1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tanaman cabai Capsicum frutescens merupakan tanaman budidaya yang berada di seluruh wilayah Indonesia. Cabai kecil Capsicum frutescens
sering dijuluki sebagai cabai rawit atau lombok jempling. Tanaman cabai tergolong tanaman semusim atau berumur pendek yang mampu tumbuh pada
iklim tropis seperti Indonesia sehingga dapat dibudidaya sepanjang tahun. Buah cabai menjadi buah sayuran yang sangat penting sebagai bahan masakan
karena memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi. Permasalahan yang sering terjadi pada saat budidaya cabai adalah hama.
Hama merupakan organisme pengganggu atau perusak pada tanaman. Secara umum organisme tersebut adalah mikroorganisme virus, bakteri, protozoa, dan
jamur, gulma, dan binatang. Hama serangga dianggap sering muncul pada budidaya. Serangga hama adalah populasi serangga hama yang terlalu besar
sehingga menibulkan kerugian. Keberadaan hama dalam budidaya cabai menjadi sebuah masalah yang berbahaya dan mempengaruhi hasil panen. Salah
satu hama yang mempengaruhi pertumbuhan dan sangat berbahaya bagi tanaman cabai adalah ulat grayak. Ulat grayak merupakan hama yang
merugikan karena dapat memakan semua jenis daun dalam waktu yang cepat. Ulat grayak sering mengakibatkan penurunan produktivitas bahkan kegagalan
panen pada suatu tanaman karena menyebabkan daun terpotong-potong. Hal ini PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
membuat khawatir para petani karena jumlah panenan cabai menurun dan mengalami kerugian materi yang cukup besar.
Ulat grayak Spodoptera litura merupakan hama perusak daun yang bersifat polifag memakan semua jenis daun. Ulat grayak termasuk hewan
yang aktif pada malam hari, pada siang hari biasanya bersembunyi di bawah daun atau di rongga-rongga tanah yang terlindung dari sinar matahari. Ulat
grayak menyerang daun sehingga yang tertinggal bagian tulang-tulang daun dan bahkan merusak tulang daun maka tampak lubang-lubang bekas gigitan
pada daun. Pada serangan berat dapat menyebabkan gundulnya daun. Serangan ulat grayak ini dalam jumlah yang sangat besar atau bergerombol Prabowo, T.
2002. Hama dapat dikendalikan dengan menggunakan pestisida. Pestisida yang
sering digunakan adalah pestisida sintetik atau kimia. Penggunaan pestisida sintetik ini sangat mampu mengendalikan atau mematikan hama dengan cepat
dan pestisida mudah didapat. Namun dari penggunaan pestisida sintetik in dapat menimbulkan dampak yang mencemari bagi lingkungan maka perlu
mencari alternatif lain yang lebih aman bagi lingkungan sehingga tidak menimbulkan dampak bahaya bagi lingkungan terkait pengendalian hama.
Penggunaan insektisida nabati atau bioinsektisida merupakan salah satu alternatif dalam pengendalian hama tanaman yang lebih aman dan ramah
lingkungan sehingga tidak menimbulkan masalah baru terhadap lingkungan. Bioinsektisida merupakan salah satu pengendalian hama menggunakan
mikroorganisme dan makroorganisme yang akan menekan dampak negatif PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
terhadap lingkungan, manusia, maupun hewan yang berada di sekitar Sjam, dkk., 2011. Dalam hal ini belum banyak petani yang menggunakan
bioinsektisida sebagai pengendali hama pada tanaman. Penggunaan
bioinsektisida lebih aman digunakan untuk tanaman dibandingkan dengan pestisida sintetik.
Pemanfataan tanaman lokal sebagai pengganti pestisida sintetik menjadi alternatif dalam mengendalikan hama yang lebih aman bagi lingkungan. Jenis-
jenis tanaman yang berpotensi sebagai insektisida nabati karena mengandung senyawa bioaktif antara lain saponin, tanin, alkaloid, flavanoid, dan terpenoid.
Beberapa tanaman diketahui dapat menyebabkan efek mortalitas pada serangga sehingga tanaman tersebut dapat digunakan sebagai insektisida nabati.
Tanaman patah tulang Euphorbia tirucalli merupakan salah satu tanaman yang tergolong dalam famili Euphorbiaceae. Tanaman patah tulang
merupakan tanaman yang hidup di daerah tropis, tanaman ini cocok hidup di tempat terbuka dan terkena banyak sinar matahari langsung sehingga tanaman
patah tulang tumbuh subur di Indonesia. Di Indonesia tanaman patah tulang dikenal sebagai salah satu tanaman yang biasa digunakan oleh masyarakat
sebagai obat tradisional. Kandungan senyawa kimia yang terdapat pada ranting tanaman patah tulang adalah senyawa metabolit sekunder, seperti alkaloid,
flavonoid, steroidtriterpenoid, tanin, glikosida, dan hidroquinon Toana dan Nasir, 2010. Senyawa steroidtriterpenoid menunjukkan berbagai aktivitas
fisiologi digunakan untuk antifungi, insektisida, antibakteri atau antivirus. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tanaman patah tulang dilaporkan berpotensi sebagai salah satu bioinsektisida. Dahan dan ranting tanaman patah tulang mengandung getah
yang bersifat toksik bagi serangga hama Arneti, 2016. Kandungan kimia yang terdapat dalam getah tumbuhan tersebut berupa getah asam latex acid yang
mengandung euphorbone, taraksasterol, lakterol, euphol, senyawa damar, kutschuk zat karet, asam ellaf Supriyanto dan Luviana 2010, alkaloid, tanin,
flavanoid, steroid, triterpenoid, dan hidroquinon Toana dan Nasir, 2010. Tanaman patah tulang dapat digunakan sebagai alternatif pengganti pestisida
sintetik yang ramah bagi lingkungan serta menekan angka kerugian yang dialami petani akibat serangga hama terutama pada tanaman pangan.
Dalam penelitian ini akan menggunakan tanaman patah tulang sebagai bioinsektisida dari tanaman patah tulang. Berdasarkan hal tersebut maka akan
diadakan penelitian lebih lanjut menguji bioinsektisida dari ekstrak tanaman patah tulang terhadap mortalitas ulat grayak. . Pengamatan dilakukan selama
24 jam kemudian data yang dioeroleh dihitung menggunakan Letal Concentration 50 atau LC
50
. Arti dari Letal Concentration 50 adalah pada konsentrasi berapa ekstrak tanaman patah tulang dapat mematikan 50 dari
ulat grayak. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
B. Rumusan Masalah