Sirkulasi Massa Air Distribusi Massa Air di Jalur Arus Lintas Indonesia ARLINDO
Gambar 34 Diagram T-S stasiun Laut Banda.
Gambar 35 Diagram T-S dan DO Dissolved Oxygen di Halmahera,
Banda and Ombai. Kotak di sebelah kanan adalah lokasi CTD, INDOMIX 2010 Purba et al. in press.
al. 2007, bahwa perubahan salinitas maksimum massa air Pasifik Selatan tidak mucul di Halmahera dan Laut Seram, akibat adanya percampuran.
Percampuran vertikal yang terjadi di wilayah ini menyebabkan karakteristik beberapa origin massa air sulit teramati. Pengaruh angin muson, juga turut
mempengaruhi dinamika oseanografi di wilayah ini, terutama di lapisan permukaan Zijlstra et al. 1990; Ilahude et al. 1990. Selama muson tenggara,
Juni – Agustus, arus permukaan bergerak dari Laut Banda menuju Laut Flores,
Laut Jawa sampai Laut Cina Selatan. Sebaliknya selama periode muson barat laut Desember
– Februari, arus permukaan Laut Jawa dan Selat Makassar bergerak melintasi Laut Flores kemudian masuk ke Laut Banda Gordon 2005. Selama
muson tenggara, arus yang mengalir ke arah barat, menyebabkan terjadinya upwelling di bagian timur Laut Banda, sehingga temperatur permukaan menjadi
lebih rendah dan perairan kaya akan nutrien Wyrtki 1961; Troelstra Kroon 1989. Selama periode upwelling, dari April ke Desember, rata-rata kecepatan
Ekman upwelling adalah 1,27 Sv Gordon Susanto 2001. Selama periode transisi dari muson tenggara ke muson barat laut, arus
permukaan berubah arah menurut arah angin. Pada lapisan atas, arus mengalir menuju timur sebesar 6,3 Sv. Sebaliknya pada tekanan antara 300 sampai 1000
dbar, arus bergerak ke barat sebesar 3,9 Sv. Pada kedalaman ini terjadi transfer salinitas yang tinggi ke Laut Flores. Pergerakan arus ini mencapai Selat
Makassar, dan membentur Ambang sill Dewakang yang memiliki ketinggian sekitar 650 m Gordon et al. 1994.
Di Selat Ombai, Suteja 2011 menemukan massa air Pasifik Utara pada bulan Juli 2010 terlihat pada lapisan termoklin dan di lapisan bawah termoklin
Gambar 36. Massa air NPSW teridentifiksi pada
= 24,00-22,00 dengan kisaran salinitas 34,38-34,54 psu. Sementara itu, massa air NPIW menempati
kisaran densitas antara 26-26,70 pada salinitas 34,50-34,56 psu. Sementara, pada lapisan pemukaan, lebih didominasi oleh massa air Laut Jawa dengan salinitas
yang rendah sekitar 33,38-33,86 psu pada
= 21-22.
Gambar 36 Diagram T-S di Selat Ombai tanggal 16-17 Juli 2010. Tanda panah dan kotak merah menunjukkan
jenis massa air yang terdeteksi Suteja 2011.
Namun demikian, dari data CTD ini menunjukkan bahwa massa air Laut Jawa yang terlacak di kedalaman termoklin Selat Ombai pada saat periode transisi
Maret-Mei Atmadipoera et al. 2009, tidak terlihat pada penelitan ini. Hal ini di duga, karena kurangnya volume massa air Laut Jawa yang mencapai perairan
Selat Ombai setelah mencapai puncak tertinggi di bulan Maret. Air Laut Jawa sendiri digambarkan memiliki karakter yang dingin dan tawar, dengan salinitas
berada pada kisaran antara 31,00-32,00 psu Wyrtki, 1961; Admadipora et al. 2009.
Perjalanan air Samudera Pasifik menuju Hindia mengalami sejumlah modifikasi di perairan Indonesia, ini ditandai dengan hilangnya sejumlah
karakteristik massa air ketika mencapai Hindia bagian timur. Hal ini ditandai
dengan tidak terlihatnya massa air bawah termoklin Pasifik Selatan SPSLTW di Selat Ombai pada Juli 2010. SPSLTW digambarkan memiliki salinitas 34,20 psu
pada
antara 26 dan 27 Atmadipoera et al. 2009. Tidak terdeteksinya massa
air ini, didugadisebabkan oleh adanya variasi musiman massa air Samudera Pasifik selatan yang masuk ke jalur ARLINDO Suteja 2011.
Seperti yang kita ketahui, bahwa massa air dari Pasifik Utara dan Selatan dapat ditentukan berdasarkan salinitas dan temperaturnya. Massa air Pasifik
Utara dengan temperatur tinggi salinitas rendah, sebaliknya air Pasifik Selatan dengan salinitas tinggi temperatur rendah. Massa air Pasifik tersebut, selanjutnya
mengalami sejumlah proses modifikasi di Perairan Indonesia sebelum keluar menuju Hindia. Di Laut Banda dan Timor, massa air Pasifik mengalami
pengadukan vertikal sampai massa air mencapai campuran homogen secara vertikal You 2003. Gordon 2005 menunjukkan, bahwa massa air NPIW pada
kedalaman 300 m
=26,5, hanya sekilas saja terlihat di Laut Timor, setelah mengalami proses pengadukan. Demikian halnya massa air Antartic Intermediate
Water AAIW yang masuk dari jalur sebelah timur, kira-kira pada kedalaman 600-1000 m atau
= 27,1-27,2, juga tidak teridentifikasi di Laut Banda Gordon 2005. Taley dan Sprintall 2005 menyebutkan, AAIW bertransformasi
menjadi Intermediate Indonesian Water IIW pada kedalaman 1000 m atau
= 31,96 ketika mencapai Hindia bagian timur, yang kemudian bergabung bersama
SEC. Dalam You 2003 disebutkan, IIW memiliki kandungan silikat maksimum sekitar 80 µmol.kg
-1
. Tingginya proses modifikasi yang menghilangkan sejumlah karakteristik
massa air Pasifik di ARLINDO, membuat para peneliti menggunakan tracer pelacak nutrien dan kimia lainnya, untuk mengidentifikasikan massa air setelah
diagram T-S dianggap kurang pasti. Gordon dan Fine 1996, menggunakan chlorofluorocarbons CFC-11 dan CFC-12 untuk memisahkan stratifikasi massa
air. Mereka menemukan konsentrasi CFC di lapisan dalam Laut Banda, berkesuaian dengan di Selat Makassar dan Laut Maluku pada lapisan yang sama.
Sementara Hautala et al. 1996, menggunakan oksigen untuk melihat sirkulasi massa air pada lapisan atas dan bawah termoklin. Demikian juga silikat yang
banyak terdapat di Laut Banda, dianggap dapat mewakili identifikasi perubahan karakter massa air Indonesia di Samudera Hindia You 2003. Karena tingginya
kandungan silikat, tracer ini digunakan oleh Coatanoan et al. 1999 untuk melacak massa air ARLINDO di Hindia, dengan menggunakan data JADE section
1989, dari pelayaran RV Marion Dufresne. Dia berpendapat bahwa silikat merupakan salah satu pelacak penting dalam menganalisis massa air pada satu
wilayah perairan. Untuk melihat distribusi CO
2
antropogenik di Hindia bagian timur, adalah penting terlebih dahulu mengetahui karakteristik massa air di wilayah ini.
Kaitannya dengan hal itu, data CTD section H_I10 yang telah tersedia di website WOCEJGOFS, di pilih untuk perhitungan konsentrasi CO
2
antropogenik dan perkiraan sirkulasi massa air ARLINDO di wilayah outlet. Adalah satu
keberuntungan, dimana Wijffels et al. 2002 dengan menggunakan data yang sama, telah mengidentifikasi terlebih dahulu sejumlah massa air dengan sumber
origin yang berbeda pada wilayah ini.
Gambar 37 Diagram T-S section H_I10 berdasarkan garis bujur, Samudera Pasifik bagian barat.
Section H_I10 dibagi menurut garis bujur langitud dan garis lintang latitud. Berdasarkan longitud, terlihat salinitas berkurang dari timur ke barat,
dari 34,63 psu menjadi 33,14 psu yaitu dekat perairan Selat Sunda Gambar 37. Sementara itu, menurut latitud, salinitas terlihat meningkat ke selatan, mencapai
35,66 psu di dekat perairan Australia, dari 34,50 psu di stasiun dekat Selat Lombok Gambar 38.
Menurut Wijffels et al. 2002, setidaknya terdapat 3 jenis massa air lapisan termoklin
= 24,5 di Samudera Hindia bagian timur Gambar 39. Pertama adalah massa air South Indian Subtropical Water STW, yang digambarkan
memiliki salinitas maksimum di bagian atas termoklin, berasal dari wilayah subtropis selatan Samudera Hindia yang bersalinitas tinggi akibat tingginya
evaporasi. Kedua, North Indian Water NIW yang digambarkan memiliki kadar oksigen yang rendah. Yang ketiga adalah Indonesian Throughflow Water ITW,
digambarkan memiliki salinitas lebih rendah dari air Hindia sendiri. Dari jalur keluar ARLINDO, terlihat ITW menuju ke Hindia dan bergabung dengan South
Equatorial Current SEC, mengalir ke bagian barat di sepanjang garis lintang 12
o
LS. Diantara ujung Sumatera dan Jawa, ditemukan massa air permukaan
bersalinitas rendah dengan temperatur yang cukup tinggi. Massa air ini berada di atas NIW di bagian selatan kepulauan Indonesia. Kelompok air ini diindikasikan
berasal dari bagian barat Sumatera yang memiliki intensitas curah hujan yang tinggi, melalui proses adveksi dengan salinitas rendah, bergerak ke arah barat dari
perairan dangkal Laut Jawa. STW yang relatif memiliki salinitas tinggi yaitu sekitar 35 psu, terletak pada
kedalaman 220 m antara pantai Australia dan garis lintang 15
o
LS. ITW yang lebih tawar ditemukan pada lapisan termoklin agak ke utara dari STW antara
lapisan permukaan dan kedalaman 300-400 m antara 14
o
LS dan 10
o
LS. Massa air ini, kemudian menjadi lebih asin ketika mengalir ke barat dari jalur keluar
ARLINDO. Berdasarkan data CTD JADE dan WOCE section, pada jalur keluar, ITW memiliki salinitas 34,6 Wijffels et al. 2002, Pada ujung Selat Sunda,
NIW menempati kedalaman dangkal 100-150 m, dan berada di bawah kelompok massa air tawar yang keluar dari antara Sumatera dan Jawa tadi. Di Selat Lombok
Gambar 38 Diagram T-S section H_I10 berdasarkan garis lintang. A 11
–15
o
LS, B 15 –20
o
LS, dan C 20 –25
o
LS.
sepanjang JADE section, ditemukan massa air yang lebih tawar, dimana NIW berada di bawah sekitar 300 m dari massa air ini. Pada pelayaran bulan April dan
November 1995, kelompok air tawar permukaan dari Selat Lombok dan NIW, terlihat meluas ke selatan sampai pada latitud 10
o
LS, namun sementara selama September, kedua massa air ini terlihat berada pada latitud sekitar 8
o
LS.
Gambar 39 Tiga massa air termoklin di Samudera Hindia bagian timur. North Indian Water NIW, South
Indian Subtropical Water STW and Indonesian Throughflow Water ITW Wijffels et al. 2002.
South Java Current SJC, ditemukan dekat Selat Sunda dan terlihat bergerak ke arah selatan dari pantai pulau Jawa. Pada bulan September SJC
melemah, tetapi pada November terlihat menguat lagi dan begerak ke timur pada lapisan permukaan Wijffels et al. 2002.
Penurunan properti ekstrim terjadi dekat muara pada sejumlah massa air, yang diakibatkan oleh intevensi air tawar, terutama pada stasiun-stasiun dekat
selat. ITW mengalami peningkatan salinitas ke arah barat, sementara NIW dan STW mengalami penurunan salinitas ke timur. Perubahan ini diakibatkan oleh
pengadukan dan resirkulasi air yang berasal dari Hindia menuju bagian barat bersama SEC, yang juga membawa massa air ARLINDO.
Wijffels et al. 2002, membagi lapisan intermediate Pasifik bagian timur pada kisaran antara 300-800 m. Berdasarkan data WOCE section H_I10, terdapat
tiga massa air pada wilayah ini yaitu, 1 Antartic Intemediate Water AAIW, digambarkan memiliki salinitas minimum dekat 6-7
o
C, relatif tinggi oksigen dan rendah konsentrasi silikat. 2 Intermediate Indonesian Water IIW, memiliki
konsentrasi silikat yang tinggi dan rendah oksigen. Rochford 1961 dalam Wijffels et al. 2002 menyebut massa air ini sebagai Banda Sea Intermediate
Water, dan 3 massa air North Indian Intermediate Water NIIW, memiliki kandungan oksigen yang sangat rendah, yang terbentuk di bagian utara garis
katulistiwa setelah mengalami pengadukan di perairan marginal dan pada saat melintasi perairan intermediate katulistiwa.
AAIW mengalir ke utara menyusuri sepanjang perairan Australia yang dibawa oleh Western Australian Current dan Leeuwin Undercurrents Thompson
1984; Smith et al. 1991. Pada garis lintang 20
o
LS, massa air ini kemudian mengalir ke barat bersama dengan SEC. Massa air IIW yang pada umumnya
berada di bagian dalam ARLINDO, keluar melewati outlet Ombai dan Timor, kemudian mengalir ke arah barat menyusuri jalur SEC antara 10
o
LS dan 14
o
LS. Sementara itu, NIIW ditemukan sepanjang wilayah katulistiwa Samudera Hindia
sampai ke bagian timur dan terlihat melebar sampai ke selatan sepanjang kepulauan Indonesia.
Sepanjang section H_I10, AAIW S34,5 psu berada di kedalaman perairan Australia sekitar 600 m. Sementara massa air IIW S34,62 psu,
ditemukan pada kedalaman 800-1000 m. IIW yang bersalinitas rendah terlihat di JADE section dekat dengan jalur keluar ARLINDO, yang disinyalir telah
mengalami proses pengadukan. Massa air ini kemudian bergerak ke barat seiring dengan NEC You 2003.
IIW meninggalkan kedalaman Laut Banda menuju Hindia melewati Laut Timor di atas kedalaman ambang 1950 m. Di Hindia, pada kedalaman antara
1250 m dan 1700 m, IIW bercampur dengan North Indian Deep Water NIDW, yang memiliki salinitas maksimum 34,73 psu pada kedalaman 2200 m di latitud
10
o
LS. Pada kedalaman antara 500 dan 1200 m, salinitas minimum IIW menempati wilayah antara 14
o
LU dan 10
o
LU. Ditemukan juga percampuran IIW dan NIIW yang bergerak ke timur
Hindia. Distribusi massa air yang digambarkan di atas, menyiratkan bahwa SEC yang berada di bagian timur Hindia selain mengandung massa air ARLINDO,
juga menerima massa air melalui resirkulasi dari SJC dari bagian timur dan Leewin Undercurrent yang bergerak ke barat antara latitud 16
o
LS –20
o
LS.