2.2.  Teknologi Proses Produksi Biofoam
Pati  memiliki  beberapa  sifat  khas  atau  unik  yang  timbul  karena  pengaruh panas  atau  gesekan  seperti  pembengkakan  swelling,  gelatinisasi,  melting,
kristalisasi dan dekomposisi Paes et al., 2008.  Pati juga memiliki  kemampuan untuk mengembang atau berekspansi.  Sifat ini terlihat jelas pada produk-produk
ekstrusi  seperti  yang  biasa  digunakan  sebagai  makanan  selingan.    Fenomena ekspansi pati kemudian  mendorong para peneliti  untuk memanfaatkan pati untuk
menghasilkan  biofoam  berbentuk  butiran  atau  sering  disebut  dengan  loose  fill foam
atau peanut foam  Lacourse dan Altieri, 1989 Proses  pembuatan  loose  fill  foam  atau  peanut  foam  dilakukan  dengan
menggunakan  prinsip  pembuatan  produk  ekstrudat  seperti  produk  snack. Penggunaan  ekstruder  akan  menghasilkan  panas  dan  gaya  gesek  yang
mengakibatkan  pati  mengalami  gelatinisasi  dan  mencair.    Pati  yang  mencair tersebut akan mendapat tekanan  yang besar saat   melewati lubang kecil pada die
sehingga  uap  air  yang  ada  akan  menimbulkan  bubble  effect  yang  menyebabkan cairan  pati  tersebut  mengembang.    Selanjutnya  kontak  dengan  udara  luar  yang
lebih  rendah  suhunya  akan  menyebabkan  produk  yang  sudah  mengembang tersebut  mengeras  hingga  diperoleh  produk  yang  mengembang  jauh    lebih  besar
dibandingkan bahan bakunya Lawton et al., 2004. Energi  panas  yang  dihasilkan  pada  proses  ekstrusi  yang  disertai  dengan
gesekan akan menyebabkan pati beserta bahan campuran lainnya akan mengalami perubahan  fisikokimia.  Menurut  Kaletunc  dan  Breslauer  2003,  suhu  tinggi  dan
gesekan selama proses ekstrusi mampu mengubah campuran pati dan protein pada pati jagung menjadi bahan  yang bersifat viskoelastis. Bahan ini selanjutnya akan
mengembang dan mengeras membentuk partikel padat berbentuk busa atau foam. Kemampuan ekspansi produk ekstrusi ditentukan oleh banyak faktor yang
merupakan  kombinasi  antara  kondisi  proses  dan  kualitas  bahan  baku.  Beberapa penelitian  sebelumnya  telah  mencoba  melihat  pengaruh  dari  variabel  kondisi
proses  seperti  suhu  tangki,  kecepatan  screw,  dimensi  die  nozzle,  konfigurasi screw
, ukuran tangki dan kelembaban Bhattacharyya dan Hanna, 1987; Barres et al.
,  1990.    Beberapa  penelitian  mengenai  karakteristik  bahan  baku  dan
pengaruhnya  terhadap  karakteristik  bahan  baku  juga  sudah  banyak  dilakukan .Shogren  et  al.,  1998;  Salgado  et  al.,  2008;  Benezet  et  al.,  2011;  Vercelheze  et
al ., 2012..  Adapun karakteristik bahan baku yang diamati antara lain  komposisi
bahan baku, komposisi lemak, protein, serat dan pati serta rasio amilosa terhadap amilopektin.    Hal  tersebut  dilakukan  karena  semua  faktor  tersebut  akan
mempengaruhi reologi dan kekentalan dari pati Chinnaswamy dan Hanna, 1988. Aplikasi  teknologi  ekstrusi  pada  pembuatan  biofoam    diawali  oleh.
Chinnaswamy  dan  Hanna  1993  yang  mengembangkan  biofoam  dengan mencampurkan  70  pati  dengan  plastik.    Sementara  itu,  Neumann  dan  Seib
1993  juga  mencoba  menghasilkan  biofoam  dengan  menggunakan  bahan  baku yang berasal dari pati  jagung.  Namun demikian, produk biofoam yang dihasilkan
memiliki sifat hidrofilik dan rapuh sehingga harus ditambahkan dengan beberapa bahan lainnya.
Selanjutnya, beberapa peneliti lain juga mencoba melakukan  hal yang sama dengan  menggunakan  berbagai  sumber  pati  dan  mencampurkannya  dengan
polimer  sintetik  Bhatnagar  dan  Hanna,  1996;  Wang  et  al.,1995;  Wang  dan Shogren,  1997;  Fang  dan  Hanna,  2000;  Peng  et  al.,  2005;  Jiang  et  al.,  2006;
Pushpadass  et  al.,  2010.    Namun,  kurangnya  kompatibilitas  antara  pati  dengan polimer sintetik akibat perbedaan tingkat polaritas menyebabkan produk biofoam
yang dihasilkan belum memuaskan.  Untuk itu, beberapa peneliti lainnya mencoba menambahkan plastisizer, agen pendispersi dan kompatibilizer serta cross linking
agent Wang et al., 2004; Zou et al., 2007.
Seiiring dengan berkembangnya gaya hidup, kebutuhan akan biofoam yang dapat  dibentuk  sesuai  fungsinya  mendorong  berkembangnya  teknologi
thermopressing .    Teknologi  tersebut  menggunakan  prinsip  pembuatan  wafer
dimana adonan dicetak pada suhu dan tekanan tertentu.  Kadar air yang ada pada adonan  akan  menguap  karena  adanya  panas  yang  kemudian  berfungsi  sebagai
blowing  agent .    Selama  proses  pencetakan,  uap  air  tersebut  akan  mendorong
proses ekspansi dari adonan pati hingga terbentuk biofoam sesuai dengan bentuk cetakan yang digunakan Shogren et al., 1998.
Teknologi  ini  pertama  kali  diperkenalkan  melalui    penelitian  Tiefenbacher 1993  dan  dilanjutkan  oleh  Shogren    et  al.  1998  yang  menghasilkan  biofoam
dengan bahan baku  pati jagung dan  pati gandum yang ditambahkan dengan guar gum  dan  magnesium  stearat.    Bila  diamati  struktur  morfologinya  dengan
menggunakan  SEM,  terlihat  bahwa  biofoam  memiliki  struktur  seperti  sandwich dimana  pada  bagian  luar  memiliki  struktur  yang  lebih  padat  sedang  bagian
dalamnya  berongga.    Menurut  Shogren  et  al.1998,  bagian  luar  dari  biofoam berbentuk lebih padat karena bagian tersebut  yang menempel pada cetakan  yang
memiliki  tingkat  panas  lebih  tinggi.    Akibatnya  adonan  akan  mengering  dengan cepat  sehingga  proses  ekspansi  tidak  berjalan  sempurna.    Sementara  itu,  bagian
dalam  berbentuk  rongga  besar  dengan  sel  yang  terbuka  yang  merupakan  jalan keluar dari uap  panas yang bertekanan tinggi pada pembuatan biofoam.   Seperti
halnya  biofoam  berbentuk  butiran,  biofoam  yang  dihasilkan  dengan  teknologi wafer ini juga masih memillki sifat mekanis yang rendah serta tingkat sensitivitas
yang tinggi terhadap kelembaban. Teknologi  lainnya  yang  dapat  digunakan  untuk  membuat  biofoam  adalah
proses puffing dengan menggunakan bahan baku pati dengan kelembaban rendah. Proses ini seperti halnya pada pembuatan  popcorn, dimana jagung dengan kadar
air  10-15  dipanaskan  pada  suhu  sekitar  177 C  hingga  mencapai  ukuran
maksimum Hoseney et al., 1983.  Proses puffing dengan sistem eksplosi ini juga dapat dikembangkan untuk produk biji-bijian yang tidak bisa mengembang secara
alami  ketika  dipanaskan  Sullivan  dan  Craig,  1984.    Teknologi  ini  dapat menghasilkan biofoam berbasis pati dengan densitas yang rendah dalam beberapa
detik saja.  Namun demikian, teknologi ini kurang sesuai untuk membuat produk biofoam dengan bentuk tertentu seperti yang diinginkan.
Selanjutnya  dalam  perkembangannya,  teknologi  lain  yang  juga  dapat digunakan  untuk  menghasilkan  biofoam  adalah  dengan  microwave  assisted
moulded .      Saat  ini  penggunaan  microwave  untuk  membantu  proses  pembuatan
moulded  starch  foam sudah  mulai  dilakukan  dengan  menggunakan  pelet  hasil
ekstrusi  Zhou,  2004.    Proses  ini  meliputi  perubahan  bentuk  dari  pati  menjadi pelet  dengan  proses  ekstrusi  dan  selanjutnya  pelet  tersebut  digelembungkan
dengan menggunakan bantuan microwave.
Dari  berbagai  teknik  serta  jenis  produk  yang  dapat  dihasilkan  pada pembuatan  biofoam,  tampaknya  teknologi  thermopressing  yang  paling  mudah
aplikasinya  karena  tidak  memerlukan  peralatan  yang  canggih  seperti  ekstruder. Namun  demikian,  umumnya  semua  produk  yang  dihasilkan  dengan  berbagai
teknik  tersebut  masih  memiliki  sifat  fisik  dan  mekanis  yang  belum menggembirakan.  Produk  biofoam  yang  dihasilkan  memiliki  sifat  rapuh,  kaku,
dengan sifat mekanis yang rendah Glenn et al., 2001.
2.3.  Karakteristik Biofoam