PENDAHULUAN Pengembangan produk biodegradable foam berbahan baku campuran tapioka dan ampok

I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Gaya hidup manusia yang kian praktis mendorong makin meningkatnya konsumsi plastik dalam berbagai sisi kehidupan. Akibatnya ketergantungan manusia terhadap kemasan plastik dalam kehidupan sehari-hari sangat tinggi. Saat ini produksi plastik dunia diperkirakan mencapai 100 juta ton setiap tahunnya Anonymous, 2010. Padahal bahan baku pembuatan plastik berasal dari minyak bumi yang persediaannya semakin menipis dan harganya terus meningkat. Plastik juga sulit untuk terdegradasi secara alami sehingga bila tidak ditangani dengan baik dapat mencemari lingkungan. Salah satu jenis plastik yang sering dimanfaatkan dalam kehidupan sehari hari adalah styrofoam yang sebenarnya merupakan nama dagang dari polistirena. Pada awalnya polistirena digunakan sebagai bahan pelindung atau shock absorber untuk melindungi produk yang bersifat fragile seperti produk elektronik dan juga sebagai bahan insulasi karena memiliki kemampuan menahan panas dan dingin yang baik Sulchan dan Endang, 2007. Kemampuan untuk menahan suhu tersebut kemudian dimanfaatkan untuk menjadikan styrofoam sebagai wadah kemasan pangan siap saji. Kelebihan styrofoam lainnya adalah tidak mudah bocor dan berubah bentuk bila digunakan untuk menyimpan cairan, mampu mempertahankan kesegaran dan keutuhan bahan yang dikemas, memiliki harga murah serta memiliki bobot yang ringan. Semua kelebihan tersebut mendorong meningkatnya penggunaan styrofoam sebagai kemasan siap saji. Namun demikian di balik semua keunggulan ini, penggunaan styrofoam ternyata menyimpan bahaya yang dapat mengancam kesehatan manusia maupun merusak lingkungan. Proses pembuatan styrofoam umumnya dilakukan dengan mencampurkan bahan utama berupa stirena dengan bahan lain yaitu seng dan butadiena. Untuk meningkatkan kelenturannya, ditambahkan zat plastisizer seperti dioctyl phthalate DOP, butil hidroksi toluen atau n-butil stearat. Campuran bahan tersebut kemudian ditiup dengan menggunakan blowing agent berupa gas klorofluorokarbon CFC hingga terbentuk foam Manurung, 2008. Menurut beberapa hasil penelitian, stirena berpengaruh negatif terhadap kesehatan manusia. Paparan terhadap stirena dalam jangka panjang dapat menyebabkan gangguan syaraf seperti kelelahan, sulit tidur, dan rasa gelisah. Selain itu gangguan terhadap darah berupa penurunan kadar hemoglobin hingga menyebabkan anemia, gangguan sitogenetik gangguan kromosom dan kelenjar limfa serta efek karsinogenik Dowly et al., 1976. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa stirena juga berpengaruh terhadap ketidakseimbangan hormon yang berakibat pada timbulnya masalah reproduksi termasuk tingkat kesuburan serta dapat mempengaruhi kualitas ASI dari ibu menyusui Brown, 1991. Styrofoam sebenarnya tidak cocok digunakan untuk mengemas produk makanan atau minuman karena kemungkinan terjadinya migrasi bahan kimia yang terkandung dalam styrofoam ke dalam makanan atau minuman tersebut. Migrasi ini dipengaruhi oleh suhu, lama kontak, dan tipe pangan. Semakin tinggi suhu, lama kontak dan kadar lemak suatu pangan, maka migrasinya juga akan semakin besar. Hal tersebut didukung oleh penelitian Lickly et al. 1995 yang menyebutkan bahwa terjadi peningkatan migrasi sebesari 1,9X pada minyak goreng dan etanol yang disimpan pada kemasan styrofoam pada pengamatan hari ke empat. Sementara pada hari ke-10, migrasi akan meningkat menjadi 3,1X dibandingkan saat awal penyimpanan. Selain berdampak negatif terhadap kesehatan, styrofoam juga berpengaruh buruk terhadap lingkungan karena sifatnya yang tidak bisa diuraikan secara alami. Data dari Environment Protection Agency EPA menyebutkan bahwa limbah hasil pembuatan styrofoam ditetapkan sebagai limbah berbahaya ke lima terbesar di dunia. Bau yang timbul selama proses produksinya mampu menganggu pernapasan dan melepaskan 57 zat berbahaya ke udara. Kemasan styrofoam umumnya digunakan hanya dalam waktu singkat terutama bila digunakan sebagai wadah kemasan restoran cepat saji. Namun demikian membutuhkan waktu yang sangat lama atau bahkan sama sekali tidak bisa diuraikan oleh alam sehingga akan menumpuk dalam jumlah besar dan mencemari lingkungan Anonymous, 2009. Pengolahan limbah styrofoam dengan model pembakaran juga akan menghasilkan senyawa berbahaya yaitu dioksin yang juga bersifat karsinogen. Mengingat besarnya dampak buruk yang ditimbulkan oleh penggunaan styrofoam, maka harus dilakukan upaya untuk mencari alternatif bahan pengemas lain yang lebih ramah lingkungan serta tidak berbahaya terhadap kesehatan manusia disamping melakukan kegiatan 3R yaitu reuse, reduce dan recycle terhadap kemasan styrofoam yang sudah ada. Banyak penelitian yang telah dilakukan dengan memanfaatkan berbagai sumber biologis seperti tanaman, hewan atau mikroba. Adapun bahan yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku biopolimer adalah produk atau limbah pertanian seperti pati dan selulosa dengan alasan sifatnya yang dapat diperbaharui, tersedia melimpah dan harganya murah Davis dan Song, 2006. Untuk dapat menggantikan styrofoam sebagai kemasan pangan khususnya pangan siap saji maka karakteristik biofoam yang dihasilkan bisa mendekati karakteristik styrofoam seperti mudah dibentuk, memiliki bobot ringan, tahan terhadap air, dapat menahan suhu panas maupun dingin, serta harga produksinya cukup murah. Selain itu, kemasan alternatif tersebut haruslah bersumber dari bahan baku yang dapat diperbaharui, dapat terurai secara alami serta tidak toksik atau berbahaya bagi kesehatan. Di antara berbagai produk maupun limbah pertanian, tampaknya pati serta selulosa merupakan bahan yang potensial mengingat keberadaannya yang melimpah serta harganya yang murah. Salah satu sumber pati yang produksinya cukup tinggi adalah tapioka mengingat harganya yang lebih murah bila dibandingkan dengan sumber pati lainnya. Tapioka memilliki kadar protein, kadar lemak serta amilosa yang lebih rendah dibandingkan jenis pati lainnya Breuninger et al., 2009. Kondisi tersebut akan berpengaruh terhadap proses gelatinisasi maupun proses ekspansinya. Tapioka juga memiliki suhu gelatinisasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan sumber pati lainnya. Selain itu, tapioka juga menghasilkan pasta yang jernih bila dipanaskan pada jumlah air berlebih. Semua kelebihan tersebut mendorong peneliti untuk menggunakan tapioka sebagai bahan baku pembuatan kemasan biodegradable foam Cinelli et al., 2006; Chiellini et al., 2009; Sin et al., 2010. Namun demikian, mengingat produk yang dihasilkan dari pati tersebut umumnya bersifat rapuh, kaku dan hidrofilik maka harus dilakukan penambahan beberapa aditif untuk menghasilkan produk kemasan sesuai dengan karakteristik yang diinginkan. Selain itu, penggunaan pati adakalanya harus berbenturan dengan kepentingan pangan sehingga harus dicari alternatif bahan berpati yang tidak atau belum dijadikan konsumsi pangan agar program pemerintah untuk ketahanan pangan tetap terwujud. Karena itu penggunaan limbah atau produk samping industri pati tampaknya menjadi pilihan yang menarik. Salah satu sumber bahan baku yang potensial adalah ampok yang merupakan hasil samping industri penggilingan jagung. Adapun alasan pemilihan ampok adalah karena komposisinya yang masih mengandung pati 56.9 pati, 25.2 neutral detergent fiber, 11.1 protein dan 5.3 lemak Sharma et al., 2007. Peneliti lain yaitu Shroder dan Heiman 1970 menyebutkan bahwa kandungan ampok terdiri atas protein 10,47, serat 5 , lemak 6,5 dan pati 66 . Walaupun terdapat perbedaan dalam komposisinya, namun secara umum ampok memiliki kandungan serat, pati serta protein yang masih cukup tinggi sehingga berpotensi untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan biofoam. Ampok sendiri terdiri dari campuran beberapa bagian jagung berupa lembaga germ, kulit ari bran, tip cap, dan sebagian endosperma yang keras horny endosperm . Ampok memiliki potensi yang besar karena pencanangan swasembada jagung tahun 2014 oleh pemerintah, telah mendorong meningkatnya produksi jagung selama 5 tahun terakhir, yaitu sekitar 10,9 juta ton pada tahun 2003 meningkat menjadi 17,3 juta ton pada tahun 2011 Kementan, 2012. Dengan peningkatan produksi yang cukup besar ini maka pemerintah berharap pada tahun 2014, Indonesia mampu berubah dari Negara pengimpor jagung menjadi Negara pengekspor dengan target produksi sekitar 30 juta ton. Saat ini pengolahan jagung di Indonesia hanya terbatas pada penyediaan jagung pipilan untuk kebutuhan industry pakan dan grits atau tepung jagung untuk industri pangan. Ampok corn hominy adalah produk samping yang jumlahnya cukup besar mencapai 35 dari total biji jagung yang digiling. Dengan makin tingginya produksi jagung maka produksi ampok jagung juga akan meningkat sehingga harus dicari alternatif pemanfaatannya. Saat ini harga ampok di pasaran Indonesia relatif murah yaitu sekitar Rp. 1.800kg, sedangkan menurut Sharma et al . 2007 harga ampok dunia hanya sekitar US 83.7 per ton setara dengan sekitar Rp.800,- per kg. Dengan demikian, pemanfaatan ampok sebagai bahan baku pembuatan biofoam diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah dari ampok tersebut disamping memberi manfaat lain yaitu meningkatkan kualitas lingkungan dengan mengurangi pencemaran lingkungan serta meningkatkan kesehatan masyarakat serta kesejahteraan petani jagung. Selain itu dengan penggunaan produk dan limbah pertanian, maka ketergantungan terhadap minyak bumi sebagai bahan baku pembuatan styrofoam juga dapat dikurangi. Pemanfaatan ampok yang tidak saja berfungsi sebagai sumber serat tetapi sekaligus sebagai sumber pati, lemak dan protein pada pembuatan biofoam merupakan suatu hal baru karena beberapa penelitian sebelumnya umumnya menggunakan pati dan ditambahkan serat. Selain itu, penggunaan sizing agent untuk memodifikasi permukaan sehingga dapat meningkatkan hidrofobisitas biofoam juga belum banyak dilakukan. Umumnya penggunaan bahan tersebut dilakukan pada industri kertas atau tekstil. Penelitian ini sendiri berusaha mengkaji fenomena penambahan komponen bahan baku terhadap karakteristik produk biofoam yang dihasilkan baik dari sifat fisik, mekanis, termal dan biodegradabilitas. Produk biofoam sebenarnya sangat beragam bentuk dan kegunaannya. Ada yang berbentuk butiran, lembaran, maupun cetakan. Teknologi proses pembuatan biofoam juga sangat beragam dan teknologinya semakin bervariasi dengan dikembangkannya berbagai metode untuk pembuatan biofoam dengan bentuk dan fungsi tertentu. Pada penelitian ini, produk biofoam yang dihasilkan berbentuk tray dan pot yang dibuat dengan menggunakan teknologi thermopressing. Adapun aplikasi dari produk yang dihasilkan pada penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk mengemas produk segar maupun produk olahan dengan kadar air sedang seperti buah-buahan utuh, sayuran atau produk pangan siap saji seperti ayam goreng dan kue-kue.

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan akhir dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan produk kemasan ramah lingkungan berbentuk foam berbahan baku tapioka dan ampok yang memiliki sifat fisik dan mekanis mendekati styrofoam dengan tingkat biodegradabilitas yang lebih tinggi. Untuk mencapai tujuan akhir tersebut, maka penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan penelitian dengan tujuan masing- masing adalah 1 mengetahui karakteristik bahan baku, 2 memperoleh kondisi proses dan formula terbaik pembuatan biofoam serta 3 mengetahui nilai tambah tapioka dan ampok sebagai bahan baku pembuatan biofoam.

1.3. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh pelaku industri untuk menghasilkan kemasan yang ramah lingkungan sekaligus aman bagi kesehatan. Selain itu, penggunaan produk pertanian seperti pati dan limbah pertanian, selain meningkatkan nilai tambah juga sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani. Penggunaan bahan baku alami juga akan mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi sehingga dapat menghemat devisa negara.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Adapun ruang lingkup dari penelitian ini agar dapat mencapai tujuan yang diharapkan adalah : 1. Bahan baku ampok yang digunakan berasal dari Industri Penggilingan Jagung dengan ukuran 100 mesh. Polimer sintetik yang digunakan adalah PVOH. Pati modifikasi yang digunakan terdiri dari pati hidrofobik dan pati asetat dengan DS 0,3. 2. Proses pembuatan biofoam dilakukan dengan teknik thermopressing.

II. TINJAUAN PUSTAKA