Karakteristik Biofoam TINJAUAN PUSTAKA

Dari berbagai teknik serta jenis produk yang dapat dihasilkan pada pembuatan biofoam, tampaknya teknologi thermopressing yang paling mudah aplikasinya karena tidak memerlukan peralatan yang canggih seperti ekstruder. Namun demikian, umumnya semua produk yang dihasilkan dengan berbagai teknik tersebut masih memiliki sifat fisik dan mekanis yang belum menggembirakan. Produk biofoam yang dihasilkan memiliki sifat rapuh, kaku, dengan sifat mekanis yang rendah Glenn et al., 2001.

2.3. Karakteristik Biofoam

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk memperbaiki karakteristik biofoam diantaranya seperti yang dilakukan oleh Cinelli et al. 2006, dengan membuat kemasan habis pakai berupa piring yang dibuat dari pati kentang yang dicampur dengan serat jagung dan PVOH. Penambahan serat jagung ternyata dapat meningkatkan ketahanan terhadap airnya water resistance, namun demikian sifat serat jagung tersebut juga dapat menurunkan kekuatan mekanis dari kemasan biofoam yang dihasilkan. Penambahan serat pada pembuatan tray biofoam juga dilakukan oleh Shogren et al. 2002 dengan menggunakan serat yang berasal kayu lunak sebagai reinforcing fillers . Adapun bahan baku utama yang digunakan yaitu pati kentang dengan kadar amilopektin tinggi yang ditambahkan dengan pati jagung amilosa tinggi. Selain itu ditambahkan pula dengan polimer sintetik PVOH dan aspen fiber serta monostearil sitrat. Penambahan monostearil sitrat dimaksudkan untuk meningkatkan ketahanan terhadap air. Sementara untuk mencegah adonan lengket pada cetakan dilakukan penambahan magnesium stearat. Beberapa penelitian lain yang juga menambahkan serat dalam pembuatan biofoam diantaranya dilakukan oleh Mali et al. 2010 dengan menambahkan serat yang berasal dari ampas bagas tebu. Sementara itu, Benezet et al. 2011 menggunakan serat yang berasal dari tangkai gandum dan kapas. Menurut Ruggiero et al. 2006, penambahan serat selain berfungsi meningkatkan sifat mekanis juga berkontribusi besar pada kelestarian lingkungan mengingat sifatnya yang tidak mengandung bahan berbahaya, mudah didaur ulang serta murah. Penambahan serat juga dapat mempercepat proses degradasi oleh mikroorganisme yang menyukai komponen lignoselulosik yang ada pada serat Chiellini et al. 2009. Selanjutnya Pimpa et al. 2007 menggunakan pati sagu yang ditambahkan dengan PVOH dan PVP kemudian diiradiasi. Hasilnya menunjukkan bahwa campuran sagu dan PVOH hasil iradiasi lebih baik dibandingkan campuran sagu dan PVP karena produk foam yang dihasilkan lebih fleksibel. Upaya perbaikan lainnya dilakukan oleh Salgado et al. 2008 dengan menggunakan tapioka sebagai bahan utamanya dengan campuran protein bunga matahari dan serat selulosa. Penambahan protein dan serat tersebut untuk memperbaiki sifat fisik dan mekanis biofoam yang dihasilkan. Peningkatan konsentrasi serat dapat meningkatkan sifat mekanis produk serta mengurangi kadar air produk setelah di proses pencetakan. Peningkatan konsentrasi protein dapat mengurangi kadar air setelah pencetakan, kapasitas penyerapan air serta laju kerusakan. Hasil terbaik dari penelitian ini adalah dengan menggunakan campuran serat 20 dan protein 10. Selain penambahan serat, penambahan polimer sintetik salah satunya PVOH sebagai bahan campuran dalam pembuatan kemasan ramah lingkungan semakin meningkat karena PVOH memiliki kompatibilitas yag tinggi dengan polimer alami seperti pati. Penambahan PVOH akan mempermudah proses pembuatan kemasan ramah lingkungan serta hasil pencampurannya dapat meningkatkan karakteristik biokomposit yang dihasilkan Follain et al., 2005; Russo et al., 2009. Beberapa penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa pencampuran PVOH dengan pati akan menghasilkan komposit yang sinergis dan kuat. Hal tersebut disebabkan karena adanya gugus hidroksil yang ada akan membentuk ikatan hidrogen diantara molekul pati dan PVOH He et al., 2004; Rahmat et al., 2009. Campuran ini juga akan terdispersi secara homogen dalam larutan pada pembuatan film bila diamati dengan Scanning Electron Microscope SEM Tudorachi et al., 2000. Pencampuran antara pati, serat serta polimer sintetik seringkali terkendala oleh rendahnya kompatibilitas di antara ke tiga bahan tersebut. Hal ini akan berakibat pada rendahnya sifat mekanis dari biofoam tersebut. Oleh karena itu beberapa peneliti mencoba menambahkan kompatibilizer, agen pendispersi, dan plastisizer. Menurut Wang et al. 2004, plastisizer dapat berperan sebagai pendispersi yang mampu mengurangi terjadinya aglomerasi sehingga dapat meningkatkan kuat tarik pada komposit pati dan plastik LDPE. Sementara itu, menurut Zhou et al. 2007, penambahan gliserol juga mampu menurunkan daya serap air sehingga dapat meningkatkan sifat hidrofobisitas komposit. Penambahan plastisizer juga akan membantu pergerakan inter dan antar rantai molekul Willet et al ., 1995 sehingga viskoelastisitas bahan akan meningkat.. Upaya selanjutnya yang dilakukan untuk memperbaiki karakteristik biofoam adalah dengan penambahan bahan hidrofobik seperti wax, atau polimer sintetik untuk meningkatkan hidrofobisitasnya Shogren et al., 1998; Andersen et al ., 1999. Selain itu, penggunaan pati modifikasi juga dapat memperbaiki karakteristik biofoam yang dihasilkan seperti yang telah dilakukan oleh Matsui et al . 2004; Laratonda et al. 2005; Xu et al. 2005; Schmidt dan Laurindo 2009. Pati yang sering digunakan sebagai bahan baku pembuatan kemasan biodegradable adalah pati asetat dengan nilai DS 1 karena memiliki kemampuan termoplastis dan juga bersifat hidrofobik Aburto et al., 1999; Guan et al ., 2004. Asetilasi merupakan salah satu jenis modifikasi pati yang dilakukan secara kimia dan tergolong pada proses esterifikasi. Esterifikasi pati yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan suhu gelatinisasi, stabilitas termal dan mengurangi kecenderungan retrogradasi. Pati asetat banyak dimanfaatkan pada berbagai macam aplikasi seperti bahan pengental pada berbagai produk pangan, sebagai bahan pengisi pada industri tekstil dan kertas serta sebagai bahan perekat. Umumnya untuk produk pangan dibutuhkan Derajat Substitusi DS yang rendah berkisar 0,01-0,2, namun untuk aplikasi sebagai bahan kemasan dibutuhkan pati asetat dengan nilai DS yang cukup tinggi 2 Junistia et al., 2008. Pati asetilasi DS rendah biasanya diperoleh melalui proses esterifikasi pati alami dengan asetat anhidrat pada medium air dengan katalis dari golongan alkali. Sementara itu, pati asetilasi DS tinggi umumnya memiliki kemampuan termoplastis dan juga bersifat hidrofobik. Pati asetilasi DS tinggi ini umumnya digunakan untuk pengikat tablet, perekat panas, filter rokok dan bahan kemasan Aburto et al. 1999. Sementara menurut Guan et al. 2004, pati asetilasi bernilai DS tinggi 1 umumnya bersifat hidrofobik sehingga dapat digunakan sebagai bahan kemasan seperti biofoam. Nilai DS pati modifikasi sangat bervariasi tergantung pada sumber pati, rasio amilosa dan amilopektin, jumlah bahan kimia yang ditambahkan serta lamanya waktu reaksi. Proses asetilasi merupakan upaya untuk menghasilkan material yang bersifat tahan air. Namun demikian, proses asetilasi tersebut tergolong mahal dan menyebabkan kemampuan bioplastik untuk terurai menjadi berkurang Rivard et al., 1995. Dengan demikian penggunaan pati asetat harus dilakukan seoptimum mungkin agar tidak mengurangi kemampuan degradasi dari biofoam. Selain pati dan selulosa, produk pertanian lain juga menghasikan berbagai bentuk polisakarida lain seperti guar gum, tepung konjac, yang dapat berfungsi sebagai pengikat atau binder pada proses pembuatan biofoam. Menurut Poovarodom 2006, penambahan binder dapat mengurangi penyerapan air serta meningkatkan ketahanan terhadap minyak. Penambahan protein dapat meningkatkan sifat fisik dan mekanis dari biofoam mengingat protein sendiri juga merupakan polimer alami yang mampu membentuk matrik polimer. Beberapa protein alami yang untuk meningkatkan sifat mekanis biofoam diantaranya penambahan zein Gaspar et al., 2005; putih telur Wongsasulak et al., 2006; 2007 serta protein biji matahari Salgado et al., 2008 . Salgado juga menyebutkan bahwa penambahan protein tidak hanya meningkatkan sifat mekanis tetapi juga dapat mengurangi sensitivitas terhadap air. Namun demikian menurut Poovarodom 2006, penambahan protein 5 dapat menyebabkan produk biofoam yang dihasilkan menjadi rusak akibat menjadi gosong dan lengket pada cetakan. Produk pertanian lainnya yang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan biofoam adalah lemak. Walaupun bukan digunakan sebagai bahan baku utama, lemak umumnya dibutuhkan sebagai bahan pembantu khususnya sebagai demolding agent , untuk membantu mempermudah produk tidak lengket pada cetakan. Penambahan lemak juga diyakini mampu menurunkan sensitivitas terhadap air mengingat sifat lemak yang hidrofobik. Lemak dan produk turunannya juga dapat berfungsi sebagai plastisizer yang berguna untuk meningkatkan fleksibilitas produk serta memudahkan pada proses pelepasan dari cetakan. Bahan lainnya lagi adalah lateks. Bahan ini digunakan sebagai bahan tambahan untuk meningkatkan viskoelastisitas dari foam sehingga produk yang dihasilkan memiliki tingkat kelenturan yang tinggi yang dibutuhkan apabila foam digunakan sebagai shock absorber. Selain itu penambahan lateks juga mampu meningkatkan ketahanan terhadap air karena sifatnya yang hidrofobik Cienelli et al ., 2009; Shey et al., 2006 Sebenarnya masih banyak produk pertanian lain yang juga bisa dimanfaatkan dalam pembuatan biofoam seperti chitosan yang merupakan hasil perikanan Kaisangsri et al., 2011; putih telur yang merupakan hasil ternak Wongsasulak et al., 2006 serta wax yang diperoleh dari peternakan madu. Belum lagi bila ke dalam adonan biofoam ditambahkan bahan aktif yang diekstrak dari berbagai tanaman untuk meningkatkan ketahanannya terhadap kerusakan akibat mikroorganisme ataupun sebagai pewarna alami. Bahan aditif lain yang umumnya digunakan pada pembuatan biofoam adalah demolding agent atau lubricant untuk memudahkan pengeluaran produk dari cetakan. Umumnya bahan yang digunakan adalah magnesium stearat seperti yang dilakukan pada penelitian Onteniente et al., 2000.. Penambahan hidrokoloid seperti guar gum dapat berfungsi sebagai nucleating agent ataupun penstabil. Sementara penambahan agar berfungsi sebagai binder. Meski sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk menghasilkan produk biofoam, namun yang sudah komersial dan dipasarkan masih terbatas. Hal ini disebabkan karena produk biofoam masih memiliki beberapa kelemahan seperti tidak kedap air, serta sifat mekanik yang rendah. Untuk itu penelitian ini masih terus dilanjutkan dengan menggunakan berbagai sumber pati, serat, polimer serta melakukan modifikasi pati agar dapat menghasilkan produk biofoam yang dapat bersaing dengan styrofoam.

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Bahan dan Alat

Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian ini tapioka merek GA yang diproduksi oleh industri tapioka di Lampung, sedangkan ampok diperoleh dari salah satu perusahaan penggilingan jagung di Sidoarjo, JawaTimur. Pati hidrofobik diperoleh dari salah satu perusahaan pati modifikasi lokal sedangkan pati asetat diperoleh dari PT National Starch, Bangkok, Thailand. Polimer sintetik PVOH merek Celvol. Bahan tambahan magnesium stearat, gliserol diperoleh dari toko bahan kimia di kota Bogor. Sizing agent diperoleh dari Lab Packaging, Kasetsart University. Agar dari PT Finechem dan NaOH dari Merck. Adapun peralatan yang digunakan antara lain berupa mixer, mesin cetak thermopressing, untuk pembuatan biofoam, serta peralatan lain yang digunakan dalam analisis bahan baku maupun produk jadi seperti Scanning Electrone Microscopy SEM merek Zeiss tipe Evo 50, Differential Scanning Calorymeter DSC merek Shimadzu TA-50WSI, X Ray Diffractometer merek Shimadzu type Maxima 7000, Texture Analyzer, Dynamic Mechanical Thermal Analysis DMTA merek Gabo, Contact Angle Goneometer merek OCA20, Data Physic, Chromameter , Amilograf merek Brabender, oven, desikator, dan alat gelas untuk analisa.

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada beberapa laboratorium diantaranya di Laboratorium Balai Besar Pascapanen, Laboratorium TIN, dan Laboratorium Polimer Pertamina Jakarta, serta Laboratorium Packaging and Materials Technology , Kasetsart University, Thailand. Selain itu beberapa analisa juga dilakukan di Laboratorium Sentra Teknologi Polimer, Serpong, Laboratorium Hasil Hutan, Badan Litbang Kehutanan serta Laboratorium Kimia Terpadu, IPB. Adapun waktu pelaksanaan penelitian dilakukan pada kurun waktu November 2010 hingga Mei 2012.

3.3. Kerangka Pemikiran

Ketergantungan manusia terhadap styrofoam yang sudah sangat tinggi, padahal banyak dampak negatif yang ditimbulkan dari pemakaian styrofoam tersebut baik terhadap kesehatan maupun kelestarian lingkungan. Untuk itu perlu dilakukan upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap styrofoam dengan menyediakan kemasan alternatif yang aman bagi kesehatan serta ramah terhadap lingkungan. Salah satu bahan yang memiliki potensi adalah pati, karena memiliki kemampuan ekspansi serta bersifat termoplastis. Sayangnya menurut beberapa hasil penelitian sebelumnya, biofoam yang dihasilkan oleh bahan berpati memiliki beberapa kelemahan diantaranya, rapuh serta hidrofilik sehingga aplikasi penggunaannya masih sangat terbatas. Beberapa upaya dapat dilakukan untuk memperbaiki karakteristik pati tersebut antara lain dengan melakukan modifikasi pati, menambahkan bahan hidrofobik, polimer sintetis ataupun aditif lainnya. Penelitian ini dilakukan sebagai upaya untuk mengembangkan produk kemasan yang aman bagi kesehatan dan ramah lingkungan yang dapat menggantikan penggunaan styrofoam, khususnya sebagai wadah kemasan pangan sekali pakai. Hal ini mengingat pemakaian kemasan styrofoam sekali pakai yang sangat banyak padahal hanya digunakan satu kali saja dan langsung dibuang. Sementara itu, waktu yang dibutuhkan untuk mendegradasi styrofoam tersebut lebih dari 500 tahun. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengurangi kelemahan yang ada pada biofoam berbasis pati dengan menambahkan beberapa bahan tambahan yang diharapkan akan menghasilkan biofoam dengan karakteristik fisik, mekanis dan biodegradabilitas yang baik. Menurut beberapa literatur, karakteristik biofoam dipengaruhi oleh komposisi bahan baku terutama sumber pati serta kondisi proses pembuatannya. Komposisi bahan baku meliputi komposisi kimia, rasio amilosaamilopektin, ukuran partikel yang semuanya akan berpengaruh terhadap sifat fungsional dari pati tersebut dan pada akhirnya berpengaruh terhadap karakteristik biofoam. Sementara itu, kondisi proses baik suhu, tekanan, waktu proses thermopressing