Prevalensi dan evaluasi potensial interaksi farmakokinetik peresepan racikan di Instalasi Rawat Jalan dan Rawat Inap RSUD Kabupaten Magelang periode Desember 2013.

(1)

1

INTISARI

Resep racikan terdiri dari minimal satu jenis zat aktif. Hal ini dapat menimbulkan terjadinya interaksi farmakokinetik. Interaksi yang terjadi dapat meningkatkan atau menurunkan kerja obat. Penelitian bertujuan untuk mengetahui prevalensi peresepan racikan, pola peresepan racikan, potensial interaksi farmakokinetika, dan pendapat serta harapan apoteker terkait peresepan racikan di RSUD Kabupaten Magelang.

Penelitian ini adalah observasional deskriptif dengan rancangan cross sectional menggunakan data retrospektif. Penelitian menggunakan lembar resep di instalasi rawat jalan dan rekam medik di instalasi rawat inap RSUD Kabupaten Magelang periode Desember 2013. Lembar resep yang diperoleh dilihat prevalensi resep racikan dan pola peresepan racikannya. Potensial interaksi farmakokinetik dievaluasi menggunakan Medscape Drug Interaction Stockley, dan Drug Interaction Facts. Pendapat serta harapan apoteker dan asisten apoteker digali menggunakan panduan wawancara yang bersifat open question kemudian dianalisis dengan thematic analysis.

Hasil penelitian menunjukkan prevalensi peresepan racikan di instalasi rawat jalan 4,09% sedangkan di instalasi rawat inap sebesar 0,07% dengan pola peresepan racikan terbanyak dengan tiga jenis zat aktif. Potensial interaksi farmakokinetik terbesar adalah prednison dan loratadin sebesar 20,46%. Apoteker berpendapat bahwa peresepan racikan sebaiknya diminimalisir penggunaannya dan diharapkan industri farmasi menyediakan dosis obat yang sesuai seperti menyiapkan sediaan sirup untuk pasien anak-anak.

Kata kunci: Resep racikan, prevalensi, pola peresepan, interaksi farmakokinetika, apoteker


(2)

2

ABSTRACT

Compounded prescription contain of at least one type of active substances, that can lead to a pharmacokinetic interaction. Interactions that

occur can increase or decrease the drug action. This study’s purposes are to

determine the prevalence of compounded prescription, compounded prescription patterns, pharmacokinetic interactions potential, and the opinions and expectations related pharmacist compounded prescription in Magelang general hospital district.

This study is an observational study with cross sectional study design using retrospective data. Research is using the recipe in the installation sheet and outpatient medical records inpatient hospital Magelang general hospital district in December 2013. Using recipes obtained compounded prescription prevalence and patterns of prescription formula is seen. Potential pharmacokinetic interactions were evaluated using Medscape Drug Interaction, Stockley , and Drug Interaction Facts. Opinions and expectations of pharmacists and assistant pharmacists are asked using an open question questionnaire then analyzed by thematic analysis .

The results showed the prevalence of compounded prescription at outpatient installation is 4.09 % while the inpatient is 0.07 % with the highest compounded prescription pattern with three types of active substances . The biggest potential pharmacokinetic interaction is prednisone and loratadine with 20.46 % . Pharmacists said compounded prescription use should be minimized and wish that pharmaceutical industry to provide appropriate drug dosages such as preparing syrup dosage for pediatric patients .

Keywords : compounded prescription, prevalence, patterns of prescribing, pharmacokinetic interactions, pharmacists


(3)

i

PREVALENSI DAN EVALUASI POTENSIAL INTERAKSI

FARMAKOKINETIK PERESEPAN RACIKAN DI INSTALASI RAWAT JALAN DAN RAWAT INAP RSUD KABUPATEN MAGELANG

PERIODE DESEMBER 2013

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh: Vera Juniarta NIM : 108114025

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan

dengan ucapan syukur (Filipi 4:6 )

Ia melakukan perbuatan-perbuatan yang besar dan yang tidak terduga, serta keajaiban-keajaiban yang tak terbilang (Ayub 5:9 )

Karya sederhana ini kupersembahkan kepada : Yesus Kristus atas berkat dan kasihNya Mamak, Bapak, kak wati, meri, Samuel Teman-temanku Almamater tercinta


(7)

(8)

(9)

vii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan kasih karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Prevalensi dan Evaluasi Potensial Interaksi Farmakokinetik Peresepan Racikan di Instalasi Rawat Jalan dan Rawat Inap RSUD Kabupaten Magelang Periode Desember 2013”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Fakultas Farmasi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Penulis mengucapkan terima kasih atas bantuan dan dukungannya kepada :

1. Direktur RSUD Kabupaten Magelang, bapak dan ibu Apoteker, serta asisten apoteker di Instalasi Farmasi RSUD Kabupaten Magelang atas izin, bantuan, dan dukungan yang diberikan selama melakukan penelitian.

2. Kepala beserta staf Bagian Pendidikan dan Penelitian (Diklit) dan Bagian Rekam Medik Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Magelang.

3. Ibu Aris Widayati, M.Si., Ph.D., Apt selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma dan dosen pembimbing atas dukungan, arahan, dan masukan yang diberikan kepada penulis selama proses penyusunan skripsi.

4. Dr. Sri Hartati Yuliani, M.Si., Apt. selaku dosen penguji atas saran dan masukan dalam proses penyusunan skripsi.

5. Dita Maria Virginia,S.Farm., Apt., M.Sc. selaku dosen penguji atas saran dan masukan dalam proses penyusunan skripsi.


(10)

(11)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

INTISARI ... xvi

ABSTRACT ... xvii

BAB I. PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1.Permasalahan ... 3

2.Keaslian penelitian ... 4

3.Manfaat penelitian ... 6

a. Manfaat teoritis ... 6


(12)

x

B. Tujuan Penelitian ... 7

1.Tujuan umum ... 7

2.Tujuan khusus ... 7

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ... 8

A. Peresepan racikan ... 8

B. Pola Peresepan ... 8

1. Bentuk sediaan obat……… 9

2. Rute pemberian obat……….. 11

C. Interaksi Obat ... 13

1. Interaksi farmasetik ... 14

2. Interaksi farmakokinetik ... 3. Interaksi Farmakodinamik………. 14 16 D. Keterangan Empiris ... 17

BAB III. METODE PENELITIAN ... 18

A. Jenis dan Rancangan Penelitian ... 18

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 18

1. Variabel penelitian ... 18

2. Definisi operasional ... 19

C. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 20

D. Obyek dan subyek Penelitian ... 20

E. Instrumen Penelitian ... 21

F. Tata Cara Penelitian ... 21


(13)

xi

2. Tahap pengambilan data... 22

G. Tata Cara Analisis Hasil ... 23

1. Prevalensi peresepan racikan di RSUD Kabupaten Magelang ... 23

2. Pola peresepan racikan ……… 23

3. Interaksi farmakokinetik ... 23

4. Harapan apoteker dan asisten apoteker mengenai peresepan racikan……… 23

H. Keterbatasan penelitian……… 24

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25

A.Prevalensi Peresepan Racikan di RSUD Kabupaten Magelang ... 26

B.Pola Peresepan racikan di Instalasi Rawat Jalan dan Rawat inap RSUD Kabupaten Magelang Periode Desember 2013 ... 28

1. Jumlah zat aktif dalam setiap peresepan racikan di instalasi rawat jalan………... 28

2. Kelas terapi dan jenis obat racikan di RSUD Kabupaten Magelang... 29

C. Potensial Interaksi Farmakokinetik.………... 32

1. Potensial interaksi farmakokinetik di instalasi rawat jalan ... 32

2. Potensial interaksi farmakokinetik di instalasi rawat inap ... 43

D. Pendapat Apoteker dan Asisten Apoteker terkait Peresepan Racikan.... 46

1. Pendapat apoteker terkait peresepan racikan... 47

2. Pendapat asisten apoteker terkait peresepan racikan... 47


(14)

xii

1. Kesimpulan ... 50

2. Saran ... 51

DAFTAR PUSTAKA ... 52

LAMPIRAN ... 54


(15)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel I. Jumlah peresepan racikan dan non racikan di instalasi rawat jalan dan rawat inap RSUD Kabupaten Magelang………….. 26 Tabel II. Persentase jumlah zat aktif dalam peresepan racikan di

instalasi rawat jalan RSUD Kabupaten Magelang…………... 28 Tabel III. Kelas terapi dan jenis obat peresepan racikan di instalasi

rawat jalan RSUD Kabupaten Magelang…………...……….. 29 Tabel IV. Kelas terapi dan jenis obat peresepan racikan di instalasi

rawat inap RSUD Kabupaten Magelang….………...……….. 31 Tabel V. Potensial interaksi farmakokinetik di instalasi rawat jalan

RSUD Kabupaten Magelang……… 32 Tabel VI. Potensial interaksi farmakokinetik peresepan racikan di

instalasi rawat jalan RSUD Kabupaten Magelang…………... 46 Tabel VII. Potensial interaksi farmakokinetik di instalasi rawat inap


(16)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar I. Prevalensi peresepan racikan dan non racikan di instalasi rawat jalan dan rawat inap RSUD Kabupaten Magelang periode Desember 2013………...…… 27 Gambar II. Persentase potensial interaksi farmakokinetik yang terjadi

pada tahap absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi di instalasi rawat jalan RSUD Kabupaten Magelang periode

Desember 2013……… 43

Gambar III. Persentase potensial interaksi farmakokinetik yang terjadi pada tahap absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi di instalasi rawat inap RSUD Kabupaten Magelang periode


(17)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Persentase jenis obat racikan………... 55 Lampiran 2. Tingkat signifikansi potensial interaksi farmakokinetik...…... 59

Lampiran 3. Kuesioner………. 88

Lampiran 4. Surat ijin penelitian……….. 89


(18)

xvi

INTISARI

Resep racikan terdiri dari minimal satu jenis zat aktif. Hal ini dapat menimbulkan terjadinya interaksi farmakokinetik. Interaksi yang terjadi dapat meningkatkan atau menurunkan kerja obat. Penelitian bertujuan untuk mengetahui prevalensi peresepan racikan, pola peresepan racikan, potensial interaksi farmakokinetika, dan pendapat serta harapan apoteker terkait peresepan racikan di RSUD Kabupaten Magelang.

Penelitian ini adalah observasional deskriptif dengan rancangan cross sectional menggunakan data retrospektif. Penelitian menggunakan lembar resep di instalasi rawat jalan dan rekam medik di instalasi rawat inap RSUD Kabupaten Magelang periode Desember 2013. Lembar resep yang diperoleh dilihat prevalensi resep racikan dan pola peresepan racikannya. Potensial interaksi farmakokinetik dievaluasi menggunakan Medscape Drug Interaction Stockley, dan Drug Interaction Facts. Pendapat serta harapan apoteker dan asisten apoteker digali menggunakan panduan wawancara yang bersifat open question kemudian dianalisis dengan thematic analysis.

Hasil penelitian menunjukkan prevalensi peresepan racikan di instalasi rawat jalan 4,09% sedangkan di instalasi rawat inap sebesar 0,07% dengan pola peresepan racikan terbanyak dengan tiga jenis zat aktif. Potensial interaksi farmakokinetik terbesar adalah prednison dan loratadin sebesar 20,46%. Apoteker berpendapat bahwa peresepan racikan sebaiknya diminimalisir penggunaannya dan diharapkan industri farmasi menyediakan dosis obat yang sesuai seperti menyiapkan sediaan sirup untuk pasien anak-anak.

Kata kunci: Resep racikan, prevalensi, pola peresepan, interaksi farmakokinetika, apoteker


(19)

xvii

ABSTRACT

Compounded prescription contain of at least one type of active substances, that can lead to a pharmacokinetic interaction. Interactions that occur can increase or decrease the drug action. This study’s purposes are to determine the prevalence of compounded prescription, compounded prescription patterns, pharmacokinetic interactions potential, and the opinions and expectations related pharmacist compounded prescription in Magelang general hospital district.

This study is an observational study with cross sectional study design using retrospective data. Research is using the recipe in the installation sheet and outpatient medical records inpatient hospital Magelang general hospital district in December 2013. Using recipes obtained compounded prescription prevalence and patterns of prescription formula is seen. Potential pharmacokinetic interactions were evaluated using Medscape Drug Interaction, Stockley , and Drug Interaction Facts. Opinions and expectations of pharmacists and assistant pharmacists are asked using an open question questionnaire then analyzed by thematic analysis .

The results showed the prevalence of compounded prescription at outpatient installation is 4.09 % while the inpatient is 0.07 % with the highest compounded prescription pattern with three types of active substances . The biggest potential pharmacokinetic interaction is prednisone and loratadine with 20.46 % . Pharmacists said compounded prescription use should be minimized and wish that pharmaceutical industry to provide appropriate drug dosages such as preparing syrup dosage for pediatric patients .

Keywords : compounded prescription, prevalence, patterns of prescribing, pharmacokinetic interactions, pharmacists


(20)

1

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Peracikan obat adalah penggabungan, pencampuran atau perubahan suatu obat yang dibuat sesuai dengan resep dokter agar meracik obat sesuai kondisi individu pasien (Mullarkey, 2009). Pemberian obat lebih dari satu macam (polifarmasi) dapat memperkuat kerja obat (potensiasi) juga dapat berlawanan (antagonis), mengganggu absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat yang disebabkan oleh terjadinya interaksi obat (Giam, McLachlan, Krass, dan Ines, 2012).

“Berdasarkan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2009), tenaga kefarmasian adalah tenaga yang melakukan pekerjaan kefarmasian, yang

terdiri atas apoteker dan tenaga teknis kefarmasian”.

“Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan

pasien” (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009).

Penelitian Giam, et al. (2012) menunjukan bahwa terdapat sekitar 1%

resep racikan dari 30 juta resep setiap tahunnya. Menurut Winckler (2002) menyatakan bahwa hanya 6,4% dari peresepan racikan yang disertai dengan pemberian pelayanan khusus dan mengalami peningkatan menjadi 10% peresepan racikan. Pelayanan khusus yang diberikan kepada pasien penerima peresepan racikan berupa pemantauan kondisi pasien. Hal ini dikarenakan hampir sebagian besar obat racikan yang diberikan memiliki potensi interaksi, sehingga


(21)

menimbulkan kekhawatiran mengenai kualitas dan penggunaan obat racikan itu sendiri. Selain itu, Letlora (2014) menyatakan terdapat 1,57% peresepan racikan yang terdapat di instalasi rawat jalan RSUP Dr. Sardjito selama periode Desember 2013, dimana jumlah ini sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah peresepan non racikan.

Wiedyaningsih dan Oetari (2004) menyatakan bahwa peresepan racikan kebanyakan dalam bentuk sediaan padat (serbuk/ serbuk dalam kapsul). Permasalahan yang timbul dalam pembuatan peresepan racikan dengan bentuk sediaan padat terdapat pada proses penggerusan sediaan tablet. Hal ini berpengaruh terhadap pencampuran dan pembuatan bentuk sediaan. Selain peresepan racikan dengan bentuk sediaan padat terdapat juga peresepan racikan dengan bentuk sediaan cair dan sediaan semi solid, dimana peresepan racikan dengan bentuk sediaan cair sangat sedikit diresepkan.

Penelitian yang dilakukan oleh A’yun (2013) menyatakan bahwa sediaan racikan dibuat berdasarkan resep dokter. Alasan pembuatan peresepan racikan adalah dapat menyesuaikan dosis dengan berat badan, biayanya relatif murah, dan meningkatkan kenyaman penderita pada saat mengkonsumsi obat. Peresepan racikan diperlukan untuk memberikan dan menyediakan obat sesuai dengan kondisi yang dialami pasien.

Harianto, Kurnia, dan Siregar (2006) menyatakan bahwa dalam proses peracikan dapat terjadi interaksi obat secara farmasetik, farmakodinamik, dan farmakokinetik yang mengakibatkan perubahan sifat fisika, kimia dan klinis dari obat tersebut. Selain itu, muncul masalah dalam hal khasiat dan keamanan obat


(22)

seperti timbulnya efek toksik obat, berkurangnya dosis obat, dan lainnya. Menurut Nahata dan Allen (2008) bahwa bahan obat yang digunakan pada peresepan racikan harus kompatibel antara jenis obat yang satu dan yang lainnya, sehingga dapat menghasilkan produk obat yang stabil, berkhasiat, mudah digunakan, dan dapat ditoleransi dengan baik pada penggunaan obatnya.

Rumah sakit merupakan tempat pelayanan kesehatan yang dalam kesehariaannya terdapat interaksi antara petugas kesehatan dengan pasien. Oleh karena itu, rumah sakit harus dapat memenuhi segala sesuatu yang diperlukan pasien, khususnya dalam menyediakan segala keperluan yang dibutuhkan dalam peresepan racikan. Hal ini diharapkan, dapat meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan (A’yun, 2013). Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Magelang. Alasan pemilihan Rumah Sakit tersebut karena merupakan Rumah Sakit pusat di Kabupaten Magelang dan belum pernah dilakukan penelitian tentang prevalensi dan evaluasi potensial interaksi farmakokinetik peresepan racikan di instalasi rawat jalan dan rawat inap.

Kekurangan dan kelebihan peresepan racikan diatas mendorong peneliti untuk melakukan penelitian terkait prevalensi dan evaluasi peresepan racikan di instalasi rawat jalan dan rawat inap RSUD Kabupaten Magelang.

1. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

a. Berapa prevalensi peresepan racikan di instalasi rawat jalan dan rawat inap RSUD Kabupaten Magelang?


(23)

b. Bagaimana gambaran pola peresepan racikan di RSUD Kabupaten Magelang?

c. Bagaimana gambaran potensial interaksi farmakokinetik pada peresepan racikan tersebut?

d. Bagaimana pendapat dan harapan dari apoteker dan asisten apoteker terkait dengan peresepan racikan kedepannya?

2. Keaslian penelitian

Penelitian mengenai “Prevalensi dan Evaluasi Potensial Interaksi Farmakokinetik Peresepan Racikan di Instalasi Rawat Jalan dan Rawat Inap RSUD Kabupaten Magelang Periode Desember 2013” belum pernah dilakukan. Penelitian yang telah dipublikasikan berkaitan dengan penelitian ini, antara lain: a. Penelitian yang dilakukan oleh Wiedyaningsih dan Oetari (2004) yang

berjudul “Tinjauan Terhadap Bentuk Sediaan Obat: Kajian Resep - Resep di Apotek Kota Yogyakarta”. Instrumen penelitian ini adalah dokumentasi resep, kuesioner dan wawancara. Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan subyek penelitian apoteker.

b. Penelitian yang dilakukan oleh Cahyono (2007) dengan judul “Evaluasi Komposisi, Indikasi, Dosis, dan Interaksi Obat Resep Racikan untuk Pasien Pediatri di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta Periode Juli 2007”. Jenis penelitian ini adalah non-eksperimental dengan rancangan penelitian bersifat deskriptif evaluatif. Instrumen penelitian ini adalah resep dan rekam medis periode Juli 2007.


(24)

c. Dewi (2014), melakukan penelitian yang berjudul “Prevalensi dan Evaluasi Interaksi Farmakokinetika Resep Racikan pada Lima Puskesmas di Kabupaten Sleman periode Desember 2013”. Penelitian Dewi merupakan penelitian non-eksperimental dengan rancangan penelitian bersifat deskriptif

cross sectional. Tempat penelitian dilaksanakan di lima puskesmas di wilayah

Kabupaten Sleman. Obyek penelitian ini adalah resep racikan pada periode Desember 2013, sedangkan subyek penelitian ini adalah apoteker dan asisten apoteker. Instrumen pada penelitian ini adalah pustaka yang ditulis oleh Tatro (2007), Stockley (2010), dan Zucchero et al. (2002), Drug Interaction

Checker, pustaka yang ditulis olehDepkes RI (2008), dan Lacy et al. (2006)

d. Penelitian dengan judul “Characterizing Specialized Compounding in Community Pharmacies”, oleh Giam, McLachlan and Krass (2012). Penelitian ini menggunakan metode wawancara mendalam pada 18 responden apoteker mengenai peracikan dengan panduan wawancara semi-terstruktur. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling dengan metode

analisis data yaitu constant comparison.

e. Penelitian yang dilakukan oleh Nahata dan Allen (2008) yang berjudul “Extemporaneous Drug Formulations” menggunakan metode pencatatan dari

Pediatric Formulation Initiative. Analisis data dilakukan menggunakan

literatur dari PubMed/MEDLINE (1966-0ctober 2008).

f. Penelitian lain dilakukan oleh Letlora (2014) dengan judul “Prevalensi dan Evaluasi Interaksi Farmakokinetik Peresepan Racikan pada PasienRawat Jalan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta Periode Desember 2013”. Jenis


(25)

penelitian ini adalah deskriptif dengan rancangan cross sectional yang

menggunakan data retrospektif. Obyek penelitian ini adalah lembar resep yang berisi semua peresepan racikan dan non-racikan pada pasien rawat jalan di RSUP Dr. Sardjito periode Desember 2013. Subyek penelitian ini adalah apoteker dan asisten apoteker yang bertugas di instalasi rawat jalan RSUP Dr. Sardjito, yang berkenan diberikan panduan wawancara. Instrumen penelitian adalah panduan wawancara yang bersifat open questions, inform consent,

lembar observasi, dan pustaka acuan dari Medscape (2014), Stockley (1994) dan BPOM (2008).

3. Manfaat Penelitian

a. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai prevalensi peresepan racikan dan interaksi farmakokinetik peresepan racikan di RSUD Kabupaten Magelang

b. Manfaat Praktis

Informasi terkait prevalensi peresepan racikan diharapkan dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan penelitian lebih lanjut terkait peresepan racikan. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi peneliti dan tenaga kesehatan seperti dokter dan apoteker untuk mencegah terjadinya interaksi farmakokinetik peresepan racikan dengan mempertimbangkan besar kecilnya manfaat dan resiko dari pengobatan yang diberikan.


(26)

B. Tujuan penelitian

1. Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan mengetahui prevalensi dan mendeskripsikan peresepan racikan di instalasi rawat jalan dan rawat inap RSUD Kabupaten Magelang periode Desember 2013.

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

a. Menghitung prevalensi peresepan racikan di RSUD Kabupaten Magelang b. Mengambarkan pola peresepan racikan yang diperoleh di RSUD Kabupaten

Magelang

c. Mengidentifikasi potensial interaksi peresepan racikan terkait interaksi farmakokinetik yang terjadi pada peresepan racikan yang diperoleh dari RSUD Kabupaten Magelang

d. Menggambarkan pendapat dan harapan dari apoteker dan asisten apoteker terkait peresepan racikan kedepannya


(27)

8

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Peresepan racikan

Resep merupakan permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan kepada apoteker, untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku (KepMenKes RI, 2004). Resep terdiri dari peresepan non racikan dan peresepan racikan. Peresepan racikan mengandung nama dan kuantitas tiap bahan yang diperlukan untuk diracik menjadi satu sediaan. Peracikan obat merupakan tugas penting dari apoteker dan asisten apoteker (Harianto, dkk., 2006).

Rersep racikan bertujuan untuk menyesuaikan dosis obat dan bentuk sediaan dengan kebutuhan atau kondisi klinis pasien, seperti pulveres yang diresepkan untuk anak yang susah menelan obat sediaan tablet, obat yang membutuhkan sejumlah dosis terlarut dari obat yang diperlukan dan bentuk sediaan racikan yang berguna untuk menutupi rasa tidak enak dari obat (Profesional Compounding Centers of America, 2014).

B. Pola Peresepan

Peresepan obat harus memenuhi kriteria peresepan obat yang rasional. Prinsip dari peresepan rasional adalah adanya elemen-elemen yang sesuai untuk penggunaan obat yang efektif, aman dan ekonomis. Peresepan obat dikatakan rasional apabila pasien mendapatkan obat dan dosis yang sesuai dengan


(28)

kebutuhan klinis pasien dalam periode tertentu dengan harga terjangkau untuk pasien (Nastiti, 2011).

Penentuan dosis obat seharusnya dilakukan secara individual yang disesuaikan dengan berat badan, meskipun beberapa formulasi dapat digunakan. Setelah ditentukan dosis obat, dilihat juga rute pengunaan obat. Rute penggunaan obat terdiri dari rute oral/ per oral, injeksi, kulit (per kutan), dan melalui rute transdermal. Rute penggunaan obat disesuaikan dengan tujuan terapi (lokal atau sistematik), kerja obat (cepat atau lambat), stabilitas obat (dalam lambung atau usus), keamanan relatif, rute yang sesuai dengan kondisi penderita. Selain itu, juga perlu dipertimbangkan bentuk sediaan obat yang akan diberikan (Putra, 2012).

1. Bentuk Sediaan Obat

Terdapat macam-macam bentuk sediaan obat menurut Ansel dan Howard (1989), yaitu:

a. Pulvis (serbuk)

Pulvis merupakan campuran kering bahan obat atau zat aktif yang dapat dihaluskan yang ditujukan untuk penggunaan oral atau untuk pemakaian luar.

b. Pulveres

Pulveres merupakan serbuk yang dibagi ke dalam bobot yang kurang lebih sama, yang selanjutnya dibungkus menggunakan bahan pengemas yang cocok untuk sekali minum.


(29)

c. Tablet

Tablet merupakan sediaan padat kompak yang dibuat secara kempa cetak dalam bentuk tabung pipih atau sirkuler atau cembung. Tablet biasanya mengandung satu jenis obat atau lebih dengan atau tanpa bahan tambahan.

d. Pilulae (Pil)

Pil merupakan bentuk sediaan padat, bundar dan kecil yang mengandung obat dan dimaksudkan untuk pemakaian oral. Penggunaan pil saat ini sudah jarang ditemukan karena tergusur dengan banyaknya penggunaan tablet dan kapsul.

e. Kapsul

Kapsul merupakan sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau lunak yang dapat larut dalam air.

f. Solutiones (Larutan)

Larutan merupakan sediaan cair yang mengandung satu atau lebih zat kimia yang dapat larut. Biasanya dilarutkan di dalam air dan cara penggunaannya diminum (larutan oral) dan kulit (larutan topikal).

g. Suspensi

Suspensi merupakan sediaan cair yang mengandung partikel padat yang tidak larut dan terdispersi dalam fase cair.

h. Emulsi

Emulsi merupakan sediaan berupa campuran dari fase cairan dalam sistem dispersi dan distabilkan oleh zat pengemulsi.


(30)

i. Unguenta (Salep)

Salep merupakan sediaan semi padat yang ditujukan untuk pemakaian topikal pada kulit atau selaput lendir.

j. Suppositoria

Suppositoria merupakan sediaa padat dalam berbagai bobot dan bentuk yang diberikan melalui rektal, vagina atatu uretra. Suppositoria dapat meleleh, melunak atau melarut pada suhu tubuh.

2. Rute Pemberian obat

Bentuk sediaan obat dapat melalui beberapa rute pemberian tergantung dengan tujuan pengobatan yang diinginkan, seperti:

a. Bentuk sediaan obat melalui rute oral/ per oral

Bentuk sediaan obat yang digunakan dalam rute oral yaitu tablet, kapsul, pulveres, sediaan cair seperti sirop, suspensi atau emulsi oral. Penggunaan obat melalui rute oral bertujuan untuk memperoleh efek sistemik dan memperoleh efek lokal pada obat yang tidak larut atau tidak diabsorpsi dalam rute ini, seperti obat-obat cacing dan antasida yang digunakan untuk menetralkan kelebihan asam lambung. Bentuk sediaan oral digunakan untuk memberikan efek pengobatan yang lama. Kekurangan penggunaan obat pada rute oral/ per oral yaitu menghasilkan respon yang lebih lama dibandingkan dengan rute lainnya, tidak dapat digunakan pada penderita yang koma atau muntah-muntah, dan kemungkinan obat dapat rusak oleh reaksi asam lambung atau enzim-enzim pencernaan (Syamsuni, 2006).


(31)

b. Bentuk sediaan obat melalui rute rektal

Bentuk sediaan obat melalui rute rektal digunakan untuk tujuan lokal atau sistemik dalam bentuk larutan (lavement/ clysma/ enema), padat

(suppositoria), atau setengah padat (unguentum/ salep). Kelebihan rute rektal

yaitu menghindari obat yang dapat rusak jika melalui usus, dapat digunakan pada penderita yang muntah-muntah, koma, atau penderita yang susah menelan obat, dan obat tidak mengalami detoksikasi, biotransformasi, atau metabolisme yang mengakibatkan obat menjadi tidak aktif. Kerugian rute rektal adalah penggunaan yang tidak menyenangkan atau kurang nyaman (Syamsuni, 2006).

c. Bentuk sediaan obat melalui rute parenteral

Bentuk sediaan parenteral dapat berupa larutan, suspensi, emulsi, dan serbuk steril dalam air atau minyak. Kelebihan dari bentuk sediaan obat melalui rute parenteral yaitu obat dapat terhindar dari inaktivasi dalam saluran gastrointestinal, menghasilkan efek obat yang cepat, mendapatkan kadar obat yang tepat sesuai yang diharapkan, dapat digunakan pada penderita yang susah menelan. Kekurangan menggunakan rute parenteral adalah jika terjadi kesalahan pemberian obat maka efek toksik sulit dinetralkan, selain itu harga obatnya lebih mahal dibandingkan obat oral karena sediaan harus dibuat steril (Syamsuni, 2006).


(32)

d. Bentuk sediaan obat melalui rute kulit

Bentuk sediaan obat ini bertujuan untuk menghasilkan efek lokal dan bukan sistemik. Bentuk sediaannya dapat berupa salep, krim, pasta, lotion, dan serbuk tabur (Syamsuni, 2006).

e. Bentuk sediaan obat yang digunakan pada membran mukosa

Bentuk sediaan obat yang digunakan pada membran mukosa, yaitu bentuk sediaan untuk mukosa mulut dan tenggorokan, bentuk sediaan untuk mata, bentuk sediaan untuk hidung, bentuk sediaan untuk telinga, dan , bentuk sediaan yang digunakan melalui mulut seperti sublingual (obat diletakkan dibawah lidah), bukal (obat diletakkan antara pipi dan gusi) yang bertujuan menghasilkan efek yang lebih cepat dibandingkan rute peroral (Syamsuni, 2006).

f. Bentuk sediaan obat melalui rute implantasi

Bentuk sediaan obat melalui rute implantasi berupa obat steril yang ditanam dibawah kulit dengan tujuan memberikan efek sistemik jangka panjang yang membutuhkan dosis lebih kecil dibandingkan dengan dosis obat melalui oral (Syamsuni, 2006).

C. Interaksi obat

Obat sebelum sampai di tempat aksinya, melalui beberapa fase yaitu fase farmasetika dan farmakokinetika. Farmasetika meliputi teknologi pembuatan obat dalam bentuk sediaan yang dapat digunakan dan diberikan kepada pasien. Tujuan formulasi bentuk sediaan ini agar dapat dibuat, disimpan, dan diberikan ke pasien


(33)

tanpa terjadi perubahan sifat biologis, sehingga perlu diperhatikan tentang sifat kimia dan fisika obat, dan sifat fisika kimia bentuk sediaan (Putra, 2012).

Interaksi obat dapat berupa interaksi farmasetik, interaksi farmakokinetik, dan interaksi farmakodinamik.

1. Interaksi farmasetik

Interaksi farmasetik berhubungan dengan sifat fisika-kimia dari obat. Interaksi farmasetik dapat menyebabkan obat kehilangan potensinya, meningkatkan toksisitas atau pun efek samping. Biasanya interaksi terjadi diluar tubuh manusia dan menimbulkan salah satu obat menjadi tidak aktif (Putra, 2012).

2. Interaksi farmakokinetik

Interaksi farmakokinetik dapat terjadi karena adanya perubahan absorbsi obat, distribusi obat, metabolisme obat, dan eliminasi obat (Syamsudin, 2011). a. Tahap Absorbsi

Interaksi absorbsi obat dapat berinteraksi dengan mengubah tingkat dan kecepatan penyerapan obat. Interaksi absorbsi obat dapat disebabkan oleh pengikatan obat di dalam saluran pencernaan, perubahan motilitas saluran pencernaan, perubahan pH saluran pencernaan, perubahan flora normal di usus halus dan perubahan metabolisme obat di dalam dinding usus (Syamsudin, 2011). b. Tahap Distribusi

Distribusi obat adalah distribusi obat dari dan ke darah dan beberapa jaringan tubuh (misalnya lemak, otot dan jaringan otak) dan proporsi relatif obat


(34)

di dalam jaringan. Obat masuk ke jaringan yang berbeda-beda dengan kecepatan yang berbeda juga, tergantung pada kemampuan obat menembus membran. Hal ini dapat dipengaruhi juga oleh pengikatan obat ke protein plasma (Syamsudin, 2011).

c. Tahap Metabolisme

Metabolisme obat disebut juga sebagai biotransformasi obat yang bertujuan untuk mengubah xenobiotik lebih hidrofil sehingga dapat dieliminasi secara efisien oleh ginjal. Ada dua kategori utama reaksi metabolisme yaitu fase I dan fase II. Dimana reaksi fase I berkaitan dengan penambahan dan pengurangan gugus fungsional yang digunakan untuk menyelesaikan fase II. Sebagian besar reaksi fase I diperantarai oleh sitokrom P450. Oleh karena itu, sekitar 40 % metabolisme obat tergantung pada P450 yang dilaksanakan oleh enzim polimorfisme. Obat (inhibtor enzim) dapat menghambat kerja enzim yang dapat meningkatkan konsentrasi obat dan substrat. Obat dapat menginduksi dan menginhibisi enzim yang dapat meningkatkan dan menurunkan kecepatan metabolisme obat (Syamsudin, 2011).

d. Tahap ekskresi

Obat dapat dikeluarkan dari tubuh melalui proses ekskresi. Obat yang memiliki kelarutan lemak yang tinggi, perlu dimetabolisme lagi menjadi senyawa yang lebih polar sehingga dapat diekskresi. Ginjal merupakan organ penting dalam proses ekskresi obat dan metabolitnya. Selain ginjal obat dan metabolitnya


(35)

juga dapat diekskresikan melalui feses, air susu ibu (ASI) dan paru-paru (Brunton, Chabner and Bjorn, 2010).

Ekskresi obat juga terjadi melalui keringat, liur, air mata, air susu, dan rambut, tetapi dalam jumlah yang relatif kecil sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat. Liur dapat digunakan sebagai pengganti darah untuk menentukan kadar obat tertentu. Rambut juga dapat digunakan untuk menentukan logam toksik seperti arsen pada kedokteran forensik (Brunton, et al., 2010).

3. Interaksi farmakodinamik

Efek dari sebagian besar obat berasal dari interaksi dengan komponen makromolekular suatu organisme. Interaksi ini akan mengubah komponen yang bersangkutan dan memulai perubahan biokimia dan fisiologi yang merupakan respon karakteristik dari obat. Istilah reseptor obat dan target obat merupakan makromolekul seluler dan kompleks makro molekuler yang berinteraksi dengan obat dan merangsang terjadinya respon seluler, contohnya perubahan fungsi sel. Obat umumnya merubah kecepatan dan besaran dari respon intrinsik seluler dari pada menciptakan respon-respon baru. Reseptor obat biasanya terletak di permukaan sel, tapi juga bisa terletak di kompartemen intraselular spesifik seperti nukleus. Banyak obat juga berinteraksi dengan aseptor (contoh : serum albumin) didalam tubuh. Aseptor merupakan sesuatu yang tidak secara langsung menyebabkan perubahan biokimia atau respon fisiologi. Akan tetapi, interaksi dari obat dengan aseptor seperti serum albumin dapat mengubah farmakokinetika dari aksi obat (Brunton, et al., 2010).


(36)

Efek obat ditimbulkan karena adanya interaksi obat dengan reseptor pada sel di dalam suatu organisme. Interaksi antara obat dengan reseptor dapat mengakibatkan terjadinya perubahan biokimia dan fisiologi yang merupakan respons khas dari obat yang dikonsumsi. Hal ini merupakan dasar dari terapi obat rasional dan berguna dalam proses sintesis obat baru (Sanjoyo, 2012).

Menurut Tatro (2001), interaksi obat digolongkan menjadi 5 kelas signifikansi yang dibedakan berdasarkan tingkat keparahannya, dimana kelas signifikansi semakin kecil berarti tingkat keparahannya semakin besar.

1. Kelas Signifikansi

Kelas signifikansi Tingkat keparahan Bukti

1 Berat Sudah ada bukti

2 Sedang Sudah ada bukti

3 Ringan Sudah ada bukti

4 Berat/sedang Mungkin terjadi

5 Ringan Mungkin terjadi

Tidak terjadi Mungkin terjadi 2. Tingkat keparahan

Menurut Tatro (2001), tingkat keparahan interaksi obat mempunyai tiga tingkatan, yaitu:

a. Berat : efek yang terjadi dapat mengancam jiwa atau dapat menyebabkan kerusakan permanen.

b. Sedang : efek yang terjadi dapat menyebabkan kondisi klinis pasien menurun. c. Ringan : efek yang terjadi biasanya ringan dan dapat mengganggu, tetapi tidak signifikan mempengaruhi outcome terapi. Biasanya tidak memerlukan


(37)

D. Keterangan Empiris

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran terkait prevalensi peresepan racikan, pola peresepan racikan, interaksi farmakokinetik, dan pendapat apoteker dan asisten apoteker terkait penggunaan peresepan racikan di instalasi rawat jalan dan rawat inap RSUD Kabupaten Magelang.


(38)

18

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan rancangan penelitian

Penelitian ini mengenai prevalensi dan evaluasi potensial interaksi farmakokinetik peresepan racikan pada pasien rawat jalan dan rawat inap di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kabupaten Magelang periode Desember 2013 merupakan suatu penelitian observasional deskriptif dengan rancangan penelitian cross sectional dengan data retrospektif (Notoatmodjo, 2012).

Penelitian observasional ialah penelitian yang tidak melakukan manipulasi atau intervensi dan hanya melakukan pengamatan saja pada subjek yang diteliti. Penelitian deskriptif dengan rancangan penelitian observasional bertujuan untuk menggambarkan angka prevalensi penyakit atau masalah kesehatan dalam suatu populasi (Lapau, 2012). Data bersifat retrospektif karena berdasarkan data lampau dilihat dari rekam medik pasien.

B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

1. Variabel Penelitian

a.Prevalensi peresepan racikan di instalasi rawat jalan dan rawat inap RSUD Kabupaten Magelang.

b.Pola peresepan racikan.


(39)

d.Pendapat dan harapan apoteker dan asisten apoteker terkait peresepan racikan kedepannya.

2. Definisi Operasional

a. Prevalensi peresepan racikan adalah proporsi keseluruhan obat racikan kecuali racikan sediaan steril dan resep askes yang digunakan oleh pasien rawat inap dan proporsi keseluruhan obat racikan yang tidak termasuk resep askes di instalasi rawat jalan RSUD Kabupaten Magelang terhadap total resep (racikan dan non racikan) periode Desember 2013. Contoh resep:

R/ Acyclovir tab 400 mg no XV S 2.d.d tab 1 (pagi, sore) R/ Fenitoin 20 mg

Fenobarbital 100 mg

m.f.la. pulv. dtd da in cap no XL S 2.d.d I (pagi, sore)

1) Jumlah peresepan racikan adalah jumlah peresepan (R/) racikan yang ada pada setiap lembar resep untuk diracik. Contohnya pada lembar resep di atas ada 1 lembar resep yang terdapat 2 peresepan yaitu (R/1) dan (R/2), dimana (R/1) adalah peresepan non-racikan sedangkan (R/2) adalah peresepan racikan. Jadi, pada lembar resep di atas terdapat jumlah peresepan racikan ada satu yaitu (R/2).

b. Pola peresepan racikan meliputi jumlah zat aktif dalam setiap peresepan racikan, kelas terapi dan jenis obat yang dikelompokkan berdasarkan


(40)

BPOM (2008). Contoh pada peresepan (R/2) no.1 di atas adalah peresepan racikan dengan 2 zat aktif, dimana jenis obat fenitoin termasuk kelas terapi sistem saraf pusat dengan rute pemberian peroral.

c. Interaksi farmakokinetik adalah interaksi antara obat dengan organ tubuh yang terjadi di dalam tubuh. Potensial interaksi farmakokinetik dievaluasi per lembar resep antara jenis obat yang satu dan yang lainnya dengan aturan pakai dan rute yang sama. Potensial interaksi farmakokinetik dievaluasi menggunakan pustaka acuan Medscape (2014), Stockley

(1994), Hansten and Horn (2002), dan Tatro (2007).

d. Pendapat dan harapan apoteker dan asisten apoteker ialah pemikiran apoteker dan asisten apoteker terkait peresepan racikan yang diwawancarai menggunakan panduan wawancara yang bersifat open question.

C. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di instalasi rawat jalan dan rawat inap RSUD Kabupaten Magelang di Jalan Kartini nomor 13 Muntilan. Penelitian berlangsung pada bulan Februari 2014 sampai Maret 2014. Pengambilan data dilakukan pada jam kerja di RSUD Kabupaten Magelang antara jam 08.00 WIB sampai 14.00 WIB.

D. Obyek dan Subyek Penelitian

Obyek penelitian adalah semua lembar resep di instalasi rawat jalan dan lembar rekam medik di instalasi rawat inap RSUD Kabupaten Magelang periode


(41)

Desember 2013 yang memuat peresepan racikan dan non-racikan. Subyek penelitian adalah apoteker dan asisten apoteker dengan kriteria inklusi yang bekerja di instalasi rawat jalan dan rawat inap yang bersedia berpartisipasi sebagai responden penelitian.

E. Instrumen Penelitian

Alat yang digunakan sebagai instrumen pada penelitian ini adalah panduan wawancara dengan open questions, inform consent, lembar observasi,

dan pustaka acuan dari Hansten and Horn (2002), Stockley (1994), Medscape (2014) dan BPOM (2008).

F. Tata Cara Penelitian

1. Tahap orientasi dan studi pendahuluan

Kegiatan yang dilakukan pada tahap orientasi dan studi pendahuluan adalah sebagai berikut:

a. Tahapan ini dimulai dengan pembuatan proposal penelitian, mencari informasi mengenai prosedur perizinan penelitian di RSUD Kabupaten Magelang, mencari tahu informasi primer terkait jumlah peresepan racikan di RSUD Kabupaten Magelang selama periode Desember 2013 di Instalasi rawat jalan dan rawat inap RSUD Kabupaten Magelang.

b. Membuat permohonan izin penelitian dari Universitas Sanata Dharma yang diserahkan bersamaan dengan proposal penelitian kepada RSUD Kabupaten Magelang.


(42)

2. Tahap pengambilan data

Pada tahapan pengambilan data, pertama-tama melakukan pemilahan lembar resep racikan dan non-racikan serta menghitung total lembar resep di instalasi rawat jalan. Dari tahapan ini diperoleh 4.099 lembar resep dengan 307 peresepan racikan dan 227 lembar resep yang terdapat minimal satu peresepan racikan. Setelah itu, menghitung peresepan racikan dan non-racikan pada lembar rekam medik di instalasi rawat inap RSUD Kabupaten Magelang selama periode Desember 2013. Hasil pengambilan data di instalasi rawat inap terdapat 10 peresepan racikan dengan 10 lembar resep yang terdapat minimal satu peresepan racikan dan 4.069 total lembar resep. Pengambilan data kemudian dilanjutkan dengan penyalinan data terkait jumlah zat aktif dalam setiap peresepan racikan, waktu pemakaian, bentuk sediaan, dan rute pemakaian pada setiap lembar resep dan rekam medik yang terdapat minimal satu peresepan racikan. Data yang diambil nantinya digunakan untuk menggambarkan pola peresepan racikan dan keperluan analisis potensial interaksi farmakokinetik. Pendapat dan harapan apoteker dan asisten apoteker terkait peresepan racikan kedepannya digali menggunakan panduan wawancara yang bersifat open question dengan metode


(43)

G. Tata Cara Analisis Hasil

1. Prevalensi peresepan racikan di RSUD Kabupaten Magelang

Prevalensi peresepan racikan dihitung dengan cara menghitung jumlah resep (R/) peresepan racikan dan non-racikan. Selanjutnya, untuk menghitung persentase peresepan racikan dengan cara:

2. Pola peresepan racikan

Pola peresepan racikan dikelompokkan berdasarkan pustaka acuan BPOM (2008). Pada tahap ini, obat dikelompokkan berdasarkan kelas terapi, jenis obat, bentuk sediaan, rute pemberian dan menghitung jumlah zat aktif dalam setiap peresepan racikan.

3. Interaksi farmakokinetik

Potensial interaksi farmakokinetik pada peresepan racikan dievaluasi menggunakan pustaka acuan Hansten and Horn (2002), Stockley (1994), Medscape (2014), dan Tatro (2007).

4. Harapan apoteker dan asisten apoteker mengenai peresepan racikan

Apoteker dan asisten apoteker yang bersedia untuk mengisi panduan wawancara yang bersifat open question yang telah disediakan oleh peneliti

dianalisis dengan teknik thematic analysis. Prinsip analisis dengan teknik ini

adalah mengambil tema-tema dari data sesuai dengan topik yang telah ditanyakan pada panduan wawancara.


(44)

H. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian ini adalah data yang diambil tidak mencakup data resep askes dan peneliti tidak dapat mengetahui jumlah sediaan racikan steril pada rekam medis di instalasi rawat inap, sehingga tidak dapat menggambarkan keseluruhan peresepan racikan di Instalasi rawat jalan dan rawat inap RSUD Kabupaten Magelang. Peneliti juga mengalami kesulitan pada saat membaca tulisan resep yang kurang jelas. Pada penelitian ini juga tidak dapat menggambarkan karakteristik usia dari pasien yang menerima peresepan racikan dikarenakan tidak semua resep mencantumkan usia pasien.


(45)

25

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian dengan judul “Prevalensi dan Evaluasi Potensial Interaksi Farmakokinetik Peresepan Racikan di Instalasi Rawat Jalan dan Rawat Inap RSUD Kabupaten Magelang Periode Desember 2013” bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan potensial interaksi farmakokinetik peresepan racikan di instalasi rawat jalan dan rawat inap RSUD Kabupaten Magelang periode Desember 2013. Hal ini dilakukan dengan cara menghitung jumlah lembar resep (peresepan racikan dan resep non-racikan) dan mencatat jumlah zat aktif dalam setiap peresepan racikan dari lembar resep yang berisi peresepan racikan di instalasi rawat jalan dan di instalasi rawat inap melalui rekam medik.

Penelitian ini disajikan dalam 4 bagian. Bagian pertama berisi tentang prevalensi peresepan racikan di RSUD Kabupaten Magelang yaitu pada instalasi rawat jalan dan instalasi rawat inap. Bagian kedua berisi tentang gambaran pola peresepan racikan pada instalasi rawat jalan dan instalasi rawat inap RSUD Kabupaten Magelang. Bagian ketiga berisi tentang potensial interaksi farmakokinetik pada peresepan racikan pada instalasi rawat jalan dan instalasi rawat inap RSUD Kabupaten Magelang. Bagian keempat berisi tentang pendapat dan harapan dari apoteker dan asisten apoteker terkait peresepan racikan.


(46)

A. Prevalensi Peresepan Racikan di RSUD Kabupaten Magelang

Penelitian Giam, et al. (2012), menyatakan bahwa penggunaan resep

racikan tahun 2012 di negara bagian Amerika Serikat sebesar 1% dari 30 juta resep racikan setiap tahunnya. Hasil penelitian tersebut tidak jauh berbeda dengan prevalensi peresepan racikan di RSUD Kabupaten Magelang selama periode Desember 2013. Data peresepan racikan di RSUD Kabupaten Magelang periode Desember 2013 menunjukan bahwa prevalensi peresepan racikan di instalasi rawat jalan sebesar 4,1% sedangkan prevalensi di instalasi rawat inap sebesar 0,1%. Peresepan racikan digunakan dengan mempertimbangkan kondisi klinis pasien dan penyediaan dosis yang dibutuhkan pasien. Jumlah peresepan racikan dan non racikan di instalasi rawat jalan dan rawat inap RSUD Kabupaten Magelang dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel I. Jumlah peresepan racikan dan non racikan di instalasi rawat jalan dan rawat inap RSUD Kabupaten Magelang periode Desember 2013 Jumlah resep racikan (R/) Jumlah resep non racikan (R/) Total jumlah resep (R/) Persentase resep racikan (%) Persentase resep non racikan (%) Total lembar resep racikan Total lembar resep Instalasi rawat jalan

307 7.179 7.485 4,1 95,9 227 4.099

Instalasi rawat inap


(47)

Gambar 1. Prevalensi peresepan racikan dan peresepan non racikan di instalasi rawat jalan dan rawat inap RSUD Kabupaten Magelang periode Desember 2013

Prevalensi peresepan racikan di instalasi rawat jalan (4,1%) lebih kecil dibandingkan peresepan non racikan (95,9%). Prevalensi peresepan racikan di instalasi rawat inap (0,1%) lebih kecil dibandingkan dengan peresepan non racikan (99,9%). Hasil penelitian di atas serupa dengan penelitian sebelumnya yaitu Letlora (2014) hasil prevalensi peresepan racikan sebesar 1,57% (164 peresepan racikan) di instalasi rawat jalan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode Desember 2013, Dewi (2014) hasil prevalensi peresepan racikan sebesar 4,8% (643 peresepan racikan) pada lima puskesmas di Kabupaten Sleman periode Desember 2013, dan Dewanti (2013) hasil prevalensi peresepan racikan sebesar 21,07% (310) pada pasien pediatri di unit farmasi PKU Muhammadiyah Yogyakarta periode Januari-Desember 2012. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa prevalensi peresepan racikan di Yogyakarta lebih kecil dibandingkan prevalensi peresepan non racikan.


(48)

B. Pola Peresepan racikan di Instalasi rawat jalan dan rawat inap RSUD

Kabupaten Magelang periode Desember 2013

Pola peresepan racikan meliputi jumlah zat aktif dalam setiap peresepan racikan, kelas terapi, dan jenis peresepan racikan.

1. Jumlah zat aktif dalam setiap peresepan racikan di instalasi rawat jalan RSUD Kabupaten Magelang periode Desember 2013

Peresepan racikan dapat diberikan lebih dari satu jenis zat aktif yang disesuaikan dengan kondisi klinis dan kebutuhan penderita. Data peresepan racikan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien dapat dilihat pada tabel II dibawah ini.

Tabel II. Persentase Jumlah Zat Aktif dalam peresepan racikan di instalasi rawat jalan RSUD Kabupaten Magelang periode Desember 2013

No. Peresepan racikan Jumlah

peresepan racikan

Persentase (%)

1. Satu zat aktif 65 21,2

2. Dua zat aktif 102 33,2

3. Tiga zat aktif 103 33,6

4. Empat zat aktif 37 12,0

Jumlah 307 100,0

Dari tabel II di atas dapat dilihat peresepan racikan yang paling banyak diresepkan yaitu peresepan racikan dengan tiga jenis zat aktif sebanyak 33,6 % dari 307 jumlah peresepan racikan, dimana jenis obat yang paling banyak diresepkan dengan tiga jenis zat aktif yaitu aminofilin, metilprednisolon, dan CTM. Hasil penelitian di atas serupa dengan penelitian lain yaitu Dewanti (2013) yang menyatakan bahwa persentase peresepan racikan dengan tiga jenis zat aktif


(49)

sebesar 32,6% (101 sediaan racikan) dari 310 sediaan peresepan racikan untuk pasien pediatri di unit farmasi PKU Muhammadiyah Yogyakarta periode Januari-Desember 2012.

Selain peresepan racikan dengan tiga jenis zat aktif, di instalasi rawat jalan RSUD Kabupaten Magelang terdapat juga sediaan peresepan racikan dengan dua zat aktif. Persentase peresepan racikan dengan dua jenis zat aktif yaitu sebesar 33,2%. Peresepan racikan dengan dua jenis zat aktif yang paling banyak diresepkan adalah diltiazem dan clobazam.

2. Kelas terapi dan jenis obat racikan di RSUD Kabupaten Magelang periode Desember 2013

a. Kelas terapi dan jenis obat racikan di instalasi rawat jalan

Peresepan racikan di instalasi rawat jalan RSUD Kabupaten Magelang yang menerima peresepan racikan sebanyak 7 kelas terapi obat yaitu kulit, sistem saluran nafas, sistem endokrin, infeksi, sistem kardiovaskuler, sistem saraf pusat, gizi dan darah. Peresepan racikan yang paling banyak diresepkan adalah kelas terapi sistem saluran nafas dengan jumlah peresepan racikan sebanyak 165 peresepan.

Tabel III. Kelas terapi dan jenis obat peresepan racikan di instalasi rawat jalan RSUD Kabupaten Magelang periode Desember 2013

Kelas Terapi Jenis obat Nama generik Jumlah

Kulit Asam salisilat - 22

Acyclovir Acyclovir® 1

Gentamisin Gentamisin® 3

Miconazole Miconazole® 3

Fuladic Fuladic® 7

Bersol

Clobetasol® 32

Forderm Lamodex


(50)

Hidrokortison Hidrokortison® 4

Inerson Desoksimetason® 8

Elox Metasone® 9

Nerilon Diflukortolon

valerat® 10

Jumlah racikan kulit 99

Sistem saluran nafas Cetirizine

Cetirizine® 15

Cetinal Tiriz

Bestalin Hidroksizin® 9

CTM CTM® 31

Heptasan Siproheptadin® 1

Interhistin Mebidrolin® 21

Loratadin Loratadin® 55

Ambroksol Ambroksol® 1

Aminofilin Aminofilin® 18

Salbutamol Salbutamol® 14

Jumlah racikan saluran nafas 165

Sistem endokrin Hexilon

Metilprednisolon® 68 Lameson

Metilprednisolon Stenirol

Prednison Prednison® 58

Triamcort Triamsinolon® 11

Jumlah racikan sistem endokrin 137

Infeksi Amoksisilin Amoksisilin® 2

Lefos levofloxacin® 2

Sitro Roksitromisin® 1

Jumlah racikan infeksi 5

Sistem kardiovaskuler Captopril Captopril® 16

Digoxin

Digoxin® 2

Lanoxin Diltiazem

Diltiazem® 29

Farmabes

Furosemid Furosemid® 16

Jumlah racikan sistem sistem kardiovaskuler 63

Sistem saraf pusat Clobazam Clobazam® 30

Diazepam Diazepam® 3

Fenitoin Fenitoin® 20

Fenobarbital Fenobarbital® 19

Luminal Luminal® 6

Narfos Ondansetron® 2


(51)

Jumlah racikan sistem saraf pusat 82

Gizi dan darah Vitamin B1 Vitamin B1® 1

Vitamin B6 Vitamin B6® 1

Vitamin C Vitamin C® 1

Jumlah 3

b. Kelas terapi dan jenis obat racikan di instalasi rawat inap

Peresepan racikan di instalasi rawat inap RSUD Kabupaten Magelang dikelompokkan ke dalam 4 kelas terapi yaitu kelas terapi infeksi, sistem kardiovaskuler, sistem saraf pusat, dan anestesi. Peresepan racikan terbanyak adalah kelas terapi sistem kardiovaskuler yang berjumlah 5 peresepan racikan. Obat furosemid dalam bentuk sediaan pulveres termasuk dalam kelas terapi sistem kardiovaskuler adalah jenis obat yang paling banyak diresepkan di instalasi rawat inap RSUD Kabupaten Magelang selama periode Desember 2013.

Tabel IV. Kelas terapi dan jenis obat peresepan racikan di instalasi rawat inap RSUD Kabupaten Magelang periode Desember 2013

Kelas Terapi Jenis obat Nama generic Jumlah

Infeksi Amoksisilin Amoksisilin

®

1

Metronidazol Metronidazol® 1

Jumlah 2

Sistem kardiovaskuler Furosemid Furosemid ®

3

Captopril Captopril® 2

Jumlah 5

Sistem saraf pusat Fenobarbital Fenobarbital® 2

Jumlah 2

Anestesi Diazepam Diazepam® 1


(52)

C. Potensial Interaksi Farmakokinetik

1. Potensial interaksi farmakokinetik di instalasi rawat jalan

Sediaan obat yang diberikan secara ekstravaskuler maupun intravaskuler kepada pasien akan mengalami proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi (ADME). Selama proses ADME, apabila obat yang diberikan dalam bentuk peresepan racikan maka obat memiliki kemungkinan untuk mengalami interaksi. Interaksi yang terjadi dapat memperkuat kerja obat (potensiasi) juga dapat berlawanan (antagonis), mengganggu absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat (Hakim, 2012). Potensial interaksi farmakokinetik dan mekanisme interaksi obat di instalasi rawat jalan RSUD Kabupaten Magelang periode Desember 2013 pada tabel V di bawah ini.

Tabel V. Potensial interaksi farmakokinetik di instalasi rawat jalan RSUD Kabupaten Magelangperiode Desember 2013

No Interaksi obat Jumlah % Mekanisme Signifikansi

1 Prednison® + Loratadin®

44 20,5 Prednison akan

menurunkan efek

loratadin dengan

mempengaruhi

metabolisme enzim CYP3A4 di hati/usus.

Loratadin dapat

meningkatkan efek prednison oleh P-glikoprotein (MDR1)

efflux transporter

(Medscape, 2014).

Monitor closely

(Medscape, 2014).

2 Metilprednisolon® + Prednison®

36 16,7 Metilprednisolon dapat

menurunkan efek

prednison dengan

mempengaruhi

metabolisme enzim CYP3A4 di hati/usus (Medscape, 2014).

Monitor closely

(Medscape, 2014).

3 Metilprednisolon®+ Loratadin®

34 15,8 Metilprednisolon dapat

menurunkan efek

Monitor closely


(53)

loratadin dengan mempengaruhi

metabolisme enzim CYP3A4 di hati/ usus.

Loratadin dapat

meningkatkan efek Metilprednisolon melalui P-glikoprotein (MDR1)

efflux transporter melalui

pompa efflux

P-glikoprotein (MDR1) (Medscape, 2014).

(Medscape, 2014).

4 Metilprednisolon® + Teofilin®

22 10,2 Metilprednisolon dapat

menurunkan kadar

teofilin dengan

mempengaruhi

metabolisme enzim CYP3A4 di hati/usus (Medscape, 2014). Penggunaan kedua obat secara bersamaan dapat terjadi peningkatan/ penurunan/ tidak terjadi perubahan sama sekali pada serum teofilin (Stockley, 1994).

Monitor closely

(Medscape, 2014).

5 Fenitoin® + Fenobarbital®

19 8,8 Fenobarbital dapat

menurunkan efek

fenitoin dengan cara mempengaruhi

metabolisme enzim CYP2C9/10 di hati dan meningkatkan

metabolisme (Medscape, 2014).

Penggunaan barbiturat

bersamaan dengan

fenitoin, terkadang bermanfaat bagi pasien. Konsentrasi fenitoin juga dapat terpengaruh dengan ada atau tidak adanya barbiturat (Hansten and Horn, 2002). Monitor closely (Medscape, 2014). Minor (Medscape, 2014).

.6 Captopril® + Furosemid®

11 5,1 Penggunaan secara

bersamaan bisa aman dan efektif, tetapi dapat

Monitor closely


(54)

menyebabkan

hipokalemia dengan penggunaan diuretik penurun kalium seperti furosemid (Stockley, 1994).

Efek interaksi dapat

menyebabkan loop

diuretik berkurang dengan mekanisme yang memungkinkan

terjadinya inhibisi produksi angiotensin II oleh penghambat ACE. Manajemen yang perlu

dilakukan dengan

mengawasi kondisi cairan dan berat badan penderita (Tatro, 2007).

2014).

3 (Tatro, 2007).

7 Diltiazem® + Hidroklorotiazid®

8 3,7 Diltiazem akan

berkompetisi dengan hidroklorotiazid untuk menempati tubular klirens ginjal sehingga menyebabkan

peningkatan efek dari hidroklorotiazid

(Medscape, 2014).

Minor (Medscape,

2014).

8 Fenitoin® + Simvastatin®

4 1,9 Fenitoin dapat

menurunkan efek

simvastatin dengan mempengaruhi

metabolisme enzim CYP3A4 di hati/usus (Medscape, 2014). Interaksi ini dapat menyebabkan

konsentrasi plasma dari HMG-CoA reduktase inhibitor tertentu dapat menurun, menurunkan efek terapetik, dan hiperkolesterolemia. Manajemen yang perlu

dilakukan dengan

mengawasi kondisi klinis penderita dan jika dicurigai terjadinya interaksi, simvastatin dapat diganti dengan

Serius (Medscape,

2014).

4 (Tatro, 2014).


(55)

pravastatin yang memiliki kemungkinan kecil berinteraksi dengan fenitoin (Tatro, 2007). 9 Fenobarbital® +

Simvastatin®

3 1,4 Fenobarbital dapat

menurunkan efek

simvastatin dengan mempengaruhi

metabolisme enzim CYP3A4 di hati/usus (Medscape, 2014).

Serius (Medscape,

2014).

10 Metilprednisolon® + Hidroklorotiazid®

3 1,4 Interaksi kedua obat beresiko menyebabkan hipokalemia, terutama

dengan aktivitas

glukokortikoid yang kuat (Medscape, 2014).

Minor (Medscape,

2014).

11 Metilprednisolon® + Diltiazem®

3 1,4 Diltiazem dapat

meningkatkan efek metilprednisolon dengan mempengaruhi

metabolisme enzim CYP3A4 hati/ usus dan dengan pompa efflux P-glikoprotein (MDR1) (Medscape, 2014). Konsentrasi plasma metilprednisolon

meningkat sehingga peningkatan

glukokortikoid dapat terjadi (Hansten and Horn, 2002).

Efek interaksi obat adalah meningkatkan efek farmakologi dan

toksisitas dari

metilprednisolon.

Mekanisme interaksi diduga terjadi karena penghambatan dari metabolisme

metilprednisolon.

Manajemen yang perlu dilakukan mengamati respon penderita ketika metilprednisolon dan diltiazem diberikan secara bersamaan (Tatro,

Monitor closely (Medscape, 2014). 2 (Tatro, 2007).


(56)

2007). 12 Fenitoin® +

Ranitidin®

2 0,9 Ranitidin meningkatkan kadar fenitoin dengan menurunkan metabolismenya (Medscape, 2014). Minor (Medscape, 2014).

13 Fenobarbital® + Teofilin®

2 0,9 Fenobarbital dapat

menurunkan serum

teofilin, dibeberapa pasien efek nya cukup besar sehingga dapat

menurunkan efek

terapetik dari teofilin (Hansten and Horn, 2002).

Fenitoin dapat

menurunkan efek teofilin dengan mempengaruhi metabolisme enzim

CYP3A4 di hati

(Medscape, 2014). Efek interaksi obat dapat

menurunkan kadar

teofilin yang dapat

menyebabkan efek

terapeutik. Mekanisme interaksi yang terjadi adalah barbiturat dapat menginduksi sitokrom

P450, merangsang

metabolisme teofilin dan meningkatkan clearance. Manajemen yang perlu

dilakukan adalah

menyesuaikan dosis sesuai dengan kebutuhan penderita (Tatro, 2007).

Monitor closely (Medscape, 2014). 2 (Tatro, 2007).

14 Diazepam® + Parasetamol®

2 0,9 Parasetamol menurunkan ekskresi dari diazepam tetapi konsentrasi dari plasma diazepam tidak dipengaruhi (Stockley, 1994). Diazepam dapat

menurunkan kadar

parasetamol dengan meningkatkan

metabolismenya. Peningkatan

metabolisme incr

Minor (Medscape,


(57)

meningkatkan metabolit hepatotoksik (Medscape, 2014).

15 Meloxicam® + Hidroklorotiazid®

2 0,9 Pengaruh interaksi belum jelas. Hidroklorotiazid dapat meningkatkan efek dari meloxicam dengan kompetisi ionik (anionik) obat yang mempengaruhi klirens ginjal (Medscape, 2014).

Monitor closely

(Medscape, 2014)

16 Metilprednisolon® + Ciprofloxacin®

1 0,5 Metilprednisolon dan ciprofloxacin dapat saling meningkatkan kadar satu sama lain. Mekanisme interaksi belum jelas (Medscape, 2014).

Monitor closely

(Medscape, 2014).

17 Metilprednisolon® + Diazepam®

1 0,5 Metilprednisolon dapat menurunkan efek dari

diazepam dengan

mempengaruhi

metabolisme enzim

CYP3A4 di hati

(Medscape, 2014).

Monitor closely

(Medscape, 2014).

18 Metilprednisolon® + Furosemid®

1 0,5 Interaksi tidak signifikan. Interaksi ini beresiko hipokalemia, terutama

dengan aktivitas

glukokortikoid kuat (Medscape, 2014).

Minor (Medscape,

2014) .

19 Metilprednisolon® + Spironolakton®

1 0,5 Spironolakton dapat

meningkatkan efek metilprednisolon melalui

pompa efflux

P-glikoprotein (MDR1) (Medscape, 2014).

Monitor closely

(Medscape, 2014).

20 Fenobarbital® + Diklofenak®

1 0,5 Fenobarbital dapat

menurunkan efek

diklofenak dengan mempengaruhi

metabolisme enzim CYP2C9/10 di hati (Medscape, 2014).

Minor (Medscape,

2014).

21 Fenobarbital® + Parasetamol®

1 0,5 Barbiturat dapat

meningkatkan potensi hepatotoksik dari dosis

parasetamol yang

Minor (Medscape,


(58)

berlebihan. Barbiturat dapat menurunkan efek

terapeutik dari

parasetamol (Hansten and Horn, 2002; Tatro, 2007).

Mekanisme interaksi dimana barbiturat dapat menginduksi enzim mikrosomal hepar yang mempercepat

metabolisme dari

asetaminofen, yang menyebabkan

meningkatnya kadar hepatotoksin yang tinggi (Tatro, 2007).

4 (Tatro, 2007).

22 Cefadroxil® + Hidroklorotiazid®

1 0,5 Cefadroxil dapat

meningkatkan efek dari hidroklorotiazid dengan adanya kompetisi ionik (anionik) obat dalam mekanisme klirens ginjal (Medscape, 2014).

Minor (Medscape,

2014).

23 Diazepam® + Clobazam®

1 0,5 Administrasi kedua obat

bersamaan dapat

meningkatkan potensi efek CNS seperti peningkatan sedasi atau depresi pernapasan (Medscape, 2014).

Monitor closely

(Medscape, 2014).

24 Diazepam® + Diltiazem®

1 0,5 Diltiazem tidak

berinteraksi signifikan

dengan diazepam

(Stockley, 1994).

Diltiazem dapat

meningkatkan efek dari

diazepam dengan

mempengaruhi

metabolisme enzim

CYP3A4 di hati

(Medscape, 2014).

Monitor closely

(Medscape, 2014).

25 Diltiazem® + Digoxin®

1 0,5 Diltiazem dapat

meningkatkan serum digoxin yang dapat menyebabkan toksisitas digoxin (Stockley, 1994; Tatro, 2007). Diltiazem dapat meningkatkan efek

Monitor closely

(Medscape, 2014).


(59)

dari digoxin melalui

pompa efflux

P-glikoprotein (MDR1) (Medscape, 2014). Diltiazem juga dapat menurunkan clearance

renal atau eksternal dari digoksin, oleh karena itu

perlu dilakukan

monitoring pada

penderita yang menerima resep diltiazem (Tatro, 2007)

4 (Tatro, 2007).

26 Diltiazem® + Asam asetilsalisilat®

1 0,5 Diltiazem meningkatkan efek antiplatet dari

aspirin dengan

mekanisme yang belum diketahui (Medscape, 2014).

Minor (Medscape,

2014).

27 Diltiazem® + Teofilin®

1 0,5 Diltiazem dapat

meningkatkan efek dari

teofilin dengan

mempengaruhi

metabolisme enzim CYP1A2 dan enzim CYP3A4 di hati/usus (Medscape, 2014). Interaksi kemungkinan diakibatkan inhibisi metabolisme teofilin oleh diltiazem (Tatr0, 2007)

Monitor closely (Medscape, 2014). 2 (Tatro, 2007)

28 Digoxin® + Hidroklorotiazide®

1 0,5 Digoxin dapat

meningkatkan efek dari hidroklorotiazid dengan

kompetisi ionik

(kationik) obat yang mempengaruhi klirens ginjal (Medscape, 2014).

Monitor closely

(Medscape, 2014).

29 Digoxin® + Meloxicam®

1 0,5 Meloxicam dan digoxin dapat meningkatkan

serum kalium

(Medscape, 2014).

Monitor closely

(Medscape, 2014). 30 Digoxin® +

Furosemid®

1 0,5 Diuretik menyebabkan hipokalemia yang dapat meningkatkan resiko toksisitas digitalis (Hansten and Horn, 2002).

Monitor closely

(Medscape, 2014).


(60)

Lisinopril® meloxicam dapat meningkatkan toksisitas satu sama lainnya. Interaksi kedua obat ini dapat menyebabkan kerusakan fungsi ginjal, terutama pada usia lanjut (Medscape, 2014).

closely

(Medscape, 2014)

32 Furosemid® + Spironolakton®

1 0,5 Spironolakton dapat

meningkatkan serum

kalium sedangkan

furosemid dapat

meningkatkan serum

kalium. Pengaruh

interaksi kedua obat belum jelas (Medscape, 2014).

Monitor closely

(Medscape, 2014).

33 Asam asetilsalisilat® + Lisinopril®

1 0,5 Lisinopril dan aspilet dapat meningkatkan toksisitas satu dan lainnya. Interaksi kedua obat dapat menyebabkan kerusakan fungsi ginjal, terutama pada usia lanjut (Medscape, 2014).

Monitor closely

(Medscape, 2014).

34 Griseofulvin® + Triamsinolon®

1 0,5 Griseofulvin dapat

menurunkan efek dari triamsinolon dengan mempengaruhi

metabolisme enzim CYP3A4 di hati/usus (Medscape, 2014).

Monitor closely

(Medscape, 2014).

35 Asam valporat® + Parasetamol®

1 0,5 Depakene dapat

mengurangi kadar

parasetamol dengan meningkatkan

metabolisme. Peningkatan

metabolisme incr

meningkatkan metabolit hepatotoksik

(Medscape,2014).

Minor (Medscape,

2014).

Jumlah 215 100

Dari tabel V terdapat 35 jenis interaksi obat dengan total interaksi sebanyak 215 interaksi. Interaksi yang paling banyak terjadi di instalasi rawat


(61)

jalan adalah interaksi antara prednison dengan loratadin (20,5%) dengan signifikansi monitor closely. Interaksi obat antara prednison dan loratadin yaitu

prednison dapat menurunkan efek loratadin dengan mempengaruhi metabolisme enzim CYP3A4 di hati/usus (Medscape, 2014). Hal ini disebabkan karena prednison akan mengaktivasi PXR (pregnane X receptor) yang merupakan

mediator seluler untuk proses transkripsi dari enzim CYP3A4. Aktivasi PXR

menyebabkan terjadinya proses transkripsi dari enzim CYP3A4. Terjadinya transkripsi dari enzim CYP3A4 juga mengakibatkan peningkatan ekspresi dari enzim CYP3A4. Meningkatnya ekspresi dari enzim CYP3A4 akan menurunkan efek dari loratadin karena loratadin yang dimetabolisme menjadi inaktif oleh enzim CYP3A4 lebih banyak (Bellosta, Paoletti and Corsini, 2004; Bunning,

2013; Chen and Raymond, 2006).

Pada tabel diatas juga terdapat 2 interaksi obat yang tergolong dalam signifikansi serius yaitu interaksi obat antara fenitoin dengan simvastatin dan fenobarbital dengan simvastatin. Interaksi antara fenitoin dengan simvastatin dan fenobarbital dengan simvastatin memiliki mekanisme interaksi yang sama dengan prednison dan loratadin. Interaksi obat tersebut mengakibatkan fenitoin maupun fenobarbital dapat menurunkan efek dari simvastatin dengan mempengaruhi metabolisme enzim CYP3A4 di hati/usus (Bellosta, et. al., 2004; Bunning, 2013;

Chen and Raymond, 2006).

Potensial interaksi farmakokinetika yang ada, menunjukkan pentingnya pemeriksaan ulang terhadap interaksi obat pada lembar resep yang meresepkan peresepan racikan. Penanganan interaksi obat antara prednison dan loratadin dapat


(62)

diatasi dengan melakukan monitoring efek dari prednison serta loratadin

(Medscape, 2014). Interaksi antara fenitoin dan simvastatin serta fenobarbital dan simvastatin dapat diatasi dengan penggantian obat simvastatin dengan pravastatin. Hal ini dapat dilakukan karena pravastatin tidak dipengaruhi oleh enzim CYP3A4 (Bellosta, et. al., 2004).

Pada tabel V menggambarkan potensial interaksi obat pada lembar resep yang terdapat minimal satu peresepan racikan, dimana dari 215 interaksi terdapat 151 interaksi pada peresepan racikan yang diracik menjadi satu sediaan. Interaksi pada peresepan racikan digambarkan pada tabel VI.

Tabel VI. Potensial interaksi farmakokinetik peresepan racikan di instalasi rawat jalan RSUD Kabupaten Magelangperiode Desember 2013 No Interaksi obat Jumlah %

1. Metilprednisolon + Prednison 35 23,2 2. Metilprednisolon + Loratadin 37 24,5

3. Prednison + Loratadin 43 28,5

4. Griseofulvin + Triamsinolon 1 0,7

5. Metilprednisolon + Teofilin 20 13,2

6. Fenobarbital + Fenitoin 15 9,9

Jumlah interaksi obat 151 100

Potensial interaksi farmakokinetik pada resep racikan di instalasi rawat jalan adalah interaksi yang terjadi pada tahap absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi, selain itu juga terdapat potensial interaksi obat yang mekanisme interaksinya belum diketahui dengan jelas. Potensial interaksi farmakokinetik


(63)

yang paling banyak terjadi di instalasi rawat jalan adalah interaksi obat pada tahap metabolisme dengan persentase interaksi sebesar 63,9 % ( 23 potensial interaksi obat). Persentase interaksi obat yang terjadi pada tahap absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi digambarkan pada gambar dibawah ini.

Gambar 2. Persentase potensial interaksi farmakokinetik yang terjadi pada tahap absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi di instalasi rawat jalan RSUD Kabupaten Magelang periode Desember 2013

2. Potensial interaksi farmakokinetika di instalasi rawat inap RSUD Kabupaten Magelang periode Desember 2013

Potensial interaksi farmakokinetika peresepan racikan yang terjadi di instalasi rawat inap RSUD Kabupaten Magelang periode Desember 2013 dapat dilihat pada tabel VI di bawah ini:


(64)

Tabel VII. Potensial interaksi farmakokinetika di instalasi rawat inap RSUD Kabupaten Magelang periode Desember 2013

Komposisi Nama

generik

Jumlah

intera-ksi

% Mekanisme Signifikansi

Amoksilin pulveres Amoksilin® - - Tidak ada

Fenobarbital pulveres

Parasetamol sirup

Fenobarbital®+

Parasetamol®

1 20 Barbiturat dapat

meningkatkan potensi hepatotoksik dari dosis parasetamol yang berlebihan. Barbiturat dapat menurunkan efek

terapetik dari

parasetamol (Hansten and Horn, 2002; Tatro, 2007).

Mekanisme interaksi, dimana barbiturat dapat menginduksi enzim mikrosomal

hepar yang

mempercepat

metabolisme dari asetaminofen, yang menyebabkan

meningkatnya kadar hepatotoksin yang tinggi (Tatro, 2007).

Minor (Medscape , 2014). 4 (Tatro, 2007). 7Fenobarbital pulveres Diazepampulveres

Fenobarbital®+

Diazepam®

1 20 Fenobarbital dapat

menurunkan efek dari diazepam dengan mempengaruhi

metabolisme enzim

CYP2C19 dan

CYP3A4 di hati/usus (Medscape, 2014). Monitor closely (Medscape , 2014). .Pirantel pamoat Metronidazol pulveres Pirantel pamoat ®+ Metronidazol®

- - Tidak ada

Amoksisilinsirup Furosemidpulveres

Amoksisilin®+

Furosemid®

- - Tidak ada

Captoprilpulveres Furosemid pulveres

Captopril®+

Furosemid®

2 40 Interaksi ini beresiko hipotensi akut, infusiensi ginjal (Medscape, 2014). Monitor closely (Medscape , 2014). Captoprilpulveres Furosemid pulveres

Captopril®+

Furosemid®


(65)

Saccarum lactis Ciprofloxacin Renadinak

Kalnex pulveres

Ciprofloxacin® +

Natrium diklofenak®

1 20 Mekanisme interaksi belum diketahui. Interaksi kedua obat dapat meningkatkan risiko stimulasi SSP dan kejang dengan dosis fluroquinolon yang tinggi (Medscape, 2014).

Monitor closely

(Medscape , 2014).

Dari tabel di atas terdapat 5 interaki peresepan racikan di instalasi rawat inap RSUD Kabupaten Magelang. Interaksi peresepan racikan terbesar adalah captopril dengan furosemid yang memiliki persentase sebesar 40%. Captopril memiliki efek samping yang bisa mempengaruhi ginjal sehingga membuat anak-anak tidak dapat mengeluarkan urin secara normal. Captopril menghambat pembentukan angiotensin II. Jumlah angiotensin II berkurang yang menyebabkan penurunan konsentrasi dari aldosteron yang ada di darah dan urin yang menyebabkan penurunan serum potassium, sodium, dan pengeluaran urin (Lacobellis, 2006). Furosemid berfungsi untuk mengatasi pengeluaran urin yang tidak normal dengan cara menghambat reabsorpsi air di nefron dengan menghambat sodium-potassium-chloride cotransporter (NKCC2) di lengkung

henle (Ferguson, Twite, 1974).

Interaksi kedua obat beresiko menyebabkan hipotensi akut. Hal ini disebabkan karena efek dari captopril dan furosemid bersifat sinergis. Furosemid yang memiliki efek meningkatkan pengeluaran urin dapat menyebabkan penurunan tekanan darah (Medscape, 2014).


(66)

Potensial interaksi farmakokinetik yang paling banyak terjadi di instalasi rawat inap adalah interaksi obat pada tahap metabolisme dan ekskresi dengan persentase interaksi masing-masing sebesar 40 % ( 2 potensial interaksi obat ). Persentase interaksi obat yang terjadi pada tahap absorpsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi digambarkan pada gambar dibawah ini.

Gambar 3. Persentase potensial interaksi farmakokinetik yang terjadi pada tahap absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi di instalasi rawat inap RSUD Kabupaten Magelang periode Desember 2013

Interaksi farmakokinetik pada tabel V dan VII karena dipengaruhi oleh sitokrom P450 (CYP) dan efflux pump. Potensial interaksi farmakokinetik yang

paling banyak terjadi adalah pada tahap metabolisme. Mekanisme interaksi pada tahap metabolisme dapat berupa penghambatan (inhibisi) atau induksi enzim pada proses metabolisme obat yang terutama berlaku terhadap obat-obat atau zat-zat yang merupakan substrat enzim mikrosom hati sitokrom P450 (CYP) ( Gitawati, 2008). Enzim CYP yang berperan dalam metabolisme obat ialah CYP3A4 (enzim


(67)

yang memetabolisme 50-60% obat yang beredar di pasaran), CYP2D6, CYP2C, dan CYP1A2 atau CYP2E1. Inhibisi atau induksi enzim akan mempengaruhi ketersediaan hayati obat-obat, sehingga mengubah kadar obat di dalam darah (Hakim, 2012).

Bioavailabilitas beberapa obat dibatasi oleh aksi obat yang diangkut oleh protein yang melepaskan obat secara difusi dengan melewati usus dan diangkut kembali oleh P-glikoprotein. Mekanisme penghambatan transport aktif gastrointestinal yang merupakan suatu inhibitor protein transporter uptake pump

di saluran cerna dapat menurunkan bioavailabilitas obat (Gitawati, 2008). Contohnya seperti pada tabel V, dimana pemberian diltiazem dan digoxin secara bersamaan dapat meningkatkan efek dari digoxin melalui pompa efflux P-glikoprotein (MDRI) (Medscape, 2014).

D. Pendapat Apoteker dan Asisten Apoteker Terkait Peresepan Racikan

Peresepan racikan memiliki kelebihan dan kekurangan baik dari segi penyiapan sediaan racikan sampai stabilitas dari sediaan racikan itu sendiri. Apoteker dan asisten apoteker yang bekerja di RSUD Kabupaten Magelang memiliki beberapa pendapat terkait prevalensi peresepan racikan di RSUD Kabupaten Magelang, kelebihan dan kekurangan peresepan racikan, dan harapan serta saran apoteker dan asisten apoteker terkait peresepan racikan.

1. Pendapat apoteker terkait peresepan racikan

Hasil wawancara dengan 2 apoteker mengatakan bahwa prevalensi peresepan racikan di instalasi rawat jalan RSUD Kabupaten Magelang lebih tinggi


(68)

dibandingkan di instalasi rawat inap dan apoteker mengharapkan agar peresepan racikan sedapat mungkin dapat diminimalkan.

Kelebihan dari peresepan racikan menurut apoteker adalah: a. Dosis dapat disesuaikan dengan kondisi klinis penderita b. Meningkatkan kepatuhan minum obat

Kekurangan dari peresepan racikan menurut apoteker adalah:

a. Pencampuran obat yang tidak homogen dapat menyebabkan kadar yang dikehendaki tidak tercapai

b. Kemungkinan terjadinya interaksi obat

c. Dapat menyebabkan dosis tiap sediaan tidak sama karena pembagian obat yang tidak merata.

2. Pendapat asisten apoteker terkait peresepan racikan

Hasil wawancara dengan 4 asisten apoteker mengatakan bahwa peresepan racikan di instalasi rawat inap sangat jarang dan biasanya digunakan untuk pasien anak. Rata-rata peresepan racikan di instalasi rawat inap kurang lebih 20 peresepan racikan tiap bulannya. Asisten apoteker berharap agar industri menyediakan dosis obat yang sesuai seperti sirup untuk anak-anak, menambah sarana dan prasarana untuk menyiapkan peresepan racikan, dokter diharapkan menulis resep dengan jelas, dan diharapkan pasien lebih sabar untuk menunggu.

Kelebihan dari peresepan racikan menurut asisten apoteker adalah: a. Meningkatkan kenyamanan penderita pada saat mengkonsumsi obat b. Dosis dapat disesuaikan


(69)

Kekurangan dari peresepan racikan menurut asisten apoteker adalah: a. Proses penyediaan peresepan racikan lebih lama

b. Obat racikan yang berbentuk serbuk lebih cepat lembab

c. Proses penyediaan peresepan racikan dapat menyebabkan obat terkontaminasi lingkungan.


(70)

50

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan

1. Prevalensi peresepan racikan 4,1 % di instalasi rawat jalan dan 0,1 % di instalasi rawat inap RSUD Kabupaten Magelang periode Desember 2013. 2. Gambaran pola peresepan racikan di RSUD Kabupaten Magelang:

a. Kelas terapi persepan racikan yang paling banyak diresepkan di intalasi rawat jalan adalah kelas terapi sistem saluran nafas, sedangkan di instalasi rawat inap adalah kelas terapi sistem kardiovaskuler.

b. Jumlah zat aktif dalam satu peresepan racikan yang paling banyak diresepkan dengan tiga jenis zat aktif, baik di instalasi rawat inap dan rawat jalan.

c. Bentuk sediaan racikan yang paling sering diresepkan adalah pulveres dengan rute oral, baik di instalasi rawat inap dan rawat jalan.

3. Interaksi farmakokinetik yang paling banyak terjadi di instalasi rawat jalan adalah prednison dan loratadinsebesar 20,5% (44) dan di instalasi rawat inap yaitu captopril dan furosemid sebesar 40% (2).

4. Pendapat dan harapan apoteker dan asisten apoteker terhadap peresepan racikan kedepannya adalah diharapkan agar peresepan racikan sedapat mungkin dapat diminimalkan, industri menyediakan dosis obat yang sesuai seperti sirup untuk anak-anak, menambah sarana dan prasarana untuk menyiapkan peresepan racikan, dokter diharapkan menulis resep dengan jelas, dan diharapkan pasien lebih sabar untuk menunggu.


(1)

92

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(2)

(3)

94

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(4)

(5)

96

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(6)

BIOGRAFI PENULIS

Penulis Skripsi dengan judul “Prevalensi dan Evaluasi Potensial Interaksi Farmakokinetik Peresepan Racikan di Instalasi Rawat Jalan dan Rawat Inap RSUD Kabupaten Magelang Periode Desember 2013” dengan

nama lengkap Vera Juniarta, merupakan putri kedua dari pasangan Hiras Silaban dan Dance Siregar. Penulis dilahirkan di Sawah Lunto, pada tanggal 8 Juni 1993. Pendidikan formal yang telah ditempuh penulis, yaitu TK Pembina Argamakmur (1997-1999), tingkat Sekolah Dasar di SD Negri 22 Argamakmur (1999-2005), tingkat Sekolah Menengah Pertama di SMP Negri 1 Argamakmur (2005-2007), tingkat Sekolah Menengah Atas di SMA Negri 2 Kota Bengkulu (2007-2010). Pada tahun 2010, penulis melanjutkan Pendidikan Sarjana di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Semasa menempuh Pendidikan Sarjana, penulis aktif dalam kegiatan kepanitiaan seperti Kampanye Informasi

Obat “Penggolongan Obat” tahun 2012 sebagai koordinator dana dan usaha,


Dokumen yang terkait

Profil Peresepan Obat Pada Pasien Rawat Jalan Jamkesmas Dari Poli Kardiovaskular Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Periode Januari–Maret 2011

3 101 74

POTENSIAL INTERAKSI OBAT PADA PASIEN DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD Dr. MOEWARDI Potensial Interaksi Obat Pada Pasien Demam Tifoid Di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Di Surakarta Tahun 2011.

0 2 13

POTENSIAL INTERAKSI OBAT PADA PASIEN DEMAM TIFOID DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD “X” Potensial Interaksi Obat Pada Pasien Demam Tifoid Di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Di Surakarta Tahun 2011.

0 2 13

Studi literatur interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di instalasi rawat jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013.

7 45 147

Studi pustaka interaksi obat pada peresepan pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013.

1 7 142

Studi pustaka interaksi obat pada peresepan pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013 - USD Repository

0 0 140

Studi literatur interaksi obat pada peresepan pasien diabetes melitus tipe 2 di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 - USD Repository

0 1 205

Studi literatur interaksi obat pada peresepan pasien hipertensi di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember tahun 2013 - USD Repository

0 0 144

Prevalensi dan evaluasi interaksi farmakokinetik peresepan racikan pada pasien rawat jalan di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta periode Desember 2013 - USD Repository

0 3 100

Prevalensi dan evaluasi interaksi farmakokinetik resep racikan pada lima PUSKESMAS di Kabupaten Sleman periode Desember 2013 - USD Repository

0 0 113