Posisi Kasus Asas Pembuktian Secara Sederhana Dalam Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Pkpu) Pada Putusan Ma Ri No. 586 K/Pdt.Sus-Pailit/2013

BAB IV ASAS PEMBUKTIAN SECARA SEDERHANA DALAM PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG PKPU PADA PUTUSAN MA RI NO.586 KPDT.SUS-PAILIT2013

A. Posisi Kasus

Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 586 KPdt.Sus- Pailit2013 melibatkan PT.Ohana Mandiri Sejahtera selaku pemohon kasasi yang dahulu sebagai pemohon penundaan kewajiban pembayaran utang PKPU terhadap CV. Surya Perdana Motor sebagai termohon I kasasi dahulu termohon I PKPU dan Suhernawati selaku direktur sekaligus sebagai termohon II kasasi dahulu termohon II PKPU. Sebelum Mahkamah Agung memutus perkara ini, pemohon kasasi dahulu pemohon PKPU telah mengajukan permohonan PKPU di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berdasarkan surat permohonan PKPU tertanggal 6 September 2013 yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 6 September 2013 dengan register perkara Nomor 55Pdt.SusPKPU2013PN Niaga Jkt.Pst Surat permohonan PKPU yang diajukan oleh pemohon menerangkan bahwa termohon I adalah sebuah perseroan komanditer yang bermaksud untuk menjalankan kegiatan bisnis sebagai dealer membeli sepeda motor dan kemudian menjualnya kembali kepada konsumen, dan oleh karenanya termohon II selaku pesero komanditer meminjam uang kepada pemohon untuk dipergunakan sebagai modal pembelian sepeda motor oleh termohon I. Berdasarkan Pasal 19, Pasal 20 Kitab Undang- Undang Hukum Dagang “KUHD” didalam peseroan komanditer dikenal dua jenis pesero, yaitu pesero aktif dan pasif. Ketentuan Pasal 20 alinea 2 82 dan 3 KUHD serta Pasal 21 KUHD, perbuatan meminjam uang yang dilakukan oleh termohon II untuk kepentingan termohon I dapat dikualifikasi sebagai perbuatan termohon I, dan oleh karenanya termohon II telah melakukan tindakan pengurusan sehingga termohon II secara tanggung menanggung dapat dipertanggung- jawabkan kerena merupakan pesero aktif. Termohon I dalam menjalankan bisnisnya memerlukan dana yang cukup besar dan oleh karena itu Termohon I yang diwakili oleh Termohon II beberapa kali meminjam sejumlah uang dari Pemohon yang besarnya berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan dari para termohon. Sehingga ditandatangani perjanjian pinjaman antara pemohon dan para termohon yang tertuang dalam sembilan surat perjanjian pinjaman SPP. Dalam SPP tersebut ditetapkan mengenai pinjaman pokok, jangka waktu pembayaran dan jatuh tempo, bunga, dan denda keterlambatan sebesar 0,5 per hari dari seluruh jumlah pinjaman, serta penyerahan hak milik atas barang bergerak dan tidak bergerak milik termohon II. Pemohon kemudian memberikan uang pinjaman dengan cara beberapa kali transfer ke rekeningan BCA atas nama Suhernawati termohon II senilai Rp.5.472.500.000,00 dengan biaya administrasi bank senilai Rp.50.000,00 sehingga total pemohon mengeluarkan biaya sebesar Rp.5.472.550.000,00. Ternyata saat masing-masing pinjaman sebagaimana diatur disepakati dalam SPP jatuh tempo dan dapat ditagih, para termohon tidak mampu melakukan pembayaran atas pinjamannya. Setelah ditagih para termohon tetap tidak dapat melakukan pembayaran atas pinjamannya, oleh karenanya antara pemohon dan para termohon ditandatangani beberapa Surat Pernyataan Pengakuan Hutang dan Kegagalan Pembayaran Hutang “SPPH-KPH” sebagai dokumen perjanjian perpanjangan jangka waktu, yang kemudian disebut “SPPH-KPH Pertama”. Selanjutnya para termohon menyerahkan bilyet giro kepada pemohon untuk pembayaran utangnya, namun demikian pada saat tanggal jatuh tempo bilyet giro tersebut tidak dapat dicairkan diuangkan karena ternyata dananya kosongtidak ada, sehingga para termohon kembali mengajukan permohonan kepada pemohon untuk memperpanjang jangka waktu pinjaman melalui SPPH- KPH yang kedua, sehingga ditandatangani beberapa SPPH-KPH yang kedua. Jumlah utang pokok, bunga dan denda Para termohon kepada Pemohon sesuai denganyang timbul berdasarkan SPP, SPPH-KPH Pertama, dan SPPH- KPH Kedua tersebut adalah sebesar Rp9.332.500.000,00 sembilan milyar tiga ratus tiga puluh dua juta lima ratus ribu rupiah. Atas jumlah hutang tersebut, para para termohon beberapa kali melakukan pembayaran, sehingga jumlah total yang telah dibayarkan adalah sebesar Rp3.530.000.000,00 tiga miliar lima ratus tiga puluh juta. Oleh karena itu utang yang masih tertunggak adalah sebesar Rp5.802.500.000,00 lima milyar delapan ratus dua juta lima ratus ribu rupiah, dimana hutang tertunggak tersebut sampai saat ini tidakbelum dibayarkan oleh para termohon kepada pemohon, meskipun telah diperingatkan kembali agar melakukan pelunasan atas hutangnya. Berdasarkan hal tersebut, jelaslah secara sederhana sumir telah terbukti bahwa para termohon mempunyai utang kepada pemohon yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Selain memiliki utang kepada Pemohon, para termohon juga memiliki utang kepada Ir. Pupung Widianingsih sebesar Rp2.914.500.000 dua milyar sembilan ratus empat belas juta lima ratus ribu rupiah. Dalam hal ini para termohon memiliki setidak-tidaknya dua kreditor. Sehubungan dengan itu pemohon menyatakan bahwa permohonan PKPU telah memnuhi ketentuan UUK-PKPU dan telah terbukti secara sederhanasumir bahwa permohonan PKPU telah memenuhi persyaratan permohonan PKPU. Sehingga pemohon yang pada pokoknya memohon kepada Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar mengabulkan permohonan PKPU, Menetapkan PKPU Sementara kepada para termohon. Berdasarkan surat permohonan PKPU yang diajukan oleh pemohon, termohon mengajukan eksepsi yang pada pokoknya mengenai eksepsi kompetensi absolute. Para termohon mempertanyakan mengenai kewenangan mutlak Pengadilan Niaga Jakarta Pusat untuk memutus perkara tersebut. Para termohon berpendapat bahwa permohonan pemohon PKPU aquo tertanggal 6 September 2013 yang telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tanggal 6 September 2013, dengan Register Perkara Nomor 55Pdt.SusPKPU2013PN.Niaga.Jkt.Pst, mengandung cacat formil karena permohonan aquo masuk dalam ruang lingkup kewenangan mutlak pengadilan lain dalam hal ini Pengadilan Umum yaitu Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, oleh karena dalam seluruh Surat Perjanjian Pinjaman yang ditandatangani oleh Pemohon dan Para termohon dalam hal ini Surat Perjanjian Pinjaman SPP yang dimaksudkan Pemohon PKPU menyatakan: “Apabila timbul perselisihan sebagai akibat perjanjian ini, kedua belah pihak setuju dan sepakat untuk menyelesaikan secara musyawarah dan mufakat. Tetapi apabila tidak tercapai kesepakatan dalam musyawarah dan mufakat, maka kedua belah pihak akan menyelesaikan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan”. Karena Pasal 1338 KUH Perdata, dinyatakan semua perjanjian yang sesuai dengan undang-undang, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Hal mana berarti, setiap orang, siapapun, bebas membuat suatu perjanjian tentang apapun azas kebebasan berkontrak, selama memenuhi syarat subjektif dan objektif. Setelah memenuhi syarat, maka perjanjian tersebut akan berlaku layaknya undang-undang pada pihak-pihak yang memberikan persetujuannya. Para termohon berpendapat bahwa permohonan PKPU yang diajukan pemohon tidak memenuhi ketentuan ketentuan UUK-PKPU yakni pemohon tidak memenuhi kualifikasi sebagai kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 UUK-PKPU dan para termohon tidak memenuhi kualifikasi sebagai debitur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 UUK-PKPU karena para termohon sudah tidak lagi memiliki kewajiban pembayaran utang kepada pemohon. Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah memberi putusan Nomor 55Pdt.SusPKPU2013 tanggal 26 September 2013. Di dalam amar putusannya, hakim dalam eksepsi menolak eksepsi dari para termohon dan dalam pokok perkara menolak permohonan PKPU dari pemohon untuk seluruhnya. Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut oleh pemohon melalui perantara kuasanya mengajukan permohonan kasasi pada tanggal 3 Oktober 2013 dengan disertai memori kasasi. Setelah itu oleh para termohon telah disampaikan salinan memori kasasi dari pemohon kasasipemohon PKPU, diajukan jawaban memori kasasi yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Bahwa alasan-alasan kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi tersebut pada pokoknya bahwa: 1. Judex facti telah salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku. a. Judex facti telah salah menerapakan ketentuan Pasal 8 ayat 4 UUK- PKPU karena tidak mengabulkan permohonan PKPU sementara dengan alasan adanya ketidakcocokan jumlah utang dan adanya pembayaran dari para termohon kasasi serta pembuktian secara sumir sederhana. Secara kasat mata, pertimbangan judex facti tersebut adalah salah karena secara jelas dan tegas penjelasan ketentuan Pasal 8 ayat 4 UUK-PKPU menentukan bahwa ...Sedangkan perbedaan besarnya jumlah utang yang didalihkan oleh pemohon pailit dan termohon pailit tidak menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit. Berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat 4 UUK-PKPU tersebut, suatu perbedaan besarnya jumlah utang sama sekali tidak menghalangi dijatuhkannya putusan pailit dan tentunya dalam konteks PKPU juga tidak menghalangi dijatuhkannya putusan PKPU sementara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 225 ayat 1 dan 3 UUK-PKPU. Akan tetapi, dengan begitu saja, judex facti menjadikan perbedaan jumlah utang ketidakcocokankesimpangsiuran sebagai alasan untuk menolak permohonan PKPU atau tidak mengabulkan PKPU sementara yang seharusnya menurut hukum wajibharus dikabulkannya. Ketidakcocokankesimpangsiuran utang adalah sama sekali tidak ada karena utang para termohon kasasi jelas dan sangat sederhana dapat dibuktikan, namun para termohon kasasi dengan sengaja mengajukan bukti pembayaran yang salah dan sama sekali tidak terkait dengan utang yang dimohonkan PKPU oleh pemohon kasasi yang seharusnya tidak dapat dipertimbangkan oleh judex facti, akan tetapi ironisnya judex facti sama sekali tidak mempelajari bukti-bukti tersebut dan begitu saja menerima dalil para termohon kasasi. Bahwa dalil para termohon kasasi menyatakan telah melakukan kelebihan pembayaran, sama sekali merupakan dalil yang keliru dan tidak benar berdasarkan bukti-bukti yang secara sumir sederhana dapat dibuktikan oleh pemohon kasasi. Dimana tidak adanya pembayaran dalam jumlah yang sama atau melebihi atas utang yang timbul dari perjanjian pinjaman dan surat pengakuan utang yang diajukan permohonan PKPU-nya. Bahwa kalaupun dianggap terjadi kesimpangsiuranketidakcocokan quod non hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak permohonan PKPU karena sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat 4 UUK-PKPU. 1 Mengenai masih adanya pembayaran Judex facti juga mendasarkan pada masih adanya pembayaran dari para termohon kasasi yang menunjukkan para termohon memiliki inisiatif dan mau membayar sehingga perkiraan pemohon kasasi bahwa para termohon kasasi tidak dapat melanjutkan pembayaran utangnya menjadi tidak terbukti. Bahwa setelah tanggal jatuh tempo dari utangpinjaman yang seharusnya dibayarkan oleh para termohon PKPU, para termohon PKPU tidak dapat melakukan pembayaran sesuai dengan yang telah disepakati dalam perjanjian pinjaman berikut surat pengakuan hutang dan kegagalan pembayaran, dimana para Termohon PKPU hanya mampu melakukan pembayaran sebagian, yaitu sebesar Rp3.530.000.000,00 tiga milyar lima ratus tiga puluh juta rupiah dari Rp9.332.500.000,00 sembilan milyar tiga ratus tiga puluh dua juta lima ratus ribu rupiah. Bahwa sebenarnya judex facti tidak dapat menolak permohonan PKPU dengan mendasarkan adanya niatinisiatif dari termohon kasasi yang masih melakukan pembayaran karena permohonan PKPU haruslah dikabulkan apabila telah terbukti secara sumir atau sederhana bahwa adanya dua kreditur dan salah satu utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih sedangkan debitur tidak melakukan pembayaran atas utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih tersebut. Dengan jatuh tempo dan dapat ditagihnya utang tetapi tidak dibayarkan oleh debitur, maka hal tersebut sudah cukup untuk menjadi dasar guna memperkirakan bahwa debitur tidak mampu melanjutkan pembayarannya. 2 Mengenai pembuktian secara sederhanasumir Di dalam memberikan pertimbangan hukumnya, judex facti secara tegas mengacu kepada ketentuan Pasal 8 ayat 4 UUK-PKPU dan ketentuan tersebut digunakan sebagai dasar untuk menolak permohonan PKPU dengan alasan perlu pembuktian lebih lanjut yang tidak sederhana”. Sebenarnya, judex facti telah mengakui bahwa dalam perkara aquo telah terbukti adanya: hubungan pinjam meminjam antara pemohon kasasi sebagai krediur dan para termohon kasasi sebagai debitor, dimana utang tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih, serta adanya kreditur lain sehingga para termohon kasasi mempunyai 2 atau lebih kreditur. Dengan adanya pertimbangan tersebut, seharusnya cukup bagi judex facti untuk mengabulkan permohonan PKPU yang diajukan oleh pemohon kasasi karena telah terbukti secara sumir adanya dua kreditur atau lebih dan salah satu utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih tetapi debitur tidak melakukan pembayaran secara penuh meskipun telah diperingatkan sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat 4 UUK-PKPU, bukannya justru malah menolak permohonan PKPU dengan alasan atau hal-hal yang tidak benar dan judex facti dengan begitu saja telah menyatakan perlu dilakukan pembuktian lebih lanjut yang tidak sederhana hanya karena adanya ketidakcocokan jumlah pinjaman yang disampaikan pemohon kasasi dengan jumlah pinjaman yang disampaikan para termohon kasasi serta adanya inisiatif para termohon kasasi untuk melakukan pembayaran. b. Judex facti telah salah dalam menerapkan hukum pembuktian Judex facti telah salah di dalam menerapkan hukum pembuktian, karena telah tidak mempertimbangkan sama sekali bukti-bukti yang diajukan oleh pemohon kasasi terutama bukti-bukti mengenai pengakuan utang dari para termohon kasasi yaitu surat pernyataan pengakuan hutang dan kegagalan pembayaran hutang. Judex facti hanya mempertimbangkan bukti-bukti pembayaran dari para termohon kasasi tanpa memperhatikan dan mempertimbangkan bukti-bukti pembayaran tersebut untuk perjanjian pinjaman mana, apakah untuk perjanjian pinjaman yang dijadikan obyek permohonan PKPU dalam permohonan PKPU aquo atau apakah untuk perjanjian pinjaman lainnya karena sebagian besar bukti pembayaran tersebut untuk pembayaran utang yang ada sebelumnya yang telah selesai dan pembayaran tersebut sebagian besar merupakan pembayaran yang dilakukan sebelum dibuatnya perjanjian pinjaman berikut surat pengakuan utang yang menjadi obyek dari permohonan PKPU aquo. Berdasarkan bukti-bukti para termohon kasasi pun baru melakukan pembayaran sebesar Rp3.530.000.000,00 tiga milyar lima ratus tiga puluh juta rupiah sehingga para termohon kasasi masih memiliki utang tertunggak kepada pemohon kasasi yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar sebesar Rp5.802.500.000,00 lima milyar delapan ratus dua juta lima ratus ribu rupiah. 2. Judex facti telah lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan. Judex facti telah lalai untuk melaksanakan persidangan dengan mendasarkan pada asas audi alteram partem karena cenderung hanya memberikan pertimbangan hukum berdasarkan dalil dari para termohon kasasi. Dalam memberikan pertimbangan hukum, judex facti lebih mendasarkan pada bukti-bukti dan keterangandalil yang diajukan para termohon kasasi. Dalam memberikan pertimbangan hukumnya, judex facti tidak menilai atau mempertimbangkan bukti-bukti pemohon kasasi terkait surat pengakuan hutang dan kegagalan pembayaran hutang yang dibuat dan ditandatangani oleh termohon kasasi, padahal bukti tersebut merupakan bukti pokok yang sangat penting dan menjadi dasar adanya permohonan PKPU aquo. Apabila judex facti mempertimbangkan bukti-bukti tersebut, maka tentunya dengan mudah dan sederhana judex facti dapat menarik fakta dan kesimpulan bahwa para termohon kasasi mengakui secara tegas memiliki utang kepada pemohon kasasi yang telah jatuh tempo dan gagal dilakukannya pembayaran oleh para termohon kasasi. Secara jelas banyak perjanjian pinjaman yang dijadikan bukti oleh para termohon kasasi tidak relevan atau di luar periode perjanjian pinjaman yang dijadikan obyek permohonan dalam Permohonan PKPU aquo. Judex facti juga hanya menerima bukti pembayaran yang diajukan oleh para termohon kasasi tanpa melihat dan mencocokan dengan periode perjanjian pinjaman yang dijadikan obyek permohonan dalam permohonan PKPU aquo. Judex facti bahkan tidak mempertimbangkan kedua bukti yang memberikan gambaran yang jelas mengenai utang para termohon kasasi yang telah dibayar sebagian dan gambaran mengenai hasil rekapan semua perjanjian pinjaman antara pemohon kasasi dan para termohon kasasi yang telah berlangsung. Kedua bukti tersebut jelas memperlihatkan bahwa sebagian besar pembayaran yang dilakukan oleh para termohon kasasi adalah pembayaran atas perjanjian pinjaman yang sudah lalu dan memang sudah selesai, yang mana hal tersebut sudah disampaikan secara jelas oleh pemohon kasasi di dalam kesimpulannya. Bahwa sebagai akibat tidak diterapkannya asas audi alteram partem, maka judex facti telah memberikan pertimbangan yang tidak cukup dan tidak jelas, bahkan telah menarik suatu kesimpulan yang salah menyangkut dalil adanya pembayaran setelah surat tegoran dari pemohon kasasi kepada termohon kasasi yang sama sekali tidak benar, karena kenyataan pembayaran itu bukan untuk pemohon kasasi melainkan untuk kreditor lain yaitu Ir. Pupung Widianingsih. 3. Judex facti melampaui batas wewenangnya. Batasan wewenang yang dimiliki oleh judex facti dalam menjatuhkan putusan atas sebuah permohonan PKPU telah diatur secara tegas dalam Pasal 225 ayat 1 dan 3 UUK-PKPU. Yakni bahwa judex facti dalam waktu paling lambat 20 dua puluh hari sejak permohonan PKPU diajukan harus sudah menjatuhkan putusan mengabulkan permohonan PKPU sementara, bukan putusan menolak permohonan PKPU. Wewenang yang diberikan oleh undang- undang tersebut merupakan wewenang atributif melekat dalam jabatan judex facti dan secara ex officio mutlak harus dipatuhi oleh judex facti. Dalam perkara aquo, ternyata judex facti tidak menjatuhkan putusan mengabulkan permohonan PKPU sementara, melainkan telah bertindak melampaui batas wewenangnya, yakni menjatuhkan putusan menolak permohonan PKPU. Pelampauan batas wewenang atributif judex facti tersebut, dilakukan dengan tujuan untuk kepentingan para termohon kasasi. Pelampauan batas wewenang untuk tujuan yang salah itu dapat dibuktikan secara mudah dengan melihat tindakan judex facti yang secara tendensius sengaja membuat rumit hal-hal yang sebenarnya amat sangat sederhana, yakni: pertama menggunakan alasan yang menyesatkan sebagai salah satu dasar untuk tidak menjatuhkan putusan PKPU sementara atau menolak permohonan PKPU, yaitu : masih adanya pembayaran sebanyak 3 tiga kali oleh para termohon kasasi kepada pemohon kasasi pada saat maupun menjelang diajukannya Permohonan PKPU dengan merujuk pada bukti, sehingga disimpulkan oleh judex facti bahwa para termohon kasasi masih bisa melanjutkan pembayaran utangnya. Padahal secara sederhana dapat diketahui dengan tegas dan gambling. Kedua judex facti “melarutkan dirinya dalam penyesatan” yang dilakukan oleh para termohon kasasi yang mengajukan bukti-bukti perjanjian lain yang tidak relevan dengan tujuan untuk “mengelabuhi persidangan” seolah-olah para termohon kasasi melakukan pembayaran melebihi jumlah utang alias “sudah lunas” atau seolah- olah utang- piutang yang ada “tidak sederhana pembuktiannya”. Ketiga karena tidak bertujuan untuk menegakkan keadilan, maka judex facti secara tendensius sengaja tidak menerapkan asas audi alteram partem, cenderung hanya membenarkan apa yang didalilkan oleh para termohon kasasi serta mengabaikan dalil maupun bukti para pemohon kasasi. Terhadap alasan-alasan kasasi tersebut Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena judex facti Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat putusannya sudah tepat, lagi pula alasan-alasan tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan tidak dilaksanakan atau ada kesalahan penerapan hukum, adanya pelanggaran hukum yang berlaku, adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan, yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan atau bila pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas wewenangnya, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 30 Undang-Undang Mahkamah Agung Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 yang telah diubah dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2009. Bahwa antara pemohon PKPUpemohon kasasi dan termohon PKPUtermohon kasasi terdapat perbedaan pendapat dan jumlah kewajiban yang harus dibayardilunasi yang didukung oleh bukti-bukti kedua belah pihak, dimana menurut pemohon PKPU pemohon kasasi masih ada sisa kewajiban sebesar Rp39.270.530.000,00 tiga puluh sembilan milyar dua ratus tujuh puluh juta lima ratus tigapuluh ribu rupiah, sedangkan menurut termohon PKPUtermohon kasasi kewajiban sudah dilunasi dan malahan ada kelebihan pembayaran. Bahwa terbukti untuk membuktikan adanya hutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih tidak sederhana, karena tergugat menyatakan telah lunas sedangkan penggugat menyatakan belum. Oleh karena itu judex facti tidak salah menerapkan hukum dengan menolak permohonan pemohon. Mahkamah Agung juga bependapat bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, ternyata putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 55Pdt.SusPKPU2013 PN Niaga Jkt.Pst., tanggal 26 September 2013 dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum danatau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi PT OHANA MANDIRI SEJAHTERA tersebut harus ditolak. Bahwa oleh karena permohonan kasasi dari pemohon kasasi ditolak, pemohon kasasi harus dihukum untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, Mahkamah Agung memutuskan: 1. Menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi PT OHANA MANDIRI SEJAHTERA, dan 2. Menghukum pemohon kasasipemohon penundaan kewajiban pembayaaran utang PKPU untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi yang ditetapkan sebesar Rp5.000.000,00 lima juta rupiah.

B. Penerapan Asas Pembuktian Secara Sederhana dalam Permohonan

Dokumen yang terkait

Penerapan Prinsip Kelangsungan Usaha Dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Studi Kasus Putusan MA No 156 PK/Pdt.Sus/2012)

4 97 96

Kewenangan Kreditur Dalam Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Menurut UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan)

2 52 135

Restrukturisasi Utang Untuk Mencegah Kepailitan

5 96 50

Penyelesaian Sengketa Utang Piutang Perusahaan Dengan Perdamaian Di Dalam Atau Di Luar Proses Kepailitan (Studi Mengenai Lembaga Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang)

2 122 433

Pelaksanaan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), Ditinjau Dari Undang-Undang Kepailitan

2 59 2

PELAKSANAAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU) DI PENGADILAN NIAGA JAKARTA PUSAT.

0 1 6

ANALISIS HOMOLOGASI DALAM PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU) SEBAGAI UPAYA PENCEGAH TERJADINYA KEPAILITAN (Studi Putusan No.59/Pdt.Sus-PKPU.PN.Niaga.Jkt.Pst)

0 0 9

BAB II PENGAJUAN PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG KEPADA PENGADILAN NIAGA A. Pengertian PKPU - Asas Pembuktian Secara Sederhana Dalam Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Pkpu) Pada Putusan Ma Ri No. 586 K/Pdt.Sus-Pailit/2013

0 1 23

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Asas Pembuktian Secara Sederhana Dalam Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Pkpu) Pada Putusan Ma Ri No. 586 K/Pdt.Sus-Pailit/2013

0 0 19

BAB II FILOSOFI KEWENANGAN KREDITOR DALAM PENGAJUAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG 2.1. Hakikat dan Tujuan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang - KEWENANGAN KREDITOR DALAM PERMOHONAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG Repository - UNAIR REPOSITORY

0 0 34