pada kisaran 33,98-34,56 psu, sementara di Selat Ombai terlihat pada kisaran 33,40-34,55 psu Suteja 2011. Perbandingan nilai salinitas pada kedua stasiun ini
setidaknya sedikit menunjukkan kemiripan pada lapisan termoklin. Kemiripan ini dapat mengindikasikan, bahwa massa air termoklin di kedua stasiun adalah sama.
Nilai salinitas termoklin pada kedua stasiun, terlihat lebih rendah dengan salinitas massa air Pasifik Utara yang ditemukan di Selat Makassar sekitar 34,70
psu, namun hampir sama dengan nilai salinitas yang ditemukan di Laut Flores yaitu sekitar 34,50 psu Ilahude Gordon 1996. Perbedaan ini, diduga karena
telah terjadinya pengadukan di bagian dalam kolom air akibat bentuk topografi perairan ARLINDO, yang bertanggung jawab terhadap perubahan karakter nilai
ini Hatayama 2004. Pada lapisan dalam dimana temperatur hampir homogen, terlihat kisaran
salinitas di Laut Banda berkisar antara 34,56-34,62 psu Gambar 23, demikian halnya di Selat Ombai berkisar antara 34,61-34,49 psu Gambar 25. Nilai ini
hampir sama dengan yang di dapat oleh Koch-Larrouy et al. 2007 yang memperlihatkan invasi salinitas Pasifik Selatan dengan menggunakan model
TIDES. Terlihat massa air bersalinitas tinggi dari Pasik Selatan pada lapisan bawah termoklin di Laut Banda Gambar 26. Pergerakan salinitas ini dapat
menunjukkan bahwa penyebaran CO
2
antropogenik massa air Pasifik Selatan juga dapat mencapai wilayah Laut Banda.
Pada section H_I10, salinitas dikelompokkan menurut jalur garis bujur longitud dan jalur garis lintang latitud. Stasiun-stasiun menurut longitud
terletak di selatan Jawa, dimana salinitas permukaan terlihat meningkat dari barat ke timur, dari 33,14 sampai 34,63 psu. Sementara menurut latitud, salinitas
mengalami peningkatan ketika mendekati perairan Australia dari stasiun-stasiun yang ditarik dari selatan Jawa 34,50 sampai 35,66 psu. Profil vertikal salinitas
permukaan kedua jalur terlihat berbeda Gambar 27B 28, akibat sirkulasi arus yang membawa salinitas dari sumber origin yang berbeda.
Gambar 26 Salinitas di atas dan bawah lapisan termoklin Laut Banda berdasarkan model TIDES Koch-Larrouy et al. 2007.
Salinitas pada lapisan tercampur di jalur longitud terlihat bervariasi dari 33,14-34,59 psu Gambar 27C. Pada lapisan termoklin, terlihat salinitas
meningkat terhadap tekanan yaitu dari 34,56 menjadi 34,69 psu. Demikian pula dengan lapisan dingin dibawahnya, terlihat salinitas berangsur-angsur meningkat
tipis terhadap tekanan, dari 34,52-34,71 psu. Salinitas di bagian barat lapisan termoklin terlihat lebih rendah, hal ini disebabkan karena massa air tersebut telah
mengalami pengenceran akibat masukan air tawar dari muara-muara sungai di daerah barat Sumatera dan massa air Laut Jawa yang bersalinitas rendah melalui
Selat Sunda. Data ini sekaligus memperkuat penelitian Natih 1998, yang menemukan
variasi salinitas tahunan dekat Selat Sunda sekitar 33,3-33,5 psu. Tingginya presipitasi di wilayah Indonesia bagian barat, cukup berdampak pada salinitas
massa air yang ditransporkan Laut Jawa ke Samudera Hindia melalui Selat Sunda. Sebaliknya salinitas rendah yang ditemukan pada stasiun-stasiun dekat Selat
Lombok, berasal dari arus ITF yang bergerak dari timur.
Gambar 27 Profil vertikal salinitas Samudera Hindia bagian Timur, A section HI10 menurut garis bujur, B sampai tekanan
3000 dbar, dan C di perbesar sampai tekanan 500 dbar. Pada jalur latitud, terlihat salinitas mengalami peningkatan tajam pada
kedalaman termoklin dan sangat berbeda dengan profil temperatur pada kedalaman termoklin yang sama. Pada lapisan ini mengindikasikan adanya
percampuran beberapa massa air yang berbeda origin dan karakteristiknya. Wijffels et al. 2002, mengelompokkan setidaknya ada 3 jenis massa air yang
mendominasi wilayah Hindia bagian timur yaitu, North Indian Water NIW,
Indonesian Throughflow Water ITW, dan South Indian Subtropical Water STW. Ciri dan karakteristik dari massa air ini, akan di bahas pada sub bab
berikutnya.
Gambar 28 Profil vertikal salinitas section H_I10 berdasarkan garis lintang sampai tekanan 1000 dbar.
Pada jalur latitud, kurang lebih terdapat sekitar 28 data CTD yang menyebar dari utara ke selatan, yang menampilkan profil sebaran salinitas yang sedikit
berbeda. Untuk melihat sebaran salinitas pada lapisan homogen, lapisan termoklin dan di lapisan dalam, maka jalur ini dibagi dalam tiga bagian yaitu, A
11 –15
o
LS, B 15 –20
o
LS, dan C 20 –25
o
LS Gambar 29. Salinitas pada lapisan homogen antara garis lintang 11
–15
o
LS, terlihat bervariasi antara 34,50-34,65 psu. Pada lapisan termoklin, salinitas berada pada
kisaran 34,81-35,44 psu. Nilai salinitas tertinggi pada lapisan ini terlihat pada tekanan 248,3 dbar yaitu 35,44 psu. Selanjutnya salinitas terlihat menurun di
bawah termoklin mencapai 34,89 psu pada tekanan 558,2 dbar, dan kemudian sedikit meningkat terhadap tekanan mencapai 34,72 psu di lapisan dalam.
Gambar 29 Profil vertikal salinitas section H_I10 berdasarkan garis lintang yang diperbesar sampai tekanan 500 dbar. A
11 –15
o
LS, B 15 –20
o
LS, dan C 20 –25
o
LS.
Pada latitud 15 –20
o
LS Gambar 29B, salinitas di lapisan homogen ada pada kisaran 34,68-35,36 psu, sementara di lapisan termoklin nilai salinitas
berfluktuasi dari 34,61 psu sampai 35,89 psu, dan nilai tertinggi pada lapisan ini dicapai pada tekanan 245,10 dbar. Pada lapisan dalam, salinitas minimum terlihat
pada tekanan 558,2 pada titik 34,59 dbar, kemudian terlihat meningkat secara konstan seiring bertambahnya tekanan mencapai 34,71 psu, pada tekanan sekitar
2997,2 dbar.
Gambar 30 Profil salinitas cross section H_I10 Samudera Hindia bagian timur.
Salinitas maksimum dan salinitas minimum ekstrim, terlihat sepanjang garis lintang 20
–25
o
LS Gambar 29C, masing-masing berada pada tekanan 230,7 dbar sebesar 35,99 psu, dan pada tekanan 619 dbar sebesar 34,48 psu. Sementara itu,
salinitas pada lapisan tercampur bervariasi antara 35,08 psu sampai 35,66 psu. Pada lapisan termoklin, salinitas terlihat pada kisaran 35,21-35,99 psu. Pada
lapisan dingin dibawahnya, salinitas terlihat menanjak naik terhadap tekanan sampai 35,71 psu pada kedalaman maksimum, setelah sebelumnya mencapai nilai
minimum di tekanan 619 dbar . Secara umum, sebaran salinitas dari selatan Jawa sampai dekat pantai
Australia, terlihat meningkat dari 34,50 psu sampai 35,66 psu Gambar 30. Pada lapisan termoklin jalur ini, ditemukan kisaran salinitas yang cukup tinggi, yaitu
antara 34,61-35,99 psu. Salinitas yang tinggi ini, dipengaruhi oleh massa air South Indian Subtropical Water STW yang berasal dari selatan Hindia menuju
utara, digambarkan dengan salinitas maksimum pada lapisan termoklin Wijffels et al. 2002.
4.1.3 Sirkulasi Massa Air
Massa air teridentifikasi berdasarkan T-S diagram. Sirkulasi massa air secara tidak langsung memperlihatkan perjalanan CO
2
antropogenik dalam suatu wilayah perairan. Berapa banyak massa air yang berhasil ditransporkan atau
dipindahkan, dapat juga menggambarkan banyaknya konsentrasi CO
2
antropogenik yang ditransporkan Touratier Goyet 2004b. Semua air yang berada di perairan Indonesia, pada umumnya berasal dari
wilayah subtropis dan lintang tinggi Samudera Pasifik You 2003. Massa air yang bersumber dari utara maupun selatan Pasfik, keduanya dapat dibedakan dari
nilai salinitasnya. Air yang bersumber dari Pasifik Utara digambarkan memiliki salinitas yang rendah dengan temperatur yang tinggi, sebaliknya massa air yang
bersumber dari Pasifik Selatan dicirikan memiliki salinitas yang tinggi dengan temperatur rendah Gordon Fine 1996; You 2003.
Di Pasifik, sebagian massa air North Equatorial Current NEC berbelok ke selatan ketika mencapai perairan Filipina kemudian dilanjutkan dengan Mindanao
Current MC. MC membawa massa air Pasifik Utara, North Pasific Subtropical Water NPSW yang digambarkan berada pada lapisan termoklin dengan salinitas
tinggi ~34,65 di kedalaman sekitar 220 m atau
= 24,5, dan North Pasific Intermediate Water NPIW yang digambarkan memiliki salinitas minimum
34,4 pada kedalaman 300 m, atau
= 26,5 Tabel 1. Sebagian massa air MC yang masuk ke Laut Sulawesi kembali ke Samudera Pasifik sebagai North
Equatorial Counter Current NECC dan sebagiannyanya lagi menuju Selat Makassar dan menjadi ARLINDO.
Pada section P10N ditemukan massa air dengan salinitas pada kisaran 34,93-35,15 psu, pada
= 24 Gambar 31. Massa air ini diduga merupakan massa air NPSW yang berasal dari Pasifik Utara. Batas atas salinitas massa air ini
35,15 psu, terlihat cukup tinggi dibandingkan dengan salinitas massa air NPSW dalam You 2003, yaitu ~34,65 psu. Hal ini diduga karena adanya masukan air
bersalinitas tinggi yang datang dari arah timur menuju bagian barat Pasifik, seiring dengan sirkulasi NEC.
Gambar 31 Diagram T-S section P10N, Samudera Pasifik bagian barat.
Pada lapisan bawah termoklin, ditemukan massa air dengan
= 26,50 dan salinitas 34,12-34,58 psu, yang diduga adalah massa air NPIW. Nilai ini,
memiliki kesamaan dengan massa air NPIW dalam You 2003, dengan salinitas minimum sekitar 34,42 psu pada
= 26,50. Atmadipoera et al. 2009 menemukan NPIW memiliki salinitas maksimal 34,90 psu pada saat memasuki
ARLINDO, sementara hasil observasi di Selat Makassar NPIW memiliki salinitas 34,40 psu Ilahude Gordon 1996.
Gambar 32 Diagram T-S section P08S, Samudera Pasifik bagian barat.
Massa air NPSW dan NPIW terlacak juga pada section P08S di Pasifik bagian barat dekat perairan Filipina, yaitu pada jalur masuk ARLINDO Gambar
32. NPSW ditemukan pada kisaran salinitas termoklin 34,76-34,85 psu, pada
antara 24,50-25-50. Sementara NPIW berada di bawah lapisan termoklin pada kisaran salinitas 34,43-34,45 psu, pada
= 26,50. Karakteristik massa air di
section P08S, terlihat sama dengan yang ditemukan di section P10N. Hal ini menunjukkan, bahwa massa air pada kedua section memiliki asal-usul yang sama,
yaitu berasal dari wilayah Pasifik Utara Wyritki 1961; Ilahude Gordon 1996;You 2003. Berdasarkan profil diagram T-S, massa air NPSW dan NPIW di
section P08S, menunjukkan kemiripan dengan profil diagram T-S dalam Koch Larrouy et al. 2007 dan Gordon 2005 Gambar 33.
Gambar 33 Profil diagram T-S yang di hitung berdasarkan observasi. World Ocean Data Base 2001 Levitus 1998 warna hitam, TIDES-
Gordon 2005 warna oranye, NOTIDES warna biru dalam Koch Larroy et al. 2007.
MC yang membawa massa air NPSW dan NPIW selanjutnya bersirkulasi menyusuri perairan Filipina bergerak ke selatan, kemudian masuk ke perairan
Indonesia setelah mencapai Laut Sulawesi. Namun demikian tidak semua massa air tersebut ditransporkan ke perairan Indonesia, karena ada juga yang diteruskan
lebih ke selatan Christian 2004. Dalam perjalanannya, karakteristik massa air Pasifik Utara masih jelas terlacak di Selat Makassar bagian utara, yaitu sekitar
Labani Channel Gordon 2005 dengan menggunakan model TIDES dan Koch-
Larrouy et al. 2007 menggunakan model NOTIDES Gambar 33, di wilayah sumber ARLINDO.
Dari Selat Makassar, air Pasifik Utara melanjutkan perjalanannya dengan ARLINDO melewati perairan Indonesia yang dikenal dinamis dengan bentuk
topografi perairan yang unik, sebelum keluar mencapai Hindia. Namun demikian, massa air Pasifik yang dicirikan dengan salinitas maksimum pada lapisan
termoklin dan salinitas minimum di bawah termoklin, mengalami modifikasi ketika mencapai Laut Flores, dengan ditemukan salinitas minimum 34,400 psu
Ilahude Gordon, 1996. Kepulauan Indonesia terdiri dari sejumlah selat dangkal dan dalam, dan
menyerupai mangkuk besar di bagian dalam interior basins. Contohnya Laut Sulawesi dan Laut Banda, sebagai yang terbesar dan terdalam di perairan
Indonesia. Dengan bentuk ini, di Laut Banda memungkinkan terjadinya pengadukan massa air Samudera Pasifik, akibat kuatnya gaya pasang surut yang
dapat mengubah karakter air Gordon et al. 2006; Gordon 2005. Di Laut Banda, ditemukan pada lapisan termoklin bersalinitas sekitar 34,45
psu pada
=
24 Gambar 34 dan selanjunya disimpulkan bahwa massa air ini tidak menggambarkan karakteristik massa air NPSW yang memiliki salinitas
maksimum sekitar 34,65 psu pada
= 24, seperti yang digambarkan dalam You 2003, Koch Larrouy et al. 2007, dan Gordon 2005. Hal ini diduga dalam
perjalanannya melewati jalur barat, massa air Pasifik telah mengalami modifikasi akibat adanya Ambang Dewakang di Selat Makassar, menyebabkan terjadinya
percampuran vertikal Hatayama 2004. Demikian pula, intervensi air tawar dengan salinitas rendah dari Laut Jawa yang bergerak ke arah timur menuju Laut
Flores dan masuk ke Laut Banda selama musim peralihan Maret-Mei Atmadipoera 2009, juga berpengaruh.
Pada lapisan bawah termoklin stasiun Laut Banda, terlihat salinitas 34,56 psu pada
= 26,5. Ini diduga merupakan massa air Pasifik Utara yang bergerak pada lapisan bawah termoklin. Bila dibandingkan dengan section P10N pada
lapisan yang sama, nilai ini masuk dalam kisaran massa air NPIW 34,12-34,58 psu pada
=26,5. Dalam Suteja 2011, di Selat Ombai ditemukan massa air
NPIW dengan salinitas 34,50-34,56 psu pada
= 26-26,70. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa massa air pada lapisan bawah termoklin Laut Banda
dari penelitian ini, adalah massa air NPIW. Sementara itu, tidak terdeteksinya massa air NPSW di stasiun Laut Banda
pada penelitian ini, dijelaskan oleh Hautala et al. 1996 yang menyimpulkan, bahwa massa air Pasifik dengan salinitas maksimum pada lapisan termoklin,
terlihat menghilang ketika mencapai Laut Banda, membentuk karakteristik massa air dengan salinitas yang homogen sekitar 34,58 psu di bawah 20
o
C. Terhadap fenomena ini Gordon 2005 menyimpulkan, bahwa Laut Banda memainkan
peranan penting terhadap proses pengadukan massa air dalam membentuk lapisan homogen. Demikian pada beberapa penelitian lainnya disimpulkan, adanya
gelombang internal yang menyebabkan terjadinya transformsi karakteristik massa air sebelum mencapai Laut Banda Schiller 2004; Hatayama 2004, Koch-Larrouy
et al. 2007. Sebaliknya, keberadaan massa air NPIW di Laut Banda, dijelaskan oleh Gordon dan Fine 1996, yang menyimpulkan konsentrasi CFC di lapisan
dalam Laut Maluku yang berasal dari Pasifik Utara, sangat berhubungan dengan konsentrasi CFC di kedalaman Laut Banda.
Dari bentuk topografi perairan, Laut Banda merupakan mangkuk raksasa tempat bertemunya massa air dengan sumber origin yang berbeda
karakteristiknya. Wilayah ini dipengaruhi oleh angin muson yang berubah arah 2 kali setahun Wyrtki 1961. Sementara itu, air di Laut Banda sendiri memiliki
waktu tinggal yang cukup lama, yaitu rata-rata minimum 10 tahun Koch Larrouy et al. 2007 dan paling lama 13-22 tahun Gordon Fine 1996. Disini jelas
menunjukkan, bahwa perairan Laut Banda merupakan perairan yang sangat dinamis dan memungkinkan terjadinya proses perubahan karakteristik massa air.
Dengan data CTD terbaru dari pelayaran INDOMIX, Purba et al. in press, menyimpulkan bahwa karakteristik massa air Subtropical Lower Termoklin
SPSLTW yang berasal dari Pasifik Selatan, juga tidak terdeteksi di Laut Banda. Hal ini disebabkan karena adanya gelombang internal di Laut Halmahera dan Laut
Seram, yang memodifikasi karakter massa air ini sebelum masuk ke Laut Banda Gambar 35. Fenomena ini telah ditegaskan sebelumnya oleh Koch Larrouy et
Gambar 34 Diagram T-S stasiun Laut Banda.
Gambar 35 Diagram T-S dan DO Dissolved Oxygen di Halmahera,
Banda and Ombai. Kotak di sebelah kanan adalah lokasi CTD, INDOMIX 2010 Purba et al. in press.