Perbaikan Sifat Hidrofobisitas serta Viskoelastisitas Biofoam melalui

dengan yang dilakukan pada tahapan sebelumnya. Untuk penyesuaian dengan peralatan yang digunakan maka pada tahapan ini juga dilakukan penyesuaian komposisi bahan agar dapat diperoleh produk biofoam seperti yang diinginkan. Penyesuaian yang paling berpengaruh adalah kadar air adonan karena apabila penambahan air sebanyak 50 maka produk biofoam akan pecah karena tingginya tekanan yang ada pada cetakan. Namun demikian, bila tekanan tersebut dikurangi maka biofoam tidak dapat terbentuk sempurna. Oleh karena hal tersebut maka penambahan air yang dilakukan pada tahapan ini adalah sebesar 42. Selain perbaikan formula juga dilakukan penyesuaian terhadap kondisi proses seperti lama waktu proses menjadi lebih singkat yaitu 2 menit dan suhu proses ditingkatkan menjadi 190 C. Perubahan pada formula dengan mengurangi jumlah air yang ditambahkan berpengaruh nyata terhadap penurunan kadar air biofoam. Kadar air biofoam yang diperoleh pada tahapan sebelumnya berkisar 7 menurun menjadi sekitar 2- 4. Pada biofoam yang menggunakan sizing agent A, penambahan kadar gliserol dapat menurunkan kadar air biofoam. Sebaliknya biofoam yang menggunakan sizing agent B, penambahan gliserol dapat meningkatkan kadar airnya Gambar 43. Hal ini diduga penggunaan sizing agent A dapat berinteraksi dengan gliserol untuk mengurangi penyerapan air ke dalam adonan sehingga biofoam yang dihasilkan juga akan lebih kering. Selain itu, penggunaan suhu proses yang lebih tinggi dan kadar air awal adonan yang lebih rendah juga berpengaruh terhadap penurunan kadar air tersebut. Penambahan pati modifikasi khususnya pati asetat yang memiliki sifat hidrofobik yang lebih tinggi dibandingkan pati alami tampaknya juga berpengaruh terhadap penurunan kadar air karena sebagian gugus hidroksil pada pati alami yang bersifat hidrofilik digantikan dengan gugus asetil yang bersifat hidrofobik Chi et al ., 2008. P1 : Rasio tapioka:pati asetat: 80:20 S1 : Sizing agent A P2 : Rasio tapioka:pati asetat: 60:40 S2 : Sizing agent B Gambar 43. Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing Agent dan Gliserol terhadap Kadar Air Biofoam Hasil uji statistik terhadap parameter kadar air Lampiran 22 menunjukkan bahwa perbedaan rasio tapioka:pati asetat berpengaruh nyata terhadap kadar air biofoam yang dihasilkan, sementara perbedaan jenis sizing agent dan konsentrasi gliserol tidak berpengaruh terhadap kadar air biofoam. Interaksi antara ke tiga faktor yaitu rasio tapioka:pati asetat, jenis sizing agent maupun konsentrasi gliserol berpengaruh terhadap kadar air biofoam. Adapun hasil uji lanjut menunjukkan pada biofoam dengan penambahan pati asetat yang lebih besar, peningkatan kadar gliserol dapat menurunkan kadar air biofoam. Hal ini berarti, penambahan rasio pati asetat yang bersifat hidrofobik belum mampu menurunkan kadar air biofoam. Diduga hal tersebut disebabkan karena nilai DS dari pati asetat yang digunakan rendah 0,3 sehingga sifat hidrofobiknya juga rendah. Pada Gambar 43 terlihat bahwa peningkatan konsentrasi gliserol akan berpengaruh terhadap penurunan kadar air pada biofoam dengan konsentrasi pati asetat 20. Hal ini kemungkinan disebabkan karena gugus hidroksil pada tapioka akan lebih banyak berikatan dengan gliserol dibandingkan mengikat air. Akibatnya kadar air biofoam juga cenderung berkurang. Sebaliknya pada biofoam dengan konsentrasi pati asetat yang lebih tinggi berarti jumlah tapioka berkurang sehingga 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 5 10 K a d a r A ir Konsentrasi Gliserol P2S2 P1S1 P2S1 P1S2 lebih sedikit gugus hidroksil bebas yang dapat mengikat gliserol. Semakin banyak gliserol yang ditambahkan maka akan semakin besar peluang untuk menarik air. Pada pengamatan terhadap daya serap air seperti tersaji pada Gambar 44 terlihat bahwa peningkatan konsentrasi gliserol 5 dapat meningkatkan daya serap air biofoam, sedangkan peningkatan gliserol hingga 10 akan menurunkan daya serap air. Namun demikian, hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perbedaan rasio tapioka:pati asetat, jenis sizing agent maupun konsentrasi gliserol tidak berpengaruh terhadap daya serap air biofoam Lampiran 23. P1 : Rasio tapioka:pati asetat: 80:20 S1 : Sizing agent A P2 : Rasio tapioka:pati asetat: 60:40 S2 : Sizing agent B Gambar 44. Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing Agent dan Gliserol terhadap Daya Serap Air Biofoam Dibandingkan dengan daya serap air biofoam berbahan baku hanya tapioka, ampok dan PVOH maka daya serap air biofoam pada tahapan ini cenderung lebih tinggi. Hal ini kemungkinan besar lebih disebabkan oleh peningkatan porositas biofoam akibat penambahan beberapa bahan yang membantu proses foaming. Penambahan pati asetat menurut Guan et al. 2005, dapat meningkatkan kemampuan ekspansi pada loose fill foam. Semakin tinggi nilai DS yang dimiliki oleh pati asetat maka kemampuan ekspansinya juga semakin tinggi. 0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 5 10 Da y a Se ra p A ir Konsentrasi Gliserol P2S2 P1S1 P2S1 P1S2 Kemampuan ekspansi yang semakin besar menyebabkan rongga-rongga yang terbentuk selama proses ekspansi juga semakin besar dan menyebabkan berkurangnya densitas biofoam sehingga air mudah masuk mengisi rongga yang terbentuk. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sjoqvist et al 2010, yang menyatakan bahwa proses foaming akan mengurangi bobot dari bahan dan menghasilkan material yang bersifat porous dan mudah menyerap air. Umumnya penyerapan air pada menit-menit awal berhubungan dengan tingkat porositas bahan. Semakin porous bahan maka jumlah air yang diserap juga semakin besar. Porositas biofoam tentunya berhubungan dengan densitasnya. Pengamatan terhadap densitas biofoam pada tahapan ini seperti tersaji pada Gambar 45 menunjukkan terjadi penurunan densitas yang cukup signifikan dari 0,54-0,66 gcm 3 pada biofoam tahapan sebelumnya menjadi 0,33-0,47 gcm 3 pada tahapan ini. Selain disebabkan oleh penggunaan pati asetat yang mampu meningkatkan kemampuan ekspansi, diduga penggunaan peralatan yang berbeda menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap penurunan densitas tersebut. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa pada tahapan ini, suhu proses lebih tinggi yaitu sekitar 185 C dibandingkan dengan suhu proses 170 C yang dilakukan pada tahapan sebelumnya. Peningkatan suhu ini akan berpengaruh terhadap kemampuan ekspansi produk karena semakin tinggi suhu maka semakin banyak air yang dapat diuapkan dan ini berarti semakin banyak blowing agent yang tersedia. Akibatnya produk akan lebih mengembang dan menghasilkan foam dengan densitas yang lebih rendah. Selain itu adanya tekanan yang diberikan pada saat pemanasan menyebabkan tekanan pada cetakan tersebut semakin tinggi yang berdampak pada peningkatan kemampuan ekspansi dan berkurangnya densitas biofoam. Keterangan P1 : Rasio tapioka:pati asetat: 80:20 S1 : Sizing agent A P2 : Rasio tapioka:pati asetat: 60:40 S2 : Sizing agent B Gambar 45. Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing agent dan Konsentrasi Gliserol terhadap Densitas Biofoam Walaupun terjadi penurunan densitas biofoam yang cukup signifikan dibandingkan hasil tahapan sebelumnya, namun demikian pengaruh dari pati asetat, sizing agent maupun gliserol tidak berpengaruh terhadap densitas biofoam yang dihasilkan Lampiran 24. Selanjutnya bila diamati pada struktur morfologi biofoam dengan penggunaan SEM, terlihat bahwa pori-pori atau lubang yang terbentuk selama proses ekspansi lebih banyak dengan ukuran yang lebih kecil dan besarnya seragam Gambar 46. Diduga penambahan pati asetat yang juga berfungsi sebagai nucleating agent dapat membantu menghasilkan pori yang berukuran lebih kecil namun homogen Ardanuy et al., 2012 sehingga dapat menurunkan densitas biofoam. Pernyataan ini juga sejalan dengan penelitian Benezet et al. 2011 yang menyatakan bahwa pengurangan ukuran sel akan menyebabkan penurunan densitas. Namun kondisi ini hanya terjadi bila diikuti oleh pengurangan ketebalan dinding sel serta peningkatan jumlah sel. 0,00 0,05 0,10 0,15 0,20 0,25 0,30 0,35 0,40 0,45 0,50 5 10 De n si ta s g cm 3 Konsentrasi Gliserol P2S2 P1S1 P2S1 P1S2 P1S1G0 20 X P1S1G1 17 X P1S2G2 16 X P2S1G0 15 X P2S1G1 17 X P2S2G2 17 X Keterangan P1: Rasio Tapioka:Pati Asetat = 80:20 S1: Sizing agent A G0: Gliserol 0 P2: Rasio Tapioka:Pati Asetat =:60:40 S2: Sizing agent B G1: Gliserol 5 G2: Gliserol 10 Gambar 46. Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing Agent dan Gliserol terhadap Struktur Morfologi Irisan Melintang Biofoam. Pengamatan sifat fisik lainnya adalah terhadap warna baik tingkat kecerahan maupun nilai Hue dari biofoam. Adapun hasil pengamatan terhadap tingkat kecerahan dan nilai Hue menunjukkan bahwa penambahan pati asetat, sizing agent serta gliserol dan interaksi diantara semua faktor tersebut berpengaruh terhadap tingkat kecerahan maupun nilai Hue biofoam Lampiran 25 dan 26. Hal ini juga dapat dilihat pada Gambar 47, dimana penambahan gliserol cenderung menurunkan tingkat kecerahan biofoam, khususnya pada biofoam dengan rasio pati asetat yang lebih tinggi. Gliserol merupakan trigliserida turunan dari asam lemak yang sensitif terhadap pengaruh panas. Dengan demikian, semakin banyak gliserol yang ditambahkan maka biofoam yang dihasilkan cenderung berwarna gelap karena pengaruh panas yang diterima oleh biofoam tersebut. Keterangan P1 : Rasio tapioka:pati asetat: 80:20 S1 : Sizing agent A P2 : Rasio tapioka:pati asetat: 60:40 S2 : Sizing agent B Gambar 47. Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing agent dan Gliserol terhadap Tingkat Kecerahan Biofoam Parameter penting lain yang juga digunakan untuk mengetahui tingkat hidrofobisitas suatu bahan adalah dengan pengamatan contact angle. Pengamatan ini dilakukan dengan mengamati perubahan sudut kontak antara permukaan biofoam dengan tetesan air yang diteteskan pada permukaannya dengan menggunakan peralatan khusus yang disebut dengan goneometer contact angle. Adapun hasil pengukuran tersebut sebagaimana terdapat pada Gambar 48 dan 49. Tingkat hidrofobisitas yang diperoleh dari pengukuran contact angle berbeda dengan hasil pengukuran daya serap air. Pada pengukuran contact angle, hidrofobisitas bahan dilihat pada seberapa cepat penyeraan air pada permukaan bahan saja. Sementara pada daya serap air, yang diukur adalah banyaknya air yang dapat diserap oleh seluruh bagian sampel sehingga faktor porositas bahan turut berpengaruh. Dengan demikian, upaya pelapisan dengan bahan hidrofobik seperti sizing agent dapat meningkatkan nilai contact angle dengan mengisi celah atau lubang-lubang yang ada pada permukaan bahan. 50,00 55,00 60,00 65,00 70,00 75,00 80,00 85,00 90,00 5 10 T in g k a t K e cer a h a n Konsentrasi Gliserol P2S2 P1S1 P2S1 P1S2 Keterangan P1 : Rasio tapioka:pati asetat: 80:20 S1 : Sizing agent A P2 : Rasio tapioka:pati asetat: 60:40 S2 : Sizing agent B Gambar 48. Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing agent dan Gliserol terhadap Nilai Contact angle Biofoam Hasil pengukuran tingkat hidrofobisitas dilakukan dengan menggunakan instrumen contact angle goneometer seperti tersaji pada Gambar 48, menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi gliserol hingga 5 dapat meningkatkan nilai contact angle terutama pada biofoam dengan yang menggunakan sizing agent carvacrol. Sementara untuk biofoam yang menggunakan sizing agent AKD, nilai maksimum diperoleh pada penambahan gliserol 10. Pengunaan sizing agent carvacrol juga lebih besar pengaruhnya dalam peningkatan contact angle dibandingkan jenis AKD. Selain itu, pada gambar tersebut juga terlihat bahwa peningkatan rasio pati asetat juga dapat meningkatkan contact angle. Diduga hal ini disebabkan oleh adanya gugus asetat yang bersifat hidrofobik. Pada pati alami, terdapat banyak gugus hidroksil pada permukaan pati yang akan menyebabkan air yang diteteskan pada permukaan biofoam akan segera terikat pada gugus hidroksil tersebut. Adapun hasil uji statistik menunjukkan bahwa penambahan pati asetat, sizing agent , gliserol serta interaksinya berpengaruh nyata terhadap perbedaan nilai contact angle Lampiran 27. 0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 70,00 80,00 90,00 5 10 Co n tact A n gl e Konsentrasi Gliserol P2S2 P1S1 P2S1 P1S2 P1S1G0 P1S1G1 P1S1G2 P1S2G0 P1S2G1 P1S2G2 P2S1G0 P2S1G1 P2S1G2 P2S2G0 P2S2G1 P2S2G2 Keterangan P1: Rasio Tapioka:Pati Asetat = 80:20 S1: Sizing agent A G0: Gliserol 0 P2: Rasio Tapioka:Pati Asetat =:60:40 S2: Sizing agent B G1: Gliserol 5 G2: Gliserol 10 Gambar 49. Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing Agent dan Gliserol terhadap Bentuk Permukaan Tetesan Air pada Pengukuran Contact Angle Penambahan pati asetat akan merubah polaritas permukaan biofoam sehingga lebih bersifat hidrofobik. Hal tersebut terlihat pada Gambar 49 yang menggambarkan terjadinya peningkatan contact angle dari 46 menjadi 69 dengan menambahkan jumlah pati asetat dari 20 menjadi 40. Nilai tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Chi et al. 2008, yang menyebutkan bahwa asetilasi pati alami dapat menaikkan contact angle dari 43,1 menjadi 68,2 . Namun demikian, suatu bahan bisa dikatakan bersifat hidrofobik apabila memiliki sudah memiliki nilai sudut 90 , sedangkan bila sudutnya melebihi 120 disebut dengan superhidrofobik Stanssens et al., 2011 . Pada Gambar 48 dan 49 juga terlihat bahwa penambahan gliserol hingga 10 dapat meningkatkan nilai contact angle pada biofoam yang ditambahkan sizing agent A, namun pada sizing agent B, contact angle yang optimal adalah dengan penambahan gliserol 5. Peningkatan gliserol hingga 10 dapat menurunkan nilai contact angle. Dengan demikian, untuk penggunaan sizing agent A, gliserol yang ditambahkan harus mencapai 10 agar biofoam lebih hidrofobik, sementara untuk sizing agent B, penambahan gliserol cukup 5 saja. Upaya perbaikan karakteristik biofoam dengan penambahan pati asetat, sizing agent dan gliserol ternyata tidak hanya berpengaruh terhadap peningkatan hidrofobisitas tetapi juga berpengaruh terhadap kemampuan mekanis dan biodegradabilitasnya. Peningkatan sifat mekanis biofoam dengan penambahan serat dan polimer sintetik sudah berhasil dilakukan pada tahapan sebelumnya. Namun demkian, parameter penting lainnya bagi kemasan foam adalah kemampuan viskoelastisitasnya. Viskoelastisitas merupakan parameter yang menggambarkan kemampuan reologi dari suatu bahan. Viskoelastisitas terdiri dari dua kata yaitu viskositas dan elastisitas. Viskositas mengukur kemampuan bahan untuk tidak mengalir, sementara elastisitas menggambarkan kemampuan bahan untuk kembali ke bentuk semula setelah diberi gaya atau tekanan. Menurut Alves et al. 2007, penambahan gliserol dapat meyebabkan terjadinya perubahan struktur jaringan dimana matriks polimer akan berkurang densitasnya sehingga memudahkan pergerakan pada rantai polimer sehingga dapat meningkatkan viskoelastisitas dan fleksibilitas polimer. Hal ini dapat terlihat pada Gambar 50 dan 51 yang menunjukkan bahwa penambahan gliserol lebih berpengaruh terhadap peningkatan sifat viskoelastisitas pada biofoam. dibandingkan dengan penambahan pati asetat. Hal ini sesuai dengan fungsi gliserol sebagai plastisizer yang dapat meningkatkan viskoelastisitas polimer. Pengukuran terhadap viskoelastisitas penting dilakukan karena foam yang dihasilkan akan digunakan sebagai kemasan pengganti styrofoam. Sebagai kemasan, foam tersebut harus mampu melindungi produk yang dikemasnya terhadap benturan. Kemasan tersebut harus fleksibel, namun tidak mudah patah maupun berubah bentuk. Untuk mengetahui sifat viskoelastisitasnya umumnya digunakan Dynamic Mechanical Thermal Analysis DMTA dimana terdapat perbedaan prinsip pengukuran dengan Texture Analyzer. Pada pengukuran DMTA, perubahan sifat mekanis diamati pada selang suhu tertentu sementara Texture Analyzer hanya mengukur sifat mekanis bahan pada suhu tertentu. Pengukuran terhadap viskoelastisitas dilakukan dengan 2 pendekatan yaitu compressibility dan 3 bending. Pengukuran viskoelastisitas terhadap menggunakan mode compressibility dilakukan untuk mengetahui kekuatan tekan dari biofoam, sementara 3 bending dilakukan untuk mengetahui kekuatan patahnya. Pengukuran ke dua parameter ini dilakukan dengan meggunakan DMTA pada selang suhu -70 -80 C. Keterangan P1 : Rasio tapioka:pati asetat: 80:20 P2 : Rasio tapioka:pati asetat: 60:40 G0: Konsentrasi gliserol 0 G1 : Konsentrasi gliserol 5 Gambar 50. Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat dan Konsentrasi Gliserol terhadap Storage Modulus untuk Kuat Tekan Biofoam pada Berbagai Tingkat Suhu Storage Modulus E’ menggambarkan tingkat kekakuan dari suatu material dan nilainya proporsional terhadap beban maksimal yang diperoleh. Semakin 10 20 30 40 50 60 70 80 90 -70 -60 -50 -40 -30 -20 -10 10 20 30 40 50 60 70 80 S to rag e M o d u lu s E M Pa Suhu C P1G0 P2G0 P1G1 P2G1 tinggi nilai storage modulusnya menandakan semakin kaku benda tersebut. Umumnya sebuah benda memiliki storage modulus yang tinggi pada suhu di bawah C. Benda tersebut dikatakan memiliki sifat elastis apabila pada suhu kamar memiliki nilai storage modulus yang rendah . Penurunan nilai storage modulus yang cukup drastis pada pengukuran DMTA menunjukkan suhu transisi gelas dari bahan tersebut. Hasil pengamatan terhadap nilai storage modulus biofoam baik untuk mode compression maupun 3 bending tersaji pada Gambar 50 dan 51. Pada Gambar 50 terlihat bahwa peningkatan suhu akan menurunkan storage modulus dari bahan hingga titik tertentu yang merupakan suhu transisi gelas biofoam tersebut. Selanjutnya proses pemanasan akan menaikkan lagi storage modulus nya. Ini berarti pada kisaran suhu 10-30 C, foam tersebut bersifat elastis namun bila digunakan untuk suhu yang lebih rendah atau lebih tinggi, biofoam tersebut bersifat lebih kaku sehingga dalam aplikasinya sebagai kemasan pangan harus disesuaikan dengan kisaran suhu yang diperoleh. Keterangan P1 : Rasio tapioka:pati asetat: 80:20 P2 : Rasio tapioka:pati asetat: 60:40 G0 : Konsentrasi gliserol 0 G1 : Konsentrasi gliserol 5 Gambar 51. Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat dan Konsentrasi Gliserol terhadap Storage Modulus untuk 3 bending Biofoam pada Berbagai Tingkat Suhu Hasil pengamatan terhadap 3 bending sebagaimana tersaji pada Gambar 51 menunjukkan trend yang sama seperti pada kuat tekan yaitu nilai modulus storage cenderung menurun selama proses perubahan suhu. Biofoam yang ditambahkan 100 200 300 400 500 600 -20 -10 10 20 30 40 50 60 70 80 M o d u lu s S to rag e M Pa Suhu C P1G0 P2G0 P1G1 P2G1 gliserol pada biofoam dengan rasio tapioka:pati asetat 3:2 memiliki perubahan nilai storage modulus yang lebih signifikan dibandingkan biofoam dengan rasio tapioka:pati asetat 4:1. Ini berarti ada interaksi antara penambahan pati asetat dengan gliserol. Sementara itu, biofoam yang mengandung pati asetat lebih sedikit tanpa penambahan gliserol P1G0 nilainya cenderung stabil tidak terpengaruh oleh perubahan suhu. Tampaknya penambahan gliserol lebih berpengaruh dalam mengurangi kekakuan biofoam dibandingkan dengan pengaruh dari penambahan pati asetat. Tangen δ menggambarkan seberapa baik sebuah material dalam menyerap atau meredam energi yang diberikan. Nilainya biasanya bergantung kepada kondisi bahan, suhu dan frekuensi yang digunakan. Semakin tinggi nilai tangen δ maka berarti material atau bahan tersebut lebih banyak meredam energi Gambar 52 dan 53. Keterangan P1 : Rasio tapioka:pati asetat: 80:20 P2 : Rasio tapioka:pati asetat: 60:40 G0 : Konsentrasi gliserol 0 G1 : Konsentrasi gliserol 5 Gambar 52. Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat dan Konsentrasi Gliserol terhadap Nilai Tangen δ untuk Kuat Tekan Biofoam pada Berbagai Tingkat Suhu Untuk pengamatan terhadap nilai tangen δ untuk mode compression Gambar 52 menunjukkan bahwa penambahan gliserol 5 mampu meningkatkan 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 -70 -60 -50 -40 -30 -20 -10 10 20 30 40 50 60 70 80 Tan g e n δ M Pa Suhu C P1G0 P2G0 P1G1 P2G1 nilai tangen δ biofoam secara drastis dibandingkan dengan biofoam yang tidak ditambahkan gliserol. Hal ini berarti kemampuan biofoam untuk menyerap energi atau meredam benturan juga meningkat dengan adanya penambahan gliserol. Sementara itu pada pengamatan nilai tangen δ mode 3 bending Gambar 53, penambahan gliserol pada adonan biofoam dengan pati asetat 40, dapat meningkatkan nilai tangen δ jauh lebih besar dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini berarti untuk parameter 3 bending, selain pengaruh penambahan gliserol, pengaruh penambahan pati asetat juga mampu meningkatkan viskoelastisitas biofoam. Keterangan P1 : Rasio tapioka:pati asetat: 80:20 P2 : Rasio tapioka:pati asetat: 60:40 G0 : Konsentrasi gliserol 0 G1 : Konsentrasi gliserol 5 Gambar 53. Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat dan Konsentrasi Gliserol terhadap Nilai Tangen δ untuk 3 bending Biofoam pada Berbagai Tingkat Suhu Selain melakukan pengukuran terhadap kemampuan viskoelastisitas bahan, pengukuran menggunakan DMTA juga dapat membantu untuk menentukan suhu transisi gelas dari suatu bahan. Nilai T g tersebut umumnya dapat dilihat penurunan nilai storage modulus yang cukup tajam atau dari nilai maksimum atau titik puncak dari nilai tangen δ. Penambahan gliserol selain meningkatkan kemampuan viskoelastisitas juga berfungsi menurunkan titik transisi gelas dari biofoam. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 51 atau 53, bahwa T g dari perlakuan P1G0 maupun 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3 0,35 0,4 -20 -10 10 20 30 40 50 60 70 80 T ang en δ Suhu C P1G0 P2G0 P1G1 P2G1 P2G0 yang tidak mengandung gliserol berada pada kisaran 30-40 C. Sementara pada perlakuan P1G1 maupun P2G1 yang mengandung gliserol, T g menurun menjadi sekitar 10-20 C. Penurunan T g hingga di bawah suhu kamar membuat biofoam lebih fleksibel bila digunakan sebagai kemasan pada suhu ruang. Pengukuran suhu transisi gelas T g menggunakan DMTA umumnya lebih mudah diamati dibandingkan dengan menggunakan DSC. Hasil analisis sifat termal menggunakan DSC sering menimbulkan kesulitan untuk menentukan titik transisi gelas karena tidak terbaca oleh instrumen yang ada. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kondisi proses DSC yang kurang tepat sehingga T g tidak terdeteksi. Sementara itu pengukuran DSC mampu menghitung melting point, titik kristalisasi maupun degradasi yang tidak mampu dilakukan oleh DMTA. Adapun Titik leleh atau Melting Temperature T m untuk formulasi biofoam dapat terbaca dengan jelas di kisaran 135-191 C. Pada biofoam dengan kandungan pati asetat 40, penambahan gliserol mampu menurunkan T m dari 158,42 C menjadi 135,51 C. Sementara itu pada biofoam dengan kandungan pati asetat 20, penambahan gliserol dari 0 menjadi 10 malahan meningkatkan T m dari 162,79 C menjadi 188,79 C Tabel 31. Menurut Arvanitoyannis dan Kassaveti 2009, seringkali sulit untuk menentukan titik transisi gelas pada polimer komposit khususnya pati termoplastis dengan menggunakan DSC. Hal ini disebabkan karena perubahan kapasitas panas yang sangat kecil sehingga tidak terdeteksi oleh DSC. Oleh karena itu biasanya digunakan metode lain dengan menggunakan DMTA yang lebih jelas menggambarkan titik transisi gelas dari puncak tangen δ Averous dan Boquillon, 2004. Sementara itu beberapa peneliti lain Biliaderis, 1992 dan Chinachoti, 1996 menyatakan bahwa DSC kurang cocok digunakan untuk mempelajari suhu transisi glass dari bahan berpati karena kapasitas panas saat transisi tersebut terlalu lemah dan tertutup oleh proses endotermi saat gelatinisasi. Bila diamati nilai ΔH atau entalpi yang diperoleh, terlihat bahwa peningkatan konsentrasi gliserol berpengaruh terhadap penurunan nilai entalpi. Adapun pengaruh dari perbedaan rasio pati asetat maupun jenis sizing agent yang digunakan tampaknya kurang berpengaruh terhadap perbedaan nilai entalpi tersebut. Nilai entalpi akan semakin tinggi bila terdapat interaksi yang kuat antara bahan-bahan yang dicampurkan Hourston dan Song, 2006. Hal ini disebabkan karena lebih banyak energi yang dibutuhkan untuk memisahkan ikatan tersebut agar proses melting dapat terjadi. Penambahan plastisizer tampaknya mampu mengurangi energi tersebut karena plastisizer dapat mengurangi kekuatan ikatan hidrogen yang ada sehingga energi yang dibutuhkan juga akan berkurang. Hal ini sejalan dengan penelitian Xie et al. 2011 yang menyatakan bahwa penambahan plastisizer akan berpengaruh terhadap proses transformasi granula, degradasi molekul serta melemahkan interaksi antar molekul pati. Tabel 31. Nilai T g dan T m pada pengukuran DSC Biofoam dengan Penambahan Pati Asetat, Sizing agent dan Gliserol No Perlakuan ΔH Entalpi mJ T g C T m 1 C T m 2 C 1 P1S1G0 -663,66 td 162,79 - 2 P1S1G1 -300,42 td 191,46 - 3 P1S1G2 -286,71 td 188,79 - 4 P1S2G0 -422,16 td 175,61 - 5 P1S2G2 -322,04 td 172,59 199,25 6 P2S1G0 -600,02 td 158,42 - 7 P2S2G1 -300,68 td 176,55 - 8 P2S2G2 -333,53 td 135,51 - td: tidak terdeteksi Keterangan : P1 : Rasio tapioka:pati asetat: 80:20 G0 : Gliserol 0 P2 : Rasio tapioka:pati asetat: 60:40 G1 : Gliserol 5 S1 : Sizing agent A G2 : Gliserol 10 S2 : Sizing agent B Parameter terakhir yang diamati untuk menentukan kualitas biofoam adalah biodegradabilitasnya. Karakterisasi sifat biodegradabilitas biofoam ini seperti pada tahapan sebelumnya meliputi biodegradabilitas secara kualitatif dan kuantitatif. Pada Gambar 54 terlihat bahwa persentase pati asetat yang lebih tinggi cenderung lebih sulit ditumbuhi kapang, hal ini disebabkan karena gugus asetil yang ada pada pati asetat sulit didegradasi oleh kapang. Sementara itu penambahan gliserol pada biofoam yang lebih banyak mengandung pati asetat cenderung akan menekan pertumbuhan kapang, karena kapang A. niger tidak mampu mendegradasi gliserol seperti halnya pati. Hasil uji statistik menunjukan bahwa penambahan pati asetat dan konsentrasi gliserol berpengaruh terhadap pertumbuhan kapang, sementara sizing agent tidak berpengaruh Lampiran 30. Keterangan : P1 : Rasio tapioka:pati asetat: 80:20 S1 : Sizing agent A P2 : Rasio tapioka:pati asetat: 60:40 S2 : Sizing agent B Gambar 54. Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing Agent dan Gliserol terhadap Pertumbuhan Kapang pada Permukaan Biofoam Analisis biodegradabilitas lainnya adalah secara kuantitatif dengan mengukur kadar gula pereduksi yang ada pada biofoam. Analisis gula pereduksi ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan biofoam untuk didegradasi oleh enzim khususnya enzim amilase dan selulase. Semakin tinggi kadar gula pereduksi yang dapat diperoleh berarti kemampuan enzim amilase dan selulase semakin besar untuk mendegradasi biofoam tersebut yang berarti biodegradabilitasnya juga meningkat. Adapun hasil pengukuran sebagaimana tersaji pada Gambar 55 menunjukkan bahwa penambahan pati asetat, sizing agent dan gliserol tidak 0,00 10,00 20,00 30,00 40,00 50,00 60,00 5 10 P e rtu m b u h a n K a p a n g Konsentrasi Gliserol P2S2 P1S1 P2S1 P1S2 berpengaruh terhadap kadar gula pereduksi. Hal tersebut juga didukung oleh hasil analisa statistik yang juga menyimpulkan bahwa semua faktor perlakuan dan interaksinya tidak berpengaruh nyata terhadap kadar gula pereduksi Lampiran 31. Keterangan : P1 : Rasio tapioka:pati asetat: 80:20 S1 : Sizing agent A P2 : Rasio tapioka:pati asetat: 60:40 S2 : Sizing agent B Gambar 55. Pengaruh Rasio Tapioka:Pati Asetat, Sizing agent dan Gliserol terhadap Biodegradabilitas Biofoam Secara Enzimatis Dari semua parameter yang diamati pada tahap ini terlihat bahwa terdapat beberapa perbedaan yang signifikan dibandingkan dengan hasil pada tahapan sebelumnya, khususnya densitas dan kadar air yang cukup jauh menurun. Sementara itu bila dibandingkan semua perlakuan yang dicobakan pada tahapan ini, maka perlakuan yang terbaik adalah perlakuan P2S2G1, dimana komposisinya adalah rasio tapioka:pati asetat 3:2, dengan menggunakan sizing agent carvacrol dan konsentrasi gliserol 5. Dipilihnya formula ini karena hasil pengamatan terhadap karakteristiknya memberikan nilai contact angle dan kuat tarik yang tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Namun demikian bila dilihat dari pertumbuhan kapang maka formula tersebut cenderung menghambat pertumbuhan kapang, sehingga berakibat pada penurunan kemampuan biodegradabilitasnya. Sebaliknya, bila kita menginkan kemasan yang 100 biodegradable, harus diimbangi dengan rendahnya hidrofobisitas atau sifat mekanisnya. Oleh karena itu, 0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 14,00 16,00 18,00 20,00 5 10 Bi od e g ra d a b il it a s En zi m a ti s Gu la P e re d u k si Konsentrasi Gliserol P1S2 P2S2 P1S1 P2S1 pemilihan formula terbaik dari semua tahapan penelitian bergantung pada tujuan utama apakah menghasilkan kemasan yang dapat terurai 100 ataukah tidak 100 tetapi memiliki sifat mekanis serta ketahanan terhadap air yang cukup tinggi. Produk biofoam hasil penelitian terbaik pada tahapan ini P2S2G1 dibandingkan dengan styrofoam seperti tersaji pada Tabel 32, memiliki kuat tekan dan daya serap air yang tidak berbeda nyata dengan styrofoam. Sedangkan untuk parameter kuat tarik dan pertumbuhan kapang, nilainya lebih baik. Ini berarti kemasan biofoam dapat digunakan sebagai kemasan alternatif pengganti styrofoam karena memiliki sifat mekanis maupun sifat fisik yang mendekati styrofoam. Penggunaan biofoam dapat mengurangi pemakaian styrofoam sebagai wadah kemasan pangan yang lebih ramah lingkungan. Tabel 32. Uji T untuk Formulasi Terbaik P2S2G1 Dibandingkan dengan Styrofoam Parameter Styrofoam P2S2G1 Signifikansi Kadar air 0,83 3,03 0.033 Densitas gcm 3 0,04 0,42 0.000 Kecerahan 89,83 77,70 0,001 Nilai Hue 93,18 82,84 0,000 Daya Serap Air 26,12 42,95 0.095 Kuat Tekan Nmm 2 29,12 31,80 0.173 Kuat Tarik Nmm 2 29,16 52,64 0.002 Pertumbuhan Kapang 6,67 15,00 0,038 Gula pereduksi 2,21 14,91 0.002 Catatan : angka yang dicetak tebal menunjukkan tidak ada beda yang signifikan antara styrofoam dan biofoam P2S2G1

4.4. Analisis Nilai Tambah Tapioka dan Ampok sebagai Bahan Baku Biofoam

Perhitungan nilai tambah dilakukan untuk mengetahui nilai tambah dari tapioka dan ampok sebagai bahan baku utama pembuatan biofoam. Adapun formula yang digunakan adalah hasil terbaik dari penelitian ini yaitu P2S2G1. Perhitungan nilai tambah dilakukan dengan menggunakan beberapa asumsi yaitu : 1. Kebutuhan bahan baku berupa campuran tapioka, ampok, PVOH, pati asetat, dan bahan tambahan lainnya yang jumlahnya 120 kghari 2. Harga bahan baku tapioka Rp. 6.000kg sedangkan ampok Rp. 1.500kg 3. Jumlah produksi 2000 tray per hari atau setara 120 kg adonan 4. Harga jual biofoam Rp. 400buah atau Rp. 6666,67kg 5. Jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan 4 HOKhari 6. Upah tenaga kerja Rp 48.000HOK Hasil perhitungan nilai tambah pada industri kemasan biofoam berbahan baku tapioka dan ampok seperti tersaji pada Tabel 33 menunjukkan bahwa industri biofoam dapat memberi nilai tambah pada tapioka sebesar 14,33 sedangkan pada ampok mencapai 71,44. Adapun tingkat keuntungan yang diperoleh sebesar 8,57 untuk tapioka dan 65,68 bila dilihat dari sisi penggunaan ampok. Dengan demikian, industri kemasan biofoam ini dapat memberikan manfaat dan nilai tambah yang besar bagi tapioka dan ampok produk samping industri tepung jagung. Selain itu hal yang utama adalah menyediakan kemasan alternatif pengganti styrofoam yang ramah lingkungan dan aman bagi kesehatan. Manfaat lainnya adalah membuka kesempatan kerja bagi masyarakat sekitar.