Berdasarkan Tabel 4, selanjutnya dilakukan penghitungan besaran CO
2
antropogenik neraca untuk memprediksi besaran konsentrasi yang ditransporkan melalui sirkulasi massa air Samudera Pasifik ke Samudera Hindia pada kedalaman
yang sama.
Tabel 5 Neraca CO
2
kontemporer, CO
2
antropogenik C
ant
dan CO
2
alamiah di Pasifik Barat, Hindia Timur dan di ARLINDO
STASIUN CO
2
Kontemporer Pg Ctahun
1 Pg = 10
15
g CO
2
Alamiah Pg Ctahun
CO
2
Antropogenik Tg Ctahun
1 Tg = 10
12
g Samudera Pasifik
Barat sumber ARLINDO
9,85 -9,98 9,84
– 9,95 13,88
– 33,72
Samudera Hindia Timur
outlet ARLINDO
9,84 – 9,98
9,80 – 9,90
40,43 – 73,38
Selat Ombai
4,12 – 4,25
4,08 – 4,20
35,16 – 45,95
Secara general dapat diprediksi total CO
2
kontemporer yang ditransporkan dari Samudera Pasifik melewati perairan Indonesia sebesar 9,85
–9,98 Pg Ctahun Tabel 5. Dibandingkan dengan outlet ARLINDO, konsentrasi CO
2
kontemporer terlihat hanya sedikit mengalami perubahan ketika mencapai Samudera Hindia
bagian timur yaitu pada kisaran 9,84 –9,98 Pg Ctahun. Samudera Pasifik
memiliki umur air yang lebih tua dibandingkan ke dua Samudera lainnya Hindia dan Atlantik, sehingga akumulasi CO
2
di Samudera Pasifik telah berlangsung cukup lama. Konsentrasi CO
2
alamiah umumnya ditemukan lebih rendah pada lapisan permukaan dibandingkan di lapisan dalam karena tingginya proses
fotosintesis yang terjadi di permukaan. Sebaliknya konsentrasi CO
2
antropogenik lebih tinggi di permukaan dan rendah di lapisan dalam.
Dari Tabel 5 dapat disimpulkan bahwa besaran CO
2
alamiah yang masuk ke perairan ARLINDO dari Samudera Pasifik bagian barat hampir sama besarnya
ketika ditransporkan menuju Samudera Hindia bagian timur. Sebaliknya, konsentrasi CO
2
antropogenik menunjukkan perbedaan yang cukup siknifikan di daerah outlet ARLINDO dibandingkan di daerah sumber ARLINDO. Perbedaan
ini cukup menegaskan bahwa daerah ARLINDO sangat berperan terhadap penambahan nilai konsentrasi tersebut.
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Sebagai hasil dari proses penelitian, tujuan yang ditetapkan dapat dicapai untuk menyediakan jawaban atas masalah yang dirumuskan berkenaan dengan
distribusi dan neraca CO
2
antropogenik laut di daerah arus lintas Indonesia. Lewat serangkaian analisis dan penafsiran terhadap data hasil pengamatan,
kesimpulan dan saran dikemukaan sebagai berikut: 1.
Konsentrasi di Hindia bagian timur outlet ARLINDO terlihat lebih tinggi dari konsentrasi di Pasifik bagian barat sumber ARLINDO, khususnya pada
kedalaman 400 m. Besarnya konsentrasi di Samudera Hindia bagian timur ini, mengindikasikan adanya tambahan CO
2
antropogenik dari perairan Indonesia, khususnya pada pengamatan di stasiun Laut Banda dan Selat
Ombai. 2.
CO
2
antropogenik di stasiun Laut Banda terakumulasi lebih tinggi dari pada di selat Ombai terutama di lapisan permukaan. Konsentrasi CO
2
antropogenik pada kedua stasiun ini diduga berasal dari Laut Jawa berdasarkan salinitas
rendah yang ditemukan pada lapisan permukaan di kedua stasiun tersebut. 3.
Konsentrasi yang terakumulasi di lapisan termoklin dan bawah termoklin Selat Ombai, merupakan kontribusi dari massa air NPSW dan NPIW,
sebaliknya massa air termoklin di stasiun Laut Banda tidak terlihat akibat adanya proses pengadukan massa air.
4. Neraca kandungan CO
2
antropogenik di daerah outlet ARLINDO, lebih besar dari yang masuk dari daerah sumber ARLINDO.
5.2 Saran
1. Hasil pengamatan ini belum bisa menunjukkan neraca kandungan CO
2
antropogenik tahunan di perairan Indonesia sebagaimana penelitian dilakukan
pada periode muson tenggara. Untuk mendapatkan kepastian neraca tahunan, diperlukan pengamatan yang diperluas pada periode muson barat laut.
2. Penentuan neraca kandungan CO
2
antropogenik ini sangat penting ditentukan oleh metodologi yang tepat untuk mendapatkan hasil akurasi data yang
diinginkan.
DAFTAR PUSTAKA
Aldrian E, Chen C-TA, Adi S, Prihartanto, Sudiana N, Nugroho SP. 2008. Spatial and seasonal dynamics of riverine carbon fluxes of the Brantas
catchment in East Java. J Geophys Res, 113:1-13, G03029, doi:10.10292007JG000626.
Anderson LA, Sarmiento JL. 1994. Redfield ratios of remineralization determined by nutrient data analysis. Glob Biogeochem Cycles 8:65-80.
Atmadipoera A, Molcard R, Madec G, Wijffels S, Sprintall, J, Koch-Larrouy A, Jaya I, Supangat A. 2009. Characteristics and variability of the Indonesian
throughflow water at the outflow straits. Deep Sea Res I 56:1942-1954. Badan Pusat Statistik. 2012. [Terhubung berkala].
http:www.bps.go.idtnmn_pg.php.html[17 Maret 2012]. Barnola JM. 1999. Status of the atmospheric CO
2
reconstruction from ice core analyses. Tellus 51B:151-155.
Baum A, Rixen T, Samiaji J. 2007. Relevance of peat draining rivers in central Sumbatra for the riverine input of dissolved organic carbon into the ocean.
Estuar Coast Shelf Sci 73:563-570. Bray NA, Hautala S, Chong J, Pariwono J. 1996. Large-scale sea level,
thermocline, and wind variations in the Indonesian Throughflow region. J Geophys Res 101:12239
– 12254. B W 74 “N ” v v w E Sci
Lett 23:100-107. Brewer PG. 1978. Direct observation of the oceanic CO
2
increase, Geophys Res Lett 5:997-1000.
Carbon Dioxide Information Analysis Center. 2012. Available at: http:cdiac.ornl.govftpoceans. Accessed 17 Maret 2011.
Chen C-TA. 2004. Exchanges of Carbon in the Coastal Seas. In The Global Carbon Cycle: Integrating Humans, Climate, and the Natural World. ed. by
Field CB and Raupach MR. SCOPE62. Island Press. Washington DC. Chen C-TA, Wang SL. 1999. Carbon, alkalinity and nutrient budget on the East
China Sea continental shelf. J Geophys Res 104:20675-20686. Chen C-TA. 1993. The oceanic anthropogenic CO
2
sink. Chemosphere 27: 1041-1064.
Chen C-TA. 1982. On the distribution of anthropogenic CO
2
in the Atlantic and Southern Oceans. Deep Sea Res 29:563-580.
Chierici M, Olsen A, Johannessen T, Trinanes J, Wanninkof R. 2009. Algorithms to estimate the Carbon Dioxide uptake in the Northern North Atlantic
using shipboard observations, satellite and ocean analysis data. Deep Sea Res II 56:630-639.