Karakteristik Bahan Baku HASIL DAN PEMBAHASAN
menghasilkan biofoam. Beberapa peneliti sebelumnya telah berhasil memproduksi kemasan biofoam berbahan baku tapioka yang ditambahkan dengan bahan
tambahan lain, baik dengan teknik ekstrusi Salgado et al., 2008; Mali et al., 2010 maupun dengan thermopressed Shogren et al., 1998; 2002;Soykeabkaew et al.
2004. Namun demikian, tapioka saja tampaknya belum cukup untuk menghasilkan biofoam yang memiliki karakteristik mendekati styrofoam.
Ampok sebagai bahan baku tambahan untuk pembuatan biofoam memiliki kandungan pati pada ampok yang masih tinggi. Pati yang berasal dari serealia
umumnya memiliki kemampuan ekspansi yang lebih tinggi dibandingkan yang berasal dari umbi Schmidt dan Laurindo, 2010. Namun demikian, pati serealia
di Indonesia umumnya lebih mahal serta jumlahnya terbatas sehingga dilakukan pencampuran antara tapioka dengan produk serealia. Selain itu, ampok juga
mengandung serat yang berasal dari pericarp serta tipcap yang diharapkan bisa memperkuat matriks polimer yang dihasilkan oleh tapioka. Ampok juga
mengandung protein yaitu zein yang cukup tinggi kadar lemak yang cukup tinggi yang berasal dari bagian germ.
Penambahan pati hidrofobik dan pati asetat ditujukan untuk meningkatkan sifat hidrofobik biofoam. Menurut beberapa penelitian sebelumnya Miladinov dan
Hanna, 1999; Guan dan Hanna, 2006, sifat hidrofobik biofoam dapat ditingkatlan dengan penggunaan pati termodifikasi.
Hasil analisis terhadap komposisi kimia bahan baku menunjukkan bahwa ampok masih mengandung kadar pati sekitar 69,26 dengan kadar amilosa 25,09
dan amilopektin 74,91. Nilai ini agak berbeda dengan literatur yang dikemukakan oleh Sharma et al 2007, yaitu kadar pati pada ampok sebesar 57.
Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan ukuran ampok yang digunakan. Pada penelitian ini, ampok yang digunakan adalah yang berukuran 100 mesh sehingga
komponen yang lebih dominan adalah bagian endosperm, sementara bagian lain seperti pericarp dan tipcap yang lebih banyak mengandung serat tidak bisa
melewati saringan 100 mesh tersebut. Hal ini juga terlihat pada rendahnya kadar serat ampok yang hanya berkisar 7,96 bila dibandingkan dengan hasil penelitian
Sharma et al. 2007 yang berkisar 25.
Jagung, bila dilihat dari kandungan amilosanya terbagi atas beberapa jenis yaitu normal, amilosa tinggi dan jenis waxy atau pulut. Jagung yang digunakan
pada penelitian ini tergolong jenis normal karena memiliki amilosa sekitar 25 yang berarti memiliki amilopektin sekitar 75. Jagung jenis normal mengandung
74-76 amilopektin dan 24-26 amilosa, sementara jenis waxy mengandung 99 amilopektin, jenis amilomaize mengandung 20 amilopektin atau 40-70amilosa,
dan jagung manis mengandung sejumlah sukrosa di samping pati Richana dan Suarni, 2009.
Tapioka, pati hidrofobik dan pati asetat memiliki kadar pati dan amilosa yang tidak jauh berbeda. Hal ini disebabkan karena bahan baku pati hidrofobik maupun
pati asetat adalah tapioka yang sudah mengalami modifikasi. Diantara ketiga jenis sumber pati ini, pati asetat memiliki kadar pati serta rasio amilosa:amilopektin
tertinggi diikuti tapioka dan pati hidrofobik. Kadar pati berperan terhadap kemampuan
ekspansi dari
produk yang
dihasilkan disamping
rasio amilosa:amilopektin. Menurut hasil penelitian Fritz 1994, amilosa akan
berekspansi secara maksimal pada suhu 225 C sementara amilopektin pada suhu
135 C. Dengan demikian pati dengan kadar amilosa tinggi membutuhkan suhu
proses yang lebih tinggi dibandingkan dengan pati yang mengandung amilopektin tinggi. Selain itu, amilosa cenderung mengembang secara longitudinal atau
memanjang sementara amilopektin akan mengembang secara radial sehingga produknya cenderung memiliki diameter yang lebih besar. Biofoam yang
dihasilkan oleh bahan baku pati dengan kadar amilopektin tinggi memiliki pori- pori yang lebih kecil serta densitas yang lebih rendah dibandingkan dengan
biofoam yang menggunakan bahan baku pati dengan kadar amilosa tinggi. Kadar amilosa yang tinggi juga cenderung kurang mengembang dan kaku, namun
memiliki sensitivitas terhadap air yang lebih rendah. Selain kadar pati serta rasio amilosa dan amilopektin, parameter lain yang
juga penting diperhatikan adalah kadar air bahan karena kadar air yang ada pada bahan baku akan berpengaruh terhadap kemampuan ekspansi produk biofoam yang
dihasilkan. Air dapat berfungsi sebagai blowing agent ataupun juga sebagai plastisizer pada pembuatan biofoam. Saat proses pemanasan, air yang ada pada
adonan akan mendidih dan menjadi uap yang kemudian mendorong pati untuk
mengembang serta menghasilkan struktur yang berongga Sjoqvist and Gatenholm, 2007. Namun demikian, bila peningkatan kadar air selama proses ekspansi terlalu
besar maka dapat mengurangi kemampuan ekspansi radial Singh et al., 2007 maupun ekspansi volumetriknya Alvarez-Martinez et al., 1988 serta
meningkatkan densitas dari ekstrudat Lin et al., 2000. Air juga dapat berfungsi sebagai plastisizer selama proses termoplastisasi pati dan akan berpengaruh
terhadap sifat mekanis dari biofoam yang dihasilkan. Hasil pengukuran terhadap kadar air ampok, tapioka, pati hidrofobik dan pati
asetat menunjukkan bahwa ampok jagung dan pati hidrofobik memiliki kadar air yang lebih rendah bila dibandingkan dengan tapioka dan pati asetat. Nilai kadar air
ampok masih berada di bawah SNI yaitu maksimal 10, sedang untuk tapioka ternyata melebihi standar yang ditetapkan. Kadar air yang terdapat di dalam bahan
berpati ditentukan oleh kondisi proses pengeringan pati. Besaran kadar air ini akan sangat menentukan mutu pati yang dihasilkan. Apabila pengeringan pati tidak
dilakukan secara optimal, makakadar air yang tinggi dapat memicu tumbuhnya jamur yang akan mempercepat kerusakan pati.
Proses pengecilan ukuran yang dilakukan pada ampok diawali dengan pengeringan bahan. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya penggumpalan
pada saat penggilingan karena masih pengaruh kadar lemak serta kadar air yang tinggi ada ampok. Hal ini sejalan dengan penelitian Azudin dan Noor 1992, yang
menyatakan bahwa kadar air yang berlebihan akan menyebabkan pati teraglomerasi sehingga akan berpengaruh terhadap stabilitasnya selama penyimpanan. Sementara
itu, pati hidrofobik memiliki kadar air yang terendah dibandingkan ketiga jenis pati lainnya. Hal ini dapat dimaklumi karena granula pati tersebut diselubungi oleh
bahan hidrofobik sehingga air sulit menembus ke dalam granulanya. Perbedaan kadar air yang terkandung pada ampok, tapioka serta bahan
lainnya membutuhkan penyeragaman pada saat formulasi adonan dilakukan. Dalam pembuatan biofoam, pengetahuan mengenai kadar air masing-masing bahan akan
menentukan jumlah air yang harus ditambahkan agar dapat dihasilkan biofoam yang memiliki sifat fisik dan kimia yang baik. Penambahan air perlu dilakukan
mengingat kadar air pada ampok maupun tapioka yang sekitar 5-12 masih terlalu
rendah untuk dapat membantu proses ekspansi. Menurut penelitian Cinelli et al. 2006, total padatan pada adonan pembuatan biofoam berkisar 30 sehingga
untuk mencapai kondisi tersebut harus dilakukan penambahan air sesuai dengan proporsi bahan baku yang digunakan. Sementara peneliti lain menyebutkan total
padatan pada adonan untuk pembuatan foam berkisar 60-70 Poovarodom, 2006. Perbedaan ini akan berpengaruh terhadap bentuk serta karakteristik produk biofoam
yang dihasilkan. Komponen lain yang berperan penting dalam mempengaruhi sifat fisik dan
mekanis produk biofoam adalah kadar serat. Menurut Lee 2009, penambahan serat berpotensi memberikan perbaikan pada sifat mekanis pada produk pati
termoplastik. Penambahan serat sebagai bahan pengisi pada pembuatan biofoam dapat meningkatkan fleksibilitas dan kekuatannya Andersen dan Hodson, 1996.
Penambahan serat juga dapat meningkatkan sifat hidrofobik seperti yang dilaporkan oleh Lawton et al. 2004; Guan dan Hanna 2006; Salgado et al.
2008 dan Benezet et al. 2011. Selain memberikan dampak positif, penambahan serat ternyata dapat berpengaruh terhadap kemampuan ekspansi biofoam. Menurut
Guy dan Horne 1988, penambahan serat yang berasal dari kulit ari gandum wheat bran menyebabkan proses ekspansi akan terhenti lebih awal dan
menghasilkan foam yang lebih padat. Hasil analisa kadar serat menunjukkan bahwa ampok memiliki kadar serat
tertinggi 7,96 diikuti tapioka, pati hidrofobik dan pati asetat. Menurut penelitian Salgado et al. 2008, penambahan serat yang optimal pada pembuatan
biofoam dengan bahan baku tapioka adalah 20, sedangkan jumlah protein yang ditambahkan maksimal 10.
Kadar protein dan kadar lemak bahan baku juga merupakan parameter penting yang turut berpengaruh terhadap karakteristik biofoam yang dihasilkan.
Protein yang merupakan polimer alami diharapkan dapat membantu memperkuat matriks polimer yang dihasilkan oleh pati. Namun demikian, menurut Poovarodom
2006, kadar protein bahan yang terlalu tinggi 5 akan menyebabkan produk biofoam yang dihasilkan tidak terbentuk sempurna karena protein akan
terdenaturasi pada suhu tinggi menyebabkan kerak yang akan membuat biofoam
sulit dilepaskan dari cetakan. Adapun hasil pengukuran terhadap kadar protein menunjukkan bahwa kadar protein ampok cukup tinggi yaitu 11,18 sangat jauh
bila dibandingkan ketiga jenis pati lainnya. Dengan demikian, penggunaan ampok harus dibatasi tidak melebihi 50 supaya kadar proteinnya tidak lebih besar dari
5. Sementara itu, pengukuran terhadap kadar lemak juga menunjukkan bahwa
kadar lemak ampok cukup tinggi sebesar 8,90. Kadar lemak yang tinggi dapat berdampak positif karena lemak dapat berfungsi sebagai lubricant yang dapat
membantu memudahkan pelepasan biofoam dari cetakan. Namun demikian, kadar lemak yang tinggi juga dapat menyebabkan produk mudah terhidrolisis hingga
menjadi tengik. Penambahan lemak maupun turunannya seperti monogliserida, trigliserida
juga dapat berfungsi sebagai plastisizer Poovarodom, 2006. Lemak yang bersifat hidrofobik juga dapat meningkatkan hidrofobisitas dari biofoam. Dengan
demikian adanya kandungan lemak diharapkan dapat memperbaiki sifat fisik dan mekanis dari biofoam.
Selain analisis terhadap komponen kimia bahan baku, pengamatan terhadap sifat fisik juga turut berperan terhadap karakteristik biofoam diantaranya daya serap
air DSA. Pengukuran DSA dilakukan untuk mengetahui seberapa besar jumlah air yang dapat diserap oleh bahan selama selang waktu tertentu. Hasil analisa
sebagaimana terdapat pada Tabel 5 menunjukkan bahwa ampok memiliki daya serap air yang paling tinggi yaitu 215,41, sedangkan yang terendah adalah pati
hidrofobik dengan nilai 13,31. Tingginya daya serap air pada ampok disebabkan karena sebagian besar serat yang ada pada ampok berasal dari golongan
hemiselulosa. Menurut Madsen 2004, hemiselulosa merupakan bagian dari dinding sel tanaman yang paling banyak menyerap air. Hal ini disebabkan karena
hemiselulosa memiliki daerah amorf yang lebih besar dibandingkan dengan selulosa Westman et al., 2010.
Pati alami yang belum mengalami gelatinisasi umumnya memiliki sifat semi kristalin dimana amilosa dan percabangan amilopektin memiliki sifat amorf,
sementara rantai lurus amilopektin memiliki sifat kristalin. Dengan demikian,
semakin tinggi rasio amilosa maka sifat amorfnya semakin besar yang berakibat pada peningkatan sifat hidrofilik. Hal ini menjelaskan mengapa pati asetat
memiliki daya serap air yang lebih besar dibandingkan tapioka walaupun gugus hidroksilnya sebagian sudah digantikan dengan gugus asetil.
Sementara untuk pati hidrofobik, lapisan atau coating yang menutupi permukaan granula pati menyebabkan air sulit masuk sehingga daya serap airnya
juga sangat rendah. Parameter daya serap air menjadi hal yang penting diperhatikan pada pembuatan biofoam agar adonan tersebut memiliki tingkat
viskositas yang tepat untuk mendukung proses ekspansi. Komposisi kimia khususnya kadar pati, rasio amilosa-amilopektin serta
kadar air berpengaruh terhadap kemampuan ekspansi biofoam, sementara kadar serat, kadar lemak serta rasio amilosa akan berpengaruh terhadap daya serap air.
Kadar serat serta protein juga akan berpengaruh terhadap sifat mekanis produk biofoam yang dihasilkan. Ampok memiliki kadar serat, protein dan lemak tertinggi
dibandingkan bahan lain sehingga diharapkan akan meningkatkan kekuatan mekanis produk biofoam. Sementara, penambahan tapioka yang memiliki kadar
pati tinggi diharapkan akan meningkatkan kemampuan ekspansinya. Penambahan pati hidrofobik diharapkan dapat meningkatkan sifat hidrofobisitas biofoam karena
pati hidrofobik memiliki daya serap air yang sangat rendah. Karakterisasi bahan baku tidak hanya melihat pada komposisi kimianya tetapi
juga beberapa sifat lain seperti sifat viskoamilograf. Pengamatan ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh suhu terhadap perubahan karakteristik pati. Pati
dengan kadar air tertentu bila dipanaskan akan mengalami proses gelatinisasi yang diawali dengan penyerapan air ke dalam granula pati sehingga terjadi peningkatan
viskositas. Selanjutnya dengan bertambahnya panas maka granula pati tersebut akan pecah hingga sebagian amilosa yang ada akan keluar. Tahapan selanjutnya
bila larutan tersebut didinginkan kembali maka akan terjadi proses retrogradasi. Viskositas larutan pati setelah proses akan berbeda-beda, ada yang akan menjadi
lebih kental, ada yg tetap dan ada juga yang menjadi lebih cair Eliasson and Gudmundsson, 1996. Selama proses gelatinisasi terutama saat pembengkakan
granula pati serta proses keluarnya amilosa leaching, akan berpengaruh terhadap
perubahan reologi dari larutan pati. Untuk mengamati semua perubahan tersebut maka dilakukan analisis dengan menggunakan amilograph atau viscograph.
Adapun hasil analisis profil viskoamilograf pada masing-masing bahan baku seperti tersaji pada Gambar 4 dan Tabel 6. Viskositas puncak diperoleh saat
granula pati mengalami pembengkakan secara penuh sehingga saling melekat satu sama lain. Sementara itu, viskositas breakdown diperoleh dari nilai viskositas
puncak dikurangi viskositas terendah yang dicapai pada saat pemanasan. Selanjutnya nilai viskositas setback diperoleh dari selisih nilai viskositas minimal
dengan viskositas akhir Thomas dan Atwell, 1999.
Gambar 4. Profil Viskoamilograf Tapioka, Ampok, Pati Hidrofobik dan Pati Asetat
Tabel 6. Karakteristik Amilograf Tapioka, Ampok, Pati Hidrofobik dan Pati Asetat Parameter
Ampok Tapioka Pati
Hidrofobik Pati
Asetat Suhu Gelatinisasi
C Suhu Puncak
C Viskositas Maksimum BU
Breakdown Viskositas BU
Setback Viskositas BU
Final Viskositas BU 93
- -
30 +30
67,5 76,5
1550 1080
500 +500
72 78
170 160
10 -10
60 72
590 90
460 +420
-200 200
400 600
800 1000
1200 1400
1600 1800
20 40
60
Vis kos
it a
s B
U
Waktu menit
Tapioka Ampok
Pati Hidrofobik Pati Asetat
Bila kita membandingkan hasil yang diperoleh terhadap sifat viskoamilograf pada tapioka, ampok dan pati hidrofobik maupun pati asetat terlihat bahwa
komposisi kimia dari masing-masing bahan baku sangat berpengaruh terhadap sifat viskoamilografnya. Hal ini jelas terlihat pada ampok yang memiliki kadar pati
terendah sedang kadar protein dan lemaknya paling tinggi dibandingkan pati lainnya. Kadar protein dan lemak yang tinggi pada ampok menyebabkan suhu
gelatinisasinya lebih tinggi dibandingkan ke tiga jenis pati lainnya. Hal ini disebakan karena granula pati tertutup oleh protein dan lemak sehingga air sulit
meresap ke dalam granula pati sehingga menyebabkan proses gelatinisasi juga terhambat. Selain itu, tingginya kadar serat juga menyebabkan sebagian besar air
yang ditambahkan diserap oleh serat sehingga jumlah air yang meresap pada granula pati juga berkurang Dengan berkurangnya jumlah air yang menyerap pada
granula pati maka proses gelatinisasi menjadi terhambat. Akibatnya proses yang mengikuti terjadinya proses gelatinisasi seperti peningkatan viskositas tidak terjadi.
Hal ini sejalan dengan penelitian Tester dan Morrison 1990 serta Vandeputte et al.
2003 yang menyebutkan bahwa adanya protein dan lemak dapat menghambat proses penetrasi air ke dalam granula pati sehingga berpengaruh terhadap profil
viskoamilograf dari pati. Hal ini juga didukung oleh hasil analisis korelasi antara komposisi kimia bahan dengan suhu gelatinisasinya.
Semua parameter komposisi kimia seperti kadar pati, protein, lemak dan serat berpengaruh terhadap suhu gelatinisasi, khusus untuk kadar pati, korelasinya
negatif. Dengan demikian, semakin tinggi kadar pati maka suhu gelatinisasinya cenderung berkurang. Sementara, semakin tinggi kadar protein, lemak maupun
serat maka suhu gelatinisasinya akan bertambah. Nilai korelasi antara komponen kimia bahan baku dengan profil viskoelastisitasnya khususnya suhu gelatinisasi
seperti tersaji pada Tabel 7. Sementara itu, baik pati hidrofobik dan pati asetat yang merupakan pati
modifikasi sebenarnya juga menggunakan tapioka sebagai bahan bakunya sehingga sebagian besar komposisi kimianya mirip dengan tapioka. Namun demikian,
viskoamilograf pati hidrofobik sangat berbeda bila dibandingkan dengan tapioka maupun pati asetat seperti pada Gambar 4. Proses pembuatan pati hidrofobik
dilakukan dengan melapisi permukaan granula pati dengan bahan yang bersifat
hidrofobik sehingga air sulit masuk ke dalam granula pati tersebut. Akibatnya proses gelatinisasi akan terhambat sehingga fenomena seperti swelling, peningkatan
viskositas maupun leaching, tidak terjadi seperti pada tapioka. Tabel 7. Korelasi antara Komposisi Kimia dengan Suhu Gelatinisasi
Parameter Nilai Korelasi
Kadar Protein VS Suhu gelatinisasi 0,938
Kadar Lemak VS Suhu gelatinisasi 0.938
Kadar Pati VS Suhu gelatinisasi -0,949
Kadar Serat VS Suhu gelatinisasi 0,944
Profil viskoamilograf dari pati asetat hampir menyerupai tapioka, namun viskositas puncak yang dicapai lebih rendah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian,
tingkat hidrofobisitasnya sangat dipengaruhi oleh nilai DS nya, semakin tinggi nilai DS maka hidrofobisitasnya akan meningkat. Adapun pati asetat yang digunakan
pada penelitian ini adalah yang memiliki nilai Derajat Substitusi DS = 0,3 sehingga peluang air masuk ke dalam granula pati asetat masih memungkinkan dan
proses gelatinisasi masih dapat berlangsung. Menurut Guan et al.2004., pati hasil proses esterifikasi dengan nilai DS 1 akan memiliki sifat hidrofobik karena gugus
hidroksilnya yang bersifat hidrofilik digantikan dengan gugus asetil yang bersifat hidrofobik
Pati bila dipanaskan dengan kondisi air berlebih akan mengalami perubahan yang bersifat irreversible sehingga berakibat pada hilangnya sifat birefringent dan
hilangnya sifat kristalin. Pada kondisi ini, granula pati akan membengkak dan lebih banyak menyerap air, hal ini akan berpengaruh terhadap sifat reologinya. Tapioka
sendiri bila dipanaskan akan mencapai viskositas maksimal pada suhu sekitar 75,5
C. Namun bila dipanaskan terus hingga 93 C, viskositasnya justru akan
menurun karena terjadinya proses leaching amilosa. Selanjutnya pada saat proses pendinginan, viskositas tapioka cenderung meningkat kembali dan kembali turun
pada saat setback karena proses retrogradasi. Kondisi ini akan berpengaruh pada kondisi proses yang dibutuhkan serta karakteristik produk yang dihasilkan.
Sementara itu, ampok bila dipanaskan tidak memiliki suhu puncak dan viskositasnya cenderung stabil selama analisis amilograf. Kenaikan viskositas
hanya terjadi dalam jumlah kecil pada saat pendinginan. Kondisi serupa juga terdapat pada pati hidrofobik. Diduga hal ini karena terhambatnya penyerapan air
ke dalam granula pati sehingga proses gelatinisasi terhambat. Peningkatan viskositas selama proses pemanasan akan berpengaruh
terhadap besarnya gesekan atau shear yang terjadi. Semakin besar gesekan yang terjadi maka ekspansi dari pati tersebut juga akan semakin tinggi Chaisawang dan
Suphantharika, 2006. Hal ini akan berpengaruh terhadap kemampuan ekspansi tapioka yang lebih besar dibandingkan dengan ampok maupun pati hidrofobik.
Semakin banyak proporsi tapioka yang digunakan diharapkan kemampuan ekspansi biofoam juga semakin besar sehingga densitasnya juga akan berkurang.
Selain pengukuran terhadap viskoamilograf dari masing-masing bahan baku, dilakukan pula analisis sifat termal untuk mengetahui titik transisi gelas dan
titik leleh dari masing-masing bahan. Pengukuran dilakuan dengan menggunakan Differential Scanning Colorymeter DSC
. Perilaku termal pada pati sebenarnya lebih kompleks dibandingkan dengan bahan termoplastik konvensional seperti
polietilen karena beragamnya perubahan fisik dan kimia yang terjadi selama proses pemanasan. Proses tersebut meliputi gelatinisasi, pelelehan, transisi gelas,
kristalisasi, peningkatan volume, degradasi molekul dan pergerakan air Yu dan Christie, 2001.
Pengamatan terhadap sifat termal bahan baku pembuatan biofoam meliputi titk transisi gelas T
g
dan titik leleh T
m
dengan hasil seperti tersaji pada Tabel 8. Pada tabel tersebut terlihat bahwa ampok memiliki 2 titik transisi gelas yaitu
24,13 C dan 54,46
C. Adanya 2 titik transisi gelas ini menunjukkan bahwa ampok merupakan senyawa kompleks yang terdiri dari beberapa bahan yang memiliki titik
transisi gelas yang berbeda. Ampok umumnya terdiri dari sebagian besar pati dan serat yang masing-masing memiliki titik transisi gelas yang berbeda. Tapioka
sendiri memiliki titik transisi gelas 61,15 C, sementara literatur menyebutkan titik
transisi gelas tapioka berada di kisaran 60-70 C Breuninger et al., 2009. Pati
asetat memiliki titik transisi gelas 56,82 C, lebih rendah dibandingkan dengan
bahan bakunya yaitu tapioka. Hal ini disebabkan karena proses modifikasi dengan menggantikan gugus hidroksil dengan asetil menyebabkan struktur granula menjadi
tidak stabil sehingga mempercepat proses swelling dan menurunkan suhu gelatinisasi Singh et al., 2004. Sementara itu untuk pati hidrofobik, titik transisi
gelasnya tidak dapat terdeteksi dengan pengukuran menggunakan DSC. Tabel 8. Titik Transisi gelas T
g
dan Titik Leleh T
m
dari Tapioka, Ampok, Pati Hidrofobik dan Pati Asetat
Bahan Titik Transisi gelas
C Titik Leleh
C Ampok
Tapioka Pati Hidrofobik
Pati Asetat 24,13 dan 54,46
61,15 Tidak terdeteksi
56,82 146,60
102,95 148,67
94,78
Selain mengukur titik transisi gelas, pengukuran menggunakan DSC juga dapat menentukan titik leleh maupun entalpi yang dibutuhkan atau dilepaskan
selama proses pemanasan. Semakin kompleks senyawa yang diukur maka besaran entalpinya juga akan semakin besar karena semakin banyak energi yang dibutuhkan
untuk proses degradasi bahan tersebut. Adapun hasil pengukuran terhadap titik leleh ampok berada pada 145,6
C, tapioka di kisaran 102,95 C sementara pati
hidrofobik di suhu 148,57 C. Tingginya titik leleh ampok disebabkan tingginya
bahan non pati seperti serat, protein dan lemak yang berpengaruh terhadap proses melting
. Sementara itu, pati hidrofobik memiliki lapisan coating pada permukaannya yang dapat menghambat proses melting sehingga titik lelehnya juga
lebih tinggi dibandingkan tapioka. Pati asetat memiliki T
m
terendah dibandingkan sumber pati lainnya yaitu 94,78
C. Hal tersebut disebabkan karena adanya gugus asetil yang dapat meningkatkan kemampuan swelling serta kelarutan pati yang
berdampak pada penurunan suhu T
g
dan juga T
m
Singh et al., 2004 . Hasil pengukuran sifat termal dengan menggunakan DSC menunjukkan
bahwa bahan baku pembuatan biofoam yang mengandung pati akan menghasilkan proses endotermis dengan selang suhu yang cukup lebar seperti tersaji pada
Gambar 5, 6, 7, dan 8. Proses endotermis tersebut menunjukkan terjadinya
pelepasan energi yang kemungkinan besar merupakan proses melting dari bahan berpati tersebut. Dengan mengetahui sifat termal dari bahan baku maka kondisi
proses pembuatan biofoam dapat ditentukan. Pati asetat memiliki titik leleh terendah sebesar 94,78
C sementara pati hidrofobik memiliki titik leleh yang paling tinggi sebesar 148,67
C. Dengan mempertimbangkan titik leleh pada masing-masing bahan serta titik leleh dari PVOH yang sebesar 148
C, maka suhu proses yang digunakan untuk pembuatan biofoam harus lebih besar dari 148,67
C agar semua bahan tersebut sudah meleleh sehingga bisa tercampur dengan baik.
Gambar 5. Profil DSC Ampok
Gambar 6. Profil DSC Tapioka
Gambar 7. Profil DSC Pati Hidrofobik
Gambar 8. Profil DSC Pati Asetat
Karakteristik bahan baku lainnya yang diamati adalah bentuk dan ukuran dari granula pati. Pengamatan tersebut dilakukan dengan menggunakan peralatan
Polarized Microscope untuk melihat sifat birefringent yang ada pada granula pati
tersebut sehingga dapat ditentukan apakah proses gelatinisasi sudah terjadi atau belum. Selain itu juga dilakukan pengamatan dengan menggunakan Scanning
Electrone Microscope untuk melihat secara lebih detail ukuran dan bentuk granula,
struktur dan tekstur dari permukaan sampel. Adapun hasil pengamatan dapat dilihat pada Gambar 9 dan 10.
a Ampok
b Tapioka Gambar 9. Penampakan Sifat Birefringent pada Ampok dan Tapioka
Hasil analisa dengan menggunakan polarized microscope menunjukkan bahwa ampok masih memilliki kandungan pati yang cukup tinggi, yang ditandai
dengan masih banyaknya granula berwarna biru kuning yang meruppakan ciri sifat birefringent
. Namun demikian bila diamati. Sebagian dari granula tersebut sudah pecah dan tidak utuh lagi, diduga hal tersebut disebabkan karena proses
pengeringan bahan yang bertujuan untuk pengecilan ukuran. Selain granula pati yang terlihat jelas dengan warnanya yang biru kuning, terlihat juga beberapa bentuk
tidak beraturan yang diduga merupakan serat. Granula tapioka tampak lebih jelas bentuk dan warnanya dibandingkan
ampok. Granula tapioka memiliki bentuk bulat dengan perbedaan warna kuning biru yang tegas yang menunjukkan bahwa tapioka tersebut belum mengalami
modifikasi, ataupun mengalami gelatinisasi. Pengamatan menggunakan SEM tidak hanya memberi gambaran bentuk
ataupun struktur morfologi dari bahan baku tetapi juga ukurannya. Gambar 10 dan 11 menggambarkan bentuk dari granula ampok, tapioka, pati hidrofobik dan pati
asetat, sementara Tabel 9 memberikan informasi mengenai ukuran dari granula pati tersebut. Adapun hasil seperti yang terlihat pada Gambar 10 menunjukkan adanya
perbedaan bentuk dari struktur morfologi permukaan bahan baku yang digunakan.
Gambar 10. Hasil SEM Granula Tapioka, Ampok, Pati Hidrofobik dan Pati Asetat Ampok Perbesaran 50X
Ampok Perbesaran 500X
Tapioka Perbesaran 50X Tapioka Perbesaran 500X
Pati Hidrofobik Perbesaran 50X Pati Hidrofobik Perbesaran 500X
Pati Asetat Perbesaran 50X Pati Asetat Perbesaran 500X
Tabel 9. Ukuran dan Bentuk Granula Tapioka, Ampok, Pati Hidrofobik dan Pati Asetat
Jenis Pati Ukuran
Granula Literatur Bentuk Granula
Literatur Ampok
12,06 µm 5-25 µm
Tidak beraturan Poly hedric
Tapioka 16,29 µm
5-35 µm Bulat
Semi spherical Pati Hidrofobik
21,67 µm Bulat
Pati Modifikasi 22,53 µm
Bulat
Sumber : Blanchard 1987
Granula tapioka umumnya berbentuk bulat, sementara granula jagung umumnya berbentuk agak persegi. Pati hidrofobik dan pati asetat yang bahan
bakunya menggunakan tapioka juga memiliki bentuk granula yang bulat walaupun pada sebagian sisinya ada yang sudah tidak mulus lagi. Hal tersebut kemungkinan
besar disebabkan oleh proses coating atau asetilasi dalam proses pembuatannya. Proses pembuatan pati hidrofobik yang menggunakan teknik pelapisan
dengan bahan hidrofobik membuat hasil SEM granula pati hidrofobik seperti diselubungi oleh lapisan tipis. Sebagian granula patinya ada yang sudah tidak bulat
lagi seperti terpecah, karena pengaruh panas maupun bahan kimia yang digunakan untuk melapisi pati tersebut agar bersifat hidrofobik. Sementara itu, hasil SEM
pati asetat menunjukkan adanya pendar sinar pada granula pati yang kemungkinan besar disebabkan oleh senyawa asetil yang terikat pada molekul pati.
Adapun hasil SEM pada ampok menunjukkan adanya bentuk yang bervariasi, sebagian bulat dan sebagian lagi tidak beraturan. Pada beberapa bagian
tampak ada yang menggumpal serta serpihan serat terlihat cukup jelas diantara granula pati. Proses pemanasan pada saat pengecilan ukuran tampaknya menjadi
penyebab sebagian granula pati yang ada pada ampok mengalami deformasi dan permukaannya menjadi kasar yang menyebabkan satu sama lain saling menempel.
Sementara itu pada Gambar 11 dengan perbesaran 1000 X, terlihat bahwa serat yang ada pada ampok berbentuk memanjang dan dikelilingi oleh beberapa
granula pati.
Gambar 11. Penampakan Serat pada Ampok Hasil SEM dengan Perbesaran 1000X Dari beberapa parameter yang diamati untuk mengetahui karakteristik bahan
baku terlihat bahwa komposisi kimia bahan baku berpengaruh terhadap terjadinya proses gelatinisasi. Proses gelatinisasi ini sendiri nantinya akan mempengaruhi
reologi adonan selama proses pencampuran antara pati, serat serta polimer sintetis yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kemampuan ekspansi biofoam dan
selanjutnya berpengaruh terhadap karakteristik biofoam khususnya densitas, daya serap air, maupun kuat tekan pada produk biofoam. Semakin besar kemampuan
ekspansi maka densitas umumnya semakin rendah, namun demikian porositas akan meningkat yang berakibat pada meningkatnya daya serap air serta menurunnya kuat
tekan. Ampok yang memiliki kandungan serat, protein dan lemak yang cukup
tinggi memiliki suhu gelatinisasi yang tinggi. Selain itu, ampok juga memiliki kandungan serat yang tinggi yang berpengaruh terhadap viskositas adonan,
sehingga semakin banyak ampok yang ditambahkan maka kemampuan ekspansi akan berkurang yang berdampak pada peningkatan densitas. Penambahan tapioka
yang memiliki kadar pati yang tinggi sehingga dapat meningkatkan kemampuan ekspansi. Sementara itu penambahan pati hidrofobik yang memiliki daya serap air
sangat rendah dapat meningkatkan sifat hidrofobisitas biofoam yang dihasilkan. Hasil pengamatan terhadap sifat termal menunjukkan bahwa melting point
ampok, tapioka, pati hidrofobik dan pati asetat berkisar 94-149 C yang berarti
kondisi proses pembuatan biofoam sebaiknya di atas 150 C agar semua bahan bisa
tercampur sempurna selama proses pencetakan biofoam.
4.2. Pengembangan Produk Biofoam 4.2.1. Penentuan Kondisi Proses
Pengembangan produk biofoam berbahan baku pati diawali dengan menentukan jenis biofoam yang akan dikerjakan. Pada tahap awal ini, berbagai
metode pembuatan biofoam dilakukan antara lain dengan metode ekstrusi, thermopressing
, microwave assisted moulding dan melalui proses termoplastisasi. Proses pembuatan biofoam tersebut dilakukan dengan mencampurkan tapioka,
ampok, dan PVOH dengan penambahan air dalam jumlah tertentu. Hasil penelitian pendahuluan ini menunjukkan bahwa adanya potensi untuk pengembangan
kemasan ramah lingkungan sebagai pengganti styrofoam. Adapun bentuk dari masing-masing jenis biofoam seperti tersaji pada Gambar 12.
a Ekstrusi
b Termoplastisasi
c Termoplastisasi dan Microwave d Thermopressing
Gambar 12. Aneka Bentuk Produk Biofoam yang Dihasilkan dari Berbagai Proses Dari beberapa jenis biofoam tersebut tampaknya biofoam dengan teknologi
thermopressing yang paling potensial digunakan sebagai kemasan alternatif untuk
wadah produk pangan sekali pakai. Hal ini disebabkan karena pada penggunaan teknologi thermopressing, bentuk dan ukuran biofoam dapat disesuaikan dengan
kebutuhan. Selain itu, proses termoplastisasi yang biasa digunakan pada pembuatan bioplastik ternyata tidak dapat diterapkan pada pembuatan biofoam
karena proses foaming akan terhambat. Oleh karena itu, pada tahapan penelitian selanjutnya diputuskan bahwa teknologi yang digunakan adalah thermopressing.
Setelah ditentukan bahwa teknologi yang digunakan adalah menggunakan teknik thermopressing, selanjutnya dilakukan penelitian untuk menentukan kondisi
prosesnya. Adapun peralatan thermopressing yang digunakan adalah hasil gabungan dari hydraulic press yang bagian ujungnya diberi cetakan berbentuk
tray . Alat ini memiliki kontrol suhu namun tidak memiliki kontrol tekanan maupun
waktu. Pengukuran waktu dilakukan secara manual dan tekanan yang diberikan setara dengan bobot dari cetakan yang mencapai 5 kg.
Penentuan kondisi proses pencetakan dilakukan dengan berdasarkan sifat termal bahan baku yang diperoleh pada tahap karakterisasi bahan baku. Pada
tahapan tersebut diperoleh melting point dari bahan baku umumnya berada di kisaran 95-150
C, sedangkan melting point dari PVOH berkisar 138 C. Oleh
karena itu, penentuan suhu proses dilakukan pada suhu antara 140-180 C.
Pengamatan pada tahapan ini dilakukan secara visual dengan melihat kondisi serta warna dari biofoam yang dihasilkan. Adapun hasil pengamatan tersebut seperti
tersaji pada Tabel 10. Tabel 10. Pengaruh Suhu Proses terhadap Penampakan Visual Biofoam
Suhu Proses C
Penampakan Visual Biofoam 140
Warna putih, tekstur agak lunak 150
Warna putih kecoklatan, tekstur agak keras 160
Warna kuning kecoklatan, tekstur cukup keras 170
Warna kuning kecoklatan, tekstur keras 180
Warna kecoklatan, tekstur keras Pada Tabel 10 terlihat bahwa semakin tinggi suhu proses maka warna
biofoam yang dihasilkan semakin gelap. Hal ini disebabkan karena terjadinya proses denaturasi protein ataupun karamelisasi gula karena panas yang terlalu tinggi
Poovarodom, 2006, khususnya pada bahan dengan kadar protein tinggi seperti ampok. Pada suhu proses yang lebih rendah, biofoam yang dihasilkan berwarna
putih kekuningan, namun memiliki kadar air yang cukup tinggi. Selain itu, suhu rendah menyebabkan waktu yang dibutuhkan untuk proses pencetakan dan
pengeringan juga menjadi lebih lama serta belum semua bahan lumer sehingga