Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata

BAB III ASAS PEMBUKTIAN SECARA SEDERHANA DALAM UU NO 37 TAHUN 2004 Hukum acara pada Pengadilan Niaga atau hukum acara kepailitan adalah hukum formil yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan atau penerapan hukum materiil dalam perkara pailit dan perkara PKPU. Dengan kata lain, hukum acara Pengadilan Niaga adalah hukum yang mengatur dan menjamin pelaksanaan hukum materiil. UUK-PKPU selain memuat hukum materiil juga memuat hukum formalhukum acara. Apabila dalam UUK-PKPU tidak diatur hukum acara maka berlakulah hukum acara perdata , baik yang diatur dalam HIRRBg, maupun Rv. Mekanisme dan prosedur beracara di Pengadilan Niaga, sepanjang diatur dalam UUK-PKPU, maka diberlakukanlah ketentuan tersebut. Namun apabila tidak diatur, dapat diberlakukan hukum acara perdata sebagaimana diatur dalam HIRRBg dan Rv. Hal ini sesuai dengan Pasal 299 UUK-PKPU yang menyatakan “Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini maka Hukum Acara yang berlaku adalah Hukum Acara Perdata.” Dengan demikian, berlaku juga asas Lex Spesialis Derogat Legi Generalis.

A. Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata

Hukum acara perdata juga disebut hukum perdata formil, adalah hukum yang mengatur bagaimana cara melaksanakan hak dan kewajiban perdata sebagaimana yang diatur dalam hukum perdata materiil. 66 Dalam hukum acara perdata, tugas seorang hakim adalah menyelidiki apakah hubungan yang menjadi dasar perkara benar-benar ada atau tidak. Hubungan inilah yang harus terbukti di 66 R. Subekti,Hukum Acara Perdata Jakarta: Bina Cipta, 1977, hlm. 1. 43 depan hakim. Tugas kedua belah pihak yang berperkara baik penggugat maupun tergugat harus memberi bahan-bahan bukti yang diperlukan oleh hakim. Dengan bahan-bahan bukti ini, masing-masing pihak berusaha membuktikan dalilnya atau pendiriannya yang dikemukakan kepada hakim dan hakim diwajibkan memutus perkara itu. 67 1. Definisi pembuktian Supomo menerangkan bahwa pembuktian mempunyai arti luas dan arti terbatas. Dalam arti luas, membuktikan berarti memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti yang sah. Di dalam arti yang terbatas membuktikan hanya diperlukan apabila yang dikemukakan oleh penggugat dibantah oleh tergugat. Apabila tidak dibantah maka tidak perlu dibuktikan. Kebenaran dari apa yang tidak dibantah tersebut tidak perlu dibuktikan. 68 Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan. 69 Dapat dikatakan bahwa hukum pembuktian memegang peranan atau menduduki tempat yang amat penting dalam hukum acara perdata, karena dikabulkan atau ditolaknya suatu gugatan bergantung pada terbukti atau tidaknya gugatan tersebut di 67 Victorianus M.H Randa Puang, Op.Cit., hlm. 13. 68 Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri Jakarta: Bina Aksara, 1983, hlm. 188, seperti dikutip oleh Deasy Soeikromo, “Proses Pembuktian dan Penggunaan Alat-Alat Bukti Pada Perkara Perdata di Pengadilan, ” Jurnal Vol. II, No.1, Januari – Maret, 2014, hlm. 3. 69 Yeniarty Damanik, “Informasi, Dokumen dan Tanda Tangan Elektronik Sebagai Alat Bukti yang Sah dalam Hukum Acara Perdata Kaitannya dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008” Skripsi Sarjana, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2010 hlm. 21-22. Pengadilan. 70 Pembuktian diperlukan dalam suatu perkara yang mengadili suatu sengketa di Pengadilan jurisdicto contentiosa maupun dalam perkara- perkara permohonan yang menghasilkan suatu penetapan jurisdicto voluntair. 71 Hukum pembuktian law of evidence dalam berperkara merupakan bagian yang sangat kompleks dalam proses litigasi. Keadaan kompleksitasnya makin rumit, karena pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi kejadian atau peristiwa masa lalu past even sebagai suatu kebenaran truth. Meskipun kebenaran yang dicari dan diwujudkan dalam proses peradilan perdata bukan bersifat absolut, tetapi bersifat kebenaran relatif atau bahkan cukup bersifat kemungkinan, namun untuk mencari kebenaran yang demikianpun, tetap menghadapi kesulitan. 72 Secara formal, hukum pembuktian itu mengatur cara bagaimana mengadakan pembuktian seperti terdapat di dalam HIR dan RBg. Sedangkan secara materiil, hukum pembuktian itu mengatur dapat tidaknya diterima pembuktian dengan alat-alat bukti tertentu di persidangan serta kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti itu. 73 70 Darwin Prinst, Strategi Menyusun dan Menangani Gugatan Perdata Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996, hlm. 177, seperti dikutip oleh Victorianus M.H Randa Puang, Op.Cit, hlm. 13. 71 Retnowulan Sutriano dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek Bandung: Alumni, 1993, hlm.53 seperti dikutip oleh Yeniarty Damanik,Loc.Cit, hlm.22. 72 John J. Cound. Cs. Civil Procedure: Case Material St.Paul Minn, West Publishing, 1985, hlm. 867, seperti dikutip oleh M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hlm. 496. 73 Krisna Harahap, Hukum Acara Perdata, Class Action serta Arbitrase dan Alternatif Bandung: Grafitri, 2003, hlm. 67, seperti dikutip oleh Victorianus M.H Randa Puang, Op.Cit., hlm. 14. Para pihak yang berperkara dan hakim yang memimpin pemeriksaan perkara di persidangan harus mengindahkan ketentuan-ketentuan dalam hukum pembuktian yang mengatur tentang cara pembuktian, beban pembuktian, macam-macam alat bukti serta kekuatan alat-alat bukti tersebut dan sebagainya. Hukum pembuktian ini termuat dalam HIR Herziene Indonesische Reglement yang berlaku di wilayah Jawa dan Madura, Pasal 162 sampai dengan Pasal 177; RBg Rechtsreglement voor de Buitengewesten berlaku di luar wilayah Jawa dan Madura, Pasal 282 sampai dengan Pasal 314; Stb.867 No. 29 tentang Kekuatan Pembuktian Akta di Bawah Tangan; dan BW Burgerlijk Wetboek atau KUHPerdata Buku IV Pasal 1865 sampai dengan Pasal 1945. 74 2. Beban pembuktian Seperti yang telah diuraikan di atas, maka pembuktian dilakukan oleh para pihak dan bukan oleh hakim. Hakimlah yang memerintahkan kepada para pihak untuk mengajukan alat-alat buktinya. Hakimlah yang membebani para pihak dengan pembuktian bewijslast, burden of proof. 75 Pembagian beban pembuktian tercantum dalam Pasal 163 HIR Pasal 283 RBg, Pasal 1865 BW, yang berbunyi: “Barang siapa yang mengaku mempunyai hak atau yang mendasarkan pada suatu peristiwa untuk menguatkan haknya itu atau untuk menyangkal hak orang lain, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu”. Ini berarti bahwa kedua belah pihak, baik penggugat maupun tergugat dapat dibebani dengan pembuktian. 74 Yeniarty Damanik, Loc.Cit, hlm. 25. 75 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia Yogyakarta: Liberty,1998, hlm.141. Terutama penggugat wajib membuktikan peristiwa yang diajukannya, sedangkan tergugat berkewajiban membuktikan bantahannya. Penggugat tidak diwajibkan membuktikan kebenaran bantahan tergugat, demikian pula sebaliknya tergugat tidak diwajibkan untuk membuktikan kebenaran peristiwa yang diajukan oleh Penggugat. Kalau penggugat tidak dapat membuktikan peristiwa yang diajukannya maka ia dapat kalah dalam persidangan. Sedangkan jika tergugat tidak dapat membuktikan bantahannya ia pun harus dikalahkan. Jadi apabila salah satu pihak dibebankan pembuktian tetapi ia tidak dapat membuktikannya maka ia harus dikalahkan risiko pembuktian. Pada hakikatnya hal ini tidak lain untuk memenuhi syarat keadilan, agar resiko dalam beban pembuktian itu tidak berat sebelah. Oleh karena itu pembagian beban pembuktian sangat menentukan jalannya peradilan. Hakim harus sangat berhati-hati dalam melakukan pembagian beban pembuktian. Sudut pandang ilmu pengetahuan mengenal beberapa teori tentang beban pembuktian yang merupakan pedoman bagi hakim, yaitu: 76 a. Teori pembuktian yang bersifat menguatkan belaka bloot affirmatief. Menurut teori ini, siapa yang mengemukakan sesuatu harus membuktikannya dan bukan mengingkari atau menyangkalnya. Teori ini sekarang telah ditinggalkan. b. Teori hukum subjektif Menurut teori ini suatu proses perdata itu selalu merupakan pelaksanaan hukum subjektif atau bertujuan mempertahankan hukum 76 Ibid.,hlm. 143-146. subjektif,dan siapa yang mengemukakan atau mengaku mempunyai sesuatu hak harus membuktikannya. Dalam hal ini penggugat tidak perlu membuktikan semuanya. Untuk mengetahui peristiwa mana yang harus dibuktikan, dibedakan antara peristiwa-peristiwa umum dan peristiwa khusus. Penggugat berkewajiban membuktikan adanya peristiwa-peristiwa khusus yang bersifat menimbulkan hak. Sedangkan tergugat harus membuktikan tidak adanya peristiwa-peristiwa syarat-syarat umum dan adanya peristiwa-peristiwa khusus yang bersifat mengahalang-halangi dan bersifat membatalkan. Di dalam praktek teori ini sering menimbulkan ketidakadilan. Hal ini di atasi dengan memberi kelonggaran kepada hakim untuk mengadakan pengalihan beban pembuktian. c. Teori hukum objektif Menurut teori ini, mengajukan tuntutan hak atau gugatan berarti penggugat meminta kepada hakim agar hakim menerapkan ketentuan- ketentuan hukum objektif terhadap peristiwa yang diajukannya dan kemudian mencari hukum objektifnya untuk diterapkan pada peristiwa tersebut. d. Teori hukum publik Menurut teori ini mencari kebenaran suatu peristiwa di dalam peradilan merupakan kepentingan publik. Oleh karena itu hakim harus diberi kewenangan yang lebih besar untuk mencari kebenaran. Di samping itu para pihak memiliki kewajiban yang sifatnya hukum publik, untuk membuktikan dengan segala macam alat bukti. Kewajiban ini harus disertai dengan sanksi pidana. e. Teori hukum acara Asas audi et alteram partem atau juga asas kedudukan prosesuil yang sama daripada para pihak di muka Hakim merupakan asas pembagian beban pembuktian berdasarkan kesamaan kedudukan para pihak. Asas kedudukan prosesuil yang sama dari para pihak membawa akibat bahwa kemungkinan untuk menang bagi para pihak harus sama. Oleh karena itu Hakim harus membebani para pihak dengan pembuktian secara seimbang atau patut. Pedoman umum bagi Hakim dalam membagi beban pembuktian termuat dalam Pasal 1865 KUHPerdata, dan Pasal 163 HIR. Pasal 1865 KUHPerdata menyatakan bahwa setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak atau menunjuk suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya itu atau untuk membantah suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu atau kejadian yang dikemukakan itu. Sedangkan Pasal 163 HIR menyatakan bahwa barangsiapa yang mengatakan mempunyai barang sesuatu hak atau menyebutkan sesuatu kejadian untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu. Inti dari kedua pasal tersebut pada hakikatnya adalah sama, yang menyatakan bahwa orang yang mendalilkan adanya sesuatu hak atau kejadian untuk meneguhkan haknya itu, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. 77 Hal ini dikenal dengan asas siapa mendalilkan sesuatu, maka ia harus membuktikan. Secara sepintas, asas tersebut kelihatannya sangat mudah. Sesungguhnya dalam praktek merupakan hal yang sangat sukar untuk menentukan secara tepat, siapa yang harus dibebani kewajiban untuk membuktikan sesuatu. 78 Berkaitan dengan pasal tersebut di atas, Wirjono berpendapat bahwa kedua pasal ini sama sekali tidak cukup untuk dapat dijadikan dasar penyelesaian soal pembagian beban pembuktian, oleh karena baik penggugat maupun tergugat dapat masukan penyebutan orang yang oleh pasal itu dibebankan membuktikan sesuatu hal. Kedua-duanya dapat mengatakan mempunyai suatu hak untuk meneguhkan haknya atau untuk membantah adanya hak orang lain. 79 Pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa masalah beban pembuktian itu sebenarnya bergantung kepada situasi dan kondisi masing-masing perkara yang dihadapi atau ditangani oleh hakim di depan sidang pengadilan. Oleh karena itu, hakim harus benar-benar memperhatikan pertimbangan keadilan, walaupun di dalam hukum material telah ditetapkan tentang pembagian beban pembuktian tersebut. 80 Pasal 1865 KUH Perdata dan Pasal 163 HIR merupakan asas umum beban pembuktian. Di samping kedua pasal tersebut, hukum materiil sendiri mengatur atau menetapkan suatu beban pembuktian, di antaranya: 77 Teguh Samudra, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata Bandung:Alumni, 2004, hlm. 22, seperti dikutip oleh Victorianus M.H Randa Puang, Op.Cit., hlm.18. 78 Victorianus M.H Randa Puang, Ibid. 79 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata Indonesia Bandung: Sumur Bandung, 1975, hlm. 105, seperti dikutip oleh Victorianus M.H Randa Puang, Ibid. 80 Ibid., hlm. 24. a. Adanya keadaan yang memaksaforce majeurei harus dibuktikan oleh pihak debitur Pasal 1244 KUH Perdata b. Pihak yang menuntut penggantian kerugian akibat perbuatan melanggar hukum, harus membuktikan adanya kesalahan Pasal 1365 KUH Perdata c. Adanya kwitansi yang berturut-turut tanggal pembayarannya sebanyak tiga kwitansi, membebaskan debitur untuk membuktikan kebenaran pembayaran-pembayaran yang lebih dahulu Pasal 1394 KUH Perdata. Pasal ini membebankan pembuktian kepada penyewa tentang kebenaran pembayaran sewa. d. Adanya bukti pembayaran pokok uang pinjaman dianggap terbukti telah membayar bunga dari pinjaman tersebut Pasal 1769 KUH Perdata. Pasal ini secara tegas membebaskan debitur membuktikan kebenaran pembayaran bunga apabila dia mampu membuktikan pembayaran utang pokok. e. Seseorang yang menguasai barang bergerak, dianggap sebagai pemiliknya Pasal 1977 ayat 1 KUH Perdata. Pasal ini mengatur asas bezit merupakan titel yang sempurna. f. Pihak pengangkut barang harus mengganti kerugian yang diderita pemilik barang, apabila barangnya yang diangkut tidak hanya sebagian diserahkan kepada Pemilik itu, kecuali jika si pengangkut dapat membuktikan bahwa tidak diserahkannya barang itu adalah akibat dari suatu peristiwa di luar kemampuan manusia Pasal 468 ayat 2 KUHD. 3. Macam-macam alat bukti dalam perkara perdata Ketentuan pada HIR dan RBg mengatur hakim terikat dengan alat-alat bukti yang sah yang diatur dengan undang-undang. Maka dari itu hakim hanya boleh menjatuhkan putusan berdasarkan alat-alat bukti yang telah diatur dengan undang-undang. Alat bukti adalah bahan-bahan yang dipakai untuk pembuktian dalam suatu perkara perdata di muka sidang Pengadilan. Dalam perkara perdata ada 5 lima macam alat bukti, yaitu: 81 . a. Alat bukti tulisansurat Alat bukti tulisan atau yang disebut juga sebagai bukti surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang bisa dimengerti dan mengandung suatu pikiran tertentu. 82 Dalam perkara perdata, bukti tulisan atau surat merupakan alat bukti yang utama. Hal ini tidaklah mengherankan, karena dalam lalu lintas keperdataan dan perdagangan seringkali orang dengan sengaja menyediakan suatu bukti yang dapat dipakai apabila timbul suatu persengketaan dikemudian hari. Bukti yang disediakan pada lazimnya berupa tulisan. 83 Alat bukti tulisansurat diatur dalam Pasal 137-138 HIR163-164 RBg tentang pemeriksaan surat, Pasal 165 -167 HIR285 – 305 RBg. Pasal 224 HIR258 RBg, Pasal 1867 -1894 KUH Perdata dan Stb. 1867 No. 29 tentang macam-macam surat dan kekuatan hukumnya. 84 81 Pasal 164 HIR284 RBg1866 BW. 82 Sudikno, Mertokusumo, Op.Cit., hlm. 141-142. 83 Ibid. 84 Bachtiar Efendi, Masdari Tasmin, A. Chodari, Surat Gugat dan Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991, hlm. 59. Alat bukti tulisan terbagi atas 2 dua macam, yaitu akta dan tulisan-tulisan lain yang bukan akta. Akta dapat dibedakan atas 2 dua macam, yaitu akta otentik dan akta di bawah tangan. Akta adalah surat yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar suatu hak dan ditandatangani dengan tujuan untuk dijadikan sebagai alat bukti. Jadi akta harus ditandatangani. 85 Akta mempunyai 2 dua fungsi, yaitu fungsi formalformalitatie causa dan fungsi alat buktiprobationis causa. Fungsi formal artinya adanya akta merupakan syarat formal untuk menyatakan adanya suatu perbuatan hukum dan fungsi alat bukti artinya sejak semula dibuatnya akta itu untuk dipakai sebagai alat bukti satu-satunya menurut undang-undang. 86 Sedangkan yang dimaksud dengan akta otentik adalah surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum yang mempunyai wewenang untuk membuat surat itu, dengan maksud menjadikan surat itu sebagai alat bukti. 87 Dengan demikan, akta otentik ada 2 dua macam, yaitu: 1 Akta yang dibuat oleh pejabat yang disebut dengan akta pejabat acte ambtelijk, misalnya Notaris membuat notulen dari suatu rapat, polisipemeriksa mencatat semua pengakuan tertuduh atau saksi, Juru Sita membuat suatu relas. 2 Akta yang dibuat di hadapan pejabat yang disebut dengan akta partai acte partij. 85 Pasal 1869 KUHPerdata. 86 Bachtiar Efendi, Op.Cit., hlm. 60-61, seperti dikutip oleh Victorianus M.H Randa Puang, Op.Cit., hlm. 23. 87 Pasal 1868 KUH Perdata. Pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik itu adalah notaris, panitera, camat, pegawai catatan sipil, dan sebagainya. Berdasarkan Pasal 165 HIR285 RBg1870 KUH Perdata, akta otentik merupakan bukti yang sempurna atau disebut juga bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapatkan hak daripadanya. Dengan demikian isi akta tersebut oleh hakim dianggap benar, selama ketidakbenarannya tidak dapat dibuktikan. Akta otentik mempunyai 3 tiga macam kekuatan pembuktian, yaitu: 1 Kekuatan pembuktian formil, artinya membuktikan antara para pihak, bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut. 2 Kekuatan pembuktian materiil, artinya membuktikan antara para pihak, bahwa peristiwa yang tertulis dalam akta tersebut benar-benar telah terjadi. Kekuatan bukti materiil inilah yang penting dalam perkara perdata. 3 Kekuatan pembuktian lahir, artinya bahwa suatu akta yang lahirnya tampak sebagai akta otentik serta memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan, maka akta itu berlaku atau dapat dianggap sebagai akta otentik, sampai terbukti sebaliknya. 88 Akta dibawah tangan adalah suatu surat yang ditandatangani dan dibuat dengan maksud untuk dijadikan alat bukti dari suatu perbuatan hukum, tetapi tidak dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang ditentukan oleh undang-undang. 88 Krisna Harahap, Op.Cit., hlm. 76, seperti dikutip oleh Victorianus M.H Randa Puang, Op.Cit., hlm. 24. Akta di bawah tangan mempunyai kekuatan bukti yang sempurna seperti akta otentik, apabila isi dan tanda tangan dari akta tersebut diakui oleh orang yang bersangkutan. Akan tetapi, dari segi hukum pembuktian, agar suatu tulisan bernilai sebagai akta di bawah tangan, diperlukan beberapa syarat pokok, yaitu: 89 1 Surat atau tulisan itu ditandatangani; 2 Isi yang diterapkan di dalamnya menyangkut perbuatan hukum rechtshandeling atau hubungan hukum rechtsbetrekking; 3 Sengaja dibuat untuk dijadikan bukti dari perbuatan hukum yang disebut di dalamnya. b. Alat bukti saksi Pada dasarnya pembuktian dengan saksi baru diperlukan apabila bukti dengan surattulisan tidak ada untuk mendukung dan menguatkan kebenaran dalil- dalil yang menjadi dasar pendiriannya para pihak berperkara masing-masing. Saksi-saksi itu ada yang secara kebetulan melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan kebenarannya di muka hakim misalnya: para tetangga, orang yang secara kebetulan melihat ataupun mendengar peristiwa itu dan ada juga saksi-saksi yang sengaja datang diminta untuk dagang menyaksikan suatu perbuatan hukum yang sedang berlangsung misalnya; kepala desa, camat, notaris, dan lain-lain. 90 Seorang saksi harus menerangkan tentang apa yang dilihat atau dialaminya sendiri dan setiap kesaksian itu harus disertai dengan alasan-alasan yang 89 M. Yahya Harahap, Op.Cit., hlm. 590. 90 Darwin Prinst, Op.Cit., hlm.181-182, seperti dikutip oleh Victorianus M.H Randa Puang, Op.Cit, hlm.26. mendukung bagaimana diketahuinya hal-hal yang diterangkan itu. Terdapat beberapa ketentuan dalam suatu kesaksian, yakni: 91 1 Setiap kesaksian haruslah menyebut segala penyebab berdasarkan apa pengetahuan saksi itu sendiri. 2 Perasaan atau persangkaan yang terjadi karena kata akal, bukanlah merupakan suatu kesaksian. Seorang saksi tidak boleh memberikan keterangan-keterangan yang berupa kesimpulan-kesimpulan, karena hal itu adalah tugas hakim. Pendapat atau dugaan yang diperoleh karena berpikir bukanlah merupakan suatu kesaksian. 92 Demikian juga kesaksian yang didengar dari orang lain yang disebut testimonium de auditu 93 bukan merupakan alat-alat bukti dan tidak perlu dipertimbangakan. 94 Pada asasnya semua orang yang cakap dan yang bukan salah satu pihak, dapat didengar sebagai saksi dan apabila dipanggil oleh pengadilan wajib memberikan kesaksian. Namun demikian, ada beberapa pengecualian terhadap kewajiban memberi kesaksian, yaitu: 95 1 Ada segolongan orang yang tidak mamputidak dapat bertindak sebagai saksi. Mereka ini dibedakan antara yang dianggap tidak mampu secara mutlak misalnya: keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut keturunan yang lurus dari salah satu pihak, suamiistri dari salah satu pihak, meskipun sudah bercerai dan tidak 91 Pasal 171 HIR Pasal 308 RBg. 92 Pasal 171 ayat 2 HIR 308 ayat 2 RBg1907 KUH Perdata. 93 Testimonium de auditu, adalah keterangan yang saksi peroleh dari orang lain. Ia tidak mendengarnya atau mengalaminya sendiri. 94 Victorianus, Op.Cit., hlm.27. 95 Ibid., hlm.28. mampu secara relatif misalnya: anak-anak yang belum dewasa dan orang gila, sekalipun kadang-kadang inagatannya terang atau sehat. Keterangan mereka ini hanyalah boleh dianggap sebagai penjelasan belaka dan mereka yang memberikan keterangan ini tidak perlu disumpah. 96 2 Ada segolongan orang yang atas permintaannya sendiri dibebaskan dari kewajiban untuk memberi kesaksian. Mereka yang boleh mengundurkan diri, adalah: a Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan dari salah satu pihak; b Keluarga sedarah baik menurut keturunan yang lurus maupun saudara-saudari dari suamiistri; c Sekalian orang yang karena martabatnya, pekerjaannya atau jabatan yang sah, diwajibkan menyimpan rahasia. Akan tetapi hanya semata-mata mengenai pengetahuan yang diserahkan kepadanya karena martabat, pekerjaan atau jabatannya itu. 97 c. Alat bukti persangkaan Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dianggap terbukti atau peristiwa yang dikenal, ke arah suatu peristiwa yang belum terbukti. Persangkaan sangat berguna apabila dalam suatu perkara sangat 96 Pasal 145 HIR. 97 Pasal 146 ayat 1 HIR. sulit diperoleh para saksi yang melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang akan dibuktikan. 98 Persangkaan diatur dalam Pasal 173 HIR310 RBg 1915-1922 KUH Perdata. 99 Sedangkan persangkaan yang diatur dalam Pasal 164 HIR284 RBg1866KUH Perdata dapat dikatakan sebagai salah satu alat bukti dalam perkara Perdata. Menurut Pasal 1915 KUH Perdata pihak yang berwenang untuk menarik kesimpulan,adalah hakim dan undang-undang. Apabila yang menarik kesimpulan itu adalah hakim, maka kesimpulan itu dinamakan persangkaan hakim. Sedangkan apabila yang menarik kesimpulan itu undang-undang, maka dinamakan persangkaan undang-undang. Persangkaan undang-undang itu antara lain sebagai berikut: 100 1 Perbuatan yang oleh undang-undang dinyatakan batal karena semata- mata demi sifat dan wujudnya, dianggap telah dilakukan untuk menyelundupi suatu ketentuan undang-undang. 2 Hal-hal dimana oleh undang-undang diterangkan bahwa hak milik atau pembebasan hutang disimpulkan dari keadaan-keadaan tertentu. 3 Kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada suatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum mutlak. 4 Kekuatan yang oleh undang-undang diberikan kepada pengakuan atau kepada sumpah salah satu pihak 98 Ibid., hlm.30. 99 Pasal 173 HIR: “ Persangkaan saja yang tidak berdasar pada suatu peraturan undang- undang, hanya boleh diperhatikan oleh Hakim waktu menjatuhkan putusnnya, jika sangka itu penting, saksama, tentu dan bersetujuan satu sama lain. 100 Ibid. Menurut ilmu pengetahuan, persangkaan itu merupakan bukti yang tidak langsung. Sebagai bukti yang tidak langsung persangkaan dibedakan menjadi 2 dua yaitu: 1 Persangkaan berdasarkan kenyataan 2 Persangkaan berdasarkan hukum, terbagi menjadi 2 dua,yakni: a. Praesumptions juris tantum, yaitu persangkaan berdasarkan hukum yang memungkinkan adanya pembuktian lawan. b. Praesumptions juris et de jure, yaitu: persangkaan berdasarkan hukum yang tidak mmungkinkan pembuktian lawan. d. Alat bukti pengakuan Alat bukti ini diatur dalam Pasal 174-176 HIR311 -313 RBg 1923-1928 KUH Perdata. Dalam Hukum Acara Perdata alat bukti pengakuan adalah keterangan baik tertulis maupun lisan, yang membenarkan peristiwa, hak atau hubungan hukum yang dikemukakan pihak lawan. Dilihat dari lokasi pengakuan itu diberikan, pengakuan dapat dibagi atas 2 dua macam, yaitu pengakuan yang dilakukan di depan sidang pengadilan dan pengakuan yang dilakukan di luar sidang pengadilan. Kekuatan pembuktian dari pengakuan yang diberikan di depan sidang pengadilan adalah sempurna terhadap siapa yang melakukannya, artinya bahwa hakim harus menganggap dalil-dalil yang telah dikemukakan dan diakui itu adalah benar. Pengakuan di muka hakim pada persidangan tidak dapat ditarik kembali. 101 Sedangkan kekuatan pembuktian 101 Pasal 1926 KUH Perdata. dari pengakuan yang diberikan di luar sidang pengadilan, diserahkan kebijaksanaan Hakim atau dengan kata lain merupakan bukti bebas. 102 e. Alat bukti sumpah Ketentuan ini diatur dalam Pasal 155 – 177 HIR182 -185 RBg 1929 - 1945 KUH Perdata. Sudikno Mertokusumo dalam bukunya memberikan definisi bukti sumpah, adalah suatu pernyataan yang hidmat yang diucapkan pada waktu memberi keterangan dengan mengingat sifat Maha Kuasa Tuhan dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan yang tidak benar akan dihukumNya. 103 Sudikno dalam bukunya membagi bukti sumpah ke dalam 2 macam, yaitu: 104 1 Sumpah promissoir, adalah sumpah untuk berjanjanji melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Yang termasuk dalam jenis sumpah ini adalah sumpah saksi dan sumpah saksi ahli. Kedua saksi ini sebelum memberikan kesaksian atau pendapatnya harus memberikan sumpah bahwa keterangan yang disampaikan merupakan keterangan yang benar dan tidak lain daripada yang sebenarnya. 2 Sumpah assertoir atau confirmatoir, adalah sumpah untuk memberi keterangan guna meneguhkan bahwa sesuatu itu benar demikian atau tidak. Sedangkan menurut HIR, ada tiga macam sumpah sebagai alat bukti, yaitu: 1 sumpah pelengkap suppletoir, adalah sumpah yang diperintahkan oleh Hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak untuk 102 Pasal 175 HIR312 RBg. 103 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hlm. 179. 104 Ibid., hlm. 179-180. melengkapi pembuktian peristiwa yang menjadi sengketa sebagai dasar putusannya. 105 2 sumpah pemutus yang bersifat menentukan decisoir adalah sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak yang berperkara kepada lawannya. Sumpah pemutus ini dapat dibebankan atau diperintahkan meskipun tidak ada pembuktian sama sekali, pada setiap saat selama pemeriksaan perkara di Pengadilan berjalan. 106 3 sumpah penaksiran aestimator adalah sumpah yang diperintahkan oleh Hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan jumlah uang ganti rugi. 107 Selain kelima alat bukti tersebut, HIR masih mengenal alat bukti lain, yaitu: f. Alat bukti pemeriksaan setempat Bukti pemeriksaan setempat adalah pemeriksaan mengenai perkara oleh Hakim karena jabatannya yang dilakukan di luar gedung Pengadilan, agar Hakim dengan meliihat sendiri memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi kepastian tentang peristiwa-peristiwa yang menjadi sengketa. 108 Dasar hukum pemeriksaan setempat tercantum dalam Pasal 153 HIR 180 RBg. Pemeriksaan setempat pada hakikatnya tidak lain daripada pemeriksaan perkara dalam persidangan, hanya saja persidangan itu berlangsung di luar gedung 105 Pasal 155 ayat 1 HIR. 106 Menurut Pasal 1930 ayat 2 KUH Perdata. 107 Pasal 155 ayat 2 HIR. 108 Victoranus M.H Randa Puang, Op.Cit., hlm. 38. dan tempat kedudukan Pengadilan, tetapi masih dalam wilayah hukum Pengadilan bersangkutan. 109 g. Alat bukti keterangan ahli Alat bukti ini diatur dalam Pasal 154 HIR 181 RBg. Dalam ketentuan HIRRBg tersebut ditentukan bahwa jiak menurut pertimbangan pengadilan, suatu perkara dapat menjadi lebih jelas kalau dimintakan keterangan ahli, maka atas permintaan pihak yang berperkara atau karena jabatan, Pengadilan dapat mengangkat seorang ahli untuk dimintakan pendapatnya mengenai suatu hal pada perkara yang sedang diperiksa. Maka dapat diketahui, keterangan ahli adalah keterangan dari pihak ketiga yang objektif dan bertujuan untuk membantu hakim dalam pemeriksaan guna menambah pengetahuan hakim sendiri. Menurut M. Nasir, baik ahli maupun saksi adalah pihak ketiga dalam proses pemeriksaan perkara di persidangan. Namun demikian, kedua alat bukti ini memiliki beberapa perbedaan yang mendasar dalam beberapa aspek, diantaranya: 110 1 Aspek pergantian Kedudukan seorang ahli dapat digantikan oleh ahli lain untuk memberikan keterangan atau pendapatnya di persidangan. Sedangkan untuk saksi tidak diperkenankan adanya pergantian dengan saksi lain, kecuali untuk peristiwa yang disaksikan oleh banyak orang, sehingga 109 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hlm. 187. 110 M. Nasir, Hukum Acara Perdata Jakarta: Djambatan, 2003, hlm.184-185, seperti dikutip oleh Victorianus M.H Randa Puang, Op.Cit., hlm. 40-41. bila seseorang saksi berhalangan dapat diganti oleh saksi lain untuk memberikan keterangannya di persidangan. 2 Aspek keahlian. Untuk ahli, biasanya diharuskan memiliki tertentu yang relevan dengan peristiwa yang sedang disengketakan, sedangkan saksi tidak diperlukan memiliki keahlian tertentu tersebut. 3 Aspek substansi Saksi memberikan keterangan terhadap apa yang dialaminya sendiri berkaitan dengan peristiwa yang disengketakan, sedangkan ahli memberikan pendapat atau kesimpulan tentang suatu peristiwa yang disengketakan tersebut. 4 Aspek cara menyampaikan Saksi harus memberikan keterangan secara lisan di Pengadilan, keterangan saksi yang tertulis dianggap sebagai alat bukti tertulis, sedangkan keterangan ahli yang ditulis tidak termasuk dalam alat bukti tertulis. 5 Aspek posisi hukum Hakim terikat untuk mendengar saksi yang akan memberikan keterangan tentang peristiwa yang relevan, sedangkan ahli, hakim bebas untuk mendengarnya atau tidak. Pembuktian dalam hukum acara perdata seperti diungkapkan di atas dipakai pada perkara perdata biasa. Namun dalam perkara perdata khusus seperti perkara kepailitan dan PKPU mengenal adanya asas pembuktian secara sederhana yang tidak dikenal dalam hukum acara perdata.

B. Pembuktian Secara Sederhana sebagai Suatu Asas

Dokumen yang terkait

Penerapan Prinsip Kelangsungan Usaha Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Studi Kasus Putusan MA No 156 PK/Pdt.Sus/2012)

4 97 96

Kewenangan Kreditur Dalam Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Menurut UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan)

2 52 135

Restrukturisasi Utang Untuk Mencegah Kepailitan

5 96 50

Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang)

2 122 433

Pelaksanaan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), Ditinjau Dari Undang-Undang Kepailitan

2 59 2

PELAKSANAAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU) DI PENGADILAN NIAGA JAKARTA PUSAT.

0 1 6

ANALISIS HOMOLOGASI DALAM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU) SEBAGAI UPAYA PENCEGAH TERJADINYA KEPAILITAN (Studi Putusan No.59/Pdt.Sus-PKPU.PN.Niaga.Jkt.Pst)

0 0 9

BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA A. Pengertian PKPU - Asas Pembuktian Secara Sederhana Dalam Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Pkpu) Pada Putusan Ma Ri No. 586 K/Pdt.Sus-Pailit/2013

0 1 23

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Asas Pembuktian Secara Sederhana Dalam Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Pkpu) Pada Putusan Ma Ri No. 586 K/Pdt.Sus-Pailit/2013

0 0 19

BAB II FILOSOFI KEWENANGAN KREDITOR DALAM PENGAJUAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG 2.1. Hakikat dan Tujuan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang - KEWENANGAN KREDITOR DALAM PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 34