B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumusan masalah yang mendasari penelitian ini adalah:
1. Apakah ekstrak dari daun tanaman patah tulang Euphorbia tirucalli dapat mempengaruhi mortalitas ulat grayak Spodoptera litura?
2. Berapakah nilai LC
50
untuk mortalitas ulat grayak Spodoptera litura pada 24 jam setelah aplikasi?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan batasan tersebut tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui pengaruh ekstrak tanaman patah tulang Euphorbia tirucalli terhadap mortalitas ulat grayak Spodoptera litura
2. Mengetahui nilai LC
50
untuk mortalitas ulat grayak Spodoptera litura pada 24 jam setelah aplikasi
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan yang tersebut manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagi Peneliti
Dapat menambah pengetahuan tentang bioinsektisida tanaman patah tulang Euphorbia tirucalli sebagai pengganti pestisida sintetik
2. Bagi Masyarakat
Sebagai masukan informasi kepada masyarakat dalam membuat bioinsektisida tanaman patah tulang Euphorbia tirucalli
3. Bagi Pendidikan
Sebagai pengetahuan serta dapat dijadikan bahan referensi mata pelajaran Sekolah Menengah Atas pada bab Ruang Lingkup Biologi
sub bab Metode Ilmiah PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Dasar Teori 1. Hama
Pengertian hama secara luas adalah : organisme penganggu pada tanaman. Secara umum organisme tersebut adalah : mikroorganisme virus, bakteri,
jamur, protozoa, gulma, dan binatang filum Nemathelminthes, mollusca, Arthropoda dan Chordata Nurdiansyah, 2011.
Hama adalah semua binatang yang mengganggu dan merugikan tanaman yang diusahakan manusia. Apabila asalnya bukan dari binatang gangguan itu
akan disebut penyakit, misalnya gangguan dari virus, bakteri, cendawan, tumbuh-tumbuhan yang bertingkat rendah atau yang sedikit lebih tinggi,
kekurangan unsur-unsur makanan dan lain-lainnya. Jumlah jenis-jenis spesies dari binatang ada lebih kurang 916.000. Phylum Chordata berjumlah lebih
kurang 60.000 jenis, phylum Arthropoda lebih kurang 713.000 jenisterbanyak phylum Annelida lebih kurang 8.000 jenis, phylum Mollusca lebih kurang
80.000 jenis selai phylum yang disebut masih ada lebih kurang 12 phylum lainnya. Phylum Arthropoda merupakan salah satu phylum yang penting untuk
diketahui. Phylum ini terdiri dari 6 kelas, diantaranya kelas serangga hexapoda yang terdiri dari kurang lebih 640.000 jenis, ada yang berguna bagi manusia
dan ada yang merugikan manusia Pracaya 1991. Hama tanaman adalah makhluk hidup pengganggu berupa hewan yang
umumnya dapat dilihat dengan mata telanjang. Sebagian besar hama tanaman PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
adalah serangga. Hewan lain yang sering menjadi hama adalah tungau acarinae, binatang lunak mollusca seperti siput dan vertebrataseperti
monyet, tikus, burung, dan babi hutan. Hama merusak tanaman dengan berbagai cara misalnya memakan daun tanaman, membuat korok-korok pada
daun, melubangi dan membuat korok-korok pada batang, menggerek umbi menghisap cairan tanaman, memakan bunga dan bagian-bagian bunga dan
sebagainya Djojosumarto, 2008. Serangan hama pada tanaman cabai sangat beragam. Setiap hama
memberikan kerugian, baik pada tahap pertumbuhan vegetatif maupun pada saat memasuki tahap pembuahan. Bahkan, saat tanaman cabai mencapai
puncak kematangan atau siap dipanen, hama bisa menghancurkan produksi. Oleh karena itu, dilakukan pencegahan terhadap serangan hama sedini
mungkin agar hasil produksi tidak mengalami kemerosotan Harpenas 2010.
2. Ulat Grayak
2.1 Klasifikasi ulat grayak menurut Kalsoven 1981 adalah sebagai berikut: Kerajaan
: Animalia Divisi
: Arthropoda Kelas
: Insekta Bangsa
: Lepidoptera Suku
: Noctuidae Marga
: Spodoptera Jenis
: Spodoptera litura F. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar 2.1: Spodoptera litura Sumber : Foto Langsung
2.2 Deskripsi Ulat Grayak
Serangga betina meletakkan telurnya secara berkelompok di atas daun. Jumlah telur tiap betina antara 25-500 butir Harpenas, 2010. Telur akan
menetas sesudah 3-5 hari. Pada umur kurang lebih 2 minggu panjang ulat kurang lebih 5 cm. Biasanya dalam jumlah yang besar ulat bersama-sama
pindah dari tanaman yang telah habis duannya menuju tanaman lain. Warna ulat bermacam-macam dan mempunyai ciri khas yaitu pada ruas perut yang
keempat dan kesepuluh terdapat bentuk bulan sbit berwarna hitam, dibatasi garis kuning pada samping dan punggungnya. Setelah cukup dewasa, kuran
lebih berumur 2 minggu ulat mulai berkepompong di dalam tanah. Pupanya dibungkus dengan tanah. Ngengat pada malam hari bisa terbang sampai
sejauh 5 Km Pracaya 1991. Setelah 9-10 hari kepompong akan berubag menjadi ngengat dewasa Balitbang, 2006.
Ulat yang tidak berbulu ini biasa disebut oleh masyarakat dengan sebutan ulat tentara atau ulat grayak. Ulat ini juga dikenal sebagai hama yang sangat
merusak pada tanaman. Ulat grayak merupakan salah satu hama yang menyerang tanaman cabai. Serangan hama ini merupakan salah satu faktor
yang dapat menurunkan produksi tanaman. Hama ini sering mengakibatkan penurunan produktivitas bahkan kegagalan panen karena menyebabkan daun
dan buah sayuran menjadi sobek, terpotong-potong dan berlubang. Bila tidak segera diatasi maka daun atau buah tanaman di areal pertanian akan habis
Pracaya 2007. Ulat grayak muda menyerang daun sehingga bagian daun yang tertinggal
hanya epidermis atas dan tulang-tulangnya saja. Ulat tua juga merusak tuang- tulang daun sehingga tampak lubang-lubang bekas gigitan pada daun. Di
samping memakan daun, ulat juga memakan polong muda. Ulat grayak memiliki kemampuan makan besar, selama periode ulat instar VI yang
berlangsung selama 2,5 hari, ulat dengan kemampuan makan besar yang mampu menghasbiska satu tanaman Arifin 1991.
Gajala serangan pada daun rusak tidak beraturan, bahkan kadang-kadang hama ini juga memakan tunas dan bunga. Pada serangan berat menyebabkan
gundulnya daun. Serangan berat umumnya terjadi pada musim kemarau. Salah satu jenis hama terpenting yang menyerang tanaman palawija dan
sayuran di Indonesia Prabowo, T 2002. Menurut Marwoto dan Suharsono 2011 Spodoptera litura menyerang beberapa jenis tanaman antara lain :
cabai, tebu, kedelai, kacang-kacangan kacang tanah, kedelai, kubis, jagung, tomat, buncis, terung, kangkung, bayam, pisang, dan tanaman hias.
Sesuai dengan kebiasaan ulat grayak yang aktif pada malam hari, pada siang hari biasanya bersembunyi di bawah rerumputan di bawah daun bahkan
di bawah mulsa atau di rongga-rongga tanah yang terlindung dari sinar matahari. Lebih efektifnya pengendalian dilakukan saat hari mulai gelap atau
malam hari. Pada saat ini pengendalian hama Spodoptera litura sangat sulit dilakukan karena penyebab penyebarannya sangat luas Soekarna 1985.
1.3 Biopestisida
Biopestisida terdiri dari tiga suku kata yaitu bio, pest, dan sida. Bio artinya hidup, pest berarti hama atau organisme pengganggu yang dapat
menyebabkan penyakit dan bahkan menyebabkan kematian, sida artinya pembunuh. Jadi biopestisida adalah semua bahan hayati baik tanaman, hewan,
mikroba, ataau protozoa yang dapat digunakan untuk membunuh atau mengendalikan hama dan penyebab penyakit pada hewan dan tanaman. Sama
seperti dengan jenis pestisida kimia, biopestisida memiliki beberapa jenis yang sesuai dengan target sasaran organisme pengganggu dan penyebab
penyakit. Menurut Suwahyono 2013 jenis-jenis biopestisida berdasarkan sasaran target organisme pengganggu dibedakan menjadi 3 yaitu:
a. Bioinsektisida Bioinsektisida adalah semua organisme hidup baik bakteri, virus, jamur
atau kapang protozoa, tanaman, maupun hewan yang dapat digunakan untuk mengendalikan serangga hama.
b. Biofungisida Biofungisida adalah semua organisme hidup yang dapat digunakan untuk
mengendalikan jamur yang berperan sebagai hama atau penyakit pada tanaman, hewan, maupun manusia.
c. Bioherbisida Bioherbisida digunakan untuk mengendalikan gulma atau tanaman
pengganggu. Gangguan-gangguan tersebut pada umumnya karena faktor pada kondisi lingkungan kritis dan cepat berkembang pada habitat yang subur.
Dapat terjadi kompetisi karena kebutuan nutrisi atau cahaya terbatas. Selain itu, gulma dapat menghasilkan cairan tertentu yang dapat menyebabkan
kematian pad tanaman lain atau tanaman yang dibudidaya. Menurut Nurhidayati, dkk 2008 bahan-bahan alami disekitar banyak
yang dapat digunakan sebagai pestisida untuk mengendalikan serangga hama dan penyakit pada tanaman. Namun hal tersebut memiliki kelebihan dan
kekurangan. Beberapa kelebihan dan kekurangan biopestisida tersebut sebagai berikut:
Kelebihan dari penggunaan biopestisida adalah sebagai berikut: a. Adanya degradasi atau penguraian yang cepat oleh sinar matahari
b. Memiliki pengaruh yang cepat, yaitu menghentikan nafsu makkan serangga
c. Umumnya toksisitasnya rendah terhadap hewan dan relatif lebih aman bagi manusia dan lingkungan
d. Memiliki spektrum pengendali yang luas racun lambung dan syaraf dan bersifat selektif
e. Dapat digunakan untuk mengatasi OPT Organisme Penganggu Tanaman yang kebal pestisida kimia
f. Memiliki fitotoksitas rendah, yaitu tidak meracuni dan merusak tanaman
g. Murah dan mudah dibuat oleh petani Kelemahan dari penggunaan pestisida alami adalah sebagai berikut:
a. Cepat terurai dan daya kerjanya relatif lambat sehingga aplikasiya harus lebih sering.
b. Daya racunnya tidak langsung mematikan serangga c. Produksinya belum dapat dilakukan dalam jumlah besar karena
keterbatasan bahan baku d. Kurang praktis
e. Tidak tahan disimpan Menurut Djunaedy 2009, berdasarkan alasannya, bioinsektisida dapat
dibedakan menjadi dua yaitu pestisida nabati dan pestisida hayati. Adapun perbedaan antara pestisida nabati dan pestida hayati adalah sebagai berikut:
a. Pestisida nabati
Pestisida nabati merupakan hasil ekstraksi dari bagian tertentu tanaman baik dari daun, buah, biji atau akar yang senyawa atau metabolit sekunder dan
memiliki sifat racun terhadap hama dan penyakit tertentu. Pemakaian ekstrak PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bahan alami secara teru-menerus juga diyakini tak menimbulkan resisten pada hama, seperti yang terjadi pada pestisida sintetik.
b. Pestisida hayati
Pestisida hayati merupakan formulasi yang mengandung mikroba tertentu baik berupa jamur, bakteri, maupun virus yang bersifat antagonis
terhadap mikroba lain penyebab penyakit tanaman atau menghasilkan senyawa tertentu yang bersifat racun baik bagi serangga hama maupun
nematoda penyakit tanaman. Pestisida merupakan suatu zat yang digunakan untuk membunuh atau
mengendalikan hama. Hama adalah tumbuhan, hewan, jamur, bakteri yang dapat mengganggu pertumbuhan atau perkembangan tumbuhan. Menurut
Djojosumarto 2008 penggolongan pestisida berdasarkan sifat dan cara kerja racun pestisida adalah sebagai berikut:
a. Racun Kontak
Pestisida jenis ini bekerja dengan masuk ke dalam tubuh serangga melalui kulit kutikula dan kemudian ditransportasikan ke bagian tubuh
serangga tempat pestisida aktif bekerja b.
Racun Pernapasan fumigan Pestisida jenis ini dapat membunuh serangga dengan bekerja lewat
saluran penapasan. c.
Racun Lambung Pestisida jenis ini membunuh serangga sasaran jika termakan oleh
serangga tersebut serta masuk ke dalam organ pencernaannya. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
d. Racun Sistemik
Cara kerja seperti ini dapat dimiliki oleh insektisida, fungisida dan herbisida. Setelah disemprotkan atau dicelupkan pada bagian tanaman aka
terserap ke dalam jaringan tanaman melalui akar atau daun, sehingga dapat membunuh hama yang berada di dalam jaringan tanaman seperti jamur dan
bakteri. Pada insektisida sistemik, serangga akan mati setelah memakan atau menghisap cairan tanaman yang telah disemprot atau dicelupkan.
e. Racun Metabolisme
Pestisida ini membunuh serangga sasaran dengan mengintervensi proses metabolismenya.
f. Racun Protoplasma
Racun ini akan mengganggu fungsi sel karena protoplasma sel menjadi rusak.
Pada umumnya petani menggunakan insektisida kimia untuk mengendalikan hama dengan frekuensi dan dosis yang tinggi. Hal ini
menyebabkan timbulnya dampak negatif seperti mencemari lingkungan dan gangguan kesehatan. Bioinsektisida nabati dapat dibuat dari bahan tumbuhan
yang mengandung bahan aktif insektisida. Insektisida nabati relatif mudah terurai di alam sehingga tidak mencemari lingkungan dan aman bagu manusia
dan ternak karena residunya mudah hilang. Bioinsektisida nabati dapat dijadikan alternatif pengganti insektisida sintetik.
4.Tanaman Patah Tulang
4.1 Klasifikasi tanaman patah tulangmenurut Setiawati, dkk, 2008 adalah sebagai berikut:
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Bangsa : Malpighiales
Suku : Euphorbiaceae
Marga : Euphorbia
Jenis : Euphorbia tirucalli
4.2 Deskripsi tanaman patah tulang Patah tulang yang memiliki nama lain atau nama daerah kayu urip dalam
bahasa Jawa, kayu tabar dalam bahasa Madura, dan susuru dalam bahasa Sunda.Patah tulang Euphorbia tirucalli L. mempunyai ranting yang bulat
silindris berbentuk pensil, beralur halus membujur, dan berwarna hijau. Rantingnya setelah tumbuh sekitar satu jengkal akan segera bercabang dua
yang letaknya melintang, demikian seterusnya sehingga tampak seperti percabangan yang terpatah-patah. Daunnya jarang, terdapat pada ujung
ranting yang masih muda, kecil-kecil, bentuknya lanset, panjang 7-25 mm, dan cepat rontok. Bunga majemuk, tersusun seperti mangkuk, warnanya
kuning kehijauan seperti ranting. Ciri khas tumbuhan patah tulang Euphorbia Gambar 2.2 Euphorbia tirucalli
Sumber : Foto Langsung PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tirucalli L. adalah tidak memiliki daun dan hanya tersusun atas batang- batang yang mirip tulang belulangNuryati, 2011.
4.3 Fitokimia tanaman patah tulang Tanaman menghasilkan berbagai macam senyawa aktif yang
memberikan efek farmakologi. Pada umumnya, senyawa aktif tersebut tidak berperan penting dalam metabolisme tanaman, sehingga sering disebut
sebagai metabolit sekunder. Getah tanaman patah tulang yang bersifat asam mengandung senyawa
tambahan, seperti senyawa damar, zat karet dan zat pahit. Ranting tanaman patah tulang yang dilarutkan menggunakan aseton memiliki kandungan
senyawa metabolit sekunder. Senyawa metabolit yang terdapat pada patah tulang adalah alkaloida, steroida, flavonoida, triperpenoida, saponin, dan
hidroquinon Toana dan Nasir 2010. Berikut ini beberapa senyawa fitokimia yang terdapat pada ranting patah
tulang: 1. Alkaloida
Alkaloida merupakan senyawa yang memiliki aktivitas fisiologi yang menonjol dan digunakan secara luas dalam bidang pengobatan. Alkaloida
adalah senyawa yang mengandung satu atau lebih lebih atom nitrogen yang biasa berbentuk gabungan sebagai bagian dari sistem siklik, bersifat basa dan
memiliki aktivitas farmakologis. Alkaloida merupakan senyawa padat berbentuk kristal, tidak berwarna, dan rasanya pahit. Alkaloida adalah
senyawa yang mengandung nitrogen Robinson 1995. Menurut Tobing PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1989 senyawa alkaloid terdapat pada akar, biji, kayu, dan daun dari tumbuhan. Senyawa alkaloid merupakan hasil metabolisme dari sintesis
protein pada tumbuh-tumbuhan. 2. Flavonoida
Flavonoida merupakan salah satu senyawa fenolik yang terdapat pada jaringan tumbuhan dan berpesan sebagai antioksidan. Senyawa flavonoid
berperan sebagai antioksidan dengan cara mendonasikan atom hidrogennya Abdi, 2010. Flavonoida umumnya terdapat dalam tumbuhan terikat pada
gula sebagai glikosida dan aglikon flavonoida. Hal ini menyebabkan banyaknya bentuk kombinasi yang terjadi di dalam tumbuhan sehingga jarang
sekali flavonoida ditemukan dalam keadaan tunggal. Pada tumbuhan, flavonoid terdapat baik dalam bagian vegetatif maupun dalam bunga. Sebagai
pigmen bunga flavonoid berperan dalam menarik burung dan serangga penyerbuk bunga Robinson 1995. Menurut Harborne 1987 senyawa
isoflavon merupakan salah satu kelompok flavonoid yang dimanfaatkan sebagai bioinsektisida.
3. Glikosida Glikosida merupakan senyawa yang berbentuk dari kondensasi antara
gugus hidroksil pada karbon anomerik monosakarida atau residu monosakarida dengan senyawa kedua yang dpt bukan monosakarida lain
aglikon. Semua glikosida alam dapat terhidrolisis menjadi gula dan bukan gula dengan cara mendidihkannya bersama asam mineral. Biasanya, glikosida
juga dapat terhidrolisis dengan mudah oleh enzim yang terdapat dalam jaringan tumbuhan yang sama Robinson 1995.
4. SteroidaTriterpenoida Steroida dalam tumbuhan dinamakan dengan sterol, karena praktis semua
steroida tumbuhan berupa alkohol. Triterpenoida adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprene dan secara biosintesis
diturunkan dari hidrokarbon. Kebanyakan getah tanaman patah tulang mengandung banyak triterpenoida, sedangkan ranting patah tulang
mengandung banyak steroida Robinson 1995. Steroid dan triterpenoid merupakan senyawa yang dapat terekstraksi dengan pelarut non polar atau
semi polar Harborne, 1987. 5. Saponin
Saponin merupakan senyawa yang memiliki aktivitas mengikat sterol bebas dalam sistem pencernaan, sehingga dengan menurunnya jumlah sterol
bebas akan mempengaruhi proses pergantian kulit pada serangga. Saponin terdapat pada seluruh bagian tanaman seperti akar, daun, batang, dan bunga
Mulyana, 2002. Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat dan menimbulkan busa jika dikocok dengan air. Beberapa saponin berfungsi
sebagai antimikrobia. Sifat antimikrobia berasal dari aglikan saponin, yaitu sapogenin, misalnya steroid dan triterpenoid Robinson 1995. Saponin
merupakan senyawa aktif permukaan yang mudah terdeteksi melalui kemampuannya dalam membentuk busa. Komponen ikatan glikosida yang
terdapat di dalam saponin menyebabkan senyawa ini cenderung bersifat polar Harborne, 1987.
6. Tanin Tanin merupakan salah satu senyawa yang termasuk ke dalam golongan
polifenol yng terdapat dalam tanaman patah tulang. Menurut Haborne 1987, senyawa kompleks yang dihasilkan dari interaksi dengan protein tersebut
bersifat racun atau toksik yang dapat berperan dalam menghambat pertumbuhan dan mengurangi nafsu makan serangga melalui penghambatan
aktivitas enzim pencernaan. Tanin mempunyai rasa yang pahit. Pada umumnya tanaman yang mengandung tanin dhindari oleh hewan pemakan
tanaman karena rasanya yang pahit. Salah satu fungsi tanin dalam tumbuhan adalah sebagi penolak hewan herbivor dan sebagai pertahanan diri bagi
tanaman itu sendiri. Tanin secara umum didefinisikan sebagai senyawa polifenol yang
memiliki berat molekul cukup tinggi dan dapat membentuk kompleks dengan protein. Tanin merupakan senyawa yang tidak dapat dikristalkan dan
membentuk senyawa tidak larut yang berwarna biru gelap atau hitam kehijauan dengan garam besi Robinson 1995.
5 Letal Concentration 50 LC
50
5.1 Deskripsi LC
50
Letal concentration 50 atau LC
50
adalah suatuperhitungan untuk menentukan keaktifan dari suatu ekstrak atau senyawa. Makna dari
LC
50
adalah pada konsentrasi berapa ekstrak dapat mematika 50 dari PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
organisme uji. Penentuan LC
50
biasaya digunakan dalam uji toksisitas Fadhil, 2013.
5.2 Perhitungan nilai probit a. Menuliskan jumlah serangga uji yang mati sesuai dengan konsentrasinya
b. Menghitung mortalitas dengan cara : jumlahyang mati jumlah total larva x 100
c. Jika terdapat serangga uji yang mati maka hitung mortalitas terkoreksi, sesuai ulangan:
‴㔳⸴㔰吠൭⸴㔰㸸 ‴㔳⸴‴㔳‴⸴㸸൭ th吠㔰h h‴㔳⸴㔰吠൭⸴㔰㸸 ‴㔳吠㔰⸴t㔰 − h‴㔳⸴㔰൭⸴㔰㸸 ⸴‴ ⸴㔳‴吠 t吠㔰 㔰 㔰
㸸㔰h㔰 − th吠㔰h h㔰⸴൭ 㔰h㔰 ⸴‴ ⸴㔳‴吠
d. Setelah mortalitas terkoreksi didapatkan untuk setiap ulangan maka rata- ratakan dengan membagi total mortalitas dengan jumlah ulangan yang
dilakukan. Masukkan hasil rata-rata tersebut ke kolom rata-rata mortalitas terkoreksi
e. Mencari nilai probit untuk mortalitas terkoreksi yang didapatkan dan memasukkan ke kolom nilai probit. Mencari nilai probit dengan
mencocokkan dengan tabel probit lampiran 1 dengan rata-rata mortalitas terkoreksi
f. Jika nilai probit sudah ada maka selanjutnya membuat grafik hubungan antara nilai probit mortalitas dengan log
10
konsentrasi. Melalui Ms. WordExel dengan memasukkan nilai probit di sumbu y dan nilai log
konsentrasi di sumbu x lalu memilih menu Insert kemudian pilih Chart dan pilih model XY scatter. Setelah grafik muncul klik kanan pada salah
satu titik kemudian pilih add trendline klik bagian Display Equation on chart dan Display R_squared velue on chart.
g. jika persamaan sudah ada, selanjutnya mencari nilai LC50. Dengan memasukkan LC 50 adala 5 karena 50 nilai probit atau 50 kematian
ulat. Mencari nilai x dengan memasukkan nilai 5 ke persamaan yang didapatkan. Kemudian tentukan LC
50
dengan antilog x atau 10
x
.
B. Hasil penelitian yang relevan
Berikut adalah beberapa penelitian yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini :
Penelitian yang dilakukan oleh Toana dan Nasir 2010, mengenai “Studi Bioaktivitas dan Isolasi Senyawa Bioaktif Tumbuhan Euphorbia
tirucalli L. Euphorbiaceae sebagai Insektisida Botani Alternatif”. Hasil ekstraksi Euphorbia tirucalli L menunjukkan bahwa ekstraksi dengan pelarut
etanol menghasilkan rendemen ekstrak lebih banyak yaitu sebesar 6,60 dengan berat ekstrak 23,11g dibandingkan dengan hasil ekstraksi
menggunakan pelarut aseton sebesar 1.74 dengan berat ekstrak 6.08g sedangkan hasil ekstraksi menggunakan pelarut heksan hanya menghasilkan
rendemen ekstrak 0.50 dengan berat ekstrak 1.74g. Daun tanaman Euphorbia tirucalli yang diekstrak dengan pelarut aseton memiliki toksisitas
lebih kuat karena dengan konsentrasi 2 sudah dapat menyebabkan mortalitas 50 dibandingkan pelarut etanol pada konsentrasi 3.
Penelitian yang dilakukan oleh Arneti pada tahun 2016 mengenai “Aktivitas Ekstrak Heksan Tumbuhan Patah Tulang Euphorbia
tirucalliEuphorbiaceae Terhadap
Telur Crocidolomia
pavonana Lepidoptera crambidae”. Penggunaan tanaman patah tulang Euphorbia
tirucalli sebagai insektisida nabati merupakan salah satu teknik pengendalian Crocidolomia pavonana. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh
aplikasi ekstrak tanaman patah tulang terhadap penekanan terhadap penetasan telur Crocidolomia pavonana pada usia berbeda. Ekstrak heksan tanaman
patah tulang diaplikasikan dengan metode celup pada konsentrasi 0.23. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak heksan tanaman patah tulang
pada konsentrasi 0.23 mampu menekan penetasan telur Crocidolomia pavonana umur I hingga 3 hari dengan presentase penetasan telur berturut-
turut 12,72, 36,50, dan 44,00 serta presentase aktivitas ovisidal berturut-turut 87,15, 63,32, dan 55,42. Ekstrak heksan tanaman patah
tulang tidak mempegaruhi lama perkembangan telur Crocidolomia pavonana. Penelitian yang dilakukan oleh Oratmangun, dan kawan-kawan pada
tahun 2014 mengenai “Uji Toksisita Ekstrak Tanaman Patah Tulang Euphorbia tirucalli L. Terhadap Artemia salina dengan Metode Brine
Shrimp Lethality Test BSLT Sebagai Studi Pendahuluan Potensi Anti Kanker”. Tujuan penelitian ini adalah membuktikan ada tidaknya potensi anti
kanker dari ekstrak metanol dan kloroform tanaman patah tulang dan dilanjutkan dengan skrining senyawa fitokimia. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa ekstrak metanol dan kloroform tanaman patah tulang bersifat toksik, hal ini ditandai dengan nilai LC
50
1000 µgmL dan senyawa PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
fitokimia yang diduga bersifat toksik terhadap Artemia salina L. Adalah alkaloid, flavanoid, dan tanin.
Bagan 2.1 : Peta Literatur - Studi bioaktivitas
isolaso senyawa bioaktif tumbuhan Euphorbia
turucallli sebagi insektisida
- Hasil ekstraksi Euphorbia tirucalli
menunjukkan bahwa etanol menghasilkan
rendemen ekstrak lebih banyak dari aseton.
- Pelarut aseton memiliki toksisitas lebih kuat
dibandingkan pelatut etanol
Toana dan Nasir, 2010
-
Aktivitas ekstrak Tanaman patah tulang
sebagai insektisida nabati terhadap telur
Crocidolomia pavonana - Tanaman patah tulang
terhadap penekanan penekanan telur
Crocidolomia pavonana - Tanaman patah tulang
pada konsentrasi 0,23 mampu menekan
penetasan telur Cracidolomia pavonana
Arneti, 2016 - Uji toksisitas tanaman
patah tulang terhadap Artemia salina dengan
metode BSLT - Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ekstrak metanol dan
kloroform tanaman patah tulang bersifat
toksik - Nilai LC501000
µgmL dan senyawa fitokimia bersifat
toksik terhadap Artemia salina L.
Oratmangun 2014
- Pengaruh ekstrak tanaman patah tulang terhadap mortaitas ulat grayak
pada tanaman cabai - Ekstrak tanaman patah tulang
menyebabkan mortalitas ulat grayak - Tanaman patah tulang berpotensi
sebagi biinsektisida PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
C. Kerangka berfikir