8
BAB II PENELAAHAN PUSTAKA
A. Peresepan racikan
Resep merupakan permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker, untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien
sesuai peraturan yang berlaku KepMenKes RI, 2004. Resep terdiri dari peresepan non racikan dan peresepan racikan. Peresepan racikan mengandung
nama dan kuantitas tiap bahan yang diperlukan untuk diracik menjadi satu sediaan. Peracikan obat merupakan tugas penting dari apoteker dan asisten
apoteker Harianto, dkk., 2006. Rersep racikan bertujuan untuk menyesuaikan dosis obat dan bentuk
sediaan dengan kebutuhan atau kondisi klinis pasien, seperti pulveres yang diresepkan untuk anak yang susah menelan obat sediaan tablet, obat yang
membutuhkan sejumlah dosis terlarut dari obat yang diperlukan dan bentuk sediaan racikan yang berguna untuk menutupi rasa tidak enak dari obat
Profesional Compounding Centers of America, 2014.
B. Pola Peresepan
Peresepan obat harus memenuhi kriteria peresepan obat yang rasional. Prinsip dari peresepan rasional adalah adanya elemen-elemen yang sesuai untuk
penggunaan obat yang efektif, aman dan ekonomis. Peresepan obat dikatakan rasional apabila pasien mendapatkan obat dan dosis yang sesuai dengan
kebutuhan klinis pasien dalam periode tertentu dengan harga terjangkau untuk pasien Nastiti, 2011.
Penentuan dosis obat seharusnya dilakukan secara individual yang disesuaikan dengan berat badan, meskipun beberapa formulasi dapat digunakan.
Setelah ditentukan dosis obat, dilihat juga rute pengunaan obat. Rute penggunaan obat terdiri dari rute oral per oral, injeksi, kulit per kutan, dan melalui rute
transdermal. Rute penggunaan obat disesuaikan dengan tujuan terapi lokal atau sistematik, kerja obat cepat atau lambat, stabilitas obat dalam lambung atau
usus, keamanan relatif, rute yang sesuai dengan kondisi penderita. Selain itu, juga perlu dipertimbangkan bentuk sediaan obat yang akan diberikan Putra,
2012.
1. Bentuk Sediaan Obat
Terdapat macam-macam bentuk sediaan obat menurut Ansel dan Howard 1989, yaitu:
a. Pulvis serbuk
Pulvis merupakan campuran kering bahan obat atau zat aktif yang dapat dihaluskan yang ditujukan untuk penggunaan oral atau untuk pemakaian luar.
b. Pulveres
Pulveres merupakan serbuk yang dibagi ke dalam bobot yang kurang lebih sama, yang selanjutnya dibungkus menggunakan bahan pengemas yang
cocok untuk sekali minum.
c. Tablet
Tablet merupakan sediaan padat kompak yang dibuat secara kempa cetak dalam bentuk tabung pipih atau sirkuler atau cembung. Tablet biasanya
mengandung satu jenis obat atau lebih dengan atau tanpa bahan tambahan. d.
Pilulae Pil Pil merupakan bentuk sediaan padat, bundar dan kecil yang mengandung
obat dan dimaksudkan untuk pemakaian oral. Penggunaan pil saat ini sudah jarang ditemukan karena tergusur dengan banyaknya penggunaan tablet dan kapsul.
e. Kapsul
Kapsul merupakan sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau lunak yang dapat larut dalam air.
f. Solutiones Larutan
Larutan merupakan sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat kimia yang dapat larut. Biasanya dilarutkan di dalam air dan cara penggunaannya
diminum larutan oral dan kulit larutan topikal. g.
Suspensi Suspensi merupakan sediaan cair yang mengandung partikel padat yang
tidak larut dan terdispersi dalam fase cair. h.
Emulsi Emulsi merupakan sediaan berupa campuran dari fase cairan dalam
sistem dispersi dan distabilkan oleh zat pengemulsi.
i. Unguenta Salep
Salep merupakan sediaan semi padat yang ditujukan untuk pemakaian topikal pada kulit atau selaput lendir.
j. Suppositoria
Suppositoria merupakan sediaa padat dalam berbagai bobot dan bentuk yang diberikan melalui rektal, vagina atatu uretra. Suppositoria dapat meleleh,
melunak atau melarut pada suhu tubuh.
2. Rute Pemberian obat
Bentuk sediaan obat dapat melalui beberapa rute pemberian tergantung dengan tujuan pengobatan yang diinginkan, seperti:
a. Bentuk sediaan obat melalui rute oral per oral Bentuk sediaan obat yang digunakan dalam rute oral yaitu tablet, kapsul,
pulveres, sediaan cair seperti sirop, suspensi atau emulsi oral. Penggunaan obat melalui rute oral bertujuan untuk memperoleh efek sistemik dan memperoleh efek
lokal pada obat yang tidak larut atau tidak diabsorpsi dalam rute ini, seperti obat- obat cacing dan antasida yang digunakan untuk menetralkan kelebihan asam
lambung. Bentuk sediaan oral digunakan untuk memberikan efek pengobatan yang lama. Kekurangan penggunaan obat pada rute oral per oral yaitu
menghasilkan respon yang lebih lama dibandingkan dengan rute lainnya, tidak dapat digunakan pada penderita yang koma atau muntah-muntah, dan
kemungkinan obat dapat rusak oleh reaksi asam lambung atau enzim-enzim pencernaan Syamsuni, 2006.
b. Bentuk sediaan obat melalui rute rektal
Bentuk sediaan obat melalui rute rektal digunakan untuk tujuan lokal atau sistemik dalam bentuk larutan lavement clysma enema, padat
suppositoria, atau setengah padat unguentum salep. Kelebihan rute rektal yaitu menghindari obat yang dapat rusak jika melalui usus, dapat digunakan pada
penderita yang muntah-muntah, koma, atau penderita yang susah menelan obat, dan obat tidak mengalami detoksikasi, biotransformasi, atau metabolisme yang
mengakibatkan obat menjadi tidak aktif. Kerugian rute rektal adalah penggunaan yang tidak menyenangkan atau kurang nyaman Syamsuni, 2006.
c. Bentuk sediaan obat melalui rute parenteral
Bentuk sediaan parenteral dapat berupa larutan, suspensi, emulsi, dan serbuk steril dalam air atau minyak. Kelebihan dari bentuk sediaan obat melalui
rute parenteral yaitu obat dapat terhindar dari inaktivasi dalam saluran gastrointestinal, menghasilkan efek obat yang cepat, mendapatkan kadar obat
yang tepat sesuai yang diharapkan, dapat digunakan pada penderita yang susah menelan. Kekurangan menggunakan rute parenteral adalah jika terjadi kesalahan
pemberian obat maka efek toksik sulit dinetralkan, selain itu harga obatnya lebih mahal dibandingkan obat oral karena sediaan harus dibuat steril Syamsuni,
2006.
d. Bentuk sediaan obat melalui rute kulit
Bentuk sediaan obat ini bertujuan untuk menghasilkan efek lokal dan bukan sistemik. Bentuk sediaannya dapat berupa salep, krim, pasta, lotion, dan
serbuk tabur Syamsuni, 2006. e.
Bentuk sediaan obat yang digunakan pada membran mukosa Bentuk sediaan obat yang digunakan pada membran mukosa, yaitu
bentuk sediaan untuk mukosa mulut dan tenggorokan, bentuk sediaan untuk mata, bentuk sediaan untuk hidung, bentuk sediaan untuk telinga, dan , bentuk sediaan
yang digunakan melalui mulut seperti sublingual obat diletakkan dibawah lidah, bukal obat diletakkan antara pipi dan gusi yang bertujuan menghasilkan efek
yang lebih cepat dibandingkan rute peroral Syamsuni, 2006. f.
Bentuk sediaan obat melalui rute implantasi Bentuk sediaan obat melalui rute implantasi berupa obat steril yang
ditanam dibawah kulit dengan tujuan memberikan efek sistemik jangka panjang yang membutuhkan dosis lebih kecil dibandingkan dengan dosis obat melalui oral
Syamsuni, 2006.
C. Interaksi obat
Obat sebelum sampai di tempat aksinya, melalui beberapa fase yaitu fase farmasetika dan farmakokinetika. Farmasetika meliputi teknologi pembuatan obat
dalam bentuk sediaan yang dapat digunakan dan diberikan kepada pasien. Tujuan formulasi bentuk sediaan ini agar dapat dibuat, disimpan, dan diberikan ke pasien
tanpa terjadi perubahan sifat biologis, sehingga perlu diperhatikan tentang sifat kimia dan fisika obat, dan sifat fisika kimia bentuk sediaan Putra, 2012.
Interaksi obat
dapat berupa
interaksi farmasetik,
interaksi farmakokinetik, dan interaksi farmakodinamik.
1. Interaksi farmasetik
Interaksi farmasetik berhubungan dengan sifat fisika-kimia dari obat. Interaksi
farmasetik dapat
menyebabkan obat
kehilangan potensinya,
meningkatkan toksisitas atau pun efek samping. Biasanya interaksi terjadi diluar tubuh manusia dan menimbulkan salah satu obat menjadi tidak aktif Putra,
2012. 2.
Interaksi farmakokinetik Interaksi farmakokinetik dapat terjadi karena adanya perubahan absorbsi
obat, distribusi obat, metabolisme obat, dan eliminasi obat Syamsudin, 2011. a.
Tahap Absorbsi Interaksi absorbsi obat dapat berinteraksi dengan mengubah tingkat dan
kecepatan penyerapan obat. Interaksi absorbsi obat dapat disebabkan oleh pengikatan obat di dalam saluran pencernaan, perubahan motilitas saluran
pencernaan, perubahan pH saluran pencernaan, perubahan flora normal di usus halus dan perubahan metabolisme obat di dalam dinding usus Syamsudin, 2011.
b. Tahap Distribusi
Distribusi obat adalah distribusi obat dari dan ke darah dan beberapa jaringan tubuh misalnya lemak, otot dan jaringan otak dan proporsi relatif obat
di dalam jaringan. Obat masuk ke jaringan yang berbeda-beda dengan kecepatan yang berbeda juga, tergantung pada kemampuan obat menembus membran. Hal
ini dapat dipengaruhi juga oleh pengikatan obat ke protein plasma Syamsudin, 2011.
c. Tahap Metabolisme
Metabolisme obat disebut juga sebagai biotransformasi obat yang bertujuan untuk mengubah xenobiotik lebih hidrofil sehingga dapat dieliminasi
secara efisien oleh ginjal. Ada dua kategori utama reaksi metabolisme yaitu fase I dan fase II. Dimana reaksi fase I berkaitan dengan penambahan dan pengurangan
gugus fungsional yang digunakan untuk menyelesaikan fase II. Sebagian besar reaksi fase I diperantarai oleh sitokrom P450. Oleh karena itu, sekitar 40
metabolisme obat tergantung pada P450 yang dilaksanakan oleh enzim polimorfisme. Obat inhibtor enzim dapat menghambat kerja enzim yang dapat
meningkatkan konsentrasi obat dan substrat. Obat dapat menginduksi dan menginhibisi enzim yang dapat meningkatkan dan menurunkan kecepatan
metabolisme obat Syamsudin, 2011. d.
Tahap ekskresi Obat dapat dikeluarkan dari tubuh melalui proses ekskresi. Obat yang
memiliki kelarutan lemak yang tinggi, perlu dimetabolisme lagi menjadi senyawa yang lebih polar sehingga dapat diekskresi. Ginjal merupakan organ penting
dalam proses ekskresi obat dan metabolitnya. Selain ginjal obat dan metabolitnya
juga dapat diekskresikan melalui feses, air susu ibu ASI dan paru-paru Brunton, Chabner and Bjorn, 2010.
Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur, air mata, air susu, dan rambut, tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sehingga tidak berarti dalam
pengakhiran efek obat. Liur dapat digunakan sebagai pengganti darah untuk menentukan kadar obat tertentu. Rambut juga dapat digunakan untuk menentukan
logam toksik seperti arsen pada kedokteran forensik Brunton, et al., 2010. 3. Interaksi farmakodinamik
Efek dari sebagian besar obat berasal dari interaksi dengan komponen makromolekular suatu organisme. Interaksi ini akan mengubah komponen yang
bersangkutan dan memulai perubahan biokimia dan fisiologi yang merupakan respon karakteristik dari obat. Istilah reseptor obat dan target obat merupakan
makromolekul seluler dan kompleks makro molekuler yang berinteraksi dengan obat dan merangsang terjadinya respon seluler, contohnya perubahan fungsi sel.
Obat umumnya merubah kecepatan dan besaran dari respon intrinsik seluler dari pada menciptakan respon-respon baru. Reseptor obat biasanya terletak di
permukaan sel, tapi juga bisa terletak di kompartemen intraselular spesifik seperti nukleus. Banyak obat juga berinteraksi dengan aseptor contoh : serum albumin
didalam tubuh. Aseptor merupakan sesuatu yang tidak secara langsung menyebabkan perubahan biokimia atau respon fisiologi. Akan tetapi, interaksi
dari obat dengan aseptor seperti serum albumin dapat mengubah farmakokinetika dari aksi obat Brunton, et al., 2010.
Efek obat ditimbulkan karena adanya interaksi obat dengan reseptor pada sel di dalam suatu organisme. Interaksi antara obat dengan reseptor dapat
mengakibatkan terjadinya perubahan biokimia dan fisiologi yang merupakan respons khas dari obat yang dikonsumsi. Hal ini merupakan dasar dari terapi obat
rasional dan berguna dalam proses sintesis obat baru Sanjoyo, 2012. Menurut Tatro 2001, interaksi obat digolongkan menjadi 5 kelas
signifikansi yang dibedakan berdasarkan tingkat keparahannya, dimana kelas signifikansi semakin kecil berarti tingkat keparahannya semakin besar.
1. Kelas Signifikansi
Kelas signifikansi Tingkat keparahan
Bukti 1
Berat Sudah ada bukti
2 Sedang
Sudah ada bukti 3
Ringan Sudah ada bukti
4 Beratsedang
Mungkin terjadi 5
Ringan Mungkin terjadi
Tidak terjadi Mungkin terjadi
2. Tingkat keparahan
Menurut Tatro 2001, tingkat keparahan interaksi obat mempunyai tiga tingkatan, yaitu:
a. Berat : efek yang terjadi dapat mengancam jiwa atau dapat menyebabkan
kerusakan permanen. b.
Sedang : efek yang terjadi dapat menyebabkan kondisi klinis pasien menurun. c.
Ringan : efek yang terjadi biasanya ringan dan dapat mengganggu, tetapi tidak signifikan mempengaruhi outcome terapi. Biasanya tidak memerlukan
terapi tambahan Tatro, 2001.
D. Keterangan Empiris