Membandingkan Hikayat dengan Novel

Komp Bahasa SMA 2 Bhs 252 Asmadiputera : mengepalkan tinju, mengangkat bahu, lalu pergi ke kanan . ..................................................................................................................... Dilanjutkan pada adegan keenam Sumber: Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma, Balai Pustaka, Jakarta, 1990

C. Membandingkan Hikayat dengan Novel

Kalian telah membahas dan membandingkan karya sastra berbentuk hikayat dengan cerpen. Tentu saja kalian telah menemukan ciri-ciri hikayat dan cerpen. Pada pelajaran ini, kalian akan membahas dan membadingkan hikayat dengan novel. Bacalah kutipan Hikayat Bayan Budiman di bawah ini ............... Tersebutlah perkataan seorang saudagar di negeri Ajam yang terlalu amat kaya. Setelah berdoa dan bernazar akan memberi sedekah makan kepada segala fakir miskin dan darwish, maka istrinya pun beranaklah seorang laki-laki yang terlalu baik rupanya. Anak itu dinamainya Khoja Maimun dan dipelihara dengan sepertinya. Hatta Khoja Maimun pun besarlah dan tahulah ia mengaji, maka ia pun dinikahkan dengan Bibi Zainab, anak perempuan seorang saudagar yang terlalu elok rupanya. Maka duduklah Khoja Maimun berkasih- kasihan dengan istrinya. Hatta beberapa lamanya, pada suatu hari, Khoja Maimun pun membeli seekor burung bayan dengan harga seribu dinar. Burung itu tidak seperti burung yang lain, tetapi burung dari sorga yang dapat mengetahui hal-hal yang akan terjadi 10 hari sebelumnya. Atas nasihat burung bayan ini, Khoja Maimun pun mengapungkan segala dagangan yang akan dibeli oleh satu kafilah dari negeri Babal dan memperoleh laba yang banyak sekali. Hatta beberapa lamanya dibelinya pula seekor burung tiung betina. dari naskah Winstedt, hlm. 96 tahun 1958. Sumber: Hikayat Indranata, Perpustakaan Nasional Setelah membaca kutipan hikayat tersebut, bacalah pula penjelasan tentang novel dan contohnya berikut. Seperti halnya cerita pendek, novel merupakan prosa narasi. Novel pun dibentuk oleh unsur intrinsik dan ekstrinsik. Yang membedakan cerpen dengan novel adalah panjangnya, novel lebih panjang dibanding cerpen. Perbedaan tersebut berpengaruh pada penggambaran tokoh, jalan cerita, dan kerumitan konflik di dalamnya. Karena novel lebih panjang, penulis bisa lebih leluasa Di unduh dari : Bukupaket.com Apresiasi Sastra 253 menggambarkan tokoh dibanding pada cerpen. Demikian pula pada alur cerita dalam cerpen, alur cerita biasanya hanya satu, tetapi pada novel alur cerita itu bisa bercabang lebih dari satu. Istilah novel kadangkala sering pula disebut roman. Istilah roman populer digunakan pada masa Balai Pustaka dan Pujangga Baru. Istilah tersebut mulai jarang digunakan seiring perkembangan zaman. Sekarang ini istilah novel lebih sering digunakan. Selain roman dan novel, dalam sastra kita dikenal pula nama hikayat. Hikayat sebenarnya bentuk lain dari novel atau roman. Hikayat merupakan warisan sastra Melayu lama. Perkembangan novel Indonesia sangat dipengaruhi oleh perubahan sosial, budaya, dan politik. Sebagai perbandingan, novel atau roman Angkatan Balai Pustaka, sangat dipengaruhi oleh adat istidat, politik kaum yang terjajah bumi putra di bawah bayang- bayang kekuasaan Belanda. Contohnya dalam novel Salah Asuhan, Siti Nurbaya, Robert Anak Surapati, Saijah dan Adind, dll. Pada masa peralihan, yaitu masa pergerakan Sutan Takdir Alisyahbana dan Armijn Pane memperlihatkan suasana kebangsaan yang kental, seperti dalam novel Layar Terkembang dan Belenggu. Novel-novel yang lahir setelah kemerdekaan mengangkat tema yang sesuai dengan zamannya. Sebagai contoh, dalam novel Supernova karya Dewi Lestari, kehidupan kaum muda yang telah mengenal internet dan aneka persoalan dunia modern menjadi tema sentralnya. Contoh lainnya adalah novel Jendela-Jendela karya Fira Basuki.Temanya adalah perkawinan beda ras dan bangsa. Bacalah kutipan novel berikut. Penjual Koran Oleh: A. A. Rivai 1. Perkenalan Dengan tas di tangan, Suhardi pergi ke ruang makan. ”Saya pergi, Pak, Bu” Lalu ia cepat-cepat keluar melalui pintu samping. Ibunya masih sempat berseru, ”Suruh Dadang segera kembali” Hardi meletakkan tasnya di belakang sepeda, tergesa-gesa menyeret sepedanya ke halaman. Tapi ketika ia lewat dekat mobil Mercedes ayahnya, Dadang sang sopir berkata, ”Mengapa Hardi bersepeda? Ibu menyuruh saya mengantar dengan mobil.” Agak kecewa Hardi menjawab, ”Saya tidak suka naik mobil. Biar saya bersepeda saja.” ”Nanti saya dimarahi juragan Istri,” kata Dadang berkeberatan. ”Saya bersepeda saja,” kata Hardi sambil menaiki sepedanya, ”Sudah hampir pukul tujuh” Dan ia pun mengayuh sepedanya dengan cepat. Di unduh dari : Bukupaket.com Komp Bahasa SMA 2 Bhs 254 Ketika sampai di lintasan kereta api di muka Bioskop Megaria, ia terpaksa turun, sebab palang sudah diturunkan, tanda ada kereta api yang akan lewat. Hardi perlahan-lahan maju di sela-sela mobil dan beca. Ia berusaha mendekati palang dengan maksud segera meneruskan perjalanan jika palang diangkat. Ia diikuti seseorang yang mendorong sepedanya dari belakang, seolah-olah menolong. Sebenarnya orang itu mencoba melepaskan tas buku dari belakang sepeda. Percobaan itu tidak berhasil, karena tas terikat kuat dengan ikat pinggang kulit. Dengan cepat orang itu mengeluarkan sebilah pisau cukur dan mencoba memotong kulit itu. Tapi sebelum kulit itu terpotong seluruhnya, seorang anak penjual koran memberi peringatan, ”Jangan, Bung” Pencuri itu dengan geram berbalik kepada anak yang berani menegurnya. Pada saat itulah kereta api berlalu … Hardi maju ke depan. Penjual koran menjauhkan diri di sela-sela kendaraan. Pencuri menyusulnya, tapi untuk keselamatan dirinya, ia segera menghilang, sebab tidak jauh dari tempat itu tampak sebuah Jeep polisi. Palang diangkat. Hardi maju perlahan-lahan. Terdengar suara penjual koran tadi, ”Hati-hati Betulkan dahulu ikatan tas Anda” Hardi menoleh dengan heran. ”Lihatlah,” sambung penjual koran, ”tas Anda hampir disambar alap-alap.” Hardi membawa sepedanya ke pinggir. Heran ia melihat pengikat tasnya hampir putus. Dibetulkannya dengan cepat. Sebelum meneruskan perjalanan, ia berkata kepada penjual koran yang jujur itu, ”Terima kasih banyak” Suharti, gadis berumur tujuh belas tahun, kakak Suhardi sedang menyetel pesawat televisi di ruang dalam. Terdengar dari jauh, ”Serba Rona Serba Rona” Suharti tegak, memanggil adiknya, ”Har, Hardi Lekas panggil Serba Rona Tergopoh-gopoh Hardi pergi ke halaman depan. Tatkala tampak olehnya penjual koran, dipanggilnya, ”Serba Rona, bawa kemari” Lalu ia kembali, minta uang dari Suharti. Penjual koran masuk ke dalam pekarangan, menunggu dekat beranda depan, sambil melihat-lihat ke dalam. Hardi mengambil selembar mingguan Serba Rona, lalu membayar harganya. Sebelum dibawa masuk, ia membaca dahulu halaman pertama. Dilihatnya penjual koran yang sebaya dengannya, masih belum pergi, tapi menatap mukanya. ”Uangnya, kan, sudah cukup,” kata Hardi, lalu membaca pula. Rupanya penjual koran itu belum juga mau pergi. Hardi berhenti membaca, memandang kepada penjual koran itu. ”Heee, kita sudah berkenalan, bukan?” lalu didekatinya. ”Andalah yang pagi tadi menolong aku hingga tas bukuku tidak sempat dicuri orang.” Di unduh dari : Bukupaket.com Apresiasi Sastra 255 ”Be … be … nar,” keluar gugup dari penjual koran. Matanya yang jernih–ikhlas memandang terus kepada Hardi. Memang wajahnya menunjukkan ia seorang anak yang jujur dan membangkitkan rasa kasihan orang yang memandangnya. ”Aku masih ingat akan budimu. Sekali lagi banyak terima kasih.” Setelah berpikir sejurus, Hardi berkata, ”Bawalah tiap-tiap malam Minggu selembar Serba Rona ke sini. Kakakku gemar sekali membacanya. Biar ia berlangganan.” ”Baiklah,” jawab penjual koran itu, ”Banyak terima kasih. Permisi.” Belum ia jauh, Hardi memanggilnya kembali, ”Tunggu dulu Siapakah nama Anda?” ”Didi,” jawab penjual koran agak kemalu-maluan. ”Namaku Hardi; hampir sama, ya? Jangan lupa malam Minggu depan.” Tiba-tiba terdengar suara Suharti agak marah, ”Mana, sih, Serba Rona yang kusuruh beli” Direbutnya mingguan itu dari tangan adiknya, terus ia masuk. Hardi menyusul dengan kecewa. ”Kukira kau asyik menonton TV tadi,” kata Hardi, lalu ia sendiri mendekati pesawat TV. Hatinya lega, sebab merasa telah dapat membalas budi si Didi, meskipun tidak berarti. Tak lama kemudian, ia pergi ke beranda depan, duduk melihat- lihat kesibukan lalu lintas. Pintu pagar dibuka dan Didi masuk dengan gerak ragu-ragu. Mukanya menampakkan kecemasan. Hardi mendekati dan bertanya, ”Ada apa, Di?” Dengan gugup Didi menyahut, ”Ma …maaf, ya. Saya … saya ah,” ia tunduk. ”Katakan saja,” desak Hardi, ”aku tidak akan marah. Kita, kan, sudah kenal baik.” Dengan sukar keluar dari mulut Didi, ”Bolehkah saya mencari di pekarangan ini? Uang saya tercecer.” ”Tentu saja, mari kita cari bersama-sama.” Kedua anak itu mulai mencari. ”Tunggu sebentar,” kata Hardi, sambil lari masuk rumah. Beberapa menit kemudian ia kembali membawa sebuah lampu senter. ”Apa yang hilang?” tanyanya. ”Sehelai uang kertas lima puluh rupiah,” jawab Didi. ”Oooo, uang yang kuberikan tadi?” ”Betul,” jawab Didi, ”sudah kucari di sepanjang jalan, tapi tidak bertemu. Boleh jadi jatuh di sini.” Tapi, bagaimana jua pun kedua anak itu mencari, usaha mereka tidak juga berhasil. Sebentar-sebentar Hardi memandang wajah Didi, yang makin bertambah muram. Uang Rp50,00 besar artinya bagi seorang penjual koran, yang mungkin pula menjadi pembantu pencari nafkah orang tuanya. ”Teruskan mencari,” katanya, ”pakailah lampu ini,” terus ia masuk pula ke rumah, langsung pergi ke kamar tidurnya. Ia membuka lemari pakaian dan dari sebuah kotak diambilnya sehelai uang kertas Di unduh dari : Bukupaket.com Komp Bahasa SMA 2 Bhs 256 Rp50,00. Segera ia mendekati Didi dan menyerahkan uang itu dengan permintaan, ”Kuharap Anda sudi menerima uang ini sebagai bantuanku. Terimalah.” Didi dengan gerak lamban menerima uang itu. Air matanya berlinang-linang. ”Terima kasih,” katanya dengan suara tertahan- tahan, sambil menyerahkan lampu senter kembali. ”Uang ini … uang ini…” ”Terimalah,” desak Hardi, ”ini sekadar bantuanku.” ”Ya, tapi … maaf. Aku mau menerima uang ini, tapi … tapi sebagai utang. Mudah-mudahan aku lekas dapat membayarnya kembali … ”Bukan begitu maksudku,” memotong Hardi. ”Uang ini utang,” Didi berkeras. ”Uangku tadi hilang lantaran kesalahanku, lantaran kelalaianku. Terima kasih. Sampai berjumpa pula,” lalu ia pergi dengan langkah cepat. Suhardi termenung. Apakah ia telah melukai perasaan kawan baru itu? ……………………………………………………………………………. Sumber: Penjual Koran, Balai Pustaka: 2001 Setelah membaca kutipan hikayat dan penjelasan tentang novel tersebut, buatlah pebandingan antara hikayat dengan novel dalam format seperti berikut. ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ ○ Pelatihan 3 No. Unsur Pembeda Perbedaan Hikayat Novel 1. Bahasa yang digunakan 2. Isi dst.

D. Mengarang Cerpen