa prinsip dasarnya?

Penting dilakukan untuk menggambarkan kondisi iklim di masa mendatang untuk kota. Apakah kota akan mengalami iklim ekstrim yang dapat menyebabkan suatu bencana atau tidak.

5. Apakah kita dapat menganalisis / proyeksi komponen iklim yang lain selain curah hujan?

Ya bisa, misalnya temperatur, angin, kelembaban, dan sebagainya. Untuk penjelasan lebih lanjut bisa menghubungi CCROM IPB.

6. Bagaimana menentukan indikator yang tepat untuk menghitung indeks keterpaparan dan sensitivitas, dan indikator kemampuan adaptasi?

a. Indikator Keterpaparan (E) umumnya banyak merujuk pada kondisi isik suatu wilayah. Contoh: Jumlah bangunan di bantaran sungai, luas lahan pertanian sawah

b. Indikator Sensitivitas (S), umumnya banyak merujuk pada kondisi internal masyarakat/ isik di suatu wilayah.

Contoh: Jumlah keluarga pra-sejahtera, sumber mata pencaharian penduduk

c. Komponen Kapasitas Adaptif (AC), merujuk pada kondisi internal masyarakat maupun isik suatu wilayah yang sifatnya positif atau merupakan kekuatan wilayah tersebut. Contoh: Dengan tingkat pendidikan yang tinggi, mereka akan semakin memiliki kemampuan untuk mengatasi konsekuensi perubahan iklim.


(5)

7. Apa dasar utama dalam menentukan nilai bobot masing-masing indikator pada analisis

kerentanan?

Indikator pada analisis kerentanan diberikan bobot berdasarkan justifikasi para ahli dan kesepakatan pemangku tanggung jawab (stakeholders) kota. Semakin sensitif suatu indikator untuk menggambarkan kondisi kota, maka bobotnya semakin besar dan berlaku sebaliknya.

8. Bagaimana sesungguhnya korelasi antar proses (analisis proyeksi, bahaya, dan kerentanan) dalam Kajian Risiko Iklim?

Hasil analisis kerentanan dan analisis bahaya diperlukan untuk melakukan analisis risiko. Pada prinsipnya, kerentanan suatu kota dipahami sebagai “kondisi internal” dan bahaya sebagai “kondisi eksternal”. Kondisi internal tersebut mengikat pada proil kota, sedangkan kondisi eksternal adalah semua komponen yang ada di luar kontrol kota yang dapat mempengaruhi kota tersebut. Kondisi internal yang rentan apabila dikenai kondisi eksternal yang berbahaya, maka dapat meningkatkan risiko terkena dampak negatif dari bahaya tersebut. Tingkat risiko yang ditimbulkan inilah yang diperhitungkan dalam analisis risiko iklim. Misalnya, pada suatu kota yang proilnya tergolong rentan terjadi banjir, maka tingkat risiko kota tersebut terhadap dampak banjir lebih tinggi daripada kota dengan proil tidak rentan atau kurang rentan. Selanjutnya, proyeksi iklim dilakukan untuk memperhitungkan pengaruh kondisi iklim masa depan terhadap tingkat bahaya masa depan (future hazard). Tingkat bahaya masa depan apabila di-overlay dengan tingkat kerentanan kota maka dapat menghasilkan perkiraan risiko masa depan (future risk).

9. Sejauh mana dokumen kajian risiko iklim ini selaras dengan Sistem Inventarisasi Data Indeks Kerentanan (SIDIK) dari KLHK?

SIDIK merupakan instrumen untuk mengakses informasi mengenai tingkat kerentanan terhadap perubahan iklim di suatu daerah secara online. Hasil keluaran dari SIDIK sama dengan hasil keluaran dalam dokumen kajian risiko iklim (CRA) seperti sistem kuadran yang menunjukkan tingkat kerentanan daerah, indeks keterpaparan dan sensitiitas (IKS), serta indeks kemampuan adaptif (IKA) melalui perhitungan secara otomatis oleh sistem yang sudah dikembangkan. Oleh karena itu, SIDIK dapat digunakan untuk mengolah data yang hasilnya dapat dideskripsikan dan dianalisis lebih lanjut di dalam dokumen kajian risiko iklim (CRA). Dengan adanya SIDIK, dapat mempermudah untuk memperbaharui dokumen kajian risiko iklim (CRA) kota pada tahun-tahun selanjutnya.


(6)

Panduan Penyusunan - Kajian Risiko Iklim

56

FAX : +62.21.22708940

INDONESIA.MERCYCORPS.ORG

MercycorpsID Mercy Corps Indonesia