Ketebalan lapisan homogen Laut Banda sekitar 75 dbar Gambar 15B sedikit lebih tinggi dari Selat Ombai yang berada pada kisaran 20-71 dbar
Gambar 17 Suteja 2011. Ketebalan lapisan homogen ini erat kaitannya dengan peran arus. Pengukuran di stasiun Laut Banda dilakukan pada saat periode musim
timur berlangsung. Pada periode ini, diduga terjadi penimbunan air hangat yang berasal dari arus Pasifik Selatan. Penimbunan massa air tersebut akan
menyebabkan lapisan homogen menjadi lebih dalam dan menekan lapisan termoklin ke bawah yang dicirikan oleh gradien temperatur termoklin bertambah
tajam. Menurut Rochford 1969, faktor yang menyebabkan pendalaman deepening lapisan homogen adalah penimbunana massa air hangat karena arus.
Gambar 17 Profil vertikal temperatur Selat Ombai. Data CTD INDOMIX, Juli 2010 Suteja 2011.
Sementara itu, lapisan termoklin di stasiun Laut Banda berada di bawah lapisan tercampur dengan tekanan berkisar antara 75-250 dbar, lebih tebal dari
lapisan termoklin di stasiun Selat Ombai, 50-200 dbar. Pada penelitian Suteja 2011, lapisan termoklin di Selat Ombai memiliki tekanan yang hampir sama
berhimpitan dengan tekanan lapisan pycnocline, dengan tekanan berkisar antara 22
–254 dbar, sementara tekanan lapisan atas termoklin memiliki variasi antara 22
–72 dbar. Selanjutnya pada lapisan dingin dibawahnya, kedua stasiun memperlihatkan
penurunan temperatur rata-rata dari 12
o
C menjadi 3
o
C. Penurunan ini tidak setajam seperti pada lapisan termoklin. Seiring dengan kedalaman temperatur
hampir menunjukkan homogen. Sebaran temperatur di Samudera Hindia bagian timur, menggunakan data
WOCE section I10 bulan November 1995. Stasiun-stasiun yang tersebar diantara garis lintang sekitar 12
o
LS – 24
o
LS, dikelompokkan dalam dua bagian, satu berdasarkan jalur garis bujur 105
o
BT – 111,664
o
BT memanjang selatan Jawa, dan lainnya berdasarkan jalur garis lintang 11,834
o
LS – 24,379
o
LS, yang ditarik dari selatan Jawa sampai mendekati perairan Australia Gambar 18A.
Sebaran temperatur permukan baik pada jalur garis bujur maupun jalur garis lintang, keduanya memperlihatkan gradien temperatur yang berbeda terutama
pada lapisan permukaan Gambar 18B C. Temperatur pada stasiun-stasiun sepanjang selatan Jawa dari timur ke barat pada umumnya berada pada kisaran
27,73-29,14
o
C, dengan ketebalan lapisan homogen sekitar 50 dbar. Variasi temperatur lapisan homogen ini berkisar antara 28,10
o
C sampai 29,14
o
C Gambar 19.
Lapisan termoklin pada jalur ini ditandai dengan turunnya temperatur secara drastis terhadap kedalaman pada tekanan antara 68 sampai 259 dbar, dengan
variasi temperatur antara 11,5
o
C sampai 27
o
C.
Gambar 18 Profil vertikal temperatur Samudera Hindia bagian timur. A section
H_I10, B berdasarkan garis bujur, dan C berdasarkan garis lintang.
Gambar 19 Profil vertikal temperatur section H_I10 berdasarkan garis bujur yang diperbesar sampai tekanan 500 dbar.
Sementara itu, temperatur permukaan pada stasiun-stasiun menurut jalur garis lintang, mengalami penurunan secara konstan sampai mendekati perairan
Australia yang mencapai nilai terendah 21,26
o
C pada titik 24
o
LS. Sebaliknya temperatur pada stasiun-stasiun yang mendekati Selatan Jawa meningkat sampai
pada titik 28,48
o
C Gambar 20. Temperatur stasiun-stasiun di Selatan Jawa pada umumnya ditemukan
cukup hangat. Hal ini dipengaruhi oleh masukan air yang bertemperatur tinggi dari perairan Indonesia karena section H_I10 terletak lebih dekat dengan jalur
keluar ARLINDO. Sprintall et al. 2003 menggariskan bahwa di Selat Ombai,
Lintasan Timor, Selat Sawu dan Selat Sumba ditemukan siknal dominan rata-rata temperatur harian tahunan yang tinggi selama musim barat, dan juga bersamaan
dengan berlangsungnya musim panas di bagian selatan dari bulan Januari sampai Maret. Hal ini diperkuat dalam penelitian Schneider 1998 yang menemukan
temperatur permukaan laut yang cukup tinggi di Hindia bagian timur yang ditransporkan dari Samudera Pasifik atas peran ARLINDO.
Lapisan homogen pada stasiun-stasiun yang dekat dengan garis katulistiwa berada pada tekanan antara 3.7-57 dbar, dengan kisaran temperatur antara 28-
28,43
o
C. Lapisan termoklin berada pada kisaran tekanan antara 71-298 dbar. Sebaliknya pada stasiun-stasiun yang mendekati wilayah subtropis, gradien
temperatur secara vetikal mulai terlihat menipis terutama di atas 500 dbar Gambar 20. Hal ini menunjukkan berkurangnya stratifikasi yang ditandai
dengan penurunan temperatur secara konstan seiring kedalaman, yaitu sekitar 1
o
C tiap meternya. Lapisan dingin dibawahnya, temperatur turun dari 15,15
o
C mencapai 1,46
o
C.
Gambar 20 Profil vertikal temperatur section H_I10 berdasarkan garis lintang yang diperbesar sampai tekanan 500 dbar.
4.1.2 Sebaran Salinitas
ARLINDO mentranspor air dengan salinitas rendah dari Samudera Pasifik menuju Hindia. Salinitas merupakan salah satu indikator untuk mengetahui
karakteristik massa air dalam suatu perairan. Kondisi salinitas di Samudera Pasifik bagian barat terlihat lebih rendah
dibandingkan dengan nilai temperatur yang ditemukan cukup hangat di wilayah ini, sebagaimana yang dibahas dalam sub bab sebelumnya. Pada section P10N,
terlihat ada dua kelompok salinitas berdasarkan garis lintang Gambar 21. Untuk stasiun-stasiun yang mendekati wilayah subtropis stasiun 56-61 ditemukan
salinitas di lapisan tercampur lebih tinggi pada kisaran 34,81-35,06 psu. Sebaliknya pada stasiun-stasiun yang mendekati wilayah tropis stasiun 54-42
ditemukan kisaran salinitas lebih rendah pada lapisan tercampur, yaitu pada kisaran 33,90-34,53 psu. Perbedaan nilai salinitas ini diduga karena adanya
sumber origin massa air dengan kisaran salintas yang berbeda. Salinitas yang tinggi diduga berasal dari wilayah subtropis Pasifik Timur yang di bawah oleh
SEC, sementara massa air dengan salinitas rendah di bawah oleh NPSW yang berasal dari wilayah lintang tinggi Pasifik Utara You 2003. Salinitas perairan di
wilayah lintang tinggi cenderung lebih rendah akibat tingginya intervensi air tawar, baik dari limpasan daratan maupun dari proses pencairan es akibat dampak
dari perubahan iklim global. Sementara itu, air dengan salinitas yang lebih tinggi lebih dipengaruhi oleh proses evaporasi yang lebih tinggi dari presipitasi pada
wilayah dekat subtropis Pasifik Utara. Salinitas pada lapisan termoklin menunjukkan profil yang berlawanan
dengan profil temperatur, dimana pada lapisan ini salinitas perairan meningkat dengan tajam terhadap tekanan Gambar 21C. Kisaran salinitas di lapisan
termoklin pada stasiun 54-42 adalah 34,37-35,14 psu, sementara untuk stasiun yang mendekati wilayah subtropis adalah 34-75-35,15 psu. Dari perbedaan nilai
ini, diduga adanya percampuran dua massa air yang berbeda origin pada lapisan termoklin. Sementara itu, pada lapisan dingin dibawahnya, salinitas terlihat mulai
mengalami penurunan terhadap kedalaman Gambar 21B. Namun pada tekanan sekitar 500 dbar, salinitas dari stasiun 54-42 terlihat sedikit mengalami
peningkatan dari kisaran 34,51 psu menjadi 34,55 psu, dan selanjutnya terus
meningkat perlahan seiring bertambahnya kedalaman mencapai 34,67 psu pada tekanan 2999,6 dbar dbar. Sebaliknya pada stasiun 56-61, salinitas terlihat turun
di titik minimum dari 34,12 psu ke 34,15 psu pada tekanan sekitar 601 dbar, kemudian terlihat meningkat kembali terhadap kedalaman sampai mencapai 34,65
psu pada tekanan 2999,6 dbar. Secara garis besar terlihat salinitas lebih rendah pada wilayah lintang rendah Gambar 21D.
Gambar 21 Profil vertikal salinitas Samudera Pasifik bagian barat, A section P10N, B sampai tekanan 3000 dbar, C
diperbesar sampai tekanan 500 dbar, dan D cross section P10N.
Profil vertikal salinitas pada kedua stasiun di section P08S pada dasarnya terlihat hampir sama Gambar 22, namun pada lapisan tercampur, nilai salinitas
di stasiun P08S_1 sedikit lebih rendah dari P08S_2. Kisaran pada lapisan tercampur kedua stasiun masing-masing adalah 33,77-34,37 psu dan 33,57-34,23
psu. Selanjutnya pada lapisan termoklin, kedua stasiun memperlihatkan nilai salinitas yang cenderung hampir sama, yaitu masing-masing berada pada kisaran
34,37-34,50 psu dan 34,23-34,43 psu. Pada tekanan sekitar 96 dbar, kedua stasiun terlihat sedikit mengalami peningkatan, masing-masing 34,75 psu dan 34,85 psu.
Demikian halnya pada lapisan dalam, salinitas pada stasiun P08S_1 dan P08S_2 terlihat juga meningkat dari 34,5 psu pada tekanan 250,9 dbar dan mencapai 34,66
psu di tekanan 3000,3 dbar. Profil vertikal salinitas kedua stasiun pada section P08S, terlihat mirip
dengan profil vertikal salinitas pada stasiun 54-42 di section P10N. Ini menunjukkan bahwa karakteristik massa air di section P08S sama dengan di
section P10N, khususnya di stasiun-stasiun yang mendekati wilayah tropis.
Secara garis besar, telihat nilai salinitas di kedua stasiun ini mencirikan kondisi salinitas pada umumnya yang ada di perairan Samudera Pasifik bagian barat, yang
digambarkan memiliki salinitas yang lebih rendah dengan temperatur yang tinggi, dibandingkan dengan massa air dari Pasifik Selatan yang memiliki salinitas tinggi
dan temperatur yang rendah Ilahude Gordon 1996; Wijffels et al. 1992.
Gambar 22 Profil vertikal salinitas stasiun P08S_1 dan P08S_2, Samudera
Pasifik bagian barat.
Di Laut Banda, salinitas pada lapisan tercampur, ditemukan rata-rata 33,98 psu Gambar 23. Profil vertikal salinitas di Laut Banda mirip dengan yang
ditemukan Levitus dan Boyer 1994 Gambar 24. Salinitas di lapisan permukaan Laut Banda terlihat lebih rendah pada musim panas summer
monsoon yaitu berkisar antara 33,79-34,15 psu, dibandingkan dengan periode musim dingin winter monsoon, yang berkisar antara 34,24-34,49 psu. Disini
terlihat bahwa nilai salinitas permukaan stasiun Laut Banda berdasarkan data CTD bulan Juli 2010, masuk dalam kisaran 33,79-34,15 psu Levitus Boyer
1994. Rendahnya nilai salinitas yang ditemukan di Laut Banda pada musim timur
Gambar 23 Profil vertikal salinitas stasiun Laut Banda Juli 2010.
Gambar 24 Profil vertikal pengukuran salinitas sepanjang kolom air di Laut Banda yang mewakili 4 musim Levitus Boyer 1994.
diduga masih dipengaruhi oleh sisa-sisa massa air Laut Jawa yang bersalinitas rendah Atmadipoera 2009.
Sementara itu di Selat Ombai, Suteja 2011 menemukan salinitas pada lapisan homogen mempunyai kisaran yang sangat berdekatan, yaitu antara 33,39-
33,48 psu Gambar 25. Rendahnya salinitas di lapisan ini kemudian disimpulkan akibat adanya pengaruh sisa-sisa presipitasi yang mengencerkan salinitas
permukaan dan adanya anomali iklim seperti La Nina. Atmadipoera et al. 2009 menemukan bahwa selama periode transisi muson April-Juni, air laut Jawa
dengan salinitas rendah 31,00-32,00 psu masuk sampai ke lapisan termoklin di Selat Ombai. Namun demikian, sisa-sisa air Laut Jawa diduga masih
mempengaruhi permukaan Selat Ombai pada bulan Juli ketika data CTD ini diambil.
Gambar 25 Profil vertikal salinitas Selat Ombai. Data CTD INDOMIX, Juli 2010 Suteja 2011.
Salinitas Laut Banda pada lapisan termoklin, menunjukkan profil yang berlawanan dengan profil temperatur, yaitu salinitas meningkat seiring
bertambahnya tekanan. Salinitas lapisan termoklin di laut Banda terlihat berada
pada kisaran 33,98-34,56 psu, sementara di Selat Ombai terlihat pada kisaran 33,40-34,55 psu Suteja 2011. Perbandingan nilai salinitas pada kedua stasiun ini
setidaknya sedikit menunjukkan kemiripan pada lapisan termoklin. Kemiripan ini dapat mengindikasikan, bahwa massa air termoklin di kedua stasiun adalah sama.
Nilai salinitas termoklin pada kedua stasiun, terlihat lebih rendah dengan salinitas massa air Pasifik Utara yang ditemukan di Selat Makassar sekitar 34,70
psu, namun hampir sama dengan nilai salinitas yang ditemukan di Laut Flores yaitu sekitar 34,50 psu Ilahude Gordon 1996. Perbedaan ini, diduga karena
telah terjadinya pengadukan di bagian dalam kolom air akibat bentuk topografi perairan ARLINDO, yang bertanggung jawab terhadap perubahan karakter nilai
ini Hatayama 2004. Pada lapisan dalam dimana temperatur hampir homogen, terlihat kisaran
salinitas di Laut Banda berkisar antara 34,56-34,62 psu Gambar 23, demikian halnya di Selat Ombai berkisar antara 34,61-34,49 psu Gambar 25. Nilai ini
hampir sama dengan yang di dapat oleh Koch-Larrouy et al. 2007 yang memperlihatkan invasi salinitas Pasifik Selatan dengan menggunakan model
TIDES. Terlihat massa air bersalinitas tinggi dari Pasik Selatan pada lapisan bawah termoklin di Laut Banda Gambar 26. Pergerakan salinitas ini dapat
menunjukkan bahwa penyebaran CO
2
antropogenik massa air Pasifik Selatan juga dapat mencapai wilayah Laut Banda.
Pada section H_I10, salinitas dikelompokkan menurut jalur garis bujur longitud dan jalur garis lintang latitud. Stasiun-stasiun menurut longitud
terletak di selatan Jawa, dimana salinitas permukaan terlihat meningkat dari barat ke timur, dari 33,14 sampai 34,63 psu. Sementara menurut latitud, salinitas
mengalami peningkatan ketika mendekati perairan Australia dari stasiun-stasiun yang ditarik dari selatan Jawa 34,50 sampai 35,66 psu. Profil vertikal salinitas
permukaan kedua jalur terlihat berbeda Gambar 27B 28, akibat sirkulasi arus yang membawa salinitas dari sumber origin yang berbeda.