Pengaruh Penambahan Ampok sebagai Sumber Serat Terhadap Karakteristik Biofoam
parameter kadar air, hasil analisis menunjukkan bahwa kadar air biofoam berkisar antara 6,21-8,40 Tabel 11. Nilai ini jauh lebih tinggi dari styrofoam yang
kurang dari 1, namun demikian, nilai yang diperoleh masih lebih rendah bila dibandingkan dengan biofoam yang dihasilkan oleh Salgado et al 2008 yang
berkisar 9,74-10,81 dan Kaisangsri et al. 2011 yang berkisar 9,32-9,81. Perbedaan nilai kadar air ini dapat disebabkan oleh komposisi bahan, proses dan
kondisi penyimpanan. Bila dibandingkan dengan styrofoam maka kadar air foam berbasis pati ini jauh lebih tinggi karena produk biofoam memang secara alami
bersifat hidrofilik yang berasal dari sifat alami pati yang bersifat higroskopis sehingga akan menyerap kelembaban dari lingkungannya Glenn dan Hsu, 1997;
Soykeabkaew et al., 2004. Dengan penambahan ampok mulai dari 0 hingga 75 dari berat bahan kering
adonan, maka jumlah serat yang terkandung pada adonan berkisar 0-6 karena kadar serat ampok sekitar 8 Tabel 7. Penambahan konsentrasi ampok tidak
hanya meningkatkan kadar serat tetapi juga berarti meningkatkan kadar protein dan lemak yang bersifat lebih hidrofobik dibandingkan pati.
Hasil uji statistik seperti tersaji pada Tabel 11 dan Lampiran 2 menunjukkan bahwa peningkatan kadar serat berpengaruh terhadap penurunan kadar air pada
kelompok biofoam yang tidak ditambahkan PVOH. Hal tersebut kemungkinan besar disebabkan karena semakin banyak ampok yang ditambahkan berarti semakin
tinggi kadar serat yang terkandung dalam adonan pembuatan biofoam. Tabel 11. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Kadar Air Biofoam
Rasio Tapioka:Ampok Penambahan PVOH
30 4 : 0
8,01
ab
6,85
a
3 : 1 8,40
a
6,29
a
2 ; 2 7,28
ab
6,29
a
1 : 3 6,21
b
7,32
a
Rata-rata Kelompok 7,48
A
6,69
A
Keterangan : -
Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan antar perlakuan
- Huruf besar yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang
signifikan antar kelompok
Menurut penelitian Benezet et al. 2011, peningkatan konsentrasi serat dapat mengurangi kadar air biofoam yang dihasilkan. Hal tersebut juga didukung oleh
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Lawton et al. 2004, Guan dan Hanna 2006, Salgado et al. 2008.
Hal sebaliknya, peningkatan rasio tapioka:ampok cenderung meningkatkan kadar air pada kelompok biofoam yang ditambahkan dengan PVOH 30. Diduga
hal tersebut disebabkan karena PVOH juga memiliki gugus hidroksil bebas yang tinggi sehingga akan turut mengikat molekul air yang ada. Akibatnya, molekul air
tidak hanya terikat pada pati dan serat tetapi juga pada PVOH Sin et al., 2010. Hal ini juga jelas terlihat pada Gambar 14 yang menunjukkan hubungan antara
rasio tapioka:ampok serta konsentrasi PVOH terhadap kadar air biofoam.
Gambar 14. Pengaruh Kadar Serat Terhadap Kadar air Biofoam Parameter lain yang menjadi hal penting yang menentukan sifat hidrofobisitas
bahan adalah daya serap air. Adapun hasil pengamatan terhadap daya serap air seperti tersaji pada Tabel 12 dan Gambar 15, menunjukkan bahwa penambahan
ampok hingga 50, dapat menurunkan daya serap air pada biofoam yang tidak ditambahkan PVOH. Namun, pada biofoam yang ditambahkan dengan PVOH
sebesar 30, peningkatan proporsi ampok ternyata tidak berpengaruh pada penurunan daya serap air Lampiran 3.
y = -0,088x
2
+ 0,197x + 8,132 R² = 0,959
y = 0,099x
2
- 0,524x + 6,873 R² = 0,985
0,00 1,00
2,00 3,00
4,00 5,00
6,00 7,00
8,00 9,00
2 4
6
K a
d a
r A
ir
Kadar Serat
PVOH 0 PVOH 30
Styrofoam
Tabel 12. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Daya Serap Air Biofoam Rasio Tapioka:Ampok
Penambahan PVOH 30
4 : 0 59,48
b
35,67
a
3 : 1 40,03
a
26,05
a
2 ; 2 36,80
a
35,39
a
1 : 3 44,71
a
30,57
a
Rata-rata Kelompok 45,26
B
31,92
A
Keterangan : -
Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan antar perlakuan
- Huruf besar yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang
signifikan antar kelompok
Penambahan serat mampu meningkatkan kristalinitas dari produk biofoam yang dihasilkan. Diduga, hal ini disebabkan karena serat yang kandungan utamanya
selulosa, memiliki daerah kristalin yang lebih besar dibandingkan pati disamping struktur mikrofibril yang lebih rapat sehingga proses penyerapan air akan terhambat
dan kondisi ini akan berimbas pada daya serap air produk biofoam yang dihasilkan yang juga akan berkurang Ban et al., 2006; Yu dan Chen, 2009.
Penambahan PVOH sebesar 30 mampu menurunkan daya serap air biofoam hingga 25 pada biofoam yang tidak ditambahkan serat. Namun
demikian, penambahan PVOH menjadi tidak berpengaruh terhadap penurunan daya serap air pada biofoam dengan kadar serat yang tinggi. Hal ini disebabkan karena
sebagian air yang ditambahkan pada adonan tidak hanya terikat pada PVOH tetapi juga pada serat yang ada.
Gambar 15. Pengaruh Kadar Serat Terhadap Daya Serap Air Biofoam
y = 1,709x
2
- 12,63x + 59,23 R² = 0,995
y = -0,298x + 32,81 R² = 0,028
0,00 10,00
20,00 30,00
40,00 50,00
60,00 70,00
2 4
6
Da y
a Se
ra p
A ir
Kadar Serat
PVOH 0 PVOH 30
Styrofoam
Adapun perlakuan terbaik pada parameter ini adalah yang memiliki daya serap air terendah yaitu perlakuan dengan penambahan ampok 25 dan
ditambahkan PVOH 30. Dengan nilai serap air sebesar 26,05. Nilai ini bila dibandingkan dengan beberapa penelitian sebelumnya, lebih kecil dibandingkan
dengan penelitian Vercelheze et al.2011 yang berkisar 50-100. Selanjutnya bila dibandingkan dengan styrofoam maka nilai DSA biofoam ini tidak berbeda dengan
nilai DSA pada styrofoam yang juga berkisar 26. Penambahan ampok dan PVOH selain berdampak positif terhadap
peningkatan hidrofobisitas biofoam, ternyata cenderung berpengaruh negatif terhadap sifat fisik lainnya yaitu densitas seperti yang tersaji pada Tabel 13 dan
Gambar 16. Namun demikian, hasil analisa statistik menunjukkan perbedaan rasio tapioka:ampok tidak berpengaruh signifikan terhadap densitas Lampiran 4.
Penambahan ampok dan PVOH ke dalam adonan akan meningkatkan viskositas adonan karena ampok dan PVOH akan menyerap sebagian besar air yang
ditambahkan pada adonan sehingga adonan menjadi kental dan menghambat kemampuan untuk mengembang karena jumlah air yang dibutuhkan sebagai
blowing agent juga berkurang. Dengan berkurangnya kemampuan ekspansi maka
produk biofoam yang dihasilkan akan lebih padat dengan densitas yang tinggi. Hasil ini juga tidak jauh berbeda dengan apa yang diperoleh oleh Cinelli et al.
2006 dengan menambahkan serat jagung pada pati kentang. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa penambahan serat akan menyebabkan robeknya dinding sel
dari gelembung udara yang terbentuk pada proses ekspansi, Akibatnya proses ekspansi tidak berjalan sempurna Lue et al., 1990. Terganggunya proses ekspansi
ini akan berdampak pada porositas biofoam sehingga berakibat pada meningkatnya densitas pada biofoam yang dihasilkan. Sementara itu menurut Nabar et al. 2005,
peningkatan densitas biofoam karena penambahan serat disebabkan karena campuran pati dan serat menghasilkan adonan yang kaku yang tidak mendukung
timbulnya gelembung udara yang dibutuhkan untuk proses ekspansi. Bila dibandingkan dengan densitas styrofoam yang sebesar 0,035 gcm
3
maka densitas biofoam yang dihasilkan pada penelitian ini masih cukup tinggi. Densitas biofoam pada penelitian ini berkisar 0,26-0,45 gcm
3
. Densitas biofoam
ini juga masih lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Cinelli et al. 2006 yang berkisar 0,13-0,23 gcm
3
dengan menggunakan tepung kentang yang dicampur dengan serat jagung dan polivinil alkohol. Namun bila dibandingkan dengan
penelitian Salgado et al. 2007 yang juga menggunakan tapioka sebagai bahan bakunya, maka nilai densitas biofoam ini masih lebih rendah. Salgado et al
menggunakan bahan baku tambahan berupa selulosa dan isolat protein dari bunga matahari, dan menghasilkan biofoam dengan densitas 0,45-0,58 gcm
3
. Sementara itu, Scmidt dan Laurindo 2010 yang juga menggunakan bahan baku tapioka, serat
selulosa dan CaCO
3
menghasilkan foam dengan densitas 0,63-1,3 gcm
3
. Tabel 13. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Densitas gcm
3
Biofoam Rasio Tapioka:Ampok
Penambahan PVOH 30
4 : 0 0,26
a
0,42
a
3 : 1 0,33
ab
0,42
a
2 ; 2 0,37
ab
0,45
a
1 : 3 0,42
b
0,45
a
Rata-rata Kelompok 0,34
A
0,43
B
Keterangan : -
Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan antar perlakuan
- Huruf besar yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang
signifikan antar kelompok
Gambar 16. Pengaruh Kadar Serat Terhadap Densitas Biofoam
y = 0,026x + 0,265 R² = 0,986
y = 0,006x + 0,413 R² = 0,809
0,00 0,10
0,20 0,30
0,40 0,50
0,60
2 4
6
De n
si ta
s g
cm
3
Kadar Serat
PVOH 0 PVOH 30
Styrofoam
Sebagai produk kemasan, biofoam diharapkan memiliki densitas yang rendah karena akan berpengaruh terhadap bobot produk secara keseluruhan. Selain
itu, densitas juga berpengaruh terhadap beberapa parameter lainnya seperti daya serap air dan sifat mekanisnya. Pada Gambar 17 terlihat bahwa semakin tinggi
densitas biofoam maka daya serap airnya akan semakin rendah.
Gambar 17. Korelasi antara Densitas dan Daya Serap Air pada Biofoam Pada proses pembuatan biofoam, proses ekspansi yang terjadi akan
menghasilkan struktur yang berongga. Apabila biofoam tersebut dicelupkan ke dalam air, maka air yang ada akan mengisi rongga-rongga tersebut, akibatnya daya
serap air akan meningkat. Namun bila ke dalam adonan ditambahkan serat maka rongga yang terbentuk akan mengecil karena terhambatnya proses ekspansi.
Akibatnya air yang terserap mengisi rongga tersebut juga semakin sedikit sehingga nilai DSA juga berkurang. Hal ini sejalan dengan penelitian Sjoqvist et al. 2010
yang menyebutkan bahwa jumlah air yang diserap pada tahap awal berhubungan dengan porositas biofoam, makin tinggi porositas makin banyak air yang akan
diserap untuk mengisi rongga-rongga yang terbentuk selama proses ekspansi. Namun demikian, untuk biofoam yang ditambahkan dengan PVOH
sebanyak 30, kondisi tersebut tidak terjadi karena sebagian besar rongga yang terbentuk akan terisi oleh lelehan polimer sehingga biofoam menjadi padat dan air
y = 866,9x
2
- 740,4x + 192,0 R² = 0,719
10 20
30 40
50 60
70
0,20 0,25
0,30 0,35
0,40 0,45
0,50
Da y
a Se
ra p
A ir
Densitas gcm
3
akan sulit menyerap ke dalam biofoam. Hal ini didukung oleh penelitian Vercelheze et al. 2012 yang menyatakan bahwa penambahan serat akan
menyebabkan densitas meningkat dan porositas menurun sehingga penyerapan air juga akan menurun.
Parameter berikutnya yang diamati adalah warna yang meliputi tingkat kecerahan dan nilai
Hue. Tingkat kecerahan diperoleh dari pengukuran nilai L dengan menggunakan chromameter. Nilai L berkisar dari 0 hingga 100, dimana 0
menggambarkan warna hitam sementara 100 menggambarkan warna putih. Sementara itu, pengukuran nilai
Hue diperoleh dari perhitungan nilai a dan b, dimana nilai a menggambarkan warna merah a+ hingga hijau a- dan nilai b
menggambarkan warna kuning b+ hingga biru b-. Pada Tabel 14 dan Gambar 18 terlihat bahwa peningkatan rasio ampok
berpengaruh terhadap penurunan tingkat kecerahan biofoam. Namun demikian, hasil uji statistik menunjukkan bahwa perbedaan rasio tapioka:ampok tidak
berpengaruh terhadap tingkat kecerahan biofoam Lampiran 5. Tabel 14. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Tingkat Kecerahan Biofoam
Rasio Tapioka:Ampok Penambahan PVOH
30 4 : 0
88,16
a
87,18
a
3 : 1 79,86
a
85,36
a
2 ; 2 79,92
a
81,99
a
1 : 3 78,15
a
79,67
a
Rata-rata Kelompok 81,52
A
83,55
A
Keterangan : -
Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan antar perlakuan
- Huruf besar yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang
signifikan antar kelompok
Ampok memiliki pigmen beta karoten berwarna kuning yang dapat menjadi salah satu faktor penyebab perubahan warna. Selain itu, ampok juga mengandung
protein dan lemak yang cukup tinggi sehingga berpengaruh terhadap warna produk yang dihasilkan karena kadar protein yang terlalu tinggi dapat menimbulkan burned
effect akibat proses denaturasi protein selama proses pemanasan. Hal ini juga
dijelaskan oleh penelitian Glenn et al. 2001 yang menyatakan bahwa biofoam yang mengandung protein akan menghasilkan biofoam dengan warna kecoklatan
bila proses pembakarannya dilakukan pada suhu di atas 200 C.
Selain pengukuran tingkat kecerahan, parameter warna lain yang juga diukur adalah nilai
Hue yang menggambarkan tingkat intensitas warna. Hasil pengukuran dengan menggunakan chromameter menghasilkan nilai a dan b yang kemudian
dihitung dan diplotkan pada diagram Munsell untuk mengetahui kategori warna yang dihasilkan. Adapun hasil perhitungan nilai
Hue seperti tersaji pada Tabel 15 menunjukkan bahwa kisaran nilai
Hue biofoam berkisar 89,52 hingga 98,75
atau berada pada wilayah berwarna kekuningan yang memiliki kisaran 75-105
. Hasil uji statitistik pada Lampiran 6, juga menunjukkan bahwa perbedaan rasio
tapioka:ampok tidak berpengaruh nyata terhadap perbedaan nilai Hue biofoam.
Gambar 18. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Tingkat Kecerahan Biofoam
A1B1
A3B1 A2B1
A4B1
Tabel 15. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Nilai Hue Biofoam
Rasio Tapioka:Ampok Penambahan PVOH
30 4 : 0
98,75
a
94,50
a
3 : 1 89,94
a
98,17
a
2 ; 2 91,88
a
90,50
a
1 : 3 90,51
a
89,52
a
Rata-rata Kelompok 92,77
A
93,17
A
Keterangan : -
Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan antar perlakuan
- Huruf besar yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang
signifikan antar kelompok
Selain berpengaruh terhadap sifat fisik, penambahan ampok juga berpengaruh terhadap karakteristik lainnya seperti sifat mekanik dan biodegradabilitas Lawton
et al. , 2004; Shogren et al., 2002 dan Soykeabkaew et al., 2004 . Pengamatan sifat
mekanis yang dilakukan pada penelitian ini meliputi kuat tekan dan kuat tarik. Hal tersebut dilakukan untuk mengetahui kekuatan biofoam untuk melindungi produk
yang akan dikemas. Sebagai kemasan alternatif yang diharapkan dapat menggantikan fungsi styrofoam maka biofoam harus memiliki elastisitas yang
cukup baik agar kuat menahan benturan dari luar tanpa melukai produk yang dikemasnya. Selain itu, biofoam juga harus mampu mempertahankan bentuknya
selama digunakan sebagai wadah kemasan. Pengukuran terhadap kuat tekan dan kuat tarik dilakukan dengan
menggunakan texture analyzer. Pada Tabel 16 dan Gambar 19 terlihat bahwa biofoam yang tidak ditambahkan ampok memiliki kuat tekan yang setara dengan
styrofoam . Namun demikian, upaya penambahan serat untuk meningkatkan kuat
tekannya menghasilkan kondisi sebaliknya yaitu penurunan kuat tekan. Oleh karena itu dilakukan penambahan polimer sintetik PVOH untuk menekan penurunan kuat
tekan tersebut. Penurunan kuat tekan karena penambahan serat ini sedikit bertentangan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa
penambahan serat dapat memperkuat struktur biofoam. Menurut Gaspar et al. 2005, penambahan serat hingga 15 dapat bersifat sebagai reinforcing filler
karena serat yang ditambahkan akan mengisi celah pada matriks pati yang
terbentuk. Namun demikian, jumlah serat yang terlalu besar 30 akan menyebabkan serat tidak terdistribusi secara merata pada matriks pati dan
menyebabkan penurunan kekuatan Lawton et al., 2004. Diduga hal ini disebabkan karena perbedaan kompatibilitas antara tapioka dengan ampok yang
semakin besar dengan peningkatan rasio ampok. Oleh karena itu, untuk mengurangi perbedaan kompatibilitas yang cukup besar tersebut maka tapioka dan
ampok harus dicampur secara merata baik saat sebelum pencetakan maupun saat pencetakan. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi beda fasa adalah
dengan pengecilan ukuran, penambahan kompatibiliser, proses pengadukan yang intensif serta penentuan kondisi proses yang tepat.
Tabel 16. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Kuat Tekan Nmm
2
Biofoam Rasio Tapioka:Ampok
Penambahan PVOH 30
4 : 0 27,31
c
32,51
b
3 : 1 10,94
b
13,35
a
2 ; 2 5,40
a
15,19
a
1 : 3 6,14
a
19,07
a
Rata-rata Kelompok 12,45
A
20,03
B
Keterangan : -
Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan antar perlakuan
- Huruf besar yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang
signifikan antar kelompok
Serat alami seperti selulosa, umumnya mengalami dekomposisi tanpa atau sebelum mencapai titik cairnya ketika dipanaskan. Akibatnya, dengan kondisi suhu
yang cukup tinggi kemungkinan sebagian serat sudah mengalami degradasi sehingga tidak dapat berfungsi sebagai reinforcing filler. Selain itu, biofoam yang
ditambahkan selulosa dalam jumlah yang cukup besar akan menghasilkan produk dengan lubang-lubang cavities yang dapat mempengaruhi sifat mekanisnya
Schmidt, 2006. Penambahan serat dalam jumlah yang cukup besar akan menyebabkan serat
tidak terdistribusi secara merata pada permukaan biofoam. Hal ini disebabkan karena rendahnya kompatibilitas antara pati dan selulosa. Hal ini berakibat pada
menumpuknya serat pada bagian tertentu yang menyebabkan berkurangnya kuat tekan dari biofoam. Beberapa upaya yang dapat dilakukan adalah dengan
pengecilan ukuran serat, dengan penambahan kompatibilizer, dan dengan proses pencampuran yang intensif agar campuran kedua bahan lebih homogen. Menurut
Takagi dan Ichihara 2004, ukuran serat berpengaruh terhadap kemampuannya untuk meningkatkan sifat mekanik biofoam. Serat dengan ukuran 15 mm
merupakan nilai kritis. Serat yang terlalu panjang akan menyulitkan proses pendispersian ke dalam adonan. Sementara itu Cinelli et al. 2006, menyebutkan
bahwa serat jagung yang berbentuk bulat cenderung tidak mampu memperbaiki kuat tekan biofoam.
Gambar 19 Pengaruh Kadar Serat Terhadap Kuat Tekan Biofoam Penambahan PVOH menurut beberapa penelitian mampu meningkatkan sifat
mekanis biofoam. Menurut Rahmat et al. 2009, pati dan PVOH masing-masing memiliki gugus hidroksil yang besar yang akan saling berinteraksi melalui ikatan
hidrogen. Adanya penambahan PVOH akan memperkuat struktur yang lemah dari pati serta meningkatkan ketahanannya terhadap suhu proses yang tinggi Fishman
et al., 2006.
Parameter sifat mekanis lain yang diamati pada penelitian ini adalah kuat tarik. Seperti halnya kuat tekan, penambahan serat diharapkan mampu
memperbaiki kuat tarik. Namun demikian, hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa penambahan serat cenderung menurunkan kuat tariknya seperti tersaji pada
Tabel 17 dan Gambar 20. Adapun hasil analisis statistik tersaji pada Lampiran 8.
y = 1,069x
2
- 9,869x + 27,08 R² = 0,996
y = 0,814x
2
- 7,314x + 33,06 R² = 0,963
0,00 5,00
10,00 15,00
20,00 25,00
30,00 35,00
40,00
2 4
6
K u
a t
Te k
a n
Nm m
2
Kadar Serat
PVOH 0 PVOH 30
Styrofoam
Berdasarkan Gambar 20 terlihat bahwa ada korelasi negatif antara antara kadar serat terhadap kuat tarik biofoam. Semakin tinggi kadar serat maka kuat
tariknya cenderung juga berkurang. Seperti halnya pada kuat tekan, penurunan kuat tarik ini kemungkinan besar disebabkan karena tidak terdisribusinya serat
secara merata pada matriks polimer. Selain itu, penyebab lainnya adalah rendahnya gaya adhesi antara serat dengan pati sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan
fasa antara pati dan serat Buzarovska et al., 2008. Namun demikian, penurunan kekuatan tarik tersebut dapat dicegah dengan menambahkan polimer sintetik
PVOH. Hal ini tampak pada Gambar 20, dimana pada kadar serat yang sama, penambahan PVOH dapat meningkatkan kuat tarik biofoam Hal ini sejalan dengan
penelitian Siddaramaiah et al. 2003 yang melaporkan bahwa penambahan PVOH akan meningkatkan sifat mekanis khususnya tensile dan elongasi.
Tabel 17. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Kuat Tarik Nmm
2
Biofoam Rasio Tapioka:Ampok
Penambahan PVOH 30
4 : 0 41,00
c
43,24
a
3 : 1 38,98
bc
41,82
a
2 ; 2 32,32
ab
38,47
a
1 : 3 27,91
a
37,63
a
Rata-rata Kelompok 35,05
A
40,29
A
Keterangan : -
Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan antar perlakuan
- Huruf besar yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang
signifikan antar kelompok
Gambar 20. Pengaruh Kadar Serat Terhadap Kuat Tarik Biofoam
y = -0,148x
2
- 1,403x + 41,34 R² = 0,978
y = 0,036x
2
- 1,226x + 43,46 R² = 0,954
0,00 10,00
20,00 30,00
40,00 50,00
60,00
2 4
6
K u
a t
Ta ri
k Nm
m
2
Kadar Serat
PVOH 0 PVOH 30
Styrofoam
Selanjutnya, bila kita membandingkan nilai kuat tarik biofoam terhadap styrofoam
, terlihat bahwa kuat tarik biofoam ini masih lebih tinggi. Namun, sejalan dengan peningkatan kadar serat akibat penambahan ampok maka kuat
tariknya akan terus berkurang bila tidak dilakukan penambahan polimer sintetik yaitu PVOH.
a Tapioka:Ampok = 4: 0
b Tapioka:Ampok = 1:3 Perbesaran 16 X
Perbesaran 12 X Gambar 21. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Struktur Morfologi Irisan
Melintang Biofoam Tampaknya, sifat mekanis dari biofoam dipengaruhi oleh struktur
morfologinya, hal tersebut dapat dilihat dari hasil SEM irisan melintang dari biofoam seperti tersaji pada Gambar 21. Struktur biofoam dengan rongga yang
besar dan dinding sel yang tipis akan berpengaruh terhadap kuat tekan dari biofoam tersebut. Semakin banyak dan besar ukuran rongga yang terbentuk akan
menyebabkan menurunnya kekuatan biofoam untuk menerima tekanan. Penambahan serat umumnya menyebabkan rongga yang terbentuk semakin besar
dengan bentuk tidak beraturan seperti terlihat pada Gambar 21b di atas. Pada gambar tersebut terlihat penampang melintang dari permukaan biofoam
menunjukkan bentuk sandwich dimana pada bagian luar atau permukaan terdiri dari sel berukuran kecil dan rapat sedangkan pada bagian tengahnya terdiri dari sel
berukuran besar. Hal ini sejalan dengan penelitian Cinelli et al. 2006 yang juga menggambarkan adanya bentuk sandwich pada pengamatan melintang biofoam.
Selain itu, tampak pula lubang-lubang yang terbentuk sebagai tempat keluar uap air selama proses ekspansi. Semakin banyak lubang-lubang yang terbentuk maka kuat
tekan dari biofoam akan berkurang karena tidak ada yang dapat menahan besarnya tekanan yang diberikan pada permukaan biofoam. Hal ini sejalan dengan penelitian
Soykeabkaew et al. 2004 yang menyebutkan bahwa struktur berongga umumnya memiliki kuat tekan yang rendah karena rongga yang ada terbentuk umumnya
memiliki dinding sel yang tipis sehingga akan mudah hancur bila diberi tekanan. Struktur morfologi juga akan berpengaruh terhadap karakteristik fisik
biofoam khususnya densitas dan daya serap air. Struktur dengan ukuran rongga yang besar dan banyak akan menghasilkan biofoam dengan densitas yang rendah.
Namun demikian, hal tersebut juga akan berpengaruh pada daya serap airnya. Semakin banyak rongga maka kemampuan daya serap airnya juga akan semakin
besar. Hal ini sejalan dengan penelitian Milladinov dan Hanna 2001 yang menyatakan semakin banyak sel yang terbentuk selama prtoses ekspansi maka luas
permukaan area juga akan bertambah dan hal tersebut akan berpengaruh terhadap daua serap airnya
. Penambahan serat akan menghasilkan struktur morfologi yang
lebih padat karena serat yang ada akan menyerap air lebih besar dan berakibat pada peningkatan viskositas adonan. Hal ini akan berdampak pada kemampuan ekspansi
biofoam tersebut. Semakin kental maka kemampuan ekspansi akan semakin rendah dan biofoam yang dihasilkan semakin padat dengan densitas yang rendah.
Penambahan PVOH juga akan meningkatkan densitas biofoam, namun demikian penambahan PVOH malahan akan meningkatkan kuat tekan biofoam.
Hal ini disebabkan karena selama proses pencetakanran, PVOH akan meleleh dan lelehannya tersebut akan mengisi rongga-rongga yang terbentuk selama proses
ekspansi. Kondisi ini juga didukung hasil SEM pada Gambar 22 yang menunjukkan struktur morfologi biofoam dengan dan tanpa penambahan PVOH.
a PVOH 0 Perbesaran 16 X b PVOH 30 Perbesaran 15 X Gambar 22. Pengaruh Penambahan PVOH terhadap Struktur Morfologi Irisan
Melintang Biofoam
Pada Gambar 22 terlihat bahwa biofoam yang tidak ditambahkan PVOH cenderung memiliki lubang yang cukup besar. Namun demikian bila ditambahkan
PVOH sebanyak 30, rongga tersebut menjadi terisi oleh lelehan PVOH. Selain itu, tampaknya sel-sel yang dihasilkan juga menjadi lebih padat sehingga
menyebabkan kuat tekannya akan bertambah dengan penambahan PVOH tersebut. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian He et al. 2004 yang menyebutkan bahwa
bila PVOH dan pati dicampurkan maka gugus hidroksil yang ada akan membentuk ikatan hidrogen yang kuat sehingga menghasilkan struktur yang stabil kompak dan
akan berpengaruh pada peningkatan kuat tekannya. Dengan demikian, penambahan serat pada pembuatan biofoam harus
dilakukan dalam jumlah yang tepat serta diikuti dengan penambahan polimer sintetik agar dapat berfungsi sebagai reinforcing filler. Selain itu, penambahan
compatibilizer , pengecilan ukuran serat serta proses pengadukan yang lebih intensif
harus dilakukan agar perbedaan kompatibilitas dapat dikurangi. Sebagai kemasan ramah lingkungan, tentunya produk biofoam harus mudah
didegradasi secara alamiah sehingga perlu dilakukan pengamatan terhadap tingkat biodegradabilitas biofoam tersebut. Adapun cara pengukuran yang digunakan
adalah secara kualitatif dan kuantitatif. Adapun hasil pengamatan serta analisis statistik terhadap pertumbuhan kapang sebagaimana terdapat pada Tabel 18,
Gambar 23 dan 24 serta pada Lampiran 9.
Gambar 23 Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok dan Penambahan PVOH terhadap Pertumbuhan Kapang Aspergillus niger pada Permukaan Biofoam
Pengamatan Hari ke-5
A1B1 A2B1
A3B1 A4B1
A1B2 A2B2
A3B2 A4B2
Tabel 18. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Pertumbuhan Kapang pada Permukaan Biofoam
Rasio Tapioka:Ampok Penambahan PVOH
30 4 : 0
6,67
a
5,00
a
3 : 1 33,33
b
43,33
b
2 ; 2 86,67
c
53,33
bc
1 : 3 90,00
c
63,33
c
Rata-rata Kelompok 54,17
B
41,25
A
Keterangan : -
Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan antar perlakuan
- Huruf besar yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang
signifikan antar kelompok
Pada Gambar 23 terlihat bahwa secara visual, pertumbuhan kapang akan meningkat sejalan dengan peningkatan rasio serat pada adonan biofoam.
Disamping itu, penambahan PVOH tampaknya berpengaruh dalam menekan pertumbuhan kapang walau dalam jumlah kecil. Hasil ini didukung oleh hasil
analisis statistik yang menunjukkan bahwa pertumbuhan kapang dipengaruhi oleh faktor rasio tapioka:ampok, penambahan PVOH dan interaksi diantara kedua faktor
tersebut. Pada Gambar 24, terlihat bahwa peningkatan rasio ampok akan mempercepat
pertumbuhan kapang A. niger pada permukaan biofoam. Namun demikian, penambahan PVOH mampu menekan laju pertumbuhan kapang tersebut. Hal ini
kemungkinan besar disebabkan karena semakin banyak ampok yang ditambahkan, maka semakin banyak sumber makanan berupa serat, lemak dan protein yang
tersedia bagi pertumbuhan kapang. Umumnya A. niger tumbuh dengan baik pada media yang mengandung senyawa sederhana, namun menurut Acharya et al.
2008, kapang Aspergilus niger juga tumbuh dengan baik pada media yang mengandung lignoselulosa. Sementara itu, PVOH walaupun bersifat biodegradable
namun bahan bakunya berasal dari minyak bumi seperti polimer sintetik lainnya. Dengan demikian, PVOH bukan merupakan media tumbuh yang baik bagi kapang.
Gambar 24. Pengaruh Kadar Serat terhadap Pertumbuhan Kapang pada Permukaan Biofoam
Bila dibandingkan dengan styrofoam, maka pertumbuhan kapang dengan adanya penambahan ampok akan berjalan lebih cepat. Kandungan serat, protein
dan lemak yang ada pada ampok menjadi faktor utama yang mendorong pertumbuhan kapang tersebut. Dengan demikian dengan penambahan ampok maka
biodegradabilitas biofoam akan meningkat. Namun yang harus menjadi pertimbangan adalah pertumbuhan kapang yang terlalu cepat juga akan
menyebabkan umur pakai dari biofoam tersebut juga berkurang. Analisis biodegradabilitas lainnya yang dilakukan adalah analisa secara
kuantitatif yang dilakukan dengan mengamati kadar gula pereduksi pada media yang ditambahkan dengan biofoam dan enzim amilase dan selulase. Adapun
hasilnya seperti terdapat pada Tabel 19 dan Lampiran 10 menunjukkan bahwa perbedaan rasio tapioka:ampok dan penambahan PVOH tidak berpengaruh terhadap
perubahan gula pereduksi yang terbentuk selama proses hidrolisis biofoam dengan menggunakan enzim amilase dan selulase. Kemungkinan besar hal tersebut terjadi
karena kedua enzim tersebut bekerja secara sinergis untuk menghidrolisis pati maupun selulosa yang ada pada ampok.
y = -1,597x
3
+ 12,91x
2
- 6,111x + 6,666 R² = 1
y = -0,243x
3
- 0,833x
2
+ 21,80x + 5 R² = 1
0,00 20,00
40,00 60,00
80,00 100,00
120,00
2 4
6
P er
tu mb
u h
an K
ap an
g
Kadar Serat
PVOH 0 PVOH 30
Styrofoam
Tabel 19. Pengaruh Rasio Tapioka:Ampok terhadap Kadar Gula Pereduksi Biofoam
Rasio Tapioka:Ampok Penambahan PVOH
30 4 : 0
12,20
a
12,95
a
3 : 1 15,46
a
13,64
a
2 ; 2 14,02
a
12,22
a
1 : 3 13,37
a
11,00
a
Rata-rata Kelompok 12,46
A
13,76
A
Keterangan : -
Huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan antar perlakuan
- Huruf besar yang berbeda pada kolom yang berbeda menunjukkan perbedaan yang
signifikan antar kelompok
Dari beberapa parameter yang diamati tampaknya penambahan ampok berpengaruh positif terhadap peningkatan hidrofobisitas serta biodegradabilitas
biofoam. Namun demikian, penambahan ampok juga berpengaruh negatif terhadap karakteristik biofoam karena dapat meningkatkan densitas, menurunkan sifat
mekanis serta mengurangi tingkat kecerahan. Tampaknya upaya penambahan polimer sintetik PVOH mampu mengurangi
pengaruh negatif penambahan ampok terhadap karakteristik biofoam. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mendapatkan konsentrasi PVOH
terbaik yang dapat meningkatkan karakteristik biofoam khususnya perbaikan sifat mekanisnya.
Untuk perlakuan terbaik yang diperoleh pada tahap ini dipilih berdasarkan hasil terbaik terutama pada parameter daya serap air yang menunjukan
hidrofobisitas, kuat tekan dan kuat tarik yang mewakili sifat mekanis dan pertumbuhan kapang yang mewakili sifat biodegradabilitas. Untuk daya serap air
dan biodegradabilitas perlakuan terbaik adalah rasio tapioka:ampok 3:1 dengan penambahan PVOH 30, sedangkan untuk sifat mekanis, perlakuan terbaik adalah
rasio tapioka:ampok 4:0. Namun karena tingkat pertumbuhan kapangnya terlalu rendah, maka perlakuan tersebut tidak terpilih. Oleh karena itu dipilih perlakuan
dengan rasio tapioka:ampok 2:2 karena memiliki hasil yang cukup baik untuk beberapa parameter. Selanjutnya kedua perlakuan ini yaitu rasio tapioka:ampok
3:1 dan 2:2 digunakan sebagai dasar pembuatan biofoam untuk tahap selanjutnya.