3. Teori Kepemimpinan a. Teori Sifat
Kepemimpinan menitikberatkan pengidentifikasian ciri-ciri yang efektif. Pendekatan ini diidasarkan pada asumsi bahwa dapat
ditemukan sejumlah individu terbatas dari pemimpin yang efektif. Teori sifat juga dapat disebut teori ciri kepemimpinan.
Teori ciri kepemimpinan adalah terori yang mencari ciri kepribadian, sosial
fisikkemampuan, dan
intelektual intelegensial
yang membedakan pemimpin dan bukan pemimpin.
b. Teori Perilaku Personal
Teori perilaku kepemimpinan adalah teori yang mengemukakan bahwa perilaku spesifik membedakan pemimpin dan bukan
pemimpin. Dua pendekatan kepemimpinan perilaku personalpribadi, dapat dijelaskan sebagai berikut :
Orientasi pada karyawan : pemimpin menekankan hubungan antar pribadi.
Orientasi pada produksi : pemimpin menekankan pada aspek teknis atau tugas dari pekerjaan.
Perkembangan :
pemimpin menghargai
eksperimentasi, mengusahakan gagasan baru, dan menimbulkan serta melaksanakan
perubahan.
Struktur : sejauh mana seorang pemimpin berkemungkinan mendefinisikan dan menstruktur peran mereka dan peran bawahan
dalam upaya mencapai tujuan. Pertimbangan : sejauh mana seorang pemimpin memiliki hubungan
pekerjaan yang dicirikan saling percaya menghargai gagasan bawahan, dan memperhatikan perasaan mereka.
c. Teori Situasional
Suatu teori kemungkinan yang memuaskan perhatian pada kesiapan para pengikut. Dalam teori ini dikembangkan dimensi tinggi atau
rendah menjadi empat prilaku pemimpin yang spesifik yaitu : mengatakan telling, menjual selling, berperan serta participation,
dan mendelegasikan delegation.
d. Teori Kontigensi Fiedler
Teori kontingensi pertama-tama telah dikembangkan oleh fiedler. Menurut teori tersebut kepemimpinan yang berhasil bergantung pada
penerapan gaya seorang pemimpin terhadap tuntutan situasi. Dengan demikian, suatu gaya kepemimpinan akan terasa paling efektif kalau
gaya tersebut digunakan pada situasi yang tepat. 1 Gaya Kepemimpinan
Fiedler mengelompokkan gaya seorang pemimpin ke dalam gaya kepemimpinan yang berorientasi pada orang hubungan dan
berorientasi pada tugas. Pemimpin yang berorientasi pada hubungan orang akan mendapatkan kepuasan apabila terjadi
hubungan yang mapan dalam suatu pekerjaan. Pemimpin tersebut menekankan pandangan hubungan pemimpin dengan bawahan
sebagai “ teman sekerja” co-worker serta menekankan pentingnya perasaan positif yang kuat terhadap bawahannya.
Menurut gaya ini, pemimpin akan aktif dalam melaksanakan tugas-tugasnya bila mampu menjalin hubungan dengan baik
terhadap bawahannya. Sebaliknya pemimpin yang berorientasi pada tugas memandang
bahwa dirinya akan merasa puas bila mampu menyelesaikan tuga- tugas yang ada padanya, tuntutan terhadap bawahannya berupa
tugas-tugas yang harus selesai dikerjakan. Pemimpin dengan gaya ini tidak memprioritaskan hubungan yang harmonis terhadap
bawahannya, tetapi lebih berorientasi pada pandangan bahwa penyelesaian pelaksanaan tugas menjadi prioritas utama.
Pemimpin dengan gaya ini mengabaikan aspek-aspek hubungan antara manusia human relations dalam pekerjaannya, dan
bahkan tidak menghiraukan perasaan bawahan terhadap gaya kepemimpinan yang diterapkannya.
Pemimpin yang berorientasi pada tugas dikenal sebagai pegawai yang menyukai kerja keras hard working dan pemimpin yang
berorientasi pada hubungan dikenal sebagai pegawai yang menekankan rasa percaya penuh trust worthing.
2 Faktor- Faktor Situasional Fiedler mengidentifikasi faktor-faktor yang ada dalam situasi
kerja yang dapat membantu pemimpin dalam menetapkan gaya kepemimpinannya secara efektif. Faktor-faktor tersebut meliputi :
a Hubungan anggota dengan pemimpin Leader-member relations
b Struktur tugas Task structur c Kuasa dalam posisinya sebagai pemimpin Leader position
power Hubungan anggota dengan pemimpin mengidentifikasi sampai
sejauh mana seorang pemimpin dapat diterima atau ditolak oleh anggota dalam kelompok yang dipimpinnya. Kondisi tersebut
mempunyai pengaruh yang amat penting bagi efektivitas kepemimpinannya. Pemimpin yang disukai dan keberadaannya
dapat diterima oleh kelompok yang dipimpinnya akan mampu menggerakkan
bawahannya untuk
meningkatkan kinerja.
Sebaliknya pemimpin yang kurang disukai dan diterima keberadaannya, kepemimpinannya akan mempunyai efektivitas
yang lemah dan kurang mampu merangsang suasana kerja. Terhadap tugas-tugas yang rutin dan sederhana yang telah
mempunyai standar
yang jelas
tentang bagaimana
melaksanakannya, pemimpin tidak perlu bercampur tangan
terhadap aktivitas bawahannya dalam melaksanakan tugas-tugas tersebut.
Kuasa dalam posisi sebagai pemimpin, merupakan tingkatan sampai sejauh mana legitimasi yang dimiliki pemimpin yang
berkaitan dengan kedudukannya dalam struktur kekuasaan, maupun sampai sejauh mana wewenang yang ada dalam hal
pemberian penghargaan terhadap bawahaannya. Pemimpin yang mempunyai kuasa dalam posisi yang lebih tinggi mempunyai
kemampuan memepengaruhi bawahan yang lebih besar dibanding pemimpin yang posisi kuasanya lebih rendah.
4. Efektivitas Kepemimpinan