1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang selanjutnya disebut dengan UUK-PKPU yang
diundangkan pada tanggal 18 Oktober 2004 memberikan dua cara agar debitur dapat terhindar dari ancaman harta kekayaannya dilikuidasi ketika debitur telah
atau akan berada dalam keadaan insolven, yaitu:
1
1. Cara pertama yang dapat ditempuh oleh debitur agar harta kekayaannya
terhindar dari likuidasi adalah dengan mengadakan perdamaian antara debitur dengan para krediturnya setelah debitur dinyatakan pailit oleh pengadilan.
Perdamaian ini memang tidak dapat menghindarkan kepailitan, karena kepailitan itu sudah terjadi, tetapi apabila perdamaian itu tercapai maka
kepailitan debitur yang telah diputuskan oleh pengadilan itu menjadi berakhir. Atau dengan kata lain debitur dapat menghindarkan diri dari pelaksanaan
likuidasi terhadap harta kekayaannya sekalipun sudah diputuskan oleh pengadilan. Perdamaian tersebut dapat mengakhiri kepailitan debitur hanya
apabila dibicarakan bersama dan melibatkan semua kreditur. Apabila perdamaian hanya diajukan dan dirundingkan dengan hanya satu atau beberapa
kreditur, tidak dapat mengakhiri kepailitan debitur.
1
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Undang-undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Jakarta: Grafiti, 2008, hlm. 327-328.
2. Cara kedua adalah dengan mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang selanjutnya disingkat PKPU atau Surseance van Betaling menurut istilah Faillisementverordening atau Suspension of Payment menurut istilah
dalam bahasa Inggris. UUK-PKPU mengatur PKPU dalam Bab III, yaitu mulai dari Pasal 222 sampai dengan Pasal 294 UUK-PKPU dimana dalam
Pasal 222 ayat 2 tujuan dari pengajuan PKPU adalah untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau
seluruh utang kepada kreditur. Menurut penjelasan Pasal 222 ayat 2 UUK- PKPU yang dimaksud “kreditur” adalah baik kreditur konkuren maupun
kreditur yang didahulukan. Richard Burton memberikan definisi PKPU adalah suatu keadaan saat
debitur tidak dapat atau memperkirakan bahwa ia tidak dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat
memohon penundaan kewajiban pembayaran utang kepada kreditur konkuren. Seperti halnya permohonan pailit, permohonan PKPU juga harus diajukan oleh
debitur kepada pengadilan dengan ditandatangani oleh debitur dan oleh penasehat hukumnya.
2
Ada dua jenis PKPU yang dikenal dalam UUK-PKPU, yaitu PKPU sementara dan PKPU tetap. Kedua jenis PKPU tersebut merupakan sebuah
tahapan dan memiliki batas waktu. PKPU sementara diatur dalam Pasal 225 ayat 4 UUK-PKPU yang berbunyi:
2
Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum Dalam Bisnis Jakarta: Rineka Cipta, 2007, hlm. 175.
“Segera setelah putusan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara diucapkan, Pengadilan melalui pengurus wajib memanggil debitur
dan kreditur yang dikenal dengan surat tercatat atau melalui kurir untuk menghadap dalam sidang yang diselenggarakan paling lama hari ke-45 empat
puluh lima terhitung sejak putusan penundaan kewajiban pembayaran utang
sementara diucapkan.”
3
Sedangkan PKPU tetap diatur dalam Pasal 228 ayat 6 UUK-PKPU yang berbunyi:
“Apabila penundaan kewajiban pembayaran utang tetap sebagaimana dimaksud pada ayat 4 disetujui, penundaan tersebut berikut perpanjangannya
tidak boleh melebihi 270 dua ratus tujuh puluh hari setelah putusan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara diucapkan.
”
4
Dilihat dari segi norma, ruang lingkup materi, maupun proses penyelesaian utang-putang, UUK-PKPU ini mempunyai cakupan yang lebih luas dibandingkan
dengan UUK-PKPU sebelumnya. Hal ini dikarenakan adanya perkembangan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Sedangkan ketentuan yang selama ini
berlaku, belum memadai sebagai sarana hukum untuk menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka dan efektif.
5
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PKPU menyebutkan kecuali ditentukan lain
dalam undang-undang ini maka hukum acara yang berlaku adalah hukum acara perdata.
6
Hal ini berarti sepanjang tidak diatur secara khusus dalam UUK-PKPU maka hukum acara yang berlaku untuk pengadilan niaga dalam menangani
3
Pasal 225 ayat 4 UUK-PKPU
4
Pasal 228 ayat 6 UUK-PKPU
5
Victorianus M.H. Randa Puang, Penerapan Asas Pembuktian Sederhana dalam Penjatuhan Putusan Pailit Bandung: Sarana Tutorial Nurani Sejahtera, 2011, hlm. 7.
6
Pasal 299 UUK-PKPU
perkara-perkara kepailitan dan PKPU adalah HIR Het Herziene Indonesich Reglement untuk Pengadilan Niaga yang berada di Jawa dan Madura, dan RBg
Reglement Buiten Gewesten untuk Pengadilan Niaga di luar Jawa dan Madura.
7
Pembuktian dalam hukum kepailitan dan PKPU sedikit berbeda dibandingkan dengan pembuktian dalam hukum acara perdata pada umumnya.
Pemeriksaan perkara kepailitan dan PKPU di Pengadilan Niaga berlangsung lebih cepat, hal ini dikarenakan UUK-PKPU memberikan batasan waktu proses
kepailitan dan PKPU. Selain itu, lebih cepatnya waktu pemeriksaan perkara di Pengadilan Niaga antara lain dipengaruhi oleh sistem pembuktian yang dianut,
yaitu asas pembuktian secara sederhana atau pembuktian secara sumir. Asas pembuktian secara sederhana termuat pada Pasal 8 ayat 4 UUK-
PKPU yang menyebutkan: “Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan
apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1
telah dipenuhi. ”
8
Dalam kepailitan, Pasal 8 ayat 4 UUK-PKPU di atas tidak terlepas dengan Pasal 2 ayat 1 UUK-PKPU yang menyebutkan:
“Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu
utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau
lebih kreditur nya.”
9
Penjelasan asas pembuktian secara sederhana yang telah dipaparkan di atas, muncul pertanyaan apakah asas pembuktian secara sederhana yang diatur
7
Ibid hlm. 9
8
Pasal 8 ayat 4 UUK-PKPU
9
Pasal 2 ayat 1 UUK-PKPU
dalam Pasal 8 ayat 4 UUK-PKPU jo Pasal 2 ayat 1 UUK-PKPU berlaku juga terhadap permohonan PKPU? Dalam Bab III UUK-PKPU tentang PKPU memang
terdapat pasal yang menegaskan bahwa ketentuan Bab II UUK-PKPU tentang kepailitan juga berlaku terhadap ketentuan PKPU diantaranya:
1. Pasal 245 UUK-PKPU tentang pembayaran piutang masing-masing kreditur
yang harus tunduk pada Pasal 185 ayat 3 UUK-PKPU, 2.
Pasal 246 UUK-PKPU yang menyatakan ketentuan Pasal 56, Pasal 57 dan Pasal 58 UUK-PKPU berlaku mutatis mutandis terhadap pelaksanaan
kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat 1 UUK-PKPU, 3.
Pasal 248 ayat 3 UUK-PKPU yang menyatakan Pasal 53 dan Pasal 54 UUK-PKPU berlaku bagi perjumpaan utang pada PKPU,
4. Pasal 256 UUK-PKPU yang menyatakan Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, dan
Pasal 14 UUK-PKPU berlaku mutatis mutandis terhadap putusan pernyataan pailit sebagai akibat putusan pengakhiran PKPU.
Namun tidak terdapat ketentuan perihal pembuktian secara sederhana dalam kepailitan pada Pasal 8 ayat 4 UUK-PKPU jo Pasal 2 ayat 1 UUK-PKPU juga
berlaku terhadap PKPU.
10
Hakim sebagai salah satu pejabat kekuasaan kehakiman yang melaksanakan proses peradilan tentunya mempunyai tanggung jawab yang besar
terhadap lahirnya putusan. Putusan yang dihasilkan oleh hakim di Pengadilan idealnya tidak menimbulkan masalah-masalah baru dikemudian hari di
10
Alfin Sulaiman, “Polemik Penafsiran Ketentuan Pasal 225 UU No.37 Tahun 2004”, http:www.hukumonline.comberitabacalt50c986a51ac62polemik-penafsiran-ketentuan-pasal-
225-uu-no-37-tahun-2004-broleh--alfin-sulaiman--sh--mh- akses tanggal 29 Januari 2015 pukul 17.07 wib
masyarakat. Hal ini berarti kualitas putusan hakim berpengaruh penting pada lingkungan masyarakat dan berpengaruh pada lingkungan masyarakat dan pada
kredibilitas lembaga pengadilan itu sendiri.
11
Hakim dalam membuat putusan tidak hanya melihat kepada hukum system denken tetapi juga harus bertanya pada hati nurani dengan cara
memperhatikan keadilan dan kemanfaatan ketika putusan itu telah dijatuhkan problem denken. Akibat putusan hakim yang hanya menerapkan pada hukum
tanpa menggunakan hati nuraninya akan berakibat pada kegagalan menghadirkan keadilan dan kemanfaatan, meskipun putusan hakim sejatinya diadakan untuk
menyelesaikan suatu perkara atau sengketa dalam bingkai tegaknya hukum dan keadilan.
12
Berdasarkan pemaparan di atas, penelitian ini mengangkat asas pembuktian secara sederhana dalam PKPU menjadi penelitian skripsi dengan
melakukan tinjauan yuridis terhadap salah satu putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Tinjauan yuridis dilakukan untuk mengkaji penerapan asas
pembuktian secara sederhana dalam permohonan PKPU untuk melihat apakah asas pembuktian secara sederhana ini diterapkan dalam pertimbangan hukum
hakim yang memutus perkara tersebut. Adapun judul tulisan skripsi ini adalah
11
Tata Wijayanta, “Asas Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan dalam Kaitannya
dengan Putusan Kepailitan Pengadilan Niaga,” Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 14 No. 2 Mei 2014 Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, hlm. 217.
12
HM. Soerya Respationo, “Putusan Hakim: Menuju Rasionalitas Hukum Refleksif dalam P
enegakan Hukum”, Jurnal Hukum Yustisia, No. 86 Th. XXII Mei-Agustus 2013, Surakarta: Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, hlm. 43 seperti dikutip oleh Tata
Wijayanta, Ibid.
“Asas Pembuktian Secara Sederhana dalam Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PKPU Pada Putusan MA RI No. 586 KPdt.Sus-
Pailit2013”.
B. Rumusan Masalah