Pengelolaan Limbah Kelapa Sawit

rendemen 18 maka jumlah kelapa sawit kasar yang dihasilkan kurang lebih 1,54 juta ton. Kondisi yang terjadi saat ini adalah petani memperoleh kesulitan untuk mendapatkan bibit kelapa sawit yang bersertifikat, asli dan unggul. Selama ini yang beredar di masyarakat adalah 40 bibit palsu yang diambil dari buah-buah sapuan atau bukan buah khusus untuk pembibitan. Hal ini juga terkait dengan kurangnya akses untuk memperoleh bibit unggul. Petani juga kesulitan menjual tandan buah segar dengan harga yang baik di pasaran. Persoalan lain adalah masyarakat kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi. Banyak pupuk yang beredar di pasar merupakan pupuk yang tidak bersubsidi bahkan cenderung palsu. Penggunaan pupuk palsu ini berdampak buruk kepada hasil tandan buah segar petani sawit.

2.5 Pengelolaan Limbah Kelapa Sawit

Kenyataan menunjukan bahwa sejak masalah lingkungan hidup mulai diperhatikan di Indonesia, maka berbagai macam program yang berkaitan dengan lingkungan tidak mencapai sasaran secara optimal. Hal ini disebabkan pendekatannya yang bersifat pemaksaan melalui berbagai peraturan perundang-undangan dengan ancaman sanksi. Belajar dari hal tersebut, dewasa ini telah terjadi perkembangan pemikiran di mana limbah yang dulunya dikategorikan sebagai produk samping yang menimbulkan masalah dan selayaknya harus ditanggulangi end of pipe, saat ini dianggap sebagai indikator tidak efisiennya proses produksi. Pemikiran inilah yang mendorong perubahan strategi penanganan limbah. Pada awalnya strategi pengelolaan lingkungan didasarkan pada pendekatan kapasitas daya dukung carrying capacity approach. Akibat terbatasnya daya dukung lingkungan alamiah untuk menetralisir pencemaran yang semakin meningkat, upaya mengatasi masalah pencemaran berkembang ke arah pendekatan mengolah limbah yang terbentuk end of pipe treatment. Pendekatan ini terfokus pada pengolahan dan pembuangan limbah untuk mencegah pencemaran dan kerusakan lingkungan. Namun pada kenyataannya pencemaran dan kerusakan lingkungan tetap terjadi dan cenderung terus berlanjut. Limbah pabrik kelapa sawit terdiri atas limbah padat berupa tandan kosong, ampas press dan cangkang; serta limbah cair. Limbah tersebut merupakan produk samping dari produk utama berupa crude palm oil CPO dan kernel. Pada saat proses pabrikasi untuk menghasilkan produk utama tersebut dibutuhkan bahan baku berupa tandan buah segar TBS dan air. Secara skematis proses pengolahan kelapa sawit sampai menghasilkan produk samping berupa limbah padat dan cair dapat dilihat pada Gambar 3. PROSES PENGOLAHAN PABRIK KELAPA SAWIT KS „ CPO „ Kerne l „ Limba h Cair „ Limba h Pa dat TKS, Ampas press Can gka ng Limbah Produk Ut ama Bahan Baku „ TBS „ Air Gambar 3. Proses pengolahan pabrik kelapa sawit PKS Limbah pabrik kelapa sawit yang lain yaitu tandan kosong sawit TKS yang dihasilkan dari 23 tandan buah segar TBS yang diolah dan serat mesokarp yang juga berasal dari olahan TBS sebanyak 13. Serat mesokarp ini dapat digunakan sebagai bahan bakar di pabrik kelapa sawit, namun perlakuan itu tidak bisa diaplikasikan pada tandan kosong sawit. Pembakaran tandan kosong sawit tidak diijinkan karena menyebabkan polusi udara. Pada ekologi produksi kelapa sawit, penggunaan kembali tandan kosong sawit dan serat mesokarp sebagai pupuk, baik langsung pada tanaman di perkebunan ataupun tidak langsung pada nursery, merupakan salah satu cara pemanfaatan. Limbah cair dari PKS dapat menimbulkan dampak negatif kepada lingkungan di sekitar pabrik. Dampak tersebut akan terjadi di lingkungan air sungai tempat pembuangan limbah cair dalam bentuk: 1 kerusakan jenis algae bloomeutrophication dalam bentuk penurunan kadar oksigen dan peningkatan toksin sebagian alga beracun, 2 kematian organisme air dan makhluk hidup yang mengkonsumsi air tercemar seperti hewan darat dan bahkan manusia, 3 bau busuk, 4 timbulnya penyakit, dan 5 pendangkalan perairan. Pada lingkungan darat, limbah cair PKS dapat menyebabkan gangguan dan kerusakan tanah, terutama untuk limbah yang mengandung minyak, pencemaran air tanah, dan bau busuk. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh limbah cair PKS baik di lingkungan darat maupun lingkungan air membutuhkan pelaksanaan pengelolaan limbah yang memenuhi standar ketentuan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51Men-LH1095. Secara rinci ketentuan persyaratan pengelolaan limbah cair PKS dalam bentuk baku mutu limbah dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Baku mutu limbah cair PKS Debit limbah maksimum = 2,5 m 3 per ton CPO Parameter Kadar Maksimum mgl Beban Pencemaran Maksimum mgl BOD 100 0,25 COD 350 0,88 TSS 250 0,63 Oil dan Fat 25 0,063 N-Total 50 0,125 pH 6,0 – 9,0 Sumber: Kepmen LH No. 51Men-LH101995 Limbah cair kelapa sawit mengandung unsur hara yang tinggi namun juga memiliki nilai BOD dan COD yang tinggi. Nilai ini apabila dibuang langsung ke lingkungan dapat mencemari lingkungan. Dengan demikian perlu teknologi pengolahan limbah cair. Pengolahan limbah cair PKS terdiri atas 10 bagian. Masing-masing bagian memiliki fungsi sesuai dengan tahapannya dan secara berurutan sehingga limbah yang dihasilkan memenuhi baku mutu yang ditetapkan. Tahapan pengolahan limbah cair PKS dapat dilihat pada Gambar 4. Re cove r y Ta n k D e olin g Pon d Coolin g Pon d Coolin g Tow e r N e t r a liza t ion Pon d Se e dling Pon d Pr im a r y An a e r obic Pon d Se con da r y An a e r obic Pon d Fa cu lt a t ive Pon d Ae r obic Pon d Fin a l Pon d Gambar 4. Tahapan instalasi pengendalian LCPKS Penjelasan fungsi masing-masing tahap instalasi pengendalian LCPKS dideskripsikan sebagai berikut: 1. Recovery tank, berfungsi untuk mengurangi kadar minyak dari dalam limbah. 2. Deoling pond, berfungsi untuk menangkap minyak berasal buangan dari recovery tank yang masih tersisa di dalam limbah, sehingga hanya tersisa 0,4 - 0,6. 3. Cooling pond, berfungsi untuk menurunkan suhu limbah dari 70-80 o C menjadi 40-50 o C, agar mikroorganisme dapat menguraikan limbah. Cooling pond dapat digantikan dengan cooling tower, yang memiliki fungsi sama namun lebih menghemat lahan. 4. Neutralization pond, berfungsi untuk menaikkan pH limbah dari 4 menjadi 7,0 – 7,5 dengan menambahkan kaustik soda NaOH atau kapur tohor CaOH 2 . Dosis penambahan 3 - 3,5 kgton limbah cair pabrik kelapa sawit LCPKS. Kapur tohor lebih mudah diperoleh dan lebih murah dibandingkan dengan NaOH. 5. Seedling pond, berfungsi untuk mengembangbiakkan bakteri. Jika sudah siap akan dialirkan ke kolam anaerobik. Lama pengaktifan bakteri 5-7 hari. 6. Primary anaerobic pond, berfungsi untuk mengubah bahan organik majemuk oleh bakteri menjadi asam-asam organik yang mudah menguap. 7. Secondary anaerobic pond, merupakan kelanjutan dari primary anaerobic pond, yang berfungsi untuk mengubah asam organik mudah menguap terutama asam asetat menjadi gas seperti metana, karbondioksida dan hidrogen sulfida. 8. Facultative pond, berfungsi untuk menguraikan limbah oleh bakteri fakultatif yang pada penguraian sebelumnya tidak dapat dilakukan oleh bakteri obligat. Juga berfungsi sebagai kolam transisi sebelum masuk ke kolam aerobik. 9. Aerobic pond, berfungsi untuk menguraikan senyawa kompleks menjadi sederhana oleh aktifitas mikroorganisme. Bahan organik disintesis menjadi sel-sel baru dan hasilnya berupa produk akhir CO 2 , H 2 O, dan NH 3 yang stabil. 10. Final pond, berfungsi sebagai penampungan sementara limbah yang telah diolah dan untuk menguji apakah baku mutunya sesuai dengan peraturan pemerintah pusat dan atau daerah, sebelum dikeluarkan dari sistem pengolahan air limbah. Pengolahan limbah cair pabrik kelapa sawit LCPKS menggunakan sistem kolam dengan aerator membutuhkan waktu lebih kurang selama 97 hari. Tahap pengolahan LCPKS dimulai pada kolam pengasaman selama 5 hari, dilanjutkan pada kolam anaerobik primer dan sekunder masing-masing selama 35 hari. Pada tahap keempat diendapkan selama 15 hari pada kolam aerobik dan terakhir proses sedimentasi selama 5 hari. Secara skematis tahapan pengolahan LCPKS menggunakan sistem kolam dengan aerator dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5. Pengendalian LCPKS sistem kolam dengan aerator Limbah cair pabrik kelapa sawit LCPKS mengandung unsur Nitrogen N, Posfor P, dan Kalium K yang relatif tinggi. Kedua unsur tersebut dapat dimanfaatkan dalam aplikasi lahan land application untuk memperbaiki struktur tanah. Hasil penelitian PPKS Sumatera Utara menyatakan bahwa setiap 100 ton LCPKS mengandung unsur N sebesar 50 – 67,5 kg; unsur F sebesar 9 – 11 kg, dan unsur K sebesar 100 -185 kg. Pada prinsipnya pemanfaatan LCPKS dalam aplikasi lahan bertujuan untuk meningkatkan produktivitas, memanfaatkan nutrisi, mengurangi pencemaran dan menurunkan BOD 5.000 mgl. Pusat Penelitian Kelapa Sawit PPKS bekerjasama dengan Jerman telah mengembangkan suatu konsep alternatif penanganan limbah cair pabrik kelapa sawit LCPKS, yaitu pemisahan lumpur dan diikuti dengan pengolahan fase cair LCPKS pada LCPKS pada reaktor anaerobik unggun tetap. Pemisahan lumpur dapat dilakukan dengan dekanter atau teknologi pengapungan dissolved air floatation, yang bertujuan mengurangi nilai COD, BOD, nitrogen dan pasir, serta mengurangi masalah pada proses pengolahan berikutnya foaming, sedimentasi dan penyumbatan karena adanya lumpur. Teknologi pengapungan tampaknya lebih cocok dan dapat menjadi salah satu alternatif untuk memisahkan lumpur LCPKS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemisahan lumpur dari limbah cairnya dapat menurunkan nilai COD dan kandungan N, serta memperkecil kapasitas pengolahan limbah selanjutnya. Lumpur yang dipisahkan ini mengandung protein yang cukup tinggi, sehingga dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak. Selain itu lumpur juga dapat ditambahkan pada proses pengomposan sebagai sumber N agar meningkatkan kandungan nutrisi kompos. Limbah cair dan limbah padat PKS memiliki kandungan hara yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai pupuk organik. Teknologi pengelolahan limbah padat dan cair yang efektif adalah pengomposan Sutarta et al., 2005, . Pengomposan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan nilai hara dan peningkatan nilai ekonomi limbah. Teknologi pengomposan limbah padat dan limbar cair kelapa sawit dilakukan dengan tahapan: persiapan lahan, proses pengomposan, dan perhitungan mutu produksi kompos Darnoko, et al., 1993. Pengomposan TKS dari PKS kapasitas 30 ton TBSjam diperlukan lantai pengomposan dengan luas 25.000 m 2 . Lantai dibuat dari semen cor dengan ketebalan 12 cm. Lokasi pengomposan sebaiknya tidak jauh dari pabrik untuk memudahkan pengangkutan TKS dan pengaliran LCPKS. Lahan ini digunakan sebagai lokasi pengomposan untuk 138 ton TKShari atau 5.796 ton TKS per 42 hari. Sekitar 10-20 dari lantai pengomposan sebaiknya beratap untuk digunakan sebagai areal pengeringan, pengayakan dan pengepakan. Awal proses pengomposan dimulai dari cacahan tandan kosong windrows dengan awal penyemprotan selama 10 minggu. Kegiatan yang dilakukan adalah pencacahan, pencampuran LCKS dengan TKKS, pembalikan, pengawasan, dan penghitungan nilai rendemen kompos. TKS dicacah dengan high speed hammer mill kemudian diangkut menggunakan dump truck, disusun pada areal composting pile dan dibentuk windrows dengan ukuran panjang 45 m x lebar 2,5 meter x tinggi 1,5 meter dengan volume + 40 ton. Tiap unit composting pile dibentuk dengan ukuran panjang 45 m x lebar 2,5 m x tinggi 1,5 m dengan volume + 40 ton LCKSton telah dicacah. LCKS yang dibutuhkan sebanyak 2-3 ton LCKSton TKS selama proses pengomposan sampai menjadi pupuk kompos. Jumlah minimal LCKS yang dapat dipakai untuk stabilisasi kadar air dan pengadaan hara sebesar 40 ton TKS x 2,5 ton LCKS = 100 ton LCKS. Setiap windrows selama proses pengomposan ditutup dengan cover plastik. Pembalikan composting pile dilakukan 2 kali seminggu dengan menggunakan plow max model T-190 yang bertujuan untuk mempertahankan kandungan oksigen dan kadar air selama 8 minggu dan 2 minggu terakhir hanya dibalik untuk pengeringan hasil menjadi kompos. Pengawasan pada proses pengomposan di windrows dengan menggunakan alat ukur Excalibur untuk mengukur suhu 55-70 o C, kadar air 40-95 dan kandungan oksigen 5. Nilai rendemen kompos diperoleh berdasarkan perbandingan hasil kompos dengan produksi cacahan kali 100 persen. Kondisi normal rendemen kompos adalah maksimal 50. Kondisi rendemen yang diatas 50 kemungkinan disebabkan oleh kandungan padatan pada LCKS yang disiramkan ke cacahan tankos windrow rata-rata mencapai 50. Padahal kandungan solid yang normal adalah 5 – 15. Penyebab lainnya adalah perbandingan pemakaian LCKS terhadap cacahan tankos 1 : 3 serta perlakuan penyiraman yang dilakukan selama 8 minggu. Unsur hara yang terkandung dalam kompos tersebut akan disebarkan ke pokok kelapa sawit untuk menambah nutrisi dan perbaikan tekstur tanah soil condisioner. Penebaran kompos pada pokok kelapa sawit di areal tanaman menghasilkan TM dan tanaman belum menghasilkan TBM adalah sebesar 50 kgpokoktahun. Kandungan unsur hara dari produksi kompos yang dihasilkan disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Kandungan unsur hara dari produksi kompos No Unsur Persentase 1. Nitrogen N 1,90 – 2,78 2. P P 2 O 5 0,34 – 0,45 3. K 2 O 1,98 – 2,31 4. Magnesium MgO 0,36 – 0,62 5. Calcium CaO 0,60 – 1,05 6. Bahan organik 32,30 – 37,10 7. CN rasio 13,35 – 17,00 8. Kadar air 45,70 – 49,00 Sumber: PTPN IV 2005 Di pabrik kelapa sawit yang berkapasitas 30 ton per jam akan dihasilkan sebanyak 128 ton per hari tandan kosong sawit TKS dan 360 m 3 LCPKS. Setiap tandan buah segar TBS akan menghasilkan TKS sebanyak 23 dan 0,6 m 3 LCPKS dari TBS yang diolah. Pemanfaatan TKS untuk aplikasi lahan akan menghadapi kendala berupa biaya transportasi tinggi, karena dapat terserang sejenis jamur Orcytes dan unsur haranya terbatas. Demikian juga pemanfaatan LCPKS, akan menghadapi masalah seperti keterbatasan luas lahan yang dapat ditangani maksimal 150 ha, biaya pemeliharaan tinggi dan memerlukan ijin dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Bapedal. PTPN IV Sumatera Utara menerapkan sistem pengelolaan limbah PKS untuk pupuk organik kompos. Dari 128 ton per hari TKS dan 360 m 3 LCPKS dapat dihasilkan kompos sebanyak 70 ton per hari. Pada Gambar 6 dapat dilihat tahapan-tahapan pembuatan kompos dari TKS dan PCPKS. Waktu yang diperlukan dalam pembuatan dari TKS dan LCPKS adalah 12 minggu. Aktivitas yang paling menonjol pada proses pembuatan kompos adalah pada tahap pembalikan. Kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan mesin Bakhus 15.30 yang dilakukan 3 sampai 5 kali perminggu selama delapan minggu. Fungsi pembalikan tersebut adalah untuk: aerasi, mempermudah penguapan air limbah, mencegah pertumbuhan oryctes rhinoceros di dalam tumpukan, menghancurkan TKS, penyiraman dan menghasilkan kompos dengan kualitas yang homogen. PRODUKSI KOMPOS TKS PENCACAHAN T KS PEM BENT UKAN TUMP UKAN PENYI RAMAN DG LCP KS PEM BALI KAN PENGERI NGAN KOMPOS TKS Gambar 6. Tahapan pembuatan kompos dari TKS dan LCPKS Nilai kalor bakar limbah padat pabrik kelapa sawit adalah: ampas press fiber cake 4.700 Kcalkg basis kering, cangkang 4.950 Kcalkg basis kering, dan tandan kosong sawit TKS 4.200 kkalkg basis kering. Ampas press dan cangkang digunakan sebagai bakar boiler dengan perbandingan ampas press : cangkang = 3:1 sedangkan tandan kosong sawit TKS digunakan sebagai mulsa di kebun. Keuntungan pemanfaatan TKS dan LCPKS untuk kompos adalah: 1 memanfaatkan semua limbah cair LCPKS dan tandan kosong TKS zero waste, 2 tidak perlu penambahan biokativatormikroba dan bahan kimia, 3 tidak berbau, 4 tidak perlu atap atau tutup kecuali untuk pengeringan, 5 waktu pengomposan relatif singkat, 6 kebutuhan tenaga kerja rendah, 7 hasil kompos berkualitas tinggi dan seragam dan 8 ramah lingkungan. Aplikasi limbah cair pabrik kelapa sawit di perkebunan kelapa sawit sebagai pupuk telah dilakukan pada tanaman kelapa sawit menghasilkan baik di Malaysia maupun di Indonesia. Aplikasi ini memiliki keuntungan antara lain dapat mengurangi biaya pengolahan limbah cair dan dapat berfungsi sebagai pengganti pupuk. Kualifikasi limbah cair yang digunakan dalam aplikasi ini adalah limbah dengan BOD antara 3.500 – 5.000 mgl, yang berasal dari kolam pengolahan primer. Pengaruh positif dari pemanfaatan limbah cair tersebut antara lain peningkatan produksi kelapa sawit dan perbaikan sifat kimia kandungan hara dan fisika tanah. Aplikasi limbah cair tersebut juga tidak memberikan pengaruh yang buruk terhadap lingkungan kualitas air tanah sekitar areal perkebunan Sutarta et al., 2000. Perhitungan besar beban pencemaran yang masuk ke lingkungan tergantung pada kegiatan yang ada di sekitar lingkungan tersebut. Untuk daerah pemukiman, beban pencemaran biasanya diperhitungkan melalui kepadatan penduduk dan rata-rata perorang membuang limbah. Untuk industri, limbah cair yang dihasilkan sangat bervariasi tergantung dari jenis dan ukuran industri, pengawasan pada proses industri, derajat penggunaan air dan derajat pengolahan air limbah yang ada. Selain limbah cair, limbah padat sampah juga merupakan beban pencemaran yang dapat masuk ke lingkungan baik secara langsung maupun tak langsung. Secara konvensional pengolahan limbah cair pabrik kelapa sawit LCPKS dilakukan dengan sistem kolam yang terdiri dari kolam anaerobik dan aerobik dengan total waktu retensi sekitar 90-120 hari Wulfert et al, 2000. Keuntungan dari cara ini antara lain adalah: sederhana, biaya investasi untuk peralatan rendah dan kebutuhan energi rendah. Apabila ditelaah lebih lanjut, sistem kolam mempunyai beberapa kerugian antara lain: 1. Kebutuhan areal untuk kolam cukup luas sekitar 5 ha untuk PKS dengan kapasitas 30 tonjam. 2. Perlu biaya pemeliharaan untuk pembuangan dan penanganan lumpur dari kolam. Untuk PKS yang menggunakan separator 2 fase, praktis semua lumpur sludge yang berasal dari buah mengalir ke kolam. Padatan tersuspensi dari lumpur ini tidak akansedikit didegradasi sehingga konsentrasinya akan semakin meningkat dan akan mengendap di dasar kolam sehingga waktu retensi limbah akan turun dan kapasitas perombakan kolam juga menurun. Disamping itu pembuangan lumpur juga tidak dapat dilakukan pada semua bagian kolam karena luas dan dalamnya kolam. 3. Hilangnya nutrisi. Semua nutrisi yang berasal dari limbah N, P, K, Mg, Ca akan hilang pada waktu limbah dibuang ke sungai. 4. Emisi gas metana ke udara bebas. Hampir semua bahan organik terlarut dan sebagian bahan organik tersuspensi didegradasi secara anaerobik menjadi gas metana dan karbondioksida. Emisi gas metana ke udara bebas dapat menyebabkan efek rumah kaca yang besarnya 20 kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan karbon dioksida. Jumlah gas metan yang diproduksi kolam limbah anaerobik sekitar 10 m 3 setiap ton tandon buah segar TBS diolah. Aplikasi limbah cair sebagai sumber hara pada areal kelapa sawit dapat dilakukan dengan berbagai cara yang disesuaikan dengan kondisi setempat seperti topografi areal dan jarak areal dengan lokasi pengolahan limbah. Beberapa cara aplikasi limbah cair yang dikenal antara lain sistem sprinkler, flatbed, sistem parit atau alur long bed, dan sistem traktor-tangki. Selain itu untuk limbah padat pengomposan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan nilai hara dan menurunkan volume TKS Harada et al, dalam Darnoko et al, 1993. Dengan demikian biaya tranportasi per unit hara yang tinggi pada aplikasi TKS secara langsung dapat dikurangi. Disamping itu pemanfaatan TKS sebagai bahan kompos juga akan menjawab permasalahan akibat menumpuknya TKS di pabrik, memberi tambahan keuntungan pada pabrik kelapa sawit PKS dari penjualan kompos dan menurunkan biaya penggunaan pupuk anorganik. Penanganan TKS menjadi kompos relatif lebih mudah karena TKS telah terkumpul di tempat tertentu dalam lingkungan PKS. Kompos yang telah matang ditandai dengan nisbah CN sebesar Y 10. Proses pengomposan ini memerlukan waktu yang cukup lama yaitu sekitar 3 bulan. Lamanya proses dekomposisi TKS karena limbah tersebut banyak mengandung lignoselulosa yang sulit didekomposisi. TKS mengandung 45,95 selulosa; 16,49 hemiselulosa dan 22,84 lignin. Perlakuan fisika pengurangan ukuran, pemanasan dan perlakuan kimia penambahan asam dan basa merupakan perlakukan pendahuluan untuk delignifikasi limbah kelapa sawit ini. Penambahan unsur hara, penambahan inokulum perombakan lignin dan selulosa, perbaikan aerasi, pengaturan kelembaban merupakan usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk mempersingkat waktu pengomposan Darnoko et al, 1993. Hasil analisis di laboratorium PPKS menunjukkan bahwa kandungan hara dalam kompos TKS relatif tinggi. Salah satu kelebihan kompos TKS adalah kandungan K yang tinggi, yaitu mencapai 127,9 mg100 g. Selain itu kompos dari TKS juga memiliki pH tinggi mencapai pH 8 sehingga berpotensi sebagai bahan pembenah kemasaman tanah. Percobaan yang dilakukan di rumah kaca PPKS dengan menggunakan tanaman indikator jagung menunjukkan bahwa pada akhir percobaan, penambahan kompos cenderung dapat meningkatkan KTK, pH dan ketersediaan hara seperti N, P, K dan Mg. Tanah yang tidak diberi kompos mempunyai pH sebesar 5.6 – 6,0 sedangkan tanah yang memperoleh perlakuan kompos mempunyai pH yang lebih tinggi dari 6,3.

2.6 Pendekatan Sistem

Dokumen yang terkait

Evaluasi Instalasi Pengolahan Air Limbah Industri Kelapa Sawit Pt Perkebunan Nusantara Iv (Studi Kasus : Pks Kebun Ptpn Iv Kecamatan Sosa)

19 129 107

Evaluasi Pengolahan Air Limbah Pabrik Kelapa Sawit (Studi Kasus : Pabrik Kelapa Sawit Dan Pabrik Inti Sawit, PTPN - I –Tg. Seumentoh, Kecamatan Karang Baru, Kabupaten Aceh Tamiang)

23 154 102

Energi Terbarukan Sisa Keluaran Limbah Padat Pengolahan Kelapa Sawit (Studi Kasus Perencanaan Pembangunan PLTBS PKS Blangkahan)

4 55 68

Komposisi Komunitas Cacing Tanah Pada Areal Kebun Kelapa Sawit Ptpn Iii Sei Mangkei Yang Diberi Pupuk Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Di Kabupaten Simalungun Sumatera Utara

0 64 56

Perawatan Sistem Tenaga Pada Pabrik Kelapa Sawit PT. Socfindo Perkebunan Tanah Gambus

4 79 75

Kajian Pengembangan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) Supermini Dalam Rangka Peningkatan Pendapatan Petani Kelapa Sawit Di Sumatera Utara (The Study On The Development Of Supermini Palm Oil Factory In Order To Increase The Palm Oil Farmers Income In North Sumater

0 49 7

Pengendalian Limbah Cair Di Pabrik Benang Karet PT. Industri Karet Nusantara Medan

6 92 49

Penyebaran Unsur Hara Dari Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Yang Diaplikasikan Pada Tanah Di Perkebunan Kelapa Sawit PT. Amal Tani

1 42 58

Pola Pemanfaatan Limbah Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit Dalam Upaya Menghindari Pencemaran Lingkungan (Studi Kasus Di Perkebunan Kelapa Sawit PT.Tapian Nadenggan SMART Group, Langga Payung, Sumatera Utra),

0 44 207

Model Kebijakan Penglolaan Limbah Pabrik Kelapa Sawit Menuju Nir Limbah (Studi Kasus PT Perkebunan Nusantara IV)

2 47 132