Bahan dan Alat Aplikasi Metode TrOCA

3.4 Analisa Laboratorium

3.4.1 Penentuan DIC TCO 2 Total dissolved inorganic carbon DIC yang terkandung dalam air laut dapat diekspresikan sebagai berikut : 2 2 3 3                  DIC CO HCO CO dimana, 3      HCO dan 2 3      CO = total konsentrasi yang terlarut dalam larutan µmol.kg -1 , 2 CO     = total konsentrasi karbon dioksida yang tidak terionisasi, yaitu 2 3 H CO dan 2 CO µmol.kg -1 . Beberapa contoh air laut dimasukkan ke dalam suatu wadah dimana air laut tersebut diasamkan dan dihilangkan dengan gas-gas non reaktif. Endapan kalsium karbonat 3 CaCO merupakan faktor pengganggu dalam metode ini. Banyaknya 2 CO dari aliran gas dapat ditentukan dengan mengabsorpsi 2 CO yang terkandung dalam ethanolamine dan asam hydroxyethylcarbamic yang terbentuk dari hasil titrasi kolometrik. pH larutan dapat diketahui dengan mengukur absorbansi atau transmisinya menggunakan indikator thymolphthalein pada panjang gelombang 610 nm. Ion hidroksida dihasilkan dari aliran kolometer yang berfungsi untuk menjaga stabilisasi transmisiabsorbansi nilai konstanta larutan. Persamaan reaksi kimia yang terjadi dalam larutan dapat diekspresikan sebagai berikut :     2 2 2 2 2 2 CO HO CH NH HO CH NHCOO H      dan + - 2 H +OH H O  Ion hidroksida yang bereaksi dengan katoda dihasilkan dari ionisasi air, sebagaimana diekspresikan sebagai berikut,   - - 2 2 g 1 H O+e H +OH 2  1 2 1 2 sedangkan perak bereaksi dengan anoda, sebagaimana diekspresikan sebagai berikut :   + - s Ag Ag +e  Efisiensi metode kolometrik ini kemudian dilakukan kalibrasi dengan kadar gas 2 CO baik dari aliran gas maupun dari larutan 2 3 Na CO . Prosedur penentuan total DIC dalam air laut dijelaskan dalam lampiran 2. Data hasil pengukuran TCO 2 berdasarkan prosedur ini dipaparkan dalam lampiran 3.

3.4.2 Penentuan Total Alkalinitas TA

Alkalinitas didefinisikan sebagai kemampuan kuantitatif air untuk menetralisir asam kuat ke pH yang dipilih. Sampel air laut diawetkan dengan menambahkan 100 µl larutan HgCl 2 dan didinginkan pada temperatur 4 o C. Setelah keruh, sampel diperbolehkan untuk diendapkan. Total alkalinitas didefinisikan sebagai jumlah mili ekuivalen H + , yang diperlukan untuk titrasi satu kilogram air laut ke titik ekivalen bikarbonat ~ pH 4.5 : TA = [HCO 3 1¯ ] +2 [B OH 4 1¯ ] [CO 3 2¯ ] + + [OH 1¯ ] - [H + ] 3 Alkalinitas dinyatakan sebagai alkalinitas fenolftalein atau Total Alkalinitas. Keduanya dapat ditentukan secara titrasi dengan larutan asam sulfat standar ke titik akhir pH. Alkalinitas fenolftalein ditentukan dengan titrasi ke pH 8.3 titik akhir fenolftalein dan dinyatakan sebagai total hidroksida dan satu setengah karbonat. Total alkalinitas ditentukan dengan titrasi sampel sebanyak 50 ml dengan H 2 SO 4 atau HCl 0,1 N ke titik akhir pH 4,5. Indikator metil ungu dapat digunakan untuk mempertajam titik akhir. Total alkalinitas meliputi semua karbonat, bikarbonat, dan hidroksida alkalinitas. Asam sulfat asam klorida dapat digunakan bereaksi dengan tiga bentuk alkalinitas, mengkonversi ketiganya ke air atau asam karbonat. Jika terdapat hidroksida, reaksi membentuk air: 2OH ¯ + H 2 SO 4 → 2 O + 2- 4 SO 4 3 Konversi ini biasanya selesai pada pH sekitar 10. Fenolftalein alkalinitas ditentukan oleh titrasi ke titik akhir pH 8.3, yang sesuai dengan konversi karbonat untuk bikarbonat. 2CO 3 2¯ + H 2 SO 4 → C 3 ¯ + 2- 4 SO 5 Jika hidroksida hadir, titrasi untuk pH 8,3 akan menunjukkan alkalinitas karena semua hidroksida ditambah satu-setengah dari karbonat. Titrasi dilanjutkan ke pH 4,5 untuk melengkapi konversi karbonat menjadi bikarbonat yang lain seperti asam karbonat. Nilai ini disebut Total Alkalinitas. 2HCO 3 ¯ + H 2 SO 4 → 2 CO 3 + 2- 4 SO 6 Hasil pengukuran total alkalinitas dinyatakan dengan satuan mgl CaCO 3 dengan menggunakan rumus: V H2SO4 HCl x N H2SO4 HCl x BE CaCO3 x 1000 TA mgL = 4 sebagai CaCO 3 V sampel V H2SO4 = Volume titran H 2 SO 4 HCl mL N H2SO4 = Normalitas H 2 SO 4 HCl BE CaCO3 = Berat Equivalen CaCO 3 = 50,04 V sampel = Volume sampel mL Prosedur penentuan Total Alkalinitas dalam air laut selengkapnya dijelaskan dalam lampiran 4. Data hasil pengukuran TA berdasarkan prosedur ini dipaparkan dalam lampiran 5.

3.4.3 Penentuan Oksigen Terlarut DO

Selain diambil dengan peralatan CTD, Oksigen terlarut juga diukur berdasarkan metode winkler di laboratorium kapal. Penentuan kadar oksigen dalam air laut berdasarkan titrasi jodometri pertama kali diperkenalkan oleh Winkler pada tahun 1888 Culberson et al. 1991, dengan Prinsip Metode sebagai berikut: 1. Dalam larutan yang bersifat basa kuat, Mn 2+ MnCl 2 atau MnSO 4 bereaksi dengan OH - NaOH atau KOH membentuk endapan MnOH 2 yang berwarna putih. Mn 2+ + 2OH - MnOH 2 Putih 2. Endapan MnOH 2 ini tidak stabil, sehingga segera di oksidasi oleh oksigen yang terdapat dalam larutan contoh menjadi MnOH 3 . Reaksi oksidasi ini bersifat kuantitatif, yang berarti banyaknya MnOH 3 yang terbentuk adalah ekuivalen dengan banyaknya O 2 yang terdapat dalam larutan contoh. 2MnOH 2 + ½ O2 + H 2 O 2 MnOH 3 8 3. Dalam larutan yang bersifat asam kuat pH = 1–2,5, endapan MnOH 3 larut kembali dan melepaskan ion Mn 3+ yang besifat oksidator. Ion Mn 3+ ini akan mengoksidasi ion jodida menjadi J 2 bebas. Banyaknya J 3- yang terbentuk ekuivalen dengan banyaknya endapan MnOH 3. 2 MnOH 3 + 2J - + 6H + 2 Mn 3+ +J 2 + 6H 2 O 9 J 2 + J - J 3 - 10 4. Larutan yang mengandung J 3 - tersebut kemudian dititrasi dengan natrium tiosulfat, memakai indikator kanji. Titrasi dihentikan tepat pada saat warna larutan berubah dari biru menjadi tidak berwarna. Banyaknya J 3 - adalah ekuivalen dengan banyaknya S 2 O 3 2- . Banyaknya S 2 O 3 2- ekuivalen dengan banyaknya oksigen terlarut dalam contoh. J 3 - + 2 S 2 O 3 2 3 J - + S 4 O 6 2- 11 Data hasil pengukuran Oksigen berdasarkan prosedur ini dipaparkan dalam lampiran 6. 7 3.5 Analisis dan Evaluasi Data 3.5.1 Analisis CO 2 Antropogenik di Laut Untuk menghitung distribusi CO 2 antropogenik, digunakan pendekatan TrOCA. Metode ini dikembangkan oleh Touratier dan Goyet 2004a, dengan menggabungkan pelacak tracer ‘quasi-conservative’ TrOCA kombinasi dari tracer Oksigen – O 2 , Karbon Anorganik Terlarut – TCO 2 dan Alkalinitas Total – TA. Dasar dari metode ini adalah dengan memprediksi efek-efek biologi sebagaimana yang telah dilakukan oleh Redfield et al. 1963 melalui persamaan: Respirasi, dekomposisi CH 2 O 106 NH 3 H 3 PO 4 + 138 O 2 106 CO 2 + 16 HNO 3 + H 3 PO 4 +122 H 2 O + 17H + fotosintesis Dari sini, akan memungkinkan untuk menentukan besaran nilai konsentrasi CO 2 antropogenik melalui peran pompa biologi, dan proses-proses fisika dari pengukuran TCO 2 . Seiring dengan kedalaman, nilai TCO 2 bervariasi menurut respirasi dan pelarutan kalsium karbonat. Beberapa proses ini sebelumnya telah diprediksi dengan menggunakan total alkalinitas TA; Brewer 1978; Goyet dan Brewer 1993. Pada persamaan 5 terlihat nilai koefisien stoikiometri untuk O 2 dan CO 2 masing-masing 165 dan 123 berbeda dengan di persamaan Redfield et al. 1963; yaitu masing-masing 138 dan 106 persamaan 1. Koreksi terhadap koefisien perbandingan Redfield tersebut di estimasi oleh Körtzinger et al. 2001, berdasarkan data dari Atlantik Utara. 165 adalah nilai koefisien O 2 yang berhubungan erat dengan penelitian Takahasi et al. 1985 dan Anderson dan Sarmiento 1994b, sebaliknya nilai koefisien CO 2 adalah 123, disebut sebagai nilai penyimpangan CO 2 antropogenik Körtzinger et al. 2001. Pengaruh nilai koefisien ini terhadap nilai TrOCA, selanjutnya dijelaskan oleh Touratier dan Goyet 2004a. dimana, 12       2 2 2 123 1 17 TCO = O + TA+ O 165 2 165 5 2 TCO = Total karbon dioksida atau karbon anorganik terlarut µmol.kg -1 2 O = Oksigen terlarut µmol.kg -1 TA = Total Alkalinitas µmol.kg -1 Persamaan 5 dikonstruksi kembali sama seperti yang pernah dilakukan oleh Broecker 1974 pada NO dan PO, yang kemudian menjelaskan definisi dari TrOCA Tracer combaining Oxygen, inorganic Carbon, and total Alkalinity: 2 2 1, 2 0, 6 TrOCA O TCO TA    7 dimana, TrOCA = Kombinasi dari 2 TCO , 2 O dan TA dengan kontribusi antropogenik µmol.kg -1 2 TCO = Total karbon dioksida atau karbon anorganik terlarut µmol.kg -1 2 O = Oksigen terlarut µmol.kg -1 TA = Total Alkalinitas µmol.kg -1 S ‘ v ’ tracer TrOCA yang sama dengan tracer TrOCA namun tanpa kontribusi antropogenik: dimana, TrOCA = Kombinasi dari 2 TCO , 2 O dan TA dengan kontribusi antropogenik µmol.kg -1 2 TCO = Total karbon dioksida atau karbon anorganik terlarut tanpa kontribusi antropogenik µmol.kg -1 2 O = Oksigen terlarut tanpa kontribusi antropogenik µmol.kg -1 TA = Total Alkalinitas tanpa kontribusi antropogenik µmol.kg -1 Sejak total alkalinitas tidak dipengaruhi oleh peningkatan CO 2 di atmosfer Goyet et al. 1999, dapat dikatakan bahwa TA TA  . Atas pertimbangan spesifik terhadap nilai pertukaran rasio O 2 CO 2 sekitar 1,4 dari pemanfaatan bahan bakar fosil Keeling Shertz 1992 dan kontribusi relatif O 2 dan CO 2 di 2 2 165 1 131,5 2 TrOCA O TCO TA          6 8 2 2 1, 2 0, 6 TrOCA O TCO TA    atmosfer masing-masing sekitar 21 dan 0,04, ini cukup menjelaskan bahwa CO 2 di atmosfir ~500 kali lebih sensitif terhadap tekanan antropogenik dibandingkan dengan O 2 . Perkiraan pertama, diasumsikan bahwa distribusi oksigen dalam skala luas di bagian dalam lautan tidak secara signifikan dipengaruhi oleh aktifitas manusia, sehingga diterjemahkan sebagai 2 2 O O  . Untuk mengetahui konsentrasi CO 2 antropogenik, nilai TrOCA harus di ketahui terlebih dahulu. Touratier dan Goyet 2004 memperlihatkan adanya hubungan antara TrOCA dan θ di Samudera Atlantik. Peningkatan TrOCA seiring dengan meningkatnya θ, secara garis besar dijelaskan melalui kontribusi TCO 2 dalam persamaan 7 . Hubungan antara TrOCA dan θ diperlihatkan oleh Touratier dan Goyet 2004b, pada bentuk persamaan a.exp- θb dengan koefisien korelasi, r 2 = 0,90. Bagian dalam Samudera Atlantik Selatan diprediksi sebagai lokasi bebas antropogenik Chen 1993; Gruber 1998, sehingga semua data O 2 , TCO 2 dan TA dan pada lintang 20 o LS – 40 o LS, yang dikarakterisasi oleh θ ≤ °C di kedalaman 3500 m, telah diseleksi untuk perhitungan nilai TrOCA bebas CO 2 antropogenik. w ≥ telah digunakan untuk menghitung nilai TrOCA . Berdasarkan bentuk exponensial pada persamaan dibawah ini, maka nilai TrOCA dapat dihitung: Perhitungan nilai TrOCA didasarkan pada kisaran θ yang mengacuh pada perhitungan nilai TrOCA. Dengan menggunakan persamaan 10 , maka total konsentrasi CO 2 antropogenik C Ant di sepanjang kolom air dapat dihitung. 2 0, 90 r  . . 89,04 1,50 e          1505, 04 0, 46 b b e             TrOCA a a    2 2 1, 2 Ant TrOCA TrOCA C TCO TCO     9 10

3.5.2 Grafik Temperatur –Salinitas dan Temperatur–Salinitas–C

Ant Untuk mengenali jenis-jenis massa air dan mengetahui keberadaannya, dianalisis melalui grafik sebaran temperatur-salinitas dan grafik sebaran temperatur – oksigen. Demikan juga, untuk mengenali perjalanan CO 2 antropogenik, dianalisis dengan menggunakan grafik sebaran temperatur – salinitas – C Ant . Berdasarkan identifikasi massa air melalui gambar grafik T – S, suatu jenis massa air tertentu akan dapat diketahui keberadaannya. Pelacakan jenis massa air ini akan memperlihatkan perbedaan massa air di Samudera Pasifik bagian barat, di wilayah ARLINDO dan di Samudera Hindia bagian timur. Bila pada suatu wilayah tertentu identitas massa air sudah tidak terlihat, maka dapat disimpulkan bahwa massa air tersebut telah mengalami percampuran dengan massa air lain. Diagram T – S dan T – S – C Ant , dianalisis dengan bentuk sebaran menegak menggunakan program ODV Ocean Data View.

3.6 Aplikasi Metode TrOCA

Metode perhitungan distribusi CO 2 antropogenik, TrOCA, yang dikembangkan oleh Touratier dan Goyet 2004a selanjutnya diaplikasikan berdasarkan data pada section WOCEJGOFS Samudera Pasifik bagian barat dan Samudera Hindia bagian timur, dan di daerah ARLINDO stasiun Laut Banda dan stasiun Selat Ombai melalui program INDOMIX. Langkah pertama, adalah memulai perhitungan nilai tracer TrOCA dengan menggunakan data oksigen O 2 , karbon anorganik terlarut TCO 2 dan total alkalinitas TA berdasarkan persamaan 7 . Nilai tracer TrOCA diperoleh dari persamaan 9 dengan koefisien a = 15,05 dan koefisien b = 89,04. Untuk selanjutnya, konsentrasi CO 2 antropogenik dengan mudah di hitung menggunakan persamaan 10 . Touratier dan Goyet melaporkan bahwa adanya hubungan antara TrOCA dan θ di Samudera Atlantik. Nilai TrOCA diperoleh dari perhitungan semua data TCO 2 , TA dan O 2 dari sampel air yang berasal dari garis lintang 20 o LS – 40 o LS. Nilai TrOCA diperoleh dari asumsi, bahwa air pada kedalaman 3500 m di Samudera Atlantik tidak dipengaruhi oleh CO 2 antropogenik Chen 1982; Chen 1993; Gruber 1998, sehingga semua data O 2, TCO 2 , dan TA pada garis lintang 20 o LS – 40 o LS, yang dikarakterisasi oleh θ ≤ °C perhitungan nilai TrOCA bebas CO 2 antropogenik. Selanjutnya dari perhitungan ini, diperoleh bentuk kurva dengan persamaan y = a.exp-xb, dimana y mewakili tracer TrOCA dan x adalah temperatur potensial θ persamaan 9. Penelitian ini juga menemukan suatu hubungan sederhana antara TrOCA dan θ untuk WOCEJGOFS section dan stasiun Laut Banda dan Selat Ombai yang cukup menarik Gambar 11, yang secara garis besar dijelaskan melalui konstribusi TCO 2 dari perhitungan menggunakan persamaan 7 , dimana konsentrasi meningkat seiring dengan bertambahnya kedalaman atau penurunan temperatur. Gambar 11 Hubungan antara TrOCA dan temperatur potensial θ dari stasiun P10N, P08S_1, P08S_2, H_I10, stasiun Laut Banda dan Selat Ombai. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Distribusi Massa Air di Jalur Arus Lintas Indonesia ARLINDO

Untuk mengkaji distribusi CO 2 antropogenik di perairan ARLINDO tentunya tidak dapat dilepaskan dengan propertis oseanografi lainnya seperti temperatur, salinitas dan sirkulasi massa air, karena parameter tersebut juga berperan dalam mengontrol siklus dan sirkulasi CO 2 di kolom perairan. ARLINDO yang merupakan bagian dari perpindahan massa air dua Samudera, tentunya akan sangat berperan terhadap neraca CO 2 massa air yang di transporkan dari Pasifik menuju Hindia. Perairan ARLINDO yang dikenal sangat dinamis, diduga akan berkontribusi terhadap kondisi neraca CO 2 massa air ketika mencapai Samudera Hindia.

4.1.1 Sebaran Temperatur

Perairan Samudera Pasifik bagian barat section P10N merupakan perairan laut dalam, sehingga perbedaan temperatur sampai dasar perairan dapat terlihat dengan jelas Gambar 12. Berdasarkan profil temperatur secara menegak, perairan Pasifik bagian barat dapat dibedakan menjadi tiga lapisan yakni lapisan homogen dibagian atas lapisan tercampur, lapisan termoklin dan lapisan dingin di bagian dalam. Kolom perairan dikategorikan sebagai lapisan permukaan tercampur jika T  0,1 o C, sedangkan dikategorikan sebagai lapisan termoklin ditentukan dengan melihat T  ≥ o C Cisewski et al. 2005. Penentuan lapisan dalam didasarkan pada pengamatan visual terhadap profil temperatur dimana pada lapisan ini temperatur tidak mengalamai penurunan secara tajam seiring dengan bertambahnya kedalaman. Gambar 12 Profil vertikal temperatur section P10N, Samudera Pasifik bagian barat. Lapisan tercampur merupakan lapisan yang memiliki temperatur yang hampir seragam dan paling tinggi. Ketebalan lapisan tercampur pada section P10N berkisar antara 9,9-51 dbar. Lapisan paling tebal terlihat pada stasiun 42-54 dibandingkan dengan stasiun 56-61 yang cenderung mendekati wilayah lintang tinggi Gambar 13. Perbedaan ketebalan lapisan ini dikarenakan temperatur air cenderung berkurang semakin mendekati wilayah lintang tinggi sehingga gradien temperatur menjadi semakin kecil dan tidak terjadinya stratifikasi termoklin Chierici et al. 2009. Hal ini ditunjukkan dari profil vertikal stasiun 56-61, dimana gradien temperatur berkurang secara konstan terhadap kedalaman, dibandingkan dengan stasiun yang semakin dekat dengan wilayah equator. Pada penelitian ini, lapisan tercampur terlihat lebih tipis dari permukaan yaitu sekitar 50 m, dikarenakan pengukuran dilakukan pada saat musim timur berlangsung. Ilahude dan Gordon 1996 menggariskan, lapisan homogen pada musim barat terbentuk dari permukaan sampai kedalaman 100 m dengan kisaran temperatur sekitar 27-28 o C, sedangkan pada musim timur ketebalan lapisan lebih tipis sekitar 50 m dari permukaan pada kisaran temperatur 28-29 o C. Hasil pengukuran CTD pada section ini menunjukkan kisaran lapisan tercampur ada pada kisaran 28,50- 29,12 o C. Gambar 13 Profil vertikal temperatur section P10N yang diperbesar sampai tekanan 500 dbar. Lapisan termoklin terletak di bawah lapisan tercampur dan merupakan lapisan dimana temperatur turun secara drastis terhadap kedalaman. Lapisan termoklin di section P10N memiliki rata- ≥ o C per satu meter. Pada wilayah ini lapisan termoklin berada pada tekanan berkisar antara 49,8-251,5 dbar. Lapisan dalam merupakan lapisan paling bawah yang memiliki temperatur paling rendah dan hampir homogen. Nilai temperatur di lapisan ini berkisar 12,66-1,6 o C. Sementara gradien temperatur terlihat mulai mengecil pada stasiun- stasiun searah bertambahnya wilayah lintang, yang menandakan temperatur cenderung mulai homogen sepanjang kolom perairan. Sementara itu stasiun P08S_1 dan P08S_2 memperlihatkan kondisi temperatur vetikal yang hampir sama dengan section P10N. Lapisan homogen pada kedua stasiun ini memiliki ketebalan yang hampir sama, yaitu berada pada kisaran 10-50,2 dbar, demikian pula dengan temperatur kedua stasiun masing- masing berada pada kisaran pada 28,47-29,75 o C dan 28,73-29,38 o C Gambar 14A. Stasiun P08S_1 dan P08S_2 terletak searah pada wilayah sirkulasi North Equatorial Current NEC, sehingga ketebalan lapisan termoklin lebih dipengaruhi oleh pola arus. Pola arus yang terjadi di perairan Pasifik bagian barat dapat diperkirakan dengan melihat pola arus pada bulan Juni. Kedua stasiun ini terletak lebih ke barat dari section P10N, yaitu pada titik 130 o BT yang merupakan wilayah sirkulasi NEC yang datang dari arah timur Pasifik menuju Filipina. Arus yang datang dari timur Pasifik pada sekitar garis lintang antara 10 –12 o LU terlihat berbelok ke selatan ketika mencapai Filipina, yang kemudian berlanjut dengan Mindanao Current MC. Gambar 14 Profil vertikal temperatur stasiun P08S_1 dan P08S_2, Samudera Pasifik bagian barat. A sampai tekanan 3000 dbar, B diperbesar sampai tekanan 500 dbar. Pengukuran pada kedua stasiun ini dilakukan pada bulan Juni 1996, yang memperlihatkan lapisan termoklin berkisar antara 50,2 dbar sampai 250,9 dbar, dengan variasi temperatur antara 9,91-28 o C Gambar 14B. Pada lapisan di bawah termoklin terlihat temperatur menurun secara konstan yang bervariasi seiring bertambahnya kedalaman dari 9,99 o C sampai 1,61 o C. Sebaran rata-rata temperatur permukaan terutama pada lapisan homogen di section P10N, stasiun P08S_1 dan P08S_2, yaitu berada pada kisaran 28-29,75 o C. Tingginya temperatur pada wilayah ini diduga berasal dari Samudera Pasifik bagian timur yang di bawah oleh NEC. Laut Banda dan Selat Ombai, dipilih sebagai stasiun pengambilan sampel yang mewakili studi ini terhadap distribusi CO 2 antropogenik di perairan ARLINDO. Berdasarkan data CTD, terlihat temperatur permukaan Laut Banda sedikit lebih rendah dari temperatur permukaan Selat Ombai. Gambar 15 Profil vertikal temperatur stasiun Laut Banda. A sampai tekanan 3000 dbar, B diperbesar sampai tekanan 500 dbar. Pada lapisan tercampur stasiun Laut Banda dan Selat Ombai, keduanya memperlihatkan kisaran temperatur masing-masing antara 27,95-28,05 o C Gambar 15A dan 28,13-28,51 o C Gambar 16A. Kisaran temperatur ini lebih tinggi dibandingkan dengan yang didapat oleh Ilahude dan Gordon 1996 pada saat musim timur Agustus-September 1993 di Laut Flores, Laut Banda bagian barat, dan Laut Timor yang memiliki kisaran temperatur 26,10-27,50 o C. Hal ini diduga karena terjadinya anomali iklim seperti El Nino Southern Oscilation ENSO yang akan mempengaruhi transfer bahang dan transpor ARLINDO dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia Sprintall et al. 2003; Gordon 2005. Pada tahun 1993 terjadi fase El Nino yang kuat Gordon 2005, sehingga jumlah bahang yang ditransfer dari Samudera Pasifik juga melemah dan temperatur lapisan tercampur menjadi lebih rendah dibandingkan periode tidak terjadinya El Nino. Anomali iklim pada tahun 2010 adalah tahun ENSO yaitu fase hangat La Nina, sehingga suhu lebih tinggi dari tahun normal. Gambar 16 Profil vertikal temperatur stasiun Selat Ombai. A sampai tekanan 1500 dbar, B diperbesar sampai tekanan 500 dbar. Ketebalan lapisan homogen Laut Banda sekitar 75 dbar Gambar 15B sedikit lebih tinggi dari Selat Ombai yang berada pada kisaran 20-71 dbar Gambar 17 Suteja 2011. Ketebalan lapisan homogen ini erat kaitannya dengan peran arus. Pengukuran di stasiun Laut Banda dilakukan pada saat periode musim timur berlangsung. Pada periode ini, diduga terjadi penimbunan air hangat yang berasal dari arus Pasifik Selatan. Penimbunan massa air tersebut akan menyebabkan lapisan homogen menjadi lebih dalam dan menekan lapisan termoklin ke bawah yang dicirikan oleh gradien temperatur termoklin bertambah tajam. Menurut Rochford 1969, faktor yang menyebabkan pendalaman deepening lapisan homogen adalah penimbunana massa air hangat karena arus. Gambar 17 Profil vertikal temperatur Selat Ombai. Data CTD INDOMIX, Juli 2010 Suteja 2011.