Karakteristik Bahan Baku HASIL DAN PEMBAHASAN
                                                                                menghasilkan biofoam. Beberapa peneliti sebelumnya telah berhasil memproduksi kemasan  biofoam  berbahan  baku  tapioka  yang  ditambahkan  dengan  bahan
tambahan lain, baik dengan teknik ekstrusi Salgado et al., 2008; Mali et al., 2010 maupun  dengan  thermopressed  Shogren  et  al.,  1998;  2002;Soykeabkaew  et  al.
2004.    Namun  demikian,  tapioka  saja  tampaknya  belum  cukup  untuk menghasilkan biofoam yang memiliki karakteristik mendekati styrofoam.
Ampok sebagai bahan baku tambahan untuk pembuatan  biofoam memiliki kandungan  pati  pada  ampok  yang  masih  tinggi.    Pati  yang  berasal  dari  serealia
umumnya  memiliki  kemampuan  ekspansi  yang  lebih  tinggi  dibandingkan  yang berasal dari umbi Schmidt dan Laurindo, 2010.    Namun demikian, pati serealia
di  Indonesia  umumnya  lebih  mahal  serta  jumlahnya  terbatas  sehingga  dilakukan pencampuran  antara  tapioka  dengan  produk  serealia.  Selain  itu,  ampok  juga
mengandung  serat  yang  berasal  dari  pericarp  serta  tipcap  yang  diharapkan  bisa memperkuat  matriks  polimer  yang  dihasilkan  oleh  tapioka.    Ampok  juga
mengandung protein yaitu  zein yang cukup tinggi  kadar lemak yang cukup tinggi yang berasal dari bagian germ.
Penambahan  pati  hidrofobik  dan  pati  asetat  ditujukan  untuk  meningkatkan sifat hidrofobik biofoam.  Menurut beberapa penelitian sebelumnya Miladinov dan
Hanna, 1999; Guan dan Hanna, 2006, sifat hidrofobik biofoam dapat ditingkatlan dengan penggunaan pati termodifikasi.
Hasil  analisis  terhadap  komposisi  kimia  bahan  baku    menunjukkan  bahwa ampok masih mengandung kadar pati sekitar 69,26 dengan kadar amilosa 25,09
dan  amilopektin  74,91.    Nilai  ini  agak  berbeda    dengan  literatur  yang dikemukakan oleh Sharma et al 2007, yaitu  kadar pati pada ampok sebesar 57.
Perbedaan  ini  disebabkan  oleh  perbedaan  ukuran  ampok  yang  digunakan.    Pada penelitian  ini,  ampok  yang  digunakan  adalah  yang  berukuran  100  mesh  sehingga
komponen  yang  lebih  dominan  adalah  bagian  endosperm,  sementara  bagian  lain seperti  pericarp  dan  tipcap  yang  lebih  banyak  mengandung  serat  tidak  bisa
melewati  saringan  100  mesh  tersebut.    Hal  ini  juga  terlihat  pada  rendahnya  kadar serat ampok yang hanya berkisar 7,96 bila dibandingkan dengan hasil penelitian
Sharma et al. 2007 yang berkisar 25.
Jagung,  bila  dilihat  dari  kandungan  amilosanya  terbagi  atas  beberapa  jenis yaitu  normal,  amilosa  tinggi  dan  jenis  waxy  atau  pulut.    Jagung  yang  digunakan
pada  penelitian  ini  tergolong  jenis  normal  karena  memiliki  amilosa  sekitar  25 yang berarti memiliki amilopektin sekitar 75.  Jagung jenis normal mengandung
74-76 amilopektin dan 24-26 amilosa, sementara jenis waxy mengandung 99 amilopektin, jenis amilomaize mengandung 20 amilopektin atau 40-70amilosa,
dan  jagung  manis  mengandung  sejumlah  sukrosa  di  samping  pati  Richana  dan Suarni, 2009.
Tapioka, pati hidrofobik dan pati asetat memiliki kadar pati dan amilosa yang tidak jauh berbeda.  Hal ini disebabkan karena bahan baku pati hidrofobik maupun
pati asetat adalah tapioka yang sudah mengalami modifikasi.  Diantara ketiga jenis sumber  pati  ini,  pati  asetat  memiliki  kadar  pati  serta  rasio  amilosa:amilopektin
tertinggi  diikuti  tapioka  dan  pati  hidrofobik.    Kadar  pati  berperan  terhadap kemampuan
ekspansi dari
produk yang
dihasilkan disamping
rasio amilosa:amilopektin.  Menurut  hasil  penelitian  Fritz  1994,  amilosa  akan
berekspansi  secara  maksimal  pada  suhu  225 C  sementara  amilopektin  pada  suhu
135 C.    Dengan  demikian  pati  dengan  kadar  amilosa  tinggi  membutuhkan  suhu
proses  yang  lebih  tinggi  dibandingkan  dengan  pati  yang  mengandung  amilopektin tinggi.    Selain  itu,  amilosa  cenderung  mengembang  secara  longitudinal  atau
memanjang  sementara  amilopektin  akan  mengembang  secara  radial  sehingga produknya  cenderung  memiliki  diameter  yang  lebih  besar.    Biofoam  yang
dihasilkan  oleh  bahan  baku  pati  dengan    kadar  amilopektin  tinggi  memiliki  pori- pori  yang  lebih  kecil  serta  densitas  yang  lebih  rendah  dibandingkan  dengan
biofoam  yang menggunakan  bahan baku pati dengan kadar  amilosa tinggi.   Kadar amilosa  yang  tinggi  juga  cenderung  kurang  mengembang  dan  kaku,  namun
memiliki sensitivitas terhadap air yang lebih rendah. Selain  kadar  pati  serta  rasio  amilosa  dan  amilopektin,  parameter  lain  yang
juga  penting diperhatikan adalah kadar air bahan karena  kadar air yang ada pada bahan baku akan berpengaruh terhadap kemampuan ekspansi produk biofoam yang
dihasilkan.    Air  dapat  berfungsi  sebagai  blowing  agent    ataupun  juga  sebagai plastisizer  pada  pembuatan  biofoam.    Saat  proses  pemanasan,  air  yang  ada  pada
adonan  akan  mendidih  dan  menjadi  uap  yang  kemudian  mendorong  pati  untuk
mengembang serta menghasilkan struktur yang berongga Sjoqvist and Gatenholm, 2007. Namun demikian, bila peningkatan kadar air selama proses ekspansi terlalu
besar  maka  dapat  mengurangi  kemampuan  ekspansi  radial  Singh  et  al.,  2007 maupun  ekspansi  volumetriknya  Alvarez-Martinez  et  al.,  1988  serta
meningkatkan  densitas  dari  ekstrudat  Lin  et  al.,  2000.    Air  juga  dapat  berfungsi sebagai  plastisizer  selama  proses  termoplastisasi  pati  dan  akan  berpengaruh
terhadap sifat mekanis dari biofoam yang dihasilkan. Hasil pengukuran terhadap kadar air ampok, tapioka, pati hidrofobik dan pati
asetat  menunjukkan  bahwa  ampok  jagung  dan  pati  hidrofobik  memiliki  kadar  air yang lebih rendah bila dibandingkan dengan tapioka dan pati asetat.  Nilai kadar air
ampok  masih  berada  di  bawah  SNI  yaitu  maksimal  10,  sedang  untuk  tapioka ternyata melebihi standar yang ditetapkan.  Kadar air yang terdapat di dalam bahan
berpati ditentukan oleh kondisi proses pengeringan pati.  Besaran kadar air ini akan sangat  menentukan  mutu  pati  yang  dihasilkan.  Apabila  pengeringan  pati  tidak
dilakukan  secara  optimal,  makakadar  air  yang  tinggi  dapat  memicu  tumbuhnya jamur yang akan  mempercepat  kerusakan pati.
Proses  pengecilan  ukuran  yang  dilakukan  pada  ampok  diawali  dengan pengeringan  bahan.    Hal  ini  dilakukan  untuk  mencegah  terjadinya  penggumpalan
pada  saat  penggilingan  karena  masih  pengaruh  kadar  lemak  serta  kadar  air  yang tinggi ada ampok.  Hal ini sejalan dengan penelitian  Azudin dan Noor 1992, yang
menyatakan bahwa kadar air yang berlebihan akan menyebabkan pati teraglomerasi sehingga akan berpengaruh terhadap stabilitasnya selama penyimpanan. Sementara
itu,  pati hidrofobik memiliki kadar air yang terendah dibandingkan ketiga jenis pati lainnya.    Hal  ini  dapat  dimaklumi  karena  granula  pati  tersebut  diselubungi  oleh
bahan  hidrofobik sehingga air sulit menembus ke dalam granulanya. Perbedaan  kadar  air  yang  terkandung  pada  ampok,  tapioka  serta  bahan
lainnya membutuhkan penyeragaman pada saat formulasi adonan dilakukan. Dalam pembuatan  biofoam,  pengetahuan  mengenai  kadar  air  masing-masing  bahan  akan
menentukan  jumlah  air  yang  harus  ditambahkan  agar  dapat  dihasilkan  biofoam yang  memiliki  sifat  fisik  dan  kimia  yang  baik.    Penambahan  air  perlu  dilakukan
mengingat kadar air pada ampok maupun tapioka yang sekitar 5-12 masih terlalu
rendah  untuk  dapat  membantu  proses  ekspansi.    Menurut  penelitian  Cinelli  et  al. 2006,  total  padatan  pada  adonan  pembuatan  biofoam  berkisar  30  sehingga
untuk  mencapai  kondisi  tersebut  harus  dilakukan  penambahan  air  sesuai  dengan proporsi  bahan  baku  yang  digunakan.  Sementara  peneliti  lain  menyebutkan  total
padatan pada adonan untuk pembuatan foam berkisar 60-70 Poovarodom, 2006. Perbedaan ini akan berpengaruh terhadap bentuk serta karakteristik produk biofoam
yang dihasilkan. Komponen lain yang berperan penting dalam mempengaruhi sifat fisik dan
mekanis  produk  biofoam  adalah  kadar  serat.    Menurut  Lee  2009,  penambahan serat  berpotensi  memberikan  perbaikan  pada  sifat  mekanis  pada  produk  pati
termoplastik.  Penambahan  serat  sebagai  bahan  pengisi  pada  pembuatan  biofoam dapat  meningkatkan  fleksibilitas   dan  kekuatannya  Andersen  dan  Hodson,  1996.
Penambahan  serat  juga  dapat  meningkatkan  sifat  hidrofobik    seperti  yang dilaporkan  oleh  Lawton  et  al.  2004;  Guan  dan  Hanna  2006;  Salgado  et  al.
2008 dan Benezet et al. 2011. Selain memberikan dampak positif, penambahan serat ternyata dapat berpengaruh terhadap kemampuan ekspansi biofoam.  Menurut
Guy  dan  Horne  1988,  penambahan  serat    yang  berasal  dari  kulit  ari  gandum wheat  bran    menyebabkan  proses  ekspansi  akan  terhenti  lebih  awal  dan
menghasilkan foam yang lebih padat. Hasil  analisa  kadar  serat  menunjukkan  bahwa  ampok  memiliki  kadar  serat
tertinggi  7,96  diikuti  tapioka,  pati  hidrofobik  dan  pati  asetat.      Menurut penelitian Salgado  et al. 2008,  penambahan serat yang optimal pada pembuatan
biofoam dengan bahan baku tapioka adalah  20, sedangkan jumlah  protein yang ditambahkan maksimal 10.
Kadar  protein  dan  kadar  lemak  bahan  baku  juga  merupakan  parameter penting  yang  turut  berpengaruh  terhadap  karakteristik  biofoam  yang  dihasilkan.
Protein  yang  merupakan  polimer  alami  diharapkan  dapat  membantu  memperkuat matriks polimer yang dihasilkan oleh pati.  Namun demikian, menurut Poovarodom
2006,  kadar  protein  bahan  yang  terlalu  tinggi  5  akan  menyebabkan  produk biofoam  yang  dihasilkan  tidak  terbentuk  sempurna  karena  protein  akan
terdenaturasi  pada  suhu  tinggi  menyebabkan  kerak  yang  akan  membuat  biofoam
sulit  dilepaskan  dari  cetakan.    Adapun  hasil  pengukuran  terhadap  kadar  protein menunjukkan  bahwa  kadar  protein  ampok  cukup  tinggi  yaitu  11,18  sangat  jauh
bila dibandingkan ketiga jenis pati lainnya.  Dengan demikian, penggunaan ampok harus dibatasi   tidak melebihi 50 supaya kadar  proteinnya tidak lebih besar dari
5. Sementara itu, pengukuran terhadap kadar lemak juga menunjukkan bahwa
kadar  lemak  ampok  cukup  tinggi  sebesar  8,90.    Kadar  lemak  yang  tinggi  dapat berdampak  positif  karena    lemak  dapat  berfungsi  sebagai  lubricant  yang  dapat
membantu memudahkan pelepasan biofoam dari cetakan.  Namun demikian, kadar lemak  yang  tinggi  juga  dapat  menyebabkan  produk  mudah  terhidrolisis  hingga
menjadi tengik. Penambahan  lemak  maupun  turunannya  seperti  monogliserida,  trigliserida
juga dapat berfungsi sebagai plastisizer Poovarodom, 2006.  Lemak yang bersifat hidrofobik  juga    dapat  meningkatkan  hidrofobisitas  dari  biofoam.    Dengan
demikian  adanya  kandungan  lemak  diharapkan  dapat  memperbaiki  sifat  fisik  dan mekanis dari biofoam.
Selain analisis terhadap komponen kimia bahan baku, pengamatan terhadap sifat fisik juga turut berperan terhadap karakteristik biofoam diantaranya daya serap
air  DSA.    Pengukuran  DSA  dilakukan  untuk  mengetahui  seberapa  besar  jumlah air  yang  dapat  diserap  oleh  bahan  selama  selang  waktu  tertentu.    Hasil  analisa
sebagaimana  terdapat  pada  Tabel  5  menunjukkan  bahwa  ampok  memiliki  daya serap  air  yang  paling  tinggi  yaitu  215,41,  sedangkan  yang  terendah  adalah  pati
hidrofobik dengan nilai 13,31.  Tingginya daya serap air pada ampok disebabkan karena  sebagian  besar  serat  yang  ada  pada  ampok  berasal  dari  golongan
hemiselulosa.    Menurut  Madsen  2004,  hemiselulosa  merupakan  bagian  dari dinding sel tanaman yang paling banyak menyerap air.  Hal ini disebabkan karena
hemiselulosa  memiliki  daerah  amorf  yang  lebih  besar  dibandingkan  dengan selulosa  Westman et al., 2010.
Pati alami yang belum mengalami gelatinisasi umumnya memiliki sifat semi kristalin  dimana  amilosa  dan  percabangan  amilopektin  memiliki  sifat  amorf,
sementara  rantai  lurus  amilopektin  memiliki  sifat  kristalin.    Dengan  demikian,
semakin  tinggi  rasio  amilosa  maka  sifat  amorfnya  semakin  besar  yang  berakibat pada  peningkatan  sifat  hidrofilik.    Hal  ini  menjelaskan  mengapa  pati  asetat
memiliki  daya  serap  air  yang  lebih  besar  dibandingkan  tapioka  walaupun  gugus hidroksilnya sebagian sudah digantikan dengan gugus asetil.
Sementara  untuk  pati  hidrofobik,  lapisan  atau  coating  yang  menutupi permukaan  granula  pati  menyebabkan  air  sulit  masuk  sehingga  daya  serap  airnya
juga  sangat  rendah.    Parameter  daya  serap  air  menjadi  hal  yang  penting diperhatikan  pada  pembuatan  biofoam  agar  adonan  tersebut  memiliki  tingkat
viskositas yang tepat untuk mendukung proses ekspansi. Komposisi  kimia  khususnya  kadar  pati,  rasio  amilosa-amilopektin    serta
kadar  air  berpengaruh  terhadap  kemampuan  ekspansi  biofoam,  sementara  kadar serat,    kadar  lemak  serta  rasio  amilosa  akan  berpengaruh  terhadap  daya  serap  air.
Kadar  serat  serta  protein  juga  akan  berpengaruh  terhadap  sifat  mekanis  produk biofoam yang dihasilkan.  Ampok memiliki kadar serat, protein dan lemak tertinggi
dibandingkan  bahan  lain  sehingga  diharapkan  akan  meningkatkan  kekuatan mekanis  produk  biofoam.    Sementara,  penambahan  tapioka  yang  memiliki  kadar
pati tinggi diharapkan akan meningkatkan kemampuan ekspansinya.  Penambahan pati hidrofobik diharapkan dapat meningkatkan sifat hidrofobisitas biofoam karena
pati hidrofobik memiliki daya serap air yang sangat rendah. Karakterisasi bahan baku tidak hanya melihat pada komposisi kimianya tetapi
juga  beberapa  sifat  lain  seperti  sifat  viskoamilograf.    Pengamatan  ini    dilakukan untuk  mengetahui  pengaruh  suhu  terhadap  perubahan  karakteristik  pati.    Pati
dengan kadar air tertentu bila dipanaskan akan  mengalami proses gelatinisasi yang diawali dengan penyerapan air ke dalam granula pati sehingga terjadi peningkatan
viskositas.    Selanjutnya  dengan  bertambahnya  panas  maka  granula  pati  tersebut akan  pecah  hingga  sebagian  amilosa  yang  ada  akan  keluar.    Tahapan  selanjutnya
bila  larutan  tersebut  didinginkan  kembali  maka  akan  terjadi  proses    retrogradasi. Viskositas larutan pati setelah proses   akan berbeda-beda, ada  yang akan menjadi
lebih  kental,  ada  yg  tetap  dan  ada  juga  yang  menjadi  lebih  cair  Eliasson  and Gudmundsson,  1996.    Selama  proses  gelatinisasi  terutama  saat  pembengkakan
granula pati serta proses keluarnya amilosa leaching, akan berpengaruh terhadap
perubahan  reologi  dari  larutan  pati.    Untuk  mengamati  semua  perubahan  tersebut maka dilakukan analisis dengan menggunakan amilograph atau viscograph.
Adapun hasil analisis profil viskoamilograf  pada  masing-masing bahan baku seperti  tersaji  pada  Gambar  4  dan  Tabel  6.    Viskositas  puncak  diperoleh  saat
granula pati mengalami pembengkakan secara penuh sehingga saling melekat satu sama  lain.      Sementara  itu,  viskositas  breakdown  diperoleh  dari  nilai  viskositas
puncak  dikurangi  viskositas  terendah  yang  dicapai  pada  saat  pemanasan. Selanjutnya  nilai  viskositas  setback  diperoleh  dari  selisih  nilai  viskositas  minimal
dengan viskositas akhir Thomas dan Atwell, 1999.
Gambar 4. Profil Viskoamilograf Tapioka, Ampok, Pati Hidrofobik dan Pati Asetat
Tabel 6. Karakteristik Amilograf Tapioka, Ampok, Pati Hidrofobik dan Pati Asetat Parameter
Ampok  Tapioka Pati
Hidrofobik Pati
Asetat Suhu Gelatinisasi
C Suhu Puncak
C Viskositas Maksimum BU
Breakdown Viskositas BU
Setback Viskositas BU
Final Viskositas BU 93
- -
30 +30
67,5 76,5
1550 1080
500 +500
72 78
170 160
10 -10
60 72
590 90
460 +420
-200 200
400 600
800 1000
1200 1400
1600 1800
20 40
60
Vis kos
it a
s B
U
Waktu menit
Tapioka Ampok
Pati Hidrofobik Pati Asetat
Bila kita membandingkan hasil yang diperoleh terhadap sifat viskoamilograf pada  tapioka,  ampok  dan  pati  hidrofobik  maupun  pati  asetat  terlihat  bahwa
komposisi kimia dari masing-masing bahan baku sangat berpengaruh terhadap sifat viskoamilografnya.      Hal  ini  jelas  terlihat  pada  ampok  yang  memiliki  kadar  pati
terendah  sedang  kadar  protein  dan  lemaknya  paling  tinggi  dibandingkan  pati lainnya.  Kadar  protein  dan  lemak  yang  tinggi  pada  ampok  menyebabkan  suhu
gelatinisasinya    lebih  tinggi  dibandingkan  ke  tiga  jenis  pati  lainnya.    Hal  ini disebakan  karena  granula  pati    tertutup  oleh  protein  dan  lemak    sehingga  air  sulit
meresap  ke  dalam  granula  pati  sehingga  menyebabkan  proses  gelatinisasi  juga terhambat.   Selain itu, tingginya kadar serat juga menyebabkan sebagian  besar  air
yang  ditambahkan  diserap  oleh  serat  sehingga  jumlah  air  yang  meresap  pada granula pati juga berkurang   Dengan berkurangnya jumlah air yang menyerap pada
granula  pati  maka  proses  gelatinisasi  menjadi  terhambat.    Akibatnya  proses  yang mengikuti terjadinya proses gelatinisasi seperti peningkatan viskositas tidak terjadi.
Hal ini sejalan dengan penelitian  Tester dan Morrison 1990 serta Vandeputte  et al.
2003  yang  menyebutkan  bahwa  adanya  protein  dan  lemak  dapat  menghambat proses  penetrasi  air  ke  dalam  granula  pati  sehingga  berpengaruh  terhadap  profil
viskoamilograf  dari pati.  Hal ini juga didukung  oleh hasil analisis korelasi antara komposisi kimia bahan dengan suhu gelatinisasinya.
Semua parameter komposisi kimia seperti kadar pati, protein, lemak dan serat berpengaruh  terhadap  suhu  gelatinisasi,    khusus  untuk  kadar  pati,  korelasinya
negatif.    Dengan  demikian,  semakin  tinggi  kadar  pati  maka  suhu  gelatinisasinya cenderung  berkurang.    Sementara,  semakin  tinggi  kadar  protein,  lemak  maupun
serat maka suhu gelatinisasinya akan bertambah.  Nilai korelasi  antara komponen kimia  bahan  baku  dengan  profil  viskoelastisitasnya  khususnya  suhu  gelatinisasi
seperti tersaji pada Tabel 7. Sementara  itu,  baik  pati  hidrofobik  dan  pati  asetat  yang  merupakan  pati
modifikasi sebenarnya juga menggunakan tapioka sebagai bahan bakunya sehingga sebagian  besar  komposisi  kimianya  mirip  dengan  tapioka.  Namun  demikian,
viskoamilograf  pati  hidrofobik  sangat  berbeda  bila  dibandingkan  dengan  tapioka maupun  pati  asetat  seperti  pada  Gambar  4.    Proses  pembuatan  pati  hidrofobik
dilakukan  dengan  melapisi  permukaan  granula  pati  dengan  bahan  yang  bersifat
hidrofobik  sehingga  air  sulit  masuk  ke  dalam  granula  pati  tersebut.    Akibatnya proses gelatinisasi akan terhambat sehingga fenomena seperti swelling, peningkatan
viskositas maupun leaching, tidak terjadi seperti pada tapioka. Tabel 7. Korelasi antara Komposisi Kimia dengan Suhu Gelatinisasi
Parameter Nilai Korelasi
Kadar Protein VS Suhu gelatinisasi 0,938
Kadar Lemak VS Suhu gelatinisasi 0.938
Kadar Pati VS Suhu gelatinisasi -0,949
Kadar Serat VS Suhu gelatinisasi 0,944
Profil  viskoamilograf  dari  pati    asetat  hampir  menyerupai  tapioka,  namun viskositas puncak yang dicapai lebih rendah.  Hal ini sesuai dengan hasil penelitian,
tingkat hidrofobisitasnya sangat dipengaruhi oleh nilai DS nya, semakin tinggi nilai DS  maka  hidrofobisitasnya  akan  meningkat.    Adapun  pati  asetat  yang  digunakan
pada  penelitian  ini  adalah  yang  memiliki  nilai    Derajat  Substitusi  DS  =  0,3 sehingga peluang air masuk ke dalam granula pati asetat masih memungkinkan dan
proses gelatinisasi masih dapat berlangsung.  Menurut Guan et al.2004., pati hasil proses esterifikasi dengan nilai DS 1 akan memiliki sifat hidrofobik karena gugus
hidroksilnya  yang  bersifat  hidrofilik  digantikan  dengan  gugus  asetil  yang  bersifat hidrofobik
Pati bila dipanaskan dengan kondisi air berlebih  akan mengalami perubahan yang bersifat irreversible sehingga berakibat pada hilangnya sifat  birefringent dan
hilangnya sifat kristalin.  Pada kondisi ini, granula pati akan membengkak dan lebih banyak menyerap air, hal ini akan berpengaruh terhadap sifat reologinya.    Tapioka
sendiri  bila  dipanaskan  akan  mencapai  viskositas  maksimal  pada  suhu  sekitar 75,5
C.    Namun  bila  dipanaskan  terus  hingga  93 C,  viskositasnya  justru  akan
menurun karena terjadinya proses  leaching amilosa.  Selanjutnya  pada saat proses pendinginan,  viskositas  tapioka  cenderung  meningkat  kembali  dan  kembali  turun
pada  saat  setback  karena  proses  retrogradasi.    Kondisi  ini  akan  berpengaruh  pada kondisi proses yang dibutuhkan serta karakteristik produk yang dihasilkan.
Sementara  itu,  ampok  bila  dipanaskan  tidak  memiliki  suhu  puncak  dan viskositasnya  cenderung  stabil  selama  analisis  amilograf.    Kenaikan  viskositas
hanya  terjadi  dalam  jumlah  kecil  pada  saat  pendinginan.    Kondisi  serupa  juga terdapat pada pati hidrofobik.  Diduga hal ini karena terhambatnya penyerapan air
ke dalam granula pati sehingga proses gelatinisasi terhambat. Peningkatan  viskositas  selama  proses  pemanasan  akan  berpengaruh
terhadap  besarnya  gesekan  atau  shear  yang  terjadi.    Semakin  besar  gesekan  yang terjadi maka ekspansi dari pati tersebut juga akan semakin tinggi Chaisawang dan
Suphantharika,  2006.    Hal  ini  akan  berpengaruh  terhadap  kemampuan  ekspansi tapioka  yang  lebih  besar  dibandingkan  dengan  ampok  maupun  pati  hidrofobik.
Semakin banyak proporsi tapioka yang digunakan diharapkan kemampuan ekspansi biofoam juga semakin besar sehingga densitasnya juga akan berkurang.
Selain  pengukuran  terhadap  viskoamilograf  dari  masing-masing  bahan baku,  dilakukan pula analisis sifat termal untuk mengetahui titik transisi gelas dan
titik leleh dari masing-masing bahan.   Pengukuran dilakuan dengan menggunakan Differential  Scanning  Colorymeter  DSC
.    Perilaku  termal  pada  pati  sebenarnya lebih  kompleks  dibandingkan  dengan    bahan  termoplastik  konvensional  seperti
polietilen karena beragamnya perubahan fisik dan kimia yang terjadi selama proses pemanasan.    Proses  tersebut  meliputi  gelatinisasi,  pelelehan,  transisi  gelas,
kristalisasi,  peningkatan  volume,  degradasi  molekul  dan  pergerakan  air  Yu  dan Christie, 2001.
Pengamatan  terhadap sifat termal bahan baku pembuatan biofoam meliputi titk transisi gelas T
g
dan titik leleh T
m
dengan hasil seperti tersaji pada Tabel 8. Pada  tabel  tersebut  terlihat  bahwa  ampok  memiliki  2  titik  transisi  gelas  yaitu
24,13 C dan 54,46
C. Adanya 2 titik transisi gelas ini menunjukkan bahwa ampok merupakan senyawa kompleks yang terdiri dari beberapa bahan yang memiliki titik
transisi gelas yang berbeda.  Ampok umumnya terdiri dari sebagian besar pati dan serat  yang  masing-masing  memiliki  titik  transisi  gelas  yang  berbeda.    Tapioka
sendiri memiliki titik transisi gelas 61,15 C, sementara literatur menyebutkan  titik
transisi  gelas  tapioka  berada  di  kisaran  60-70 C  Breuninger  et  al.,  2009.    Pati
asetat  memiliki  titik  transisi  gelas  56,82 C,    lebih  rendah  dibandingkan  dengan
bahan bakunya yaitu tapioka.  Hal ini disebabkan karena proses modifikasi dengan menggantikan gugus hidroksil dengan asetil menyebabkan struktur granula menjadi
tidak  stabil  sehingga  mempercepat  proses  swelling  dan  menurunkan  suhu gelatinisasi Singh et al., 2004.  Sementara itu untuk pati hidrofobik, titik transisi
gelasnya tidak dapat terdeteksi dengan pengukuran menggunakan DSC. Tabel 8. Titik Transisi gelas T
g
dan Titik  Leleh T
m
dari Tapioka, Ampok, Pati Hidrofobik dan Pati Asetat
Bahan Titik Transisi gelas
C Titik Leleh
C Ampok
Tapioka Pati Hidrofobik
Pati Asetat 24,13 dan 54,46
61,15 Tidak terdeteksi
56,82 146,60
102,95 148,67
94,78
Selain  mengukur  titik  transisi  gelas,  pengukuran  menggunakan  DSC  juga dapat  menentukan  titik  leleh  maupun  entalpi  yang  dibutuhkan  atau  dilepaskan
selama proses pemanasan.  Semakin kompleks senyawa yang diukur maka besaran entalpinya juga akan semakin besar karena semakin banyak energi yang dibutuhkan
untuk  proses  degradasi  bahan  tersebut.    Adapun  hasil  pengukuran  terhadap  titik leleh  ampok  berada  pada  145,6
C,    tapioka  di  kisaran    102,95 C  sementara  pati
hidrofobik  di  suhu  148,57 C.    Tingginya  titik  leleh  ampok  disebabkan  tingginya
bahan  non  pati  seperti  serat,  protein  dan  lemak  yang  berpengaruh  terhadap  proses melting
.    Sementara  itu,  pati  hidrofobik  memiliki  lapisan  coating  pada permukaannya yang dapat menghambat proses melting sehingga titik lelehnya juga
lebih tinggi dibandingkan tapioka.  Pati asetat memiliki T
m
terendah dibandingkan sumber pati lainnya  yaitu 94,78
C.  Hal tersebut disebabkan karena  adanya  gugus asetil  yang  dapat  meningkatkan    kemampuan  swelling  serta  kelarutan  pati  yang
berdampak pada penurunan suhu T
g
dan juga T
m
Singh et al., 2004 . Hasil  pengukuran  sifat  termal  dengan  menggunakan  DSC  menunjukkan
bahwa bahan baku pembuatan biofoam yang mengandung pati akan  menghasilkan proses  endotermis  dengan  selang  suhu  yang  cukup  lebar  seperti  tersaji  pada
Gambar  5,  6,  7,  dan  8.    Proses  endotermis  tersebut  menunjukkan  terjadinya
pelepasan  energi  yang  kemungkinan  besar  merupakan  proses  melting  dari  bahan berpati tersebut.    Dengan mengetahui sifat termal dari  bahan baku maka kondisi
proses  pembuatan  biofoam  dapat  ditentukan.  Pati  asetat  memiliki  titik  leleh terendah  sebesar  94,78
C  sementara  pati  hidrofobik    memiliki  titik  leleh  yang paling  tinggi  sebesar  148,67
C.    Dengan  mempertimbangkan  titik  leleh  pada masing-masing bahan  serta titik leleh dari PVOH  yang sebesar 148
C, maka suhu proses yang digunakan untuk pembuatan biofoam  harus lebih besar dari 148,67
C agar semua bahan tersebut sudah meleleh sehingga bisa tercampur dengan baik.
Gambar 5. Profil  DSC Ampok
Gambar 6. Profil  DSC Tapioka
Gambar 7. Profil  DSC Pati Hidrofobik
Gambar 8. Profil  DSC Pati Asetat
Karakteristik  bahan  baku  lainnya  yang  diamati  adalah  bentuk  dan  ukuran dari  granula  pati.    Pengamatan  tersebut  dilakukan  dengan  menggunakan  peralatan
Polarized  Microscope untuk  melihat  sifat  birefringent  yang  ada  pada  granula  pati
tersebut  sehingga  dapat  ditentukan  apakah  proses  gelatinisasi  sudah  terjadi  atau belum.    Selain  itu  juga  dilakukan  pengamatan  dengan  menggunakan  Scanning
Electrone Microscope untuk melihat secara lebih detail ukuran dan bentuk granula,
struktur    dan  tekstur  dari  permukaan  sampel.    Adapun  hasil  pengamatan  dapat dilihat pada Gambar 9 dan 10.
a Ampok
b Tapioka Gambar 9. Penampakan Sifat Birefringent pada Ampok dan Tapioka
Hasil  analisa  dengan  menggunakan  polarized  microscope  menunjukkan bahwa  ampok  masih  memilliki  kandungan  pati  yang  cukup  tinggi,  yang  ditandai
dengan masih banyaknya granula berwarna biru kuning yang meruppakan ciri sifat birefringent
.    Namun  demikian  bila  diamati.  Sebagian  dari  granula  tersebut  sudah pecah  dan  tidak  utuh  lagi,  diduga  hal  tersebut  disebabkan    karena  proses
pengeringan  bahan  yang  bertujuan  untuk  pengecilan  ukuran.    Selain  granula  pati yang terlihat jelas dengan warnanya yang biru kuning, terlihat juga beberapa bentuk
tidak beraturan yang diduga merupakan serat. Granula  tapioka    tampak  lebih  jelas  bentuk  dan  warnanya  dibandingkan
ampok.    Granula  tapioka  memiliki  bentuk  bulat  dengan  perbedaan  warna  kuning biru  yang  tegas  yang  menunjukkan  bahwa  tapioka  tersebut  belum  mengalami
modifikasi, ataupun mengalami gelatinisasi. Pengamatan  menggunakan  SEM  tidak  hanya  memberi  gambaran  bentuk
ataupun struktur morfologi dari bahan baku  tetapi juga ukurannya.  Gambar 10 dan 11  menggambarkan  bentuk  dari  granula  ampok,  tapioka,  pati  hidrofobik  dan  pati
asetat, sementara Tabel 9 memberikan informasi mengenai ukuran dari granula pati tersebut.  Adapun hasil seperti yang terlihat pada Gambar 10 menunjukkan adanya
perbedaan bentuk dari struktur morfologi permukaan bahan baku yang digunakan.
Gambar 10. Hasil SEM Granula Tapioka, Ampok, Pati Hidrofobik dan Pati Asetat Ampok Perbesaran 50X
Ampok Perbesaran 500X
Tapioka Perbesaran 50X Tapioka Perbesaran 500X
Pati Hidrofobik Perbesaran 50X Pati Hidrofobik Perbesaran 500X
Pati Asetat Perbesaran 50X Pati Asetat Perbesaran 500X
Tabel 9.  Ukuran dan  Bentuk Granula Tapioka, Ampok, Pati Hidrofobik dan Pati Asetat
Jenis Pati Ukuran
Granula Literatur  Bentuk Granula
Literatur Ampok
12,06 µm 5-25 µm
Tidak beraturan Poly hedric
Tapioka 16,29 µm
5-35 µm Bulat
Semi spherical Pati Hidrofobik
21,67 µm Bulat
Pati Modifikasi 22,53 µm
Bulat
Sumber : Blanchard 1987
Granula  tapioka  umumnya  berbentuk  bulat,  sementara  granula  jagung umumnya    berbentuk  agak  persegi.    Pati  hidrofobik  dan  pati  asetat  yang  bahan
bakunya menggunakan tapioka juga memiliki bentuk granula yang bulat walaupun pada sebagian sisinya ada yang sudah tidak mulus lagi.  Hal tersebut kemungkinan
besar disebabkan oleh proses coating atau asetilasi dalam proses pembuatannya. Proses  pembuatan  pati  hidrofobik  yang  menggunakan  teknik  pelapisan
dengan  bahan  hidrofobik  membuat  hasil  SEM    granula  pati  hidrofobik  seperti diselubungi oleh lapisan tipis.  Sebagian granula patinya ada yang sudah tidak bulat
lagi seperti terpecah,  karena pengaruh panas maupun bahan kimia yang digunakan untuk  melapisi  pati  tersebut  agar  bersifat  hidrofobik.    Sementara  itu,  hasil  SEM
pati asetat menunjukkan adanya pendar sinar pada granula pati yang kemungkinan besar disebabkan oleh senyawa asetil yang terikat pada molekul pati.
Adapun  hasil  SEM  pada    ampok  menunjukkan  adanya  bentuk  yang bervariasi,  sebagian bulat dan sebagian lagi tidak beraturan.  Pada beberapa bagian
tampak  ada  yang  menggumpal  serta  serpihan  serat  terlihat  cukup  jelas  diantara granula  pati.    Proses  pemanasan  pada  saat  pengecilan  ukuran  tampaknya  menjadi
penyebab  sebagian  granula  pati  yang  ada  pada  ampok  mengalami  deformasi  dan permukaannya menjadi kasar yang menyebabkan satu sama lain saling menempel.
Sementara  itu  pada  Gambar  11  dengan  perbesaran  1000  X,  terlihat  bahwa serat  yang  ada  pada  ampok  berbentuk  memanjang  dan  dikelilingi  oleh  beberapa
granula pati.
Gambar 11. Penampakan Serat pada Ampok Hasil SEM dengan Perbesaran 1000X Dari beberapa parameter yang diamati untuk mengetahui karakteristik bahan
baku  terlihat  bahwa  komposisi  kimia  bahan  baku  berpengaruh  terhadap  terjadinya proses  gelatinisasi.    Proses  gelatinisasi  ini  sendiri  nantinya  akan  mempengaruhi
reologi adonan selama proses pencampuran antara pati, serat serta polimer sintetis yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kemampuan ekspansi biofoam dan
selanjutnya  berpengaruh  terhadap  karakteristik  biofoam  khususnya  densitas,  daya serap  air,  maupun  kuat  tekan  pada  produk  biofoam.    Semakin  besar  kemampuan
ekspansi maka densitas umumnya semakin rendah, namun demikian porositas akan meningkat yang berakibat pada meningkatnya daya serap air serta menurunnya kuat
tekan. Ampok  yang  memiliki  kandungan  serat,  protein  dan  lemak  yang  cukup
tinggi    memiliki  suhu  gelatinisasi  yang  tinggi.    Selain  itu,  ampok  juga  memiliki kandungan  serat  yang  tinggi  yang    berpengaruh  terhadap  viskositas  adonan,
sehingga  semakin  banyak  ampok  yang  ditambahkan  maka  kemampuan  ekspansi akan berkurang  yang berdampak pada peningkatan densitas.  Penambahan tapioka
yang  memiliki  kadar  pati  yang  tinggi  sehingga  dapat  meningkatkan  kemampuan ekspansi.  Sementara itu penambahan pati hidrofobik yang memiliki daya serap air
sangat rendah dapat meningkatkan sifat hidrofobisitas biofoam yang dihasilkan. Hasil  pengamatan  terhadap  sifat  termal  menunjukkan  bahwa  melting  point
ampok,  tapioka,  pati  hidrofobik  dan  pati  asetat  berkisar  94-149 C  yang  berarti
kondisi proses pembuatan biofoam sebaiknya di atas 150 C agar semua bahan bisa
tercampur sempurna selama proses pencetakan biofoam.
4.2. Pengembangan Produk Biofoam 4.2.1. Penentuan Kondisi Proses
Pengembangan  produk  biofoam  berbahan  baku  pati  diawali  dengan menentukan  jenis  biofoam  yang  akan  dikerjakan.    Pada  tahap  awal  ini,  berbagai
metode  pembuatan  biofoam  dilakukan  antara  lain  dengan  metode  ekstrusi, thermopressing
,  microwave  assisted  moulding  dan  melalui  proses  termoplastisasi. Proses  pembuatan  biofoam  tersebut  dilakukan  dengan  mencampurkan  tapioka,
ampok, dan PVOH dengan penambahan air dalam jumlah tertentu.  Hasil penelitian pendahuluan  ini  menunjukkan  bahwa  adanya    potensi  untuk  pengembangan
kemasan  ramah  lingkungan  sebagai  pengganti  styrofoam.        Adapun  bentuk  dari masing-masing jenis biofoam seperti tersaji pada Gambar 12.
a Ekstrusi
b Termoplastisasi
c Termoplastisasi dan Microwave d Thermopressing
Gambar 12.  Aneka Bentuk Produk Biofoam yang Dihasilkan dari Berbagai Proses Dari beberapa jenis biofoam tersebut tampaknya biofoam dengan teknologi
thermopressing yang  paling  potensial  digunakan  sebagai  kemasan  alternatif  untuk
wadah  produk  pangan  sekali  pakai.    Hal  ini  disebabkan  karena  pada  penggunaan teknologi  thermopressing,  bentuk  dan  ukuran  biofoam  dapat  disesuaikan  dengan
kebutuhan.    Selain  itu,    proses  termoplastisasi  yang  biasa  digunakan  pada pembuatan  bioplastik  ternyata  tidak  dapat  diterapkan  pada  pembuatan  biofoam
karena  proses  foaming  akan  terhambat.    Oleh  karena  itu,  pada  tahapan  penelitian selanjutnya diputuskan bahwa teknologi yang digunakan adalah thermopressing.
Setelah  ditentukan  bahwa  teknologi  yang  digunakan  adalah  menggunakan teknik thermopressing, selanjutnya dilakukan penelitian untuk menentukan kondisi
prosesnya.    Adapun  peralatan  thermopressing  yang  digunakan  adalah  hasil gabungan  dari    hydraulic  press  yang  bagian  ujungnya  diberi  cetakan  berbentuk
tray . Alat ini memiliki kontrol suhu namun tidak memiliki kontrol tekanan maupun
waktu.    Pengukuran  waktu  dilakukan  secara  manual  dan  tekanan  yang  diberikan setara dengan bobot dari cetakan yang mencapai 5 kg.
Penentuan  kondisi  proses  pencetakan  dilakukan  dengan  berdasarkan  sifat termal  bahan  baku  yang  diperoleh  pada  tahap  karakterisasi  bahan  baku.    Pada
tahapan  tersebut  diperoleh  melting  point  dari  bahan  baku  umumnya  berada  di kisaran  95-150
C,  sedangkan  melting  point  dari  PVOH  berkisar  138 C.    Oleh
karena  itu,  penentuan  suhu  proses  dilakukan  pada  suhu  antara  140-180 C.
Pengamatan pada tahapan ini dilakukan secara visual dengan melihat kondisi serta warna  dari  biofoam  yang  dihasilkan.    Adapun  hasil  pengamatan  tersebut  seperti
tersaji pada Tabel 10. Tabel 10.  Pengaruh Suhu Proses terhadap Penampakan Visual Biofoam
Suhu Proses C
Penampakan Visual Biofoam 140
Warna putih, tekstur agak lunak 150
Warna putih kecoklatan, tekstur agak keras 160
Warna kuning kecoklatan, tekstur cukup keras 170
Warna kuning kecoklatan, tekstur keras 180
Warna kecoklatan, tekstur keras Pada  Tabel  10  terlihat  bahwa  semakin  tinggi  suhu  proses  maka  warna
biofoam  yang  dihasilkan  semakin  gelap.    Hal  ini  disebabkan  karena  terjadinya proses denaturasi protein ataupun karamelisasi gula karena panas yang terlalu tinggi
Poovarodom,  2006,  khususnya  pada  bahan  dengan  kadar  protein  tinggi  seperti ampok.    Pada  suhu  proses  yang  lebih  rendah,  biofoam  yang  dihasilkan  berwarna
putih kekuningan, namun memiliki kadar air  yang cukup tinggi.   Selain itu, suhu rendah  menyebabkan  waktu  yang  dibutuhkan  untuk  proses  pencetakan  dan
pengeringan  juga  menjadi  lebih  lama  serta  belum  semua  bahan  lumer  sehingga
                                            
                