Pembuktian Secara Sederhana dalam UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang

tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonan satu atau lebih krediturnya. Berdasrkan ketentuan Pasal 2 ayat 1 UUK-PKPU, kepastian hukum terhadap orang yang dijatuhi pailit jika telah memenuhi adanya 3 tiga syarat, yaitu harus ada utang, salah satu dari utang telah cukup waktu dan dapat ditagih, dan debitur mempunyai sekurang-kurangnya dua atau lebih kreditur. 131

C. Pembuktian Secara Sederhana dalam UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang UUK-PKPU mengatur mengenai pembuktian secara sederhana yakni apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan pailit yaitu: 2 dua kreditur atau lebih, adanya utang, dan salah satu utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih telah terpenuhi, secara otomatis penyataan pailit akan dijatuhkan kepada kreditur. 132 Sedangkan dalam penjelasan Pasal 8 ayat 4 UUK- PKPU yang dimaksud dengan “fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana” adalah adanya fakta dua atau lebih kreditur dan fakta adanya utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar. Sedangkan mengenai perbedaan besarnya jumlah utang yang didalilkan oleh 131 Ibid.hlm. 220-221. 132 Pasal 8 ayat 4 UUK-PKPU. pemohon pailit dan termohon pailit tidak menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit. 133 Pembuktian secara sederhana yang diatur dalam Pasal 8 ayat 4 UUK- PKPU secara eksplisit mengatur untuk diterapkan dalam perkara kepailitan. Apabila telah terbukti secara sederhana bahwa debitur mempunyai lebih dari satu kreditur dan bahwa salah satu utangnya telah jatuh waktu dan dapat ditagih, tetapi debitur tidak atau belum membayar utangnya tersebut. Dalam hal ini tidak perlu adanya pentagihan terlebih dahulu seperti pada keadaan berhenti membayar pada lazimnya, yang mana kreditur harus terlebih dahulu menagih piutangnya yang sudah jatuh waktu dan ternyata debitur meskipun sudah ditagih tetap tidak membayar utangnya. 134 Sutan Remy Sjahdeini menafsirkan bahwa Pasal 8 ayat 4 UUK-PKPU hanyalah bertujuan mewajibkan hakim untuk tidak menolak permohonan pernyataan pailit apabila dalam perkara itu dapat dibuktikan secara sederhana fakta dan keadaannya, yaitu fakta dan keadaan yang merupakan syarat-syarat kepailitan sebagaimanan dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 UUK-PKPU. Akan tetapi bukan berarti apabila ternyata dalam perkara yang diajukan permohonan pernyataan pailitnya itu tidak dapat dibuktikan secara sederhana fakta dan keadaannya, maka majelis hakim pengadilan niaga atau majelis hakim kasasi wajib menolak untuk memeriksa perkara itu sebagai perkara kepailitan karena perkara yang demikian itu merupakan kewenangan Pengadilan Negeri pengadilan perdata biasa. Majelis hakim pengadilan niaga maupun majelis hakim kasasi 133 Penjelasan Pasal 8 ayat 4 UUK-PKPU. 134 Victorianus M.H Randa Puang, Op.Cit., hlm. 43-44. wajib tetap memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit itu, sedangkan fakta dan keadaan yang tidak dapat dibuktikan secara sederhana tetap menjadi tanggung jawabnya dan bukan karena kenyataan yang demikian itu majelis hakim kepailitan harus terlebih dahulu mempersilakan para pihak untuk meminta putusan Pengadilan Negeri pengadilan perdata biasa mengenai fakta dan keadaan pokok perkara. 135 Fakta atau keadaan yang harus dapat dibuktikan secara sederhana pada Pasal 8 ayat 4 tersebut antara lain: 1. Fakta dua atau lebih kreditur Syarat bahwa debitur harus mempunyai minimal dua kreditur, sangat terkait dengan filosofis lahirnya hukum kepailitan, yang mana merupakan realisasi dari Pasal 1132 KUH Perdata. 136 Keharusan ini dikarenakan dalam kepailitan yang terjadi terjadi sebenarnya adalah sita umum terhadap semua harta kekayaan debitur dan melakukan likuidasi secara paksa, sehingga aset dan harta kekayaan debitur dapat dijual secara paksa untuk membayar utang debitur. Logika yang dibalik persyaratan tersebut adalah karena pada intinya kepailitan merupakan proses pembagian harta debitur kepada para krediturnya secara adil sesuai dengan prinsip paritas creditorium. 137 Penentuan 2 dua atau lebih kreditur dikarenakan justru tujuan atau maksud kepailitan adalah untuk mempergunakan harta debitur yang tidak cukup lagi untuk membayar seluruh utang-utang debitur secara adil, merata, dan berimbang. Pengertian adanya dua kreditur atau lebih dalam hal ini 135 Ibid., 149-150. 136 Jono, Op.Cit., hlm. 5. 137 Victorianus M.H Randa Puang, Op.Cit., hlm. 48. menjadi penting karena tanpa adanya kreditur lain, maka aset dan harta kekayaan debitur akan berada dalam penguasaan satu kreditur saja. Keberadaan dua atau lebih kreditur ini dikenal dengan sebutan concursus creditorum. 138 Sehingga apabila hanya ada satu kreditur, maka hal ini tidak sesuai dengan tujuan proses kepailitan. Disamping itu juga dengan kondisi hanya ada satu kreditur, kreditur dapat menempuh jalur perdata biasa ke Pengadilan Negeri untuk mendapatkan pelunasan utangnya. 139 2. Fakta utang Syarat lain yang harus dipenuhi selain fakta dua atau lebih kreditur adalah mengenai fakta utang. Dalam undang-undang sebelumnya, UU No. 4 Tahun 1998 tidak memberikan definisi sama sekali mengenai utang. Oleh karena itu, telah menimbulkan penafsiran utang dalam pengertian yang berbeda-beda baik secara sempit maupun luas. Apakah pengertian utang hanya terbatas pada utang yang lahir dari perjanjian utang-piutang atau perjanjian pinjam- meminjam ataukah pengertian “utang” merupakan suatu prestasi kewajiban yang tidak hanya lahir dari perjanjian utang-piutang saja misalnya perjanjian jual-beli? 140 138 Setiawan, Ordonansi Kepailitan serta Aplikasi kini, dalam: Rudhy A. Lontoh, dkk., Penyelesaian Utang-Piutang melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Bandung: Alumni, 2001, hlm. 122 seperti dikutip oleh Victorianus M.H Randa Puang, Op.Cit., hlm. 49. 139 Victorianus M. H Randa Puang, Ibid. 140 Jono, Op.Cit., hlm. 10. Tidak dirumuskannya pengertian utang dalam UU No. 4 Tahun 1998, maka dalam praktik beracara di Pengadilan timbul dua aliran diantara para hakim dalam mendefinisikan utang secara kasuistis, yaitu: 141 a. Aliran sempit yang mengatakan bahwa utang adalah kewajiban debitur untuk membayar sejumlah uang yang timbul dari perjanjian utang- piutangperjanjian kredit, yang terdiri atas utang pokok danatau bunga. Aliran ini dianut oleh sebagian hakim agung pada Mahkamah Agung sebagaimana dapat dilihat dalam putusan Nomor 03 KN1998 tertanggal 2 Oktober 1998 dalam perkara PT. Modernland Realty. Ltd dkk para pemohon kasasi melawan Husein Sani, dkk para termohon kasasi. Dalam putusan ini Hakim Agung berpendapat bahwa utang terdiri dari utang pokok ditambah bunga yang dalam istilah hukum hanya bersumber dari perjanjian utang piutang perjanjian kredit. b. Aliran luas yang berpendapat bahwa utang adalah bukan saja hanya kewajiban debitur untuk membayar sejumlah uang yang tibuk dari perjanjianutang piutang saja,tetapi juga kewajiban debitur untuk membayar sejumlah uang yang timbul dari perjanjian utang piutang saja, tetapi juga kewajiban debitur untuk membayar sejumlah uang yang timbul dari perjanjian atau undang-undang. Aliran ini dianut oleh hakim di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan sebagian Hakim Agung yang dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 04 KN1999, putusan Nomor 18 KN1999, putusan Nomor 22 KN1999, 141 Syamsuddin M Singa, Op.Cit., hlm. 11-14. dan Putusan Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam putusan Nomor 07Pailit1998PN.NiagaJkt.Pst, putusan Nomor 27Pailit1998PN.NiagaJkt.Pst, dan Putusan Nomor 62Pailit1998PN.NiagaJkt.Pst. Kontroversi mengenai pengertian utang akhirnya dapat berakhir setelah UUK-PKPU diundangkan yang dalam ketentuan umumnya telah menjelaskan apa yang dimaksud dengan utang. Pengertian utang ini sangat penting karena merupakan salah satu syarat yang wajib dipenuhi dan dibuktikan. 142 Rumusan ini dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 6 UUK-PKPU yang berbunyi: “Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitur.” 143 Definisi tersebut pada intinya yang menjadi ruang lingkup dari utang pada proses kepailitan,adalah: 144 a. Utang berupa prestasi yang memiliki nilai ekonomis.Hal ini ditegaskan bahwa utang atau prestasi tersebut adalah kewajiban yang dinyatakan dalam jumlah, terlepas menggunakan mata uang negara manapun. b. Utang yang timbul dari perjanjian dan undang-undang. Pengertian utang disini tidak dibatasi hanya utang yang berasal dari konstruksi pinjam meminjam saja tetapi dalam arti luas. Adapun batasn yang 142 Ibid., hlm. 14. 143 Pasal 1 butir 6 UUK-PKPU. 144 Victorianus M.H Randa Puang, Op.Cit., hlm. 54. diberikan adalah bahwa utang tersebut harus dapat dinyatakan dalam jumah uang untuk memastikan utang tersebut memiliki nilai ekonomis. 145 3. Fakta utang jatuh tempo dan dapat ditagih Syarat terakhir yang harus terpenuhi adalah utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih. Jatuh temponya suatu utang dapat terjadi karena beberapa hal, yaitu: 146 a. Jatuh tempo biasa maturety date, yakni jatuh tempo sebagaimana yang disepakati bersama antara kreditur dan debitur dalam perjanjian kredit. b. Jatuh tempo yang dipercepat exceleration maturety date, yakni jatuh tempoh yang mendahului jatuh tempo biasa karena debitur melanggar isi perjanjian, sehingga penagihannya diakselerasi. Misalnya dalam perjanjian kredit ditentukan bahwa perjanjian mulai berlaku, 01 Maret 2014 dan berakhir 31 Maret 2015 dengan nilai kredit satu miliar. Debitur diwajibkan mencicil utang setiap bulan termasuk bunga dan biaya lainnya senilai seratus juta. Dalam hal debitur lanca membayar cicilan utangnya hanya selama tiga bulan pertama dan setelahnya tidak membayar angsuran cicilan kreditnya tiga bulan secara berturut-turut, maka jatuh tempo dapat dipercepat. Dari yang seharusnya jatuh tempo pada bulan Maret 2015, dapat dipercepat menjadi Mei 2014. c. Jatuh tempo karena pengenaan sanksidenda oleh instansi yang berwenang. d. Jatuh tempo karena putusan pengadilan atau putusan badan arbitrase. 145 Ibid. 146 Syamsuddin M. Sinaga, Op.Cit., hlm. 91-92. Umumnya dalam perjanjian kredit dimuat secara tegas dan jelas mengenai waktu jatuh tempo, sehingga setelah waktu jatuh tempo tiba dan debitur tidak membayar utangnya, debitur dapat dipailitkan. Lain halnya dengan utang yang timbul dari bukan perjanjian kredit. Dalam hal demikian tidak dimuat jatuh temponya. 147 Utang yang timbul dari perjanjian bukan kredit untuk menentukan jatuh tempo atau waktunya adalah dengan somasi surat tegoran berdasarkan kebiasaan yang berlaku antara debitur dan kreditur. Dalam prakteknya somasi ini dilakukan sebanyak tiga kali. Utang yang terjadi karena jual beli apabila dalam faktur barang tidak dicantumkan kapan pembayaran, maka menurut kebiasaan harga wajib dibayar setelah dua minggu diterima barang. Apabila barang telah diterima, namun pembayaran sampai pada waktu sesuai dengan yang tertulis dalam faktur tidak dilaksanakan, atau bila tidak dicantumkan dalam faktur telah melebihi dua minggu tetapi tidak dilakukan pembayaran, maka dengan alasan demikian debitur dapat dipailitkan. 148 Utang telah jatuh tempo tidak serta merta utang tersebut dapat diajukan pailit. Utang yang dapat diajukan pailit adalah utang yang timbul dari hubungan hukum yang legal dan tidak melawan hukum. Terhadap utang yang timbul dari hubungan hukum yang ilegal dan melawan hukum seperti utang yang timbul karena perjudian, atau bisnis narkoba, maka pengadilan tidak akan 147 Ibid. hlm. 92. 148 Ibid.,hlm. 92-93. menerima permohonan pailitnya karena utang tersebut tidak dapat ditagih melalui sarana hukum kepailitan. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang UUK-PKPU tidak mengatur mengenai pembuktian secara sederhana dapat diterapkan dalam PKPU. Sebab dalam Pasal 8 ayat 4 UUK-PKPU secara jelas pembuktian secara sederhana diterapkan dalam perkara kepailitan. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 4 ayat 2, yang berbunyi “Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. ” 149 Melihat ketentuan tersebut maka dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman terdapat asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan. Yang dimaksud dengan “sederhana” adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efesien dan efektif. Yang dima ksud dengan “biaya ringan” adalah biaya perkara yang dapat dijangkau oleh masyarakat. Namun demikian, asas sederhana, cepat, dan biaya ringan dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara di pengadilan tidak mengesampingkan ketelitian dan kecermatan dalam mencari kebenaran dan keadilan. 150 Asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan tersebut sejalan dengan tujuan UUK-PKPU yaitu agar perkara kepailitan dan PKPU dapat 149 Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 150 Penjelasan Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. diselesaikan dengan lebih cepat, adil dan terbuka. Undang-undang ini juga bertujuan untuk memberikan perlindungan yang adil untuk menjaga kepentingan kreditur dan debitur baik untuk mendapatkan tuntutan atas utang-utangnya maupun agar dapat tetap meneruskan perniagaannya. 151 Adanya ketentuan batas waktu yang diatur antara lain dalam Pasal 225 ayat 2 dan 3 UUK-PKPU mewajibkan hakim untuk memutus permohonan PKPU sementara dengan cepat. Meskipun harus memutus permohonan PKPU sementara dengan cepat hakim tetap harus mempunyai keyakinan yang diperoleh dengan memperhatikan pembuktian yang dilakukan oleh para pihak. Untuk itu hakim dapat menerapkan pembuktian sederhana dalam memeriksa dan memutus permohonan PKPU. Sekalipun UUK-PKPU tidak mengatur asas pembuktian secara sederhana dapat diterapkan dalam permohonan PKPU namun hakim pada dasarnya dapat menerapkan asas pembuktian secara sederhana tersebut dengan memperhatikan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan serta tujuan dari UUK-PKPU yakni agar perkara kepailitan dan PKPU dapat terselenggara secara cepat, adil dan terbuka maka asas pembuktian secara sederhana dapat juga diterapkan dalam permohonan PKPU. Penerapan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan penemuan hukum dengan metode interpretasipenafsiran. Metode interpretasipenafsiran merupakan metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang 151 Tata Wijayanta, Ibid. hlm.219. lingkup, kaedah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. 152 Maka dari itu, dapat kita ketahui hakim dapat melakukan penafsiran ketika tidak lengkap atau tidak jelas hukum yang mengatur. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa asas pembuktian secara sederhana dalam kepailitan mewajibkan adanya fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana terhadap fakta dua atau lebih kreditur, adanya utang, jatuh tempo dan dapat ditagih. Sedangkan apabila asas pembuktian secara sederhana diterapkan dalam permohonan PKPU maka diantara ketiga fakta atau keadaan yang harus dibuktikan, fakta adanya utang yang paling mungkin dapat diwajibkan untuk dibuktikan secara sederhana. Mengenai fakta dua atau lebih kreditur tidak dapat diwajibkan untuk dibuktikan secara sederhana dalam permohonan PKPU sebab jika dilihat dari Pasal 222 ayat 2 UUK-PKPU, apabila PKPU diajukan oleh debitur maka cukup dengan satu kreditur saja, namun dalam hal PKPU diajukan oleh kreditur jika dilihat Pasal 222 ayat 3 maka, dapat diwajibkan ketentuan dua atau lebih kreditur dibuktikan secara sederhana. Mengenai fakta atau keadaan jatuh tempo dan dapat ditagih juga tidak dapat diwajibkan untuk dibuktikan secara sederhana jika melihat kepada Pasal 222 ayat 2 dan 3. Hal ini karena PKPU diajukan tidak hanya pada saat keadaan jatuh tempo dan dapat ditagih, tetapi juga terhadap utang yang “diperkirakan” akan jatuh tempo dan dapat ditagih dapat diajukan. 152 Adi Condro Bawono dan Diana Kusumasari, http:www.hukumonline.comklinik diakses tanggal 6 Maret 2015 pukul 08.34 wib BAB IV ASAS PEMBUKTIAN SECARA SEDERHANA DALAM PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG PKPU PADA PUTUSAN MA RI NO.586 KPDT.SUS-PAILIT2013

A. Posisi Kasus

Dokumen yang terkait

Penerapan Prinsip Kelangsungan Usaha Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Studi Kasus Putusan MA No 156 PK/Pdt.Sus/2012)

4 97 96

Kewenangan Kreditur Dalam Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Menurut UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan)

2 52 135

Restrukturisasi Utang Untuk Mencegah Kepailitan

5 96 50

Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang)

2 122 433

Pelaksanaan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), Ditinjau Dari Undang-Undang Kepailitan

2 59 2

PELAKSANAAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU) DI PENGADILAN NIAGA JAKARTA PUSAT.

0 1 6

ANALISIS HOMOLOGASI DALAM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU) SEBAGAI UPAYA PENCEGAH TERJADINYA KEPAILITAN (Studi Putusan No.59/Pdt.Sus-PKPU.PN.Niaga.Jkt.Pst)

0 0 9

BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA A. Pengertian PKPU - Asas Pembuktian Secara Sederhana Dalam Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Pkpu) Pada Putusan Ma Ri No. 586 K/Pdt.Sus-Pailit/2013

0 1 23

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Asas Pembuktian Secara Sederhana Dalam Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Pkpu) Pada Putusan Ma Ri No. 586 K/Pdt.Sus-Pailit/2013

0 0 19

BAB II FILOSOFI KEWENANGAN KREDITOR DALAM PENGAJUAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG 2.1. Hakikat dan Tujuan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang - KEWENANGAN KREDITOR DALAM PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 34