102 batang sawit untuk serbuk kayu, daun dan pelepah dan bungkil sawit untuk
makanan ternak. b. Melakukan sosialisasi penggunaan pupuk organik kepada masyarakat sekitar
sehingga dapat memanfaatkan pupuk kompos dari limbah PKS. Kegiatan ini akan mendorong masyarakat untuk menggunakan kompos sehingga
meningkatkan permintaan terhadap kompos. Selain itu melakukan sosialisasi kepada seluruh jajaran manajemen tentang nilai ekonomis pemanfaatan
limbah tersebut. c. Penelitian dan pengembangan pemanfaatan TKS dan sludge yang
bersumber dari IPAL PKS perlu terus dikembangkan menjadi pupuk sehingga dapat mengurangi pengadaan bahan kimia untuk pupuk. Konsep 5R rethink,
reuse, recycle, reduse, dan recovery perlu dikembangkan untuk pemanfaatan limbah padat dan limbah cair yang bersumber dari pabrik
kelapa sawit. Pada kegiatan ini perlu melibatkan lembaga penelitian untuk melakukan kajian pemanfaatan limbah.
4.5 Implikasi Kebijakan
Perkebunan kelapa sawit berkembang sangat pesat di Indonesia, dimana pada tahun 2005 luas perkebunan kelapa sawit diperkirakan mencapai 5,3 juta
ha. Areal perkebunan meningkat dari 290 ribu ha tahun 1980 menjadi 6.075 ribu ha tahun 2006 atau tumbuh 12,4 per tahun. Peningkatan luas lahan
tersebut diikuti oleh peningkatan produksi dari 721 ribu ton tahun 1980 menjadi 16 ribu ton CPO tahun 2006. Secara kewilayahan, pengembangan perkebunan
kelapa sawit awalnya hanya 3 propinsi lalu berkembang di 22 propinsi. Dari kondisi tersebut sektor perkebunan menyerap tenaga kerja sekitar 3 juta orang,
belum termasuk subsistem pendukung lainnya Deptan, 2007. Hasil penelitian menunjukkan bahwa diperlukan peningkatan kapasitas
PKS. Hal sesuai dengan tingginya permintaan terhadap komoditas minyak sawit. Hingga tahun 2010 diperkirakan kebutuhan minyak sawit mencapai lebih dari 3
juta ton per tahun Gapki, 1998. Kebutuhan terhadap minyak sawit mentah CPO dan turunannya di pasar dunia juga semakin meningkat, menggeser
kedudukan minyak nabati lain. Jurnal minyak nabati dunia Oil World meramalkan pada tahun 2015 minyak kelapa sawit akan mencapai 23 persen, sedangkan
konsumsi minyak kedelai akan menyusut menjadi 21 persen Bangun, 1998.
103 Permintaan terhadap minyak sawit akan mendorong peningkatan produksi
minyak sawit yang pada akhirnya membutuhkan peningkatan kapasitas PKS. Kondisi lahan perkebunan tersebut sangat beragam, mulai dari yang
subur dan sesuai untuk perkebunan kelapa sawit hingga lahan-lahan marginal yang kurang subur. Tanaman kelapa sawit banyak menempati tanah-tanah yang
bereaksi masam sampai agak masam. Tanah-tanah tersebut memiliki tingkat kesuburan kimia yang rendah, dengan kesuburan fisik yang beragam mulai yang
rendah hingga cukup baik. Sebagian besar perkebunan kelapa sawit merupakan lahan kelas S3
agak sesuai yang umumnya merupakan lahan marjinal khususnya dalam hal kesuburan tanahnya sehingga keberhasilan pengusahaan perkebunannya
sangat tergantung pada aplikasi pemupukan. Kebun kelapa sawit yang ada pada tahun 1999 sebagian besar berada di kelas S3 agak sesuai sekitar 38, cukup
besar di kelas S2 sesuai sekitar 28, dan sangat sedikit di kelas S1 sangat sesuai sekitar 5, serta di kelas NS tidak sesuai. Kebun di lahan kelas S1 dan
S2 hanya di jumpai di Sumatera khususnya di Sumatera Utara, sedangkan di luar Sumatera Utara umumnya berada di kelas S3 dan S2.
Upaya pemupukan secara berkesinambungan menjadi satu keharusan untuk mendukung produktivitas tanaman yang cukup tinggi mengingat kelapa
sawit tergolong tanaman yang konsumtif terhdap unsur hara. Tercapainya produksi TBS yang optimal dan kualitas minyak yang baik merupakan tujuan dari
pemupukan pada tanaman kelapa sawit. Kekurangan salah satu unsur hara akan menyebabkan tanaman menunjukkan gejala defisiensi dan mengakibatkan
terhambatnya pertumbuhan vegetatif serta penurunan produksi tanaman. Beberapa penelitian telah menunjukkan besarnya respon tanaman terhadap
pemupukan, yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan produktivitas tanaman Sutarta, et al., 2004.
Penanaman kelapa sawit pada berbagai biofisik lingkungan yang berbeda menuntut adanya sistem manajemen pemupukan yang spesifik lokasi site
spesific dalam rangka menjamin tercapainya produksi yang tinggi dan berkelanjutan. Beberapa perkebunan kelapa sawit terletak pada lahan dengan
tingkat kesuburan yang rendah marginal sehingga diperlukan perhatian khusus jumlah dan jenis nutrisi yang harus diberikan. Selain itu, rendahnya kesuburan
tanah ditambah dengan curah hujan yang tinggi menyebabkan hilangnya nutrisi tanah karena pencucian. Aplikasi dan penentuan dosis pupuk yang tepat hanya
104 dapat dicapai dengan melakukan percobaan pemupukan meskipun hal ini
memerlukan waktu yang lama 7-8 tahun untuk mendapat hasil yang memuaskan Turner dan Gillbanks, 2003.
Pemupukan merupakan salah satu komponen biaya yang besar dalam perkebunan kelapa sawit, yaitu sekitar 25 dari total biaya produksi atau 50-70
dari biaya perawatan tanaman. Penelitian efisiensi pemupukan sangat penting dalam rangka menjamin tercapainya kelangsungan perudahaan secara
berkelanjutan. Disisi lain penelitian pemupukan sangat membantu mencegah terjadinya aplikasi pupuk yang berlebihan yang akan memberikan dampak
negatif terhadap lingkungan. Respon tanaman terhadap pemupukan berbeda bergantung kondisi agroekosistem dimana tanaman tersebut berada. Penelitian
respon tanaman terhadap pemupukan sudah banyak dilakukan di Indonesia. Pujianto et al. 2006 menguji respon tanama kelapa sawit terhadap pemupukan
MOP pada tiga agroekosistem berbeda. Pemanfaatan produk sampingan proses pengolahan pabrik kelapa sawit
yaitu LCPKS dan TKS sebagai salah satu sumber nutrisi bagi tanaman sekaligus sebagai bahan substitusi pupuk in-organik sangat membantu penghematan
biaya. Untuk menjamin pengunaan bahan tersebut tidak memberikan dampak negatif terhadap lingkungan maka perlu dilakukan serangkaian penelitian yang
sistematis dan komprehensif. Pengunaan LCPKS sebagai bahan sustitusi nutrisi serta pengaruhnya terhadap perubahan sifat kimia tanah telah dilakukan sejak
lama dan memberikan pengaruh positif bagi tanaman dan lingkungan Liwang et al., 2006.
Biaya pemupukan yang tinggi tersebut menuntut pihak praktisi perkebunan untuk secara tepat menentukan jenis dan kualitas pupuk yang akan
digunakan dan mengelolanya sejak dari pengadaan hingga aplikasinya di lapangan. Ketepatan penyediaan semua jenis pupuk di kebun merupakan
masalah yang selalu dihadapi pekebun untuk mencapai keseimbangan har sesuai yang dianjurkan rekomendator pemupukan. Namun demikian, adanya
berbagai jenis pupuk di pasar termasuk pupuk majemuk memberi peluang pada pekebun untuk memilih pupuk yang tepat bagi tanaman, dan mudah
menanganinya. Selain itu bahan organik pada perkebunan kelapa sawit yang melimpah merupakan sumber hara yang perlu dimanfaatkan untuk tanama
kelapa sawit maupun tanaman lain.
105 Kebutuhan pupuk sebagai salah satu input dari sistem produksi kelapa
sawit cukup besar seiring dengan peningkatan luas areal pekebunan kelapa sawit. Hal ini juga berkaitan dengan penggunaan bahan tanaman dengan potensi
produksi yang tinggi, serta penerapan kultur teknis lainnya secara lebih intensif sehingga mampu mengurangi faktor pembatas pertumbuhan tanaman. Kelapa
sawit memerlukan pemupukan baik pada tahap pembibitan, tanaman belum menghasilkan TBM, maupun tanaman menghasilkan TM. Tanaman kelapa
sawit memerlukan pupuk dalam jumlah yang tinggi, mengingat bahwa 1 ton TBS yang dihasilkan setara dengan 6,3 kg Urea, 2,1 kg TSP, 7,3 kg MOP, dan 4,9 kg
Kiserit. Dengan asumsi tanaman kelapa sawit dipupuk secara penuh, Poeloengan et al 2001 memperkirakan perkebunan kelapa sawit pada tahun
2002 memerlukan 1,22 juta ton Urea, 0,82 juta ton RP, 0,94 juta ton MOP, dan 0,83 juta ton Dolomit.
Pencabutan subsidi pupuk telah menyebabkan naiknya harga pupuk sehingga kemampuan pekebun untuk membeli pupuk menurun. Sejak tahun
1998 realisasi pemupukan yang dilakukan pada perkebunan kelapa sawit masih belum sepenuhnya sesuai dengan sasaran yaitu tepat jenis, dosis, waktu, dan
cara. Jenis pupuk yang dipakai dibeberapa kebun masih belum sesuai dengan spesifikasi yang iinginkan. Demikian waktu aplikasi pemupukan sering tidak
sesuai dengan anjuran akibat sulitnya memperoleh pupuk, selain ketiadaan dana untuk pengadaan pupuk. Realisasi pemupukan pada beberapa perkebunan
bervariasi dari 0 tidak dipupuk hingga 100 dipupuk sesuai anjuran. Pemupukan yang tidak tepat waktu menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan
hara, menyulitkan pengaturan tenaga kerja di lapangan, dan turunnya efektivitas dan efisiensi pemupukan khususnya jika pemupukan dilakukan pada bulan
-bulan kering atau bulan yang terlalu basah.
Ketepatan pemupukan harus memperoleh perhatian pekebun, mengingat besarnya pengaruh pemupukan terhadap produktivitas tanaman. Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa pemupukan dapat meningkatkan produksi antara 6,11 Foot et al., 1987, 0,35 Gurmit, 1989, 5,92 Dolmat et al.,1989.
Beragamnya pengaruh pemupukan terhadap produktivitas tanaman tersebut oleh beragamnya jenis tanah, umur tanaman, kondisi iklim dan tingkat pengelolaan
kultur teknis yang diterapkan oleh pekebun. Penggunaan pupuk majemuk pada tanaman kelapa sawit menghasilkan
belum banyak dilakukan pekebun. Selain biaya per unit hara lebih mahal,
106 manajemen aplikasinya juga lebih sulit. Tanaman dalam satu KCD kesatuan
contoh daun mungkin memerlukan hara dalam jumlah dan komposisi yang berbeda dengan tanaman pada KCD lainnya, sehingga akan menyulitkan aplikasi
pupuk majemuk yang memiliki komposisi dan kandungan hara yang telah tertentu. Namun demikian, saat ini terdapat beberapa produsen pupuk yang
mampu menghasilkan pupuk majemuk dengan komposisi sesuai dengan anjuran rekomendtor pemupukan, sehingga tidak perlu menambah pupuk tunggal
lainnya. Dalam hal ini keberadaan pupuk majemuk merupakan salah satu
alternatif yang perlu dipertimbangkan pekebun. Pupuk majemuk memiliki keunggulan dibandingkan dengan pupuk tunggal, yaitu lebih praktis dalam
pemasaran, transportasi, penyimpanan, dan aplikasinya di lapangan karena satu jenis pupuk majemuk mengandung keseluruhan atau sebagian besar hara yang
dibutuhkan tanaman. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah dosis aplikasi pupuk majemuk harus selalu memperhatikan jumlah hara yang diperlukan
tanaman. Bahan organik yang dihasilkan oleh pabrik kelapa sawit yang selama ini
masih sering dianggap sebagai limbah merupakan sumber hara yang potensial bagi tanaman kelapa sawit, selain berfungsi sebagai bahan pembenah tanah.
Bahan organik dalam tanah berfungsi untuk memperbaiki sifat fisik tanah seperti struktur tanah, kapasitas memegang air water holding capacity , dan sifat kimia
tanah seperti KTK Kapasitas Tukar Kation. Aplikasi kompos tandan kosong kelapa sawit pada percobaan di pot dapat meningkatkan KTK media tanah dari
20,6 mejadi 39,7 me100 g tanah Darmosarkoro, et al., 2001. Bahan organik juga mengandung unsur hara, sehingga aplikasi bahan organik juga berfungsi
memperkaya hara tanah termasuk unsur hara makro. Selain itu bahan organik juga berfungsi sebagai bahan pembenah tanah.
Aplikasi bahan organik dapat memperbaiki sifat fisik tanah seperti struktur dan porositas tanah. PKS akan menghasilkan minyak sawit mentah MSM dan
limbah baik padat maupun cair. Limbah PKS, baik padat maupun cair memiliki potensi dan pemanfaatan sebagai pupuk. Setiap ton TBS yang diolah di pabrik
akan menghasilkan 220 kg TKS, 670 kg limbah cair, 120 kg serat mesocarp , 70 kg cangkang, dan 30 kg palm kernel cake Singh, et al., 1990. TKS merupakan
bahan organik yang mengandung 42,8 C, 2,90 K2O, 0,80 N, 0,22 P
2
O
5
, 0,30 MgO dan unsusr-unsur mikro antara lain 10 ppm B, 23 ppm Cu, dan 51
107 ppm Zn. Setiap ton TKS mengandung unsur hara yang setara dengan 3 kg Urea,
0,6 kg RP, 12 kg MOP dan 2 kg kiserit Long, et al., 1987. Khusus untuk limbah cair, PKS memiliki potensi menghasilkan limbah cair
per ton TBS yang paling besar dibandingkan dengan limbah lainnya sekitar 50. Lubis dan Tobing 1989 menyatakan bahwa setiap proses produksi 1 ton
CPO dihasilkan limbah cair sebanyak 5 ton dengan BOD 20.000-60.000 mgl. LCPKS akan menjadi bahan pencemar bila dibuang ke sungai. Keadaan tersebut
akan membahayakan kehidupan manusia dan sejumlah biota di sungai. Ditinjau dari segi kandungan haranya, setiap 1 ton limbah PKS mengandung hara setara
dengan 1,56 kg Urea, 0,25 kg TSP, 2,50 kg MOP, dan 1,00 kg kieserite Lubis dan Tobing, 1989. Limbah cair PKS disamping sebagai sumber hara makro dan
mikro yang penting bagi tanaman juga merupakan sumber bahan organik yang dapat berperan pada perbaikan sifat kimia dan sifat fisik tanah antara lain
peningkatan kapasitas tukar kation KTK dan porositas tanah Huan, 1987 Terdapat beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dari aplikasi TKS.
Secara ekonomi, merupakan pendapatan tambahan bagi pabrik kelapa sawit melalui produksi produk yang memiliki nilai ekonomi bahan insulasi atau secara
praktis melalui penjualan TKS sebagai bahan baku. Hal ini juga dapat mengurangi biaya pembuangan TKS, sebagai limbah pabrik. Secara ekologi,
pemanfaatan TKS secara komersial akan lebih efektif, sehubungan dengan rendahnya polusi udara dan lingkungan. Hal ini juga akan mengurangi
ketergantungan industri kehutanan terhadap kayu yang berasal dari hutan, sehingga pemanfaatan limbah padat ini akan memberikan solusi yang lebih baik
bagi stabilitas lingkungan dan keseimbangan ekologi. Secara sosial, melalui pembangunan industri baru industri bahan insulasi, tentunya akan menyerap
tenaga kerja dan meningkatkan perkembangan wilayah termasuk infrastruktur, pendidikan, budaya, dan standar hidup di Indonesia.
Aplikasi pupuk majemuk merupakan salah satu alternatif dalam menjamin keseimbangan hara dalam aplikasi pemupukan. Aplikasi pupuk majemuk
hendaknya tetap mengacu pada kebutuhan hara tanaman. Sementara pemanfaatan limbah pabrik kelapa sawit menjadi langkah penting dalam
menyikapi semakin meningkatnya harga pupuk. Aplikasi pupuk organik dari limbah kelapa sawit telah banyak diterapkan pekebun guna meningkatkan
efektifitas pemupukan, sekaligus sebagai sumber hara bagi tanaman. Selain
108 dapat digunakan pada perkebunan kelapa sawit, pupuk organik dari limbah
kelapa sawit juga dapat digunakan pada tanaman pertanian lainnya. Penelitian untuk menghasilkan green products dari bahan kelapa sawit
perlu segera untuk dikembangkan, terutama ditujukan sebagai kompetitor dari produk kimiawi yang ada saat ini. Green products mempunyai nilai kompetisi dan
penetrasi pasar yang sangat tinggi dibandingkan dengan produk yang dihasilkan bukan dari tanaman. Beberapa produk yang dapat dihasilkan dari kelapa sawit
adalah Xylose dari tandan buah kosong, aceton, butanol, dan ethanol dari LCPKS, asam sitrat dari LCPKS, asam organik asam asetat, asam propionat
dari LCPKS. Produk-produk ini dapat dikategorikan sebagai green-chemicals. Penelitian tentang biopolimer untuk bahan adhesiv dan coating berpeluang besar
untuk tanaman kelapa sawit, dimana produk sampingan proses pengolahan kelapa sawit banyak mengandung bahan tersebut. Tanaman di daerah tropis
mempunyai kelebihan dalam produksi seloluse yang lebih tinggi 2-3 kali dibanding dengan iklim lain. Secara umum Tandan Buah Kosong TBK kelapa
sawit mengandung 35-40 selolusa, 15-21 lignin, dan 24-27 hemiselolusa. Produk biopolimer-adhesive dari kelapa sawit dapat untuk
menggantikan resin sintesis yang diproduksi dari produk petrokimia. Pemanfaatan produk kelapa sawit sebagai sumber energi yang sudah
digunakan secara luas seperti biodisesel. Penggunaan green energi membuka peluang penelitian yang cukup besar. Sumber energi yang dapat digunakan
sebagai sumber energi dalam proses pengolah produk kelapa sawit untuk menggunakan bahan bakar fosil Liwang, 2003. Penggunaan biomassa sebagai
sumber energi yang terbarukan belum banyak dilakukan. Oleh karena itu peluang untuk meneliti pemanfaatan biomassa sebagai sumber energi yang terbarukan
masih sangat besar karena hasil penelitian ini dapat memberikan keuntungan baik dari segi finansial maupun lingkungan.
Selain keuntungan dari pemanfaatan pupuk hasil pengomposan, terdapat peluang pendapatan yang relatif tinggi dari kegiatan pengomposan limbah pabrik
kelapa sawit yaitu mekanisme pembangunan bersih CDM. Melalui mekanisme CDM, diharapkan akan memungkinkan adanya transfer teknologi dari negara
maju ke negara berkembang. Seperti yang tertera pada Protokol Kyoto artikel 12, tujuan mekanisme CDM adalah: 1 Membantu negara berkembang dalam
mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan untuk berkontribusi pada tujuan utama Konvensi Perubahan Iklim, yaitu untuk menstabilkan konsentrasi gas
109 rumah kaca di atmosfer; dan 2 Membantu negara-negara Annex I atau negara
maju agar dapat memenuhi target penurunan emisi negaranya. Kegiatan usaha yang dapat dibiayai oleh proyek CDM antara lain di bidang perkebunan:
fermentasi enterik; pengelolaan kotoran ternak; penanaman padi; lahan pertanian; pembakaran padang rumput sesuai peraturan yang ada; pembakaran
limbah pertanian; dan bidang persampahan: pembuangan sampah padat di lahan; pengelolaan air buangan; insinerasi sampah; lainnya.
Manfaat yang dapat diperoleh dalam kegiatan CDM khususnya di bidang perkebunan adalah hadirnya proyek-proyek ramah lingkungan dengan biaya
relatif lebih murah, adanya transfer teknologi dari negara maju dengan biaya terjangkau, dan terciptanya pembangunan berkelanjutan. Yang terpenting, salah
satu syarat proyek CDM adalah adanya keuntungan proyek tersebut bagi masyarakat lokal, baik secara sosial, ekonomi, dan lingkungan. CDM merupakan
satu peluang dalam perdagangan internasional yang permintaannya sangat terbatas.
Kegiatan pengomposan limbah PKS dapat menurunkan emisi gas rumah kaca sehingga akan mendapatkan sebuah kredit yang dinamakan CER certified
emissions reduction. Kredit yang dihasilkan dari CER ini akan dihitung sebagai emisi yang berhasil diturunkan oleh negara Annex I melalui CDM. Melalui proyek
CDM, negara Annex I mendapat keuntungan yaitu dapat melakukan penurunan emisi dengan harga yang relatif lebih murah jika mereka harus mengembangkan
proyek tersebut di negara mereka sendiri. Selain itu negara berkembang sebagai tuan rumah proyek CDM mendapatkan keuntungan berupa bantuan keuangan,
transfer teknologi dan pembangunan yang berkelanjutan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa pengelolaan limbah pabrik kelapa sawit menuju nir limbah dapat dilakukan
dengan pemanfaatan limbah padat dan cair melalui pengomposan. Kesimpulan penelitian analisis kebijakan pengelolaan limbah pabrik kelapa sawit menuju nir
limbah adalah sebagai berikut: 1. Faktor kunci yang mempengaruhi penerapan teknologi pengelolaan limbah
pabrik kelapa sawit menuju nir limbah adalah peningkatan kapasitas pabrik kelapa sawit, pengelolaan limbah padat, pengelolaan limbah cair, dan
peningkatan nilai ekonomi limbah. 2. Sistem pengelolaan limbah pabrik kelapa sawit untuk menuju nir limbah yang
dapat diterapkan adalah menggunakan limbah by product dari setiap proses produksi kelapa sawit sebagai input proses produksi kelapa sawit melalui
pengolahan limbah cair dan limbah padat menjadi kompos sehingga dapat dimanfaatkan untuk pemupukan yang dapat meningkatkan produktivitas
kebun. 3. Model sistem penilaian terpadu PKS SPT-PKS yang dirancang PTPN IV
Sumatera Utara terbukti dapat memberikan hasil penilaian secara cepat yang akurat dan valid. Hasil simulasi pada PKS Dolok Sinumbah menunjukkan
kinerja perusahaan secara keseluruhan tergolong baik, berdasarkan kriteria kualitas bahan baku, proses produksi, hasil PKO dan CPO, pengolahan
limbah padat dan cair, serta aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. 4. Skenario optimal pengelolaan limbah pabrik kelapa sawit menuju nir limbah
adalah pengembangan perusahaan dan perbaikan kinerja lingkungan. Skenario ini dicapai melalui peningkatan kapasitas produksi pabrik kelapa
sawit, pengelolaan limbah padat dan cair, dan peningkatan nilai ekonomi limbah. Dalam kondisi ini terjadi perbaikan kinerja perusahaan secara
keseluruhan dan pemanfataan limbah sebagai pupuk organik yang dapat penggunaan pupuk anorganik. Strategi untuk mengimplementasikan skenario
optimal ini secara operasional adalah: a. Peningkatan kapasitas pabrik kelapa sawit dilakukan dengan melakukan
berbagai survai untuk persiapan pelaksanaan, penetapan peraturan yang