Studi literatur interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di instalasi rawat jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013.

(1)

Pasien gagal ginjal kronik dengan penyakit komplikasi atau penyakit penyerta menerima lebih dari satu jenis obat, sehingga terdapat kemungkinan terjadinya interaksi obat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien, gambaran pola peresepan, jumlah dan kategori signifikansi klinis interaksi obat pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode Desember 2013.

Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif dengan data yang bersifat retrospektif. Pengambilan data berdasarkan rekam medis, data yang diambil adalah resep pada bulan Desember 2013 di Instalasi Rawat Jalan dan dikaji secara teoritis berdasarkan studi literatur.

Pada penelitian ini terdapat 65 kasus pasien gagal ginjal kronik, dengan kasus terbanyak pada kelompok umur dewasa (58,5%) dan jenis kelamin laki-laki (62%). Kelas terapi obat yang paling banyak digunakan yaitu obat antihipertensi dengan persentase tertinggi yaitu golongan diuretik (30,9 %). Rute pemberian obat terbesar yaitu secara per oral (94,2%). Terdapat 130 interaksi obat dan yang paling banyak adalah interaksi farmakodinamik (85%). Kategori signifikansi klinis interaksi obat pada peresepan pasien yang paling banyak adalah minor (79 kasus).

Kata kunci : Gagal ginjal kronik, interaksi obat, kategori signifikansi klinis interaksi obat


(2)

Chronic renal failure patient with complication disease or underlying disease receive more than one type of drug, so there is the possibility of unwanted drug interactions. This study aims to know the patient characteristic, prescribing patterns description, the number and categories of the clinical significance of drug interactions in chronic renal failure in Outpatient Unit Panembahan Senopati Bantul Hospital Yogyakarta December 2013.

Design of this research is descriptive with a retrospective data. Data were collected from medical records of patients in Outpatients on December 2013 and were evaluated theoretically based on drug interaction literature.

There were 65 cases of chronic renal failure patients, with most cases are adult (58,5%) and male (62%). Class of drug therapy are the most widely used is antihypertensi drug with the highest percentage is the class of diuretic (30,9%).The most route of administration drugs is per oral (94,2%). There were 130 drug interactions and most of the interaction is pharmacodynamic interaction (85%). The most clinical significance of drug interactions is minor (79 cases).

Key Word : Chronic renal failure, drug interactions, clinical significance of drug interaction


(3)

i

STUDI LITERATUR INTERAKSI OBAT PADA PERESEPAN PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK DI INSTALASI RAWAT JALAN RSUD

PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL YOGYAKARTA PERIODE DESEMBER TAHUN 2013

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Chelsyana Herdiany Nagi NIM : 118114082

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

ii

STUDI LITERATUR INTERAKSI OBAT PADA PERESEPAN PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK DI INSTALASI RAWAT JALAN RSUD

PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL YOGYAKARTA PERIODE DESEMBER TAHUN 2013

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Chelsyana Herdiany Nagi NIM : 118114082

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(5)

(6)

iv


(7)

v

Hendaklah kasih itu jangan berpura-pura. Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik. Hendaklah kamu selalu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat. Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa

Roma 12 : 9-12

Kupersembahkan untuk : Yesus Kristus dan Bunda Maria yang selalu ku andalkan Bapak, Mama beserta keluarga yang selalu ada disaat apapun


(8)

(9)

(10)

viii PRAKATA

Puji dan syukur peneliti haturkan kehadirat TuhanYang Maha Esa, karena atas berkat, rahmat dan kasih karunia-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “ Studi Literatur Interaksi Obat Pada Peresepan Pasien Gagal Ginjal Kronik Di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode Desember Tahun 2013” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penyusunan skripsi ini dapat diselesaikan berkat dukungan, bimbingan, bantuan, dan kerja sama dari berbagai pihak. Untuk itu dengan segala kerendahan hati, peneliti menyampaikan terima kasih kepada :

1. Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma yang telah membimbing dan memberi arahan selama penulis menjadi mahasiswa di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma.

2. Direktur RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta, dr I Wayan Sudana yang telah memberikan izin kepada penulis dalam pengambilan data penelitian. 3. Ibu Aris Widayati, M.Si., Ph.D., Apt sebagai dosen pembimbing utama yang selalu dengan sabar mengarahkan dan membimbing peneliti selama proses penyusunan skripsi.

4. Ibu Witri Susila Astuti, S.Si., Apt sebagai dosen pembimbing pendamping yang selalu dengan sabar mengarahkan dan membimbing peneliti selama proses penyusunan skripsi.

5. dr. Fenty, M.Kes., Sp.PK yang telah membimbing, memberi arahan dan dukungan selama proses penyusunan skripsi.


(11)

ix

6. Ibu Dita Maria Virgina M.Si., Apt yang telah membimbing, memberi arahan dan dukungan selama proses penyusunan skripsi.

7. Kedua orang tua Kristoforus Nagi dan Yarit Lette yang selalu membimbing, memberi arahan dan dukungan serta semangat selama proses perkuliahan hingga terselesainya penyusunan skripsi ini.

8. Kakak tersayang Mystica Pere, Efran Bara, Ati Mbulang, dan Luis yang selalu memberikan motivasi, arahan dan semangat dalam penyusuan skripsi ini dari awal sampai akhir.

9. Tesa Siseng, Rysa Indriani, Ervin Due, Ensi Babo, Arlyn Woi, Ret Toyo, Stefin, Je, Berlin, Novi, Yuni, Wiwin, Feri, Slash, Savio, Frans, Lis, Sandro, Ryan, Iron, Gusty, Ando, Edo sebagai sahabat terbaik yang selalu mendampingi dengan sabar, memberi semangat dan dukungan dari awal pengerjaan skripsi hingga akhir.

10. Teman-teman skripsi Desy, Mochi dan Jono yang selalu setia dan kompak dalam mendukung penyusunan skripsi dari awal sampai akhir.

11. Teman-teman Kelompok Farmakoterapi I dan II Opi, Danik, Shinta, Yuvica, Greta, Sary, Ipang yang selalu memberi semangat dan dukungan selama proses pengerjaan skripsi hingga akhir.

12. Teman-teman kelompok Real Friends Meilisa, Niken, Yudis, Asri, Aviola, Sary, Eiren, Lenny, Uchi, Dara yang selalu memberi semangat dan dukungan selama proses pengerjaan skripsi hingga akhir.

13. Teman-teman FSM B dan FKK A 2011 yang selalu memberi semangat dan dukungan dari awal penyusunan skripsi hingga akhir.

Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan rahmatNya kepada seluruh pihak yang berperan dalam membantu menyelesaikan skripsi ini. Penulis


(12)

(13)

xi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... iii

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS... ix

PRAKATA... x

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR GAMBAR... xvi

DAFTAR LAMPIRAN... xvii

INTISARI... xviii

ABSTRACT... xix

BAB I PENGANTAR... 1

A.Latar Belakang... 1

1. Perumusan Masalah... 4

2. Keaslian Penelitian... 4

3. Manfaat Penelitian... 6

B.Tujuan Penelitian... 6

1. Tujuan Umum... 6

2. Tujuan Khusus... 7

BAB II PENELAAH PUSTAKA... 8

A.Gagal Ginjal Kronik... 8

1. Pengertian gagal ginjal kronik... 8

2. Epidemiologi gagal ginjal kronik... 8

B.Manajemen Terapi Gagal Ginjal Kronik... 9

1. Tujuan terapi dan sasaran terapi... 9

2. Strategi terapi... 10

C.Interaksi Obat... 16


(14)

xii

2. Prevalensi interaksi obat... 17

3. Jenis interaksi obat... 26

4. Interaksi obat pada gagal ginjal kronik... 24

5. Faktor dan penyebab terjadinya interaksi obat... 24

6. Signifikansi klinis interaksi obat... 25

7. Peran apoteker dalam interaksi obat... 30

D.Keterangan Empiris... 31

BAB III METODELOGI PENELITIAN... 32

A.Jenis dan Rancangan Penelitian... 32

B.Variabel dan Defenisi Operasional... 32

C.Subyek dan Bahan Penelitian... 34 D.Alat dan Instrumen Penelitian... 34

E. Tata Cara Penelitian... 35

1. Tahap orientasi... 35

2. Tahap penentuan subyek penelitian... 35

3. Tahap pengambilan data... 35

F. Tata Cara Analisis dan Penyajian Hasil Data Penelitian... 36

1. Tata cara analisis data penelitian... 36

2. Penyajian hasil data penelitian... 37

G.Keterbatasan Penelitian... 37

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 38

A.Karakteristik pasien gagal ginjal kronik... 38

1. Umur pasien gagal ginjal kronik... 38

2. Jenis kelamin pasien gagal ginjal kronik... 40

B.Gambaran pola peresepan pada pasien gagal ginjal kronik... 41

1. Gambaran umum pola peresepan... 41

a. Jumlah obat yang digunakan pada pola peresepan pasien gagal ginjal kronik... 41

b. Cara pemberian obat pada pasien gagal ginjal kronik... 42

2. Gambaran pola peresepan berdasarkan kelas terapi obat... 43

a. Obat kardiovaskuler... 44

b. Obat gizi dan darah... 50

c. Obat hormonal... 55

d. Obat penyakit otot skelet dan sendi... 56

e. Obat sistem saluran cerna... 56

f. Obat sistem saraf pusat... 58

g. Obat infeksi... 58

h. Obat sistem saluran nafas... 59

i. Obat antihistamin dan antialergi... 60

j. Obat antiinflamasi... 61


(15)

xiii

1. Persentase jumlah peresepan yang terdapat interaksi obat pada

peresepan pasein gagal ginjal kronik... 62

2. Persentase interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik terhadap seluruh peresepan pasien di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013... 63

3. Proporsi interaksi obat antara obat antihipertensi dengan obat antihipertensi, obat antihipertensi dengan obat lain dan obat lain dengan obat lain... 64

4. Proporsi jenis interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik... 65

5. Persentase kategori signifikansi klinis interaksi obat... 67

6. Mekanisme dan efek interaksi obat... 70

BAB V KESIMPULAN dan SARAN... 121

A.Kesimpulan... 121

B.Saran... 122

DAFTAR PUSTAKA... 123

LAMPIRAN... 124


(16)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel I. Kategori signifikansi klinis interaksi obat menurut Tatro (2007)... 27

Tabel II.Distribusi jumlah obat tiap lembar resep pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013... 42 Tabel III. Distribusi cara pemberian obat pada peresepan pasien gagal ginjal

kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013... 43 Tabel IV. Kelas terapi dan golongan obat sistem kardiovaskuler yang digunakan

pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta

periode Desember 2013... 45 Tabel V. Kelas terapi dan golongan obat gizi dan darah yang digunakan pada

pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013... 50 Tabel Vl. Kelas terapi dan golongan obat hormonal yang digunakan pada pasien

gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Desember 2013... 53 Tabel VII. Kelas terapi dan golongan obat penyakit otot skelet dan sendi yang

digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta

periode Desember 2013... 55 Tabel VIII. Kelas terapi dan golongan obat sistem saluran cerna yang digunakan

pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta

periode Desember 2013... 56 Tabel IX. Kelas terapi dan golongan obat sistem saraf pusat yang digunakan pada

pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013... 58 Tabel X. Kelas terapi dan golongan obat infeksi yang digunakan pada pasien

gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013... 59 Tabel XI. Kelas terapi dan golongan obat sistem saluran nafas yang digunakan

pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta

periode Desember 2013... 60 Tabel XII. Kelas terapi dan golongan obat antihistamin dan atialergi yang

digunakan pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta

periode Desember 2013... 60 Tabel XIII. Kelas terapi dan golongan obat antiinflamasi yang digunakan pada

pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013... 61


(17)

xv

Tabel XIV. Distribusi jumlah kategori signifikansi klinis interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta

periode Desember 2013... 67 Tabel XV. Mekanisme dan efek interaksi obat anatara obat antihipertensi dengan

obat antihipertensi pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Desember 2013 berdasarkan kajian literatur... 71 Tabel XVI. Mekanisme dan efek interaksi obat anatara obat antihipertensi dengan

obat lain pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Desember 2013 berdasarkan kajian literatur... 76 Tabel VII. Mekanisme dan efek interaksi obat anatara obat lain dengan obat

antihipertensi pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Desember 2013 berdasarkan kajian literatur... 83


(18)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Diagram persentase umur pada pasien gagal ginjal kronik di

Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013... 39 Gambar 2. Diagram persentase jenis kelamin pada peresepan pasien gagal ginjal

kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013... 40 Gambar 3. Persentase jumlah peresepan yang terdapat interaksi obat pada

peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta

periode Desember 2013... 62 Gambar 4. Diagram persentase interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal

kronik terhadap seluruh peresepan pasien di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 berdasarkan kajian literatur... 64 Gambar 5. Diagram proporsi interaksi obat antara obat antihipertensi dengan obat

antihipertensi, obat antihipertensi dengan obat lain dan obat lain dengan obat lain pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta

periode Desember 2013... 65 Gambar 6. Diagram proporsi jenis interaksi obat pada peresepan pasien gagal

ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 berdasarkan kajian literatur (N= 130)... 66


(19)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Surat Keterangan Izin Penelitian di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta... 121 Lampiran 2 : Surat Keterangan Izin Penelitian di Instalasi Rawat Jalan RSUD

Panembahan Senopati Bantul dari BAPPEDA Bantul... 122 Lampiran 3 : Surat keterangan permohonan ijin penelitian... 123 Lampiran 4 : Formulir Pengambilan Data Penelitian Peresepan Obat Pada Pasien

Gagal Ginjal Kronik Di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode Desember 2013... 124 Lampiran 5 : Daftar nama obat dengan nama dagang dan nama generik... 126


(20)

xviii INTISARI

Pasien gagal ginjal kronik dengan penyakit komplikasi atau penyakit penyerta menerima lebih dari satu jenis obat, sehingga terdapat kemungkinan terjadinya interaksi obat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien, gambaran pola peresepan, jumlah dan kategori signifikansi klinis interaksi obat pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode Desember 2013.

Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif dengan data yang bersifat retrospektif. Pengambilan data berdasarkan rekam medis, data yang diambil adalah resep pada bulan Desember 2013 di Instalasi Rawat Jalan dan dikaji secara teoritis berdasarkan studi literatur.

Pada penelitian ini terdapat 65 kasus pasien gagal ginjal kronik, dengan kasus terbanyak pada kelompok umur dewasa (58,5%) dan jenis kelamin laki-laki (62%). Kelas terapi obat yang paling banyak digunakan yaitu obat antihipertensi dengan persentase tertinggi yaitu golongan diuretik (30,9 %). Rute pemberian obat terbesar yaitu secara per oral (94,2%). Terdapat 130 interaksi obat dan yang paling banyak adalah interaksi farmakodinamik (85%). Kategori signifikansi klinis interaksi obat pada peresepan pasien yang paling banyak adalah minor (79 kasus).

Kata kunci : Gagal ginjal kronik, interaksi obat, kategori signifikansi klinis interaksi obat


(21)

xix ABSTRACT

Chronic renal failure patient with complication disease or underlying disease receive more than one type of drug, so there is the possibility of unwanted drug interactions. This study aims to know the patient characteristic, prescribing patterns description, the number and categories of the clinical significance of drug interactions in chronic renal failure in Outpatient Unit Panembahan Senopati Bantul Hospital Yogyakarta December 2013.

Design of this research is descriptive with a retrospective data. Data were collected from medical records of patients in Outpatients on December 2013 and were evaluated theoretically based on drug interaction literature.

There were 65 cases of chronic renal failure patients, with most cases are adult (58,5%) and male (62%). Class of drug therapy are the most widely used is antihypertensi drug with the highest percentage is the class of diuretic (30,9%).The most route of administration drugs is per oral (94,2%). There were 130 drug interactions and most of the interaction is pharmacodynamic interaction (85%). The most clinical significance of drug interactions is minor (79 cases). Key Word : Chronic renal failure, drug interactions, clinical significance of drug interaction


(22)

1 BAB I PENGANTAR A.Latar Belakang

Penyakit ginjal kronik merupakan adanya penurunan semua fungsi ginjal dan adanya penimbunan secara bertahap diikuti penimbunan sisa metabolisme protein disertai adanya gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit (Soenarso, 2004). Insidens penyakit ginjal kronik sejak 10-15 tahun belakangan ini mengalami peningkatan di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Hal ini disebabkan karena banyaknya ditemukan penderita diabetes melitus dan hipertensi yang merupakan penyebab terbanyak gagal ginjal kronik, selain inflamasi glomerulus (Dharmeizar, 2012).

Indonesia termasuk negara dengan tingkat penderita gagal ginjal yang cukup tinggi. Menurut data dari Perneftri (Persatuan Nefrologi Indonesia), diperkirakan ada 70 ribu penderita ginjal di Indonesia, namun yang terdeteksi menderita gagal ginjal kronik tahap terminal dari mereka yang menjalani cuci darah (hemodialisa) hanya sekitar 4 ribu sampai dengan 5 ribu (Syamsir dan Hadibroto, 2007).

Berdasarakan hasil RISKESDAS (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2013, iperoleh prevalensi pasien yang mengalami gagal ginjal kronik ≥ 15 tahun di Indonesia sebesar 0,2 % (2055 orang) dan prevalensi di Provinsi DIY pada umur 15-34 tahun sebesar 0,1 % (722 orang), umur 35-44 tahun sebesar 0,3 % (2167 orang), umur 45-54 tahun sebesar 0,4 % (2889 oarang), umur 55-74 tahun sebesar 0,5 % (3612 orang), dan umur ≥ 75 tahun sebesar 0,6 % (4344 orang).


(23)

Berdasarkan jenis kelamin di Provinsi DIY, pada laki-laki sebesar 0,3 % (2167 orang), perempuan sebesar 0,2 % (1445 orang). Prevalensi paling tinggi di Provinsi DIY berdasarkan karakteristik umur terjadi pada umur ≥ 75 tahun dan berdasarkan jenis kelamin yaitu pada laki-laki.

Kasus gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta cukup banyak. Berdasarkan data pasien gagal ginjal kronik di instalasi rawat jalan bagian poli dalam, jumlah kunjungan pasien gagal ginjal kronik tiap tahunnya bervariasi. Pada tahun 2010 jumlah kunjungan sebesar 620 kali kunjungan. Pada tahun 2011 mengalami penurunan dengan jumlah kunjungan sebesar 366 kali kunjungan. Pada tahun 2012-2014 mengalami peningkatan jumlah kunjungan yaitu masing-masing sebesar 577 kali kunjungan, 787 kali kunjungan dan 1793 kali kunjungan (RSUD Bantul, 2015).

Penggunaan obat yang rasional dalam pelayanan kesehatan di Indonesia masih merupakan masalah. Lebih dari 50 % pasien menerima lebih dari 4 obat untuk setiap lembar resepnya (Syamsudin, 2011). Prevalensi interaksi obat secara keseluruhan di dunia adalah 50-60% (Wynn, 2009). Adanya interaksi obat dapat memiliki dampak yang buruk bagi pasien. Dalam hal ini, dokter, perawat, farmasis maupun tenaga kesehatan lainnya memiliki peran penting terkait keselamatan pasien (Syamsudin, 2011).

Pharmaceutical Care merupakan format pelayanan kefarmasian yang terbaru yaitu berbasis kepada pasien. Pharmaceutical Care merupakan tanggung jawab farmasis untuk memaksimalkan hasil terapi dan meminimalkan terjadinya efek negatif terapi, sehingga terjadi peningkatan kualitas hidup pasien (Sexton,


(24)

Nickless, and Green, 2006). Farmasis mempunyai tanggung jawab dalam pengecekan terkait kemungkinan adanya interaksi obat. Interaksi obat dapat mempengaruhi respon tubuh terhadap pengobatan yang diterima, dapat menimbulkan risiko yang signifikan terhadap kesehatan pasien terkait menyebabkan beban ekonomi dalam perawatan kesehatan pasien (Sohewardi, Chogtu, and Faizal, 2012).

Berdasarkan hasil studi pendahuluan di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta dengan melihat hasil kunjungan pasien maka diperlukan evaluasi mengenai interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik karena belum terdapat data kajian mengenai interaksi obat. Hasil dari evaluasi tersebut, nantinya akan dipergunakan oleh tenaga kesehatan di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta untuk melakukan upaya pencegahan, apabila terjadi interaksi obat yang dapat menimbulkan efek toksik, membahayakan pasien dan menyebabkan beban ekonomi pada perawatan kesehatan pasien.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka penggunaan obat pada pasien gagal ginjal kronik perlu diperhatikan dan mendapat pengawasan dari tenaga kesehatan khususnya farmasis. Berdasarkan alasan yang telah dikemukakan sebelumnya mendorong peneliti untuk melakukan penelitian mengenai “Studi Literatur Interaksi Obat Pada Peresepan Pasien Gagal Ginjal Kronik Di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode Desember Tahun 2013”.


(25)

1. Perumusan masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, masalah yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut :

a. Seperti apa karakteristik pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 yang meliputi umur dan jenis kelamin ?

b. Seperti apa gambaran umum pola peresepan pasien gagal ginjal kronik meliputi kelas terapi (golongan dan jenis) obat, jumlah obat dan cara pemberian obat di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode Desember 2013 ?

c. Berapa persentase interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 yang dikaji berdasarkan studi literatur ?

d. Seperti apa kategori signifikansi klinis interaksi obat yang teridentifikasi pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 yang dikaji berdasarkan studi literatur?

2. Keaslian Penelitian

Penelitian tentang “ Studi Literatur Interaksi Obat Pada Peresepan Pasien Gagal Ginjal Kronik Di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode Desember 2013 belum pernah dilakukan. Penelitian lain yang berhubungan adalah:


(26)

a. Kajian pola peresepan pada pasien gagal ginjal kronik ditinjau dari dosis, interaksi, efek samping, dan kontraindikasi obat di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit dr. Sardjito Yogyakarta yang dilakukan oleh Bettega (2005).

b. Pola peresepan obat pada pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisis di Bagian Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2000 yang dilakukan oleh Kaka (2001).

c. Kajian penggunaan obat pada pasien gagal ginjal kronik nonhemodialisis di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2000-2001 : Pola Peresepan, Evaluasi Kontraindikasi, dan Penyesuaian Dosis yang dilakukan oleh Gunawan (2002).

d. Studi pustaka interaksi obat dengan obat pada pasien gagal ginjal kronik dengan hemodialisis di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta Tahun 2002 yang dilakukan oleh Peradnyani (2006).

Perbedaan penelitian ini dengan beberapa penelitian yang disebutkan di atas adalah terletak pada tempat pelaksanaan penelitian yaitu di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta. Periode pengambilan data penelitian yaitu pada bulan Desember tahun 2013. Kajian pada penelitian ini yang terfokus pada interaksi obat farmakokinetik dan farmakodinamik serta kategori signifikansi klinis interaksi obat yang dikaji berdasarkan studi literatur. Persamaan dengan penelitian terdahulu adalah terletak pada fokus kajian yaitu penyakit gagal ginjal kronik.


(27)

3. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut a. Secara teoritis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah sumber

informasi sekaligus referensi dalam upaya pengembangan konsep pelayanan farmasi klinik di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta dan dapat meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian, khususnya berkaitan dengan keamanan dan keselamatan pasien terutama pada aspek interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik.

b. Secara praktis

1. Penelitian ini diharapkan memberikan informasi mengenai interaksi obat pada penatalaksanaan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta yang dikaji berdasarkan studi literatur.

2. Penelitian ini diharapkan dapat mendukung dan meningkatkan peran farmasis dalam mengidentifikasi secara lebih dini terkait interaksi obat, sehingga meminimalkan kemungkinan terjadinya interaksi obat dengan efek yang membahayakan khususnya pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta.

B.Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui interaksi obat yang terjadi berdasarkan peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan


(28)

RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 yang dikaji berdasarkan literatur.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui karakteristik pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 yang meliputi umur dan jenis kelamin.

b. Mengetahui gambaran umum pola peresepan pasien gagal ginjal kronik yang meliputi kelas terapi (golongan dan jenis) obat, jumlah obat, dan cara pemberian di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013.

c. Mengetahui persentase interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 berdasarkan studi literatur.

d. Mengetahui kategori signifikansi klinis interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 berdasarkan studi literatur.


(29)

8 BAB II

PENELAAH PUSTAKA A.Gagal Ginjal Kronik 1. Pengertian gagal ginjal kronik

Gagal ginjal kronik menggambarkan struktur dan fungsi ginjal yang tidak normal. Ginjal rusak secara progresif dan lambat (biasanya berlangsung beberapa tahun). Penyakit gagal ginjal kronik juga membawa risiko kematian yang tinggi (Fink, Greer, MacDonald, Rossini, Sadiq, Lankireddy, et al., 2012). Penurunan atau kegagalan fungsi ginjal berupa fungsi ekskresi, fungsi pengaturan, dan fungsi hormonal dari ginjal. Kegagalan sistem sekresi menyebabkan menumpuknya zat-zat toksik dalam tubuh yang kemudian menyebabkan sindroma uremia (Kamaluddin dan Rahayu, 2009).

2. Epidemiologi gagal ginjal kronik

Insidens penyakit gagal ginjal kronik sejak 10-15 tahun belakangan ini mengalami peningkatan diseluruh dunia termaksud Indonesia. Di Amerika Serikat pada akhir tahun 2007 tercatat sebanyak 527.283 orang mendapat pengobatan gagal ginjal tahap akhir (End Stage Renal Disease/ESRD) di mana 368.544 orang diantaranya mendapat terapi hemodialisis baik di rumah sakit, rumah maupun dialisis peritoneal (NKUDIC, 2010). Pada tahun 2010, di Indonesia diperkirakan terdapat 2 juta pasien yang mengalami gagal ginjal kronik dengan laju pertumbuhan kira-kira 7% pertahun (Dharmeizar, 2012). Kasus baru gagal ginjal kronik di Indonesia dari data di beberapa pusat nefrologi diperkirakan berkisar


(30)

100-150/ 1 juta penduduk, sedangkan prevalensinya mencapai 200-250/ 1 juta penduduk (PERNEFTRI, 2012).

B.Manajemen Terapi Gagal Ginjal Kronik 1. Tujuan terapi dan sasaran terapi

Tujuan terapi dan sasaran terapi adalah untuk menunda perkembangan gagal ginjal kronik, sehingga meminimalkan pengembangan atau keparahan komplikasi yang terkait termasuk penyakit jantung. Terapi non farmakologi dan farmakologi dilakukan untuk memperlambat laju perkembangan gagal ginjal kronik dan dapat menurunkan insiden dan prevalensi end stage renal disease (ESRD) (Dipiro, Talbert, Yee, Matzke, Wells, and Posey, 2008).

Penyakit ginjal kronik tidak dapat disembuhkan, namun diperlukan upaya mempertahankan agar ginjal dapat berfungsi seoptimal mungkin. Caranya yaitu dengan terapi melalui obat-obatan untuk mengatasi gejala-gejala dan komplikasi penyakit ginjal kronik serta membantu memperlambat proses kerusakan fungsi ginjal, dialisis (cuci darah), transplantasi (cangkok) ginjal, dan modifikasi gaya hidup (Mahdiana, 2011).

Pengobatan pada gagal ginjal kronik dibagi dalam dua tahap. Tahap pertama berupa tindakan konservatif untuk meredakan atau memperlambat perburukan progresif gangguan fungsi ginjal. Prinsip dasar dalam penatalaksanaan konservatif didasarkan pada pemahaman tentang batas-batas ekskresi yang dapat dicapai oleh ginjal yang terganggu. Bila hal tersebut sudah diketahui, maka diet zat terlarut dan cairan orang yang bersangkutan dapat diatur dan disesuaikan dengan adanya batas-batas tersebut. Tahap kedua pengobatan dengan adanya


(31)

terapi pengganti ginjal. Keadaan ini terjadi pada penyakit ginjal stadium akhir atau ESRD dengan nilai GFR < 2ml/menit. Tujuan dari terapi yaitu untuk menggantikan ginjal yang tidak bisa bekerja sesuai fungsinya (Price and Wilson, 2005).

2. Strategi terapi

Penatalaksanaan gagal ginjal kronik meliputi 4 tahap yaitu : 1.Memperlambat laju penurunan fungsi ginjal

a. Pengobatan hipertensi. Target penurunan tekanan darah yang dianjurkan adalah kurang dari 130/80 mmHg.

b. Pembatasan asupan protein, bertujuan untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus sehingga progresifitas akan diperlambat.

c. Retriksi fosfor dengan tujuan untuk mencegah hiperparatirodisme sekunder.

d. Mengurangi proteinuria. Terdapat korelasi antara proteinuria dan penurunan fungsi ginjal terutama pada glomerulonefritis kronik dan diabetes. Dalam hal ini biasa digunakan ACE inhibitor. Jika terdapat intoleransi terhadap ACE inhibitor maka dapat digunakan angiotensin receptor blocker (ARB) (Dipiro et al., 2008).

e. Mengendalikan hiperlipidemia. Telah terbukti bahwa hiperlipidemia yang tidak terkendali dapat mempercepat progresifitas gagal ginjal. Pengobatan meliputi diet dan olahraga. Pada peningkatan yang berlebihan diberikan obat-obat penurun lemak darah. Pedoman dari Asosiasi Diabetes Kanada menyarankan nilai hemoglobin A1c < 7,0%


(32)

dan fasting plasma glucose 4–7 mmol/L (Levin, Hemmelgarn, Culleton, Tobe, McFarlane, Ruzicka et al, 2008).

2.Mencegah kerusakan ginjal lebih lanjut a. Pencegahan kekurangan cairan

Dehidrasi dan kehilangan elektrolit dapat menyebabkan gangguan prarenal yang masih dapat diperbaiki. Oleh sebab itu perlu ditanyakan mengenai keseimbangnan cairan (muntah, keringat, diare, asupan cairan sehari- hari), penggunaan obat (diuretik, manitol, fenasetin), dan penyakit lain (diabetes melitus, kelainan gastrointestinal, dan ginjal polikistik) (Levin et al, 2008)

b. Sepsis

Sepsis dapat disebabkan berbagai macam infeksi, terutama infeksi saluran kemih. Penatalaksanaan ditujukan untuk mengkoreksi kelainan urologi dan antibiotik yang telah terpilih untuk mengobati infeksi (Levin et al, 2008).

c. Hipertensi yang tidak terkendali

Tekanan darah umumnya meningkat sesuai dengan perburukan fungsi ginjal. Kenaikan tekanan darah ini akan menurunkan fungsi ginjal. Akan tetapi penurunan tekanan darah yang berlebihan juga akan menyebabkan perfusi ginjal menurun. Obat yang dapat diberikan adalah furosemid, beta blocker, vasodilator, kalsium antagonis dan alfa blocker. Obat golongan tiazid kurang bermanfaat, sedangkan


(33)

spironolakton tidak dapat digunakan karena dapat meningkatkan kadar kalium (Dipiro et al., 2008).

d. Obat-obat nefrotoksik

Obat-obat aminoglikosida, OAINS (obat antiinflamasi non steroid), kontras radiologi, dan obat-obat yang dapat menyebabkan nefritis interstitialis harus dihindari (Dharmeizar, 2012).

e. Kehamilan

Kehamilan dapat memperburuk fungsi ginjal, hipertensi meningkatkan terjadinya eklamsia dan menyebabkan retardasi pertumbuhan intrauterin (Levin et al, 2008).

3.Pengelolaan uremia dan komplikasinya

a. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit

Pasien dengan penyakit ginjal kronik sering mengalami peningkatan jumlah cairan ekstrasel karenan retensi cairan dan natrium. Peningkatan cairan intravaskular menyebabkan hipertensi, sementara ekspansi cairan ke interstitial menyebabkan edema. Hiponatremia sering juga dijumpai. Penatalaksanaan yang tepat meliputi retriksi asupan cairan dan natrium, dan pemberian terapi diuretik. Asupan cairan natrium dibatasi < 1 liter/hari, pada keadaan berat < 500ml/hari. Natrium diberikan < 2-4 g/hari, tergantung dari beratnya edema. Jenis diuretik yang menjadi pilihan adalah furosemid karena efek furosemid tergantung dari sekresi aktifnya di tubulus proksimal. Pasien dengan penyakit ginjal kronik umumnya membutuhkan dosis yang tinggi


(34)

(300-500 mg), namun perlu diperhatikan efek samping obat. Apabila tindakan ini tidak membantu maka harus dilakukan dialisis (Levin et al., 2008).

b. Asidosis metabolik

Penurunan kemampuan sekresi acid load pada penyakit ginjal kronik menyebabkan terjadinya asidosis metabolik. Hal ini umumnya terjadi apabila nilai GFR < 25 ml/mnt. Diet rendah protein 0.6 g/hari dapat membantu mengurangi asidosis. Bila kadar bikarbonat turun sampai < 15-17 mEq/L harus diberikan subtitusi alkali (Dipiro et al., 2008). c. Hiperkalemia

Hiperkalemia dapat menyebabkan aritmia kordis yang fatal. Untuk mengatasi ini, dapat diberikan: kalsium glukonas 10% (10 ml dalam 10 menit secara iv), bikarbonas natrikus 50-150 secara iv dalam 15-30 menit, insulin dan glukosa 6 unit, insulin dan glukosa 50 g dalam waktu 1 jam, kayexalate (resin pengikat kalium) 25-50 g secara p.o atau rektal. Bila hiperkalemia tidak dapat diatasi, maka dilakukan dialisis (Levin et al, 2008).

d. Diet rendah protein

Diet rendah protein dianggap akan mengurangi akumulasi hasil akhir metabolisme protein yaitu ureum dan toksik uremik lainya. Selain itu, telah terbukti bahwa diet tinggi protein akan mempercepat timbulnya glomerulosklerosis sebagai akibat meningkatnya beban kerja glomerulus dan fibrosis interstitial. Kebutuhan kalori harus dipenuhi


(35)

supaya tidak terjadi pemecahan protein dan merangsang pengeluaran insulin. Kalori yang diberikan adalah sekitar 35 kal/kgBB, protein 0,6 g/ kgBB/ hari dengan nilai biologis tinggi (40% asam amino esensial) (Mahdiana, 2011).

e. Anemia

Penyebab utama anemia pada penyakit ginjal kronik adalah terjadinya defisiensi eritropoietin. Penyebab lainnya adalah perdarahan gastrointestinal, umur eritrosit yang pendek, serta adanya faktor yang menghambat eritropoesis (toksin uremia), malnutrisi dan defisiensi besi. Transfusi darah hanya diberikan bila perlu dan apabila pemberian transfusi dapat memperbaiki keadaan klinis secara nyata. Terapi apabila nilai Hb < 8 g % yaitu dengan pemberian eritropoietin, tetapi pengobatan ini masih terbatas karena mahal. Target pemberian eritropoietin adalah dengan nilai Hb > 11 g %. Jika tidak diberikan terapi dengan eritropoietin maka bisa diberikan terapi besi (Levin et al., 2008).

f. Kalsium dan fosfor

Terdapat 3 mekanisme yang saling berhubungan yaitu hipokalsemia dengan hipoparatiroid sekunder, retensi fosfor oleh ginjal, dan gangguan pembentukan 1,25 dihidroksikalsiferol metabolit aktif vitamin D. Pada keadaan ini dengan nilai GFR < 30 mL/mnt diperlukan pemberian fosfor seperti kalsium bikarbonat atau kalsium asetat yang diberikan pada saat makan. Pemberian vitamin D juga


(36)

perlu diberikan untuk meningkatkan absorbsi kalsium di usus. Diet rendah fosfat dilakukan untuk menjaga hiperfosfatemia. Jika diet rendah fosfat gagal, dapat diberikan calcium-containing phosphate binders. Namun jika terdapat hiperkalemia maka dosis calcium-containing phosphate binders atau vitamin D harus dikurangi. Hipokalesemia harus dikoreksi jika pasien menunjukkan gejala atau tanda peningkatan level parat hormon (Dipiro et al., 2008).

g. Hiperurisemia

Alopurinol sebaiknya diberikan 100-300 mg, apabila kadar asam urat > 10 mg/dl atau apabila terdapat riwayat gout (Mahdiana, 2011).

4. Inisiasi dialisis

Penatalaksanaan konservatif dihentikan bila pasien sudah memerlukan dialisis tetap atau transplantasi. Pada tahap ini biasanya nilai GFR sekitar 5-10 ml/mnt. Dialisis juga diiperlukan bila:

a. Asidosis metabolik yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan b. Hiperkalemia yang tidak dapat diatasi dengan obat-obatan

c. Overload cairan (edema paru)

d. Ensefalopati uremik dan penurunan kesadaran e. Efusi perikardial

f. Sindrom uremia (mual,muntah, anoreksia, dan neuropati) yang memburuk (Levin et al., 2008).


(37)

C. Interaksi obat 1. Pengertian interaksi obat

Interaksi obat adalah kejadian dimana respon farmakologis atau klinis dari pemberian suatu kombinasi obat, tidak sama dengan efek yang diharapkan timbul bila dua obat diberikan secara terpisah. Interaksi obat terjadi bila efek dari suatu obat berubah dengan adanya kehadiran obat lainnya, makanan, minuman atau zat kimiawi lingkungan (Kurnia, 2007).

2. Prevalensi interaksi obat

Prevalensi interaksi obat secara keseluruhan di dunia adalah 50-60% (Wynn, 2009). Penggunaan polifarmasi obat dimana lebih dari 50% rata-rata pasien mendapat 3-5 jenis obat atau lebih untuk setiap lembar resepnya (Raut, 2013). Insidens efek samping obat akan meningkat dengan banyaknya obat yang diberikan. Di mana pasien sebanyak 4009 yang mendapatkan obat dengan kisaran jumlah obatnya (0-5) jumlah efek sampingnya 142 (4%), sedangkan pada pasien sebanyak 641 yang mendapatkan obat dengan kisaran jumlah obat (16-20) jumlah efek sampingnya 347 (54%). Beberapa penelitian juga menunjukkan terjadinya interaksi obat sampai 88% pada populasi lansia yang berobat jalan (Kurnia, 2007). Meningkatnya kompleksitas dan polifarmasi obat yang digunakan dalam pengobatan memungkinkan terjadinya interaksi obat semakin besar (Shekar and Bhagawan, 2014). Kurangnya dokumentasi dan pengamatan terkait kejadian interaksi obat serta kurangnya pengetahuan para dokter mengenai interaksi obat dapat memperparah kejadian interaksi obat dalam pelayanan kesehatan (Nidhi, 2012).


(38)

3. Jenis interaksi obat

Jenis-jenis interaksi obat meliputi interaksi farmakokinetik, farmakodinamik dan farmasetis.

a. Interaksi farmakokinetik. Interaksi farmakokinetik merupakan interaksi antara dua obat atau lebih yang mempengaruhi proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi salah satu obat atau lebih di dalam tubuh (Hacker, Bachman, and Messer, 2009). Interaksi dapat diukur pada perubahan parameter farmakokinetik meliputi konsentrasi maksimal (Cmax), konsentrasi obat di dalam tubuh persatuan waktu (AUC), waktu paruh eliminasi dan total obat yang diekskresikan lewat urin (CI) (Tatro, 2007).

1) Interaksi pada proses absorpsi

Interaksi pada proses absorpsi terjadi ketika adanya penggunaan dua obat atau lebih pada waktu yang bersamaan sehingga laju absorpsi dari salah satu atau kedua obat mengalami perubahan. Interaksi pada proses absorpsi dapat dipengaruhi oleh perubahan pada pH saluran pencernaan, kelarutan obat, metabolisme saluran pencernaan, flora usus, mukosa usus, adsorpsi, khelasi, perubahan motilitas saluran pencernaan, induksi atau inhibisi dari protein transporter obat, malabsorpsi yang disebabkan oleh obat dan mekanisme kompleks lainnya (Tatro, 2007).

Salah satu obat dapat menghambat, menurunkan, atau meningkatkan laju absorpsi obat yang lainnya. Hal ini dapat terjadi


(39)

dengan cara memperpendek atau memperpanjang waktu pengosongan lambung dengan menambah pH lambung dan dengan membentuk kompleks dengan obat. Laksatif merupakan obat yang dapat meningkatkan kecepatan pengosongan dan usus halus sehingga menurunkan absorpsi obat. Narkotik dan antikolinergik dapat meningkatkan motilitas lambung dan usus halus sehingga dapat menyebabkan peningkatan laju absorpsi obat. Semakin banyak jumlah obat yang diabsorpsi pada usus halus, semakin banyak jumlah yang memasuki sirkulasi sistemik (Syamsudin, 2011).

Interaksi obat pada proses absorpsi terjadi di dalam usus halus. Usus merupakan lokasi utama untuk absorpsi obat karena mempunyai wilayah absorpsi yang sangat luas, daya serap obat yang lebih tinggi dan jumlah aliran darah melalui kapiler usus lebih besar sehingga obat yang diserap dapat diangkut ke sirlukasi sistemik (Syamsudin, 2011). Pada perubahan motilitas saluran pencernaan, respon suatu obat dapat berubah karena terdapat obat lain yang mengubah motilitas saluran pencernaan. Apabila waktu transit obat ke dalam saluran pencernaan mengalami peningkatan atau terjadi penurunan maka obat akan terabsorpsi cepat atau lambat. Metokloporamid, eritromisin dan obat pencahar merupakan obat-obatan yag dapat menurunkan waktu transit di saluran pencernaan (Albert, 2008).


(40)

2) Interaksi pada proses distribusi

Setelah obat mengalami proses absorpsi ke dalam darah maka obat tersebut akan bersirkulasi secara cepat ke seluruh jaringan tubuh. Pada saat darah mengalami sirkulasi, obat akan bergerak dari aliran darah kemudian masuk ke jaringan tubuh. Distribusi obat adalah perjalanan obat dari darah dan ke darah serta beberapa jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jaringan otak. Obat yang masuk ke dalam jaringan yang berbeda memiliki kecepatan yang berbeda, di mana tergantung pada kecepatan obat menembus membran (Tatro, 2007).

Dalam fase distribusi, akan terjadi interaksi jika dua obat yang berikatan tinggi dengan protein atau albumin bersaing untuk mendapatkan tempat pada protein atau albumin di dalam plasma. Akibatnya terjadi penurunan dalam pengikatan dengan protein pada salah satu atau kedua obat itu sehingga lebih banyak obat bebas yang bersirkulasi dalam plasma dan meningkatkan kerja obat, efek ini dapat menimbulkan toksisitas obat (Syamsudin, 2011). Apabila terdapat dua obat yang berikatan kuat dengan protein yang harus digunakan secara bersamaan, maka perlu adanya pengurangan dosis salah satu atau kedua obat tersebut untuk menghindari terjadinya toksisitas obat (Aronson, 2009) dan (Triplitt, 2006).

3) Interaksi pada proses metabolisme atau biotransformasi

Dalam proses metabolisme, obat yang akan masuk ke dalam tubuh akan diubah menjadi lebih polar agar dapat dieksresikan oleh ginjal dan


(41)

menghasilkan metabolit inaktif. Terdapat dua fase pada proses metabolisme obat yaitu fase pertama yang meliputi reaksi oksidasi, reduksi dan hidrolisis. Fase kedua meliputi reaksi konjugasi metabolit atau obat dari reaksi fase pertama dengan substrat endogen seperti asam glukuronat. Tujuan dari reaksi fase pertama yaitu mengubah obat menjadi senyawa yang lebih polar dan reaksi fase kedua bertujuan membuat senyawa menjadi inaktif (Tatro, 2007).

Suatu obat dapat menigkatkan metabolisme obat lain dengan cara menginduksi enzim-enzim di hati. Fenobarbital merupakan contoh obat yang dapat meningkatkan induksi enzim yang disebut sebagai penginduksi enzim (Triplitt, 2006). Penurunan efek obat disebabkan karena adanya proses metabolisme obat yang dapat meningkatkan dan mempercepat proses eliminasi obat dan menurunkan konsentrasi obat di dalam plasma (Syamsudin, 2011).

Inhibitor enzim merupakan cara menginhibisi enzim-enzim dengan menurunkan metabolisme obat lain. Proses metabolisme obat akan menurun dan memperlambat proses eliminasi obat sehingga dapat meningkatkan konsentrasi dan efek obat di dalam plasma (Syamsudin, 2011).

4) Interaksi pada proses ekskresi

Ekskresi obat sebagian besar terjadi lewat ginjal melalui urin dan juga melalui empedu. Interaksi obat pada proses ekskresi dapat terjadi karena dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu perubahan pH urin,


(42)

perubahan ekskresi empedu dalam bentuk siklus enterohepatik, perubahan ekskresi aktif pada tubulus ginjal dan perubahan aliran darah ginjal (Baxter, 2010).

a) Perubahan ekskresi aktif pada tubular ginjal. Penurunan ekskresi obat satu sama lain melalui kompetisi dalam berikatan disebabkan oleh banyaknya obat yang memiliki mekanisme transport yang sama dalam tubulus ginjal (Syamsudin, 2011). b) Perubahan pH urin. Obat adalah suatu asam lemah atau basa

lemah, ketika urin bersifat basa maka obat-obatan basa lemah akan direabsorpsi kedalam tubulus distal. pH urin dapat bervariasi sesuai dengan makanan yang dikonsumsi, variasi pH urin berkisar antara 4,5 – 8,0. Ketika pH urin asam maka obat-obat yang bersifat basa akan lebih mudah diekskresikan. Pada suasana basa atau nilai pH tinggi, obat asam lemah yang memiliki pKa 3-7 sebagian besar berada dalam bentuk terion dan tidak larut dalam lemak, sehingga obat tidak dapat berdifusi ke dalam sel tubulus ginjal dan akan tetap berada dalam urin dan dikeluarkan dari tubuh (Syamsudin, 2011).

Obat yang bersifat basa lemah dengan nilai pKa 7,5-10,5 dalam suasana basa akan berada dalam bentuk tidak terionisasi dan terlarut dalam lemak. Hal tersebut mengakibatkan obat dapat berdifusi ke dalam sel tubulus ginjal dan terjadi peningkatan konsentrasi obat. Sebaliknya pada saat suasana urin


(43)

asam maka obat yang bersifat basa tersebut akan lebih mudah diekskresikan (Syamsudin, 2011).

b. Interaksi farmakodinamik. Interaksi farmakodinamik merupakan interaksi antara dua obat atau lebih yang dapat menyebabkan efek dari suatu obat mengalami perubahan oleh adanya kehadiran obat lain di tempat kerja atau aksi obat (Baxer, 2010). Interaksi farmakodinamik menimbulkan efek-efek obat yang aditif, sinergis (potensiasi), atau antagonis jika dua obat atau lebih yang mempunyai kerja yang serupa atau tidak serupa diberikan (Tatro, 2007).

1). Efek obat aditif

Interaksi yang terjadi apabila adanya pemberian dua atau lebih obat yang memiliki efek terapeutik yang sama saat diberikan secara bersamaan. Efek yang dihasilkan dari pemberian obat-obat tersebut secara bersamaan merupakan jumlah dari efek kedua obat yang digabungkan secara tersendiri sesuai dengan dosis yang digunakan. Efek yang terjadi tersebut dapat merupakan efek yang diinginkan atau tidak diinginkan. Contoh interaksi aditif yang diinginkan adalah obat analgesik yaitu aspirin dan kodein yang dapat diberikan bersamaan untuk meredakan nyeri (Baxter, 2010). Contoh interaksi aditif yang tidak diinginkan yaitu interaksi aspirin dan alkohol yang dapat menyebabkan terjadinya pendarahan lambung (Syamsudin, 2011).


(44)

2). Efek obat sinergisme

Interaksi yang terjadi apabila dua obat atau lebih yang tidak memiliki ataupun memiliki efek farmakologi yang sama diberikan secara bersamaan akan memperkuat efek obat lain dan dapat menimbulkan peningkatan efek yang signifikan. Efek yang dihasilkan dapat merupakan efek yang diinginkan ataupun yang tidak diinginkan dan berbahaya bagi pasien yang mengkonsumsi obat tersebut (Tatro, 2007).

3). Efek obat antagonisme

Efek yang dihasilkan dari interaksi obat yang terjadi antara dua atau lebih obat yang memiliki efek antagonis atau efek farmakologi yang berlawanan. Efek dari obat-obat yang berinteraksi tersebut akan saling meniadakan efek obat satu sama lain jika diberikan secara bersamaan (Syamsudin, 2011). Contoh dari efek antagonis adalah bila perangsang adrenergik beta isoproteronol dan propanolol diberikan bersamaan, maka akan terjadi interaksi obat saling meniadakan dan tidak satupun dari obat tersebut menimbulkan efek terapeutik (Baxter, 2010).

c. Interaksi farmasetik. Interaksi farmasetik merupakan interaksi yang terjadi karena pencampuran obat secara langsung baik fisik atau kimiawi. Hasil dari interaksi tersebut adalah terjadi pembentukan endapan, perubahan


(45)

warna dan mungkin dapat tidak terlihat. Interaksi farmasetik terjadi di luar tubuh sebelum obat diberikan (Nah, 2007).

4. Interaksi obat pada gagal ginjal kronik

Pasien dengan gangguan ginjal dapat mengalami berbagai permasalahan terkait penggunaan obat diantaranya yaitu interaksi obat (Wiffen, Mitchell, Snelling, and Stoner, 2007). Obat nonsteroid antiinflamatory drugs (NSAID) mengganggu fungsi ginjal sehingga menyebabkan retensi cairan dan natrium, sehingga NSAID akan menghambat efek beberapa jenis obat diuretik dan antihipertensi. Adanya udem bisa juga terjadi pada pasien hipertensi yang mengalami interaksi. Beberapa obat dapat menginduksi gangguan renal dengan cara menurunkan klirens kreatinin, sehingga menurunkan ekskresi obat tersebut dan metabolitnya misalnya aminoglikosida, juga siklosporin dan kaptropil menurunkan klirens ginjal dari digoksin. Litium dapat menyebabkan ginjal menjadi sensitif terhadap penghambat ACE dengan hasil terjadinya gangguan ginjal (Kurnia, 2007).

5. Faktor dan penyebab terjadinya interaksi obat

Kurangnya pengetahuan dan pemahaman mengenai farmakokinetik dan farmakodinamik obat, faktor diet, faktor fisiologi dari masing-masing individu seperti usia, berat badan, faktor genetik dan adanya penyakit penyerta yang dialami pasien seperti penyakit hati, ginjal, hipertensi, dan diabetes melitus merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya interaksi obat (Mahdiana, 2011). Pasien lansia memiliki kemungkinan dalam mengalami interaksi obat karena adanya penurunan fungsi organ dan penggunaan obat yang


(46)

melebihi satu jenis obat. Administrasi dari dua atau lebih obat yang bekerja secara simultan, pemberian obat dalam waktu yang bersamaan, obat yang diresepkan untuk pasien berasal dari beberapa dokter, pasien mengkonsumsi obat herbal, makanan, vitamin, penggunaan polifarmasi dan ketidakpatuhan pasien merupakan penyebab terjadinya interaksi obat (Triplitt, 2006).

6. Signifikansi klinis interaksi obat

Adanya interaksi dari beberapa obat dapat menimbulkan suatu dampak klinis yang nantinya berpengaruh signifikan terhadap klinis. Interaksi obat ditandai berdasarkan level signifikansi klinis. Kategori signifikansi klinis dapat dibedakan menjadi 5 menurut Tatro (2007) yang mencakup onset, tingkat keparahan interaksi dan dokumentasi. Onset merupakan seberapa cepat efek klinis dari interaksi obat dapat menyebabkan suatu tingkat keparahan, sehingga diperlukan suatu tindakan pencegahan untuk menghindari efek dari interaksi tersebut (Tatro, 2007).

Terdapat 2 level atau tingkat onset yang terdiri dari onset yang cepat dan onset yang lambat. Onset yang cepat ditandai dengan dengan efek dari interaksi obat yang akan terlihat dalam waktu kurang dari 24 jam setelah pemberian obat dan memerlukan penanganan medis untuk mencegah efek dari interaksi yang ditimbulkan. Onset yang mempunyai sifat lambat ditandai dengan efek dari interaksi obat akan terlihat dalam waktu lebih dari 24 jam dan tidak diperlukan suatu penanganan medis untuk mencegah efek dari interaksi yang ditimbulkan (Tatro, 2007).


(47)

Tingkat keparahan interaksi obat merupakan suatu potensi keprahan yang ditimbulkan akibat adanya interaksi obat. Tingkat keparahan interaksi obat penting digunakan dalam menilai risiko dan manfaat dari pemberian terapi. Dilakukan penyesuaian dosis yang tepat atau modifikasi waktu dan jalur administrasi pemberian obat agar efek negatif dari interaksi obat dapat dihindari (Tatro, 2007).

Berdasarkan tingkat keparahannya dapat dibedakan menjadi tiga yaitu major, moderat dan minor. Tingkat keparahan major dari interaksi obat dapat berpotensi mengancam nyawa atau dapat menyebabkan kerusakan permanen. Tingkat keprahan moderat dapat menyebabkan penurunan status klinis pasien sehingga diperlukan terapi tambahan untuk pasien dalam menangani interaksi obat yang terjadi. Tingkat keparahan minor dapat menghasilkan efek yang biasanya ringan dan biasanya tidak diperlukan pengobatan tambahan (Tatro, 2007).

Dokumentasi merupakan proses pengumpulan data terkait interaksi obat yang mendasari keyakinan adanya interaksi obat dapat menyebabkan perubahan pada suatu respon kinis. Tingkat dokumentasi merupakan evaluasi terhadap kualitas dan relevansi klinis dari literatur utama yang mendukung terjadinya interaksi obat. Terdapat lima tingkat dokumentasi interaksi obat yaitu established, probable, suspected, possible, unlikely (Tatro, 2007).

Tingkat dokumentasi interaksi obat yaitu established merupakan interaksi obat yang sangat mantap terjadi, adanya kejadian secara klinis telah terbukti berdasarkan penelitian-penelitian. Tingkat dokumentasi interaksi obat yaitu


(48)

probable merupakan interaksi obat yang dapat terjadi, namun belum terbukti secara klinis. Interaksi farmakokinetik telah dibuktikan dalam penelitian studi terhadap manusia. Tingkat dokumentasi interaksi obat yaitu suspected merupakan interaksi obat yang diduga dapat terjadi, adanya beberapa data penelitian yang baik dan perlu studi lebih lanjut untuk memastikan interaksi obat yang terjadi. Tingkat dokumentasi interaksi obat yaitu possible merupakan interaksi obat yang belum pasti terjadi, tersedia data penelitian yang mendukung namun sangat terbatas. Tingkat dokumentasi interaksi obat yaitu unlikely merupakan interaksi obat yang kemungkinan tidak terjadi. Tidak terdapat bukti terjadinya perubahan efek klinis pasien (Tatro, 2007).

Berdasarkan hal tersebut dapat dirangkum bahwa tingkat signifikansi interaksi obat menurut Tatro (2007), dibedakan menjadi 5 kategori yang mencakup tingkat keparahan dan dokumentasi yang dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel I. Kategori signifikansi klinis interaksi obat menurut Tatro (2007) Kategori signifikansi

klinis

Tingkat keparahan Dokumentasi

1 Major Established, probable

atau suspected

2 Moderat Established, probable

atau suspected

3 Minor Established, probable

atau suspected

4 Major atau moderat Possible

5 Minor Possible

Sebagian besar Unlikely

Berdasarkan Tabel I di atas keterangan mengenai kategori signifikansi klinis interaksi obat menurut Tatro (2007) yaitu:


(49)

1. Kategori signifikansi klinis 1 mencakup tingkat keparahan major dan dokumentasi mengenai interaksi obat meliputi established, probable atau

suspected. Tingkat keparahan major dapat menimbulkan risiko yang

berpotensi mengancam jiwa pasien serta mengakibatkan kerusakan yang permanen. Oleh karena itu, kombinasi obat tersebut harus dihindari.

2. Kategori signifikansi klinis 2 memiliki tingkat keparahan moderat dan dokumentasi mengenai interaksi obat meliputi established, probable atau suspected. Tingkat keparahan moderat menimbulkan efek yang dapat mengakibatkan terjadinya penurunan dari status klinik pasien sehingga dibutuhkkan terapi tambahan atau perawatan di rumah sakit

3. Kategori signifikansi klinis 3 mencakup tingkat keparahan minor dan dokumentasi mengenai interaksi obat meliputi established, probable atau suspected. Tingkat keparahan minor menimbulkan efek interaksi obat ringan dan secara signifikan tidak mempengaruhi status klinik pasien sehingga terapi tambahan tidak diperlukan.

4. Kategori signifikansi klinis 4 mencakup tingkat keparahan major atau moderat dan dokumentasi mengenai interaksi obat yaitu possible. Tingkat keprahan major atau moderat menimbulkan efek yang dapat berbahaya karena dapat mengubah respon farmakologi individu sehingga diperlukan terapi tambahan. 5. Kategori signifikansi klinis 5 mencakup tingkat keparahan minor dan

dokumentasi mengenai interaksi obat yaitu sebagian besar unlikely namun terdapat juga beberapa dokumentasi yang possible. Tingkat keparahan minor


(50)

menimbulkan efek yang ringan dan respon klinik yang dialami pasien dapat mengalami perubahan atau tidak.

Menurut Hansten and Horn (2002), kategori signifikansi klinis mempertimbangkan adanya suatu potensi yang dapat membahayakan bagi pasien dan terdapat tingkat dokumentasi dari interaksi obat yang terjadi. Terdapat tiga kategori signifikansi klinis yaitu kategori pertama yaitu, pemberian kombinasi obat harus dihindari karena efek yang ditimbulkan pada pasien akibat interaksi obat lebih banyak menimbulkan risiko dan kerugian dibandingkan manfaat dan keuntungannya. Kategori signifikansi klinis kedua yaitu, pemberian kombinasi obat sebaiknya dihindari, kecuali apabila manfaat dari kombinasi obat lebih besar daripada risiko yang ditimbulkan, namun disarankan untuk menggunakan kombinasi obat lain yang sejenis dan memiliki risiko yang lebih kecil. Diperlukan adanya modifikasi dosis, rute pemberian obat dan waktu pemberian obat apabila ingin dikombinasi untuk mengurangi terjadinya kejadian interaksi obat. Pasien harus dimonitoring selama penggunaan kombinasi obat.

Kategori signifikansi klinis ketiga yaitu kombinasi obat memberikan risiko yang kecil, memiliki manfaat yang lebih banyak daripada risiko yang ditimbulkan serta pasien harus dimonitoring selama penggunaan kombinasi obat. Menurut Hansten and Horn (2002), selain terdapat kategori signifikansi klinis terdapat beberapa penjelasan mengenai interaksi obat yang meliputi ringkasan mengenai penjelasan singkat dari hasil potensi interaksi obat dan signifikansi klinis, faktor risiko dari interaksi obat yang terjadi, penjelasan mengenai obat yang berinteraksi dan manajemen terapi terkait adanya interaksi obat.


(51)

Menurut Chelmow et al., (2014) terdapat empat kategori signifikansi klinis interaksi obat yaitu interaksi obat kontraindikasi, serius, signifikan dan minor atau tidak signifikan. Pada kategori signifikansi klinis interaksi obat yang kontraindikasi obat yang tidak dapat digunakan karena dapat membahayakan keadaan pasien, interaksi obat yang serius yaitu kombinasi obat tidak dapat digunakan atau harus dihindari karena dapat membahayakan keadaan pasien. Dibutuhkan alternatif untuk pemilihan obat lain yang tidak membahayakan kondisi pasien (Chelmow et al., 2014) dan (Kapadia, 2013).

Pada kategori signifikansi klinis interaksi obat yang signifikan harus dilakukan monitoring secara ketat terhadap kombinasi obat yang diberikan kepada pasien, diperlukan adanya penyesuaian dosis antara kedua obat dan modifikasi jalur serta waktu pemberian obat. Pada kategori signifikansi klinis interaksi obat minor atau tidak signifikan kombinasi obat dapat diberikan kepada pasien karena tidak menimbulkan efek yang membahayakan bagi pasien, namun harus tetap dilakukan monitoring pada kondisi pasien (Chelmow et al., 2014) dan (Kapadia, 2013).

7. Peran apoteker dalam interaksi obat

Apoteker bersama dengan dokter memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa pasien mengetahui risiko efek samping obat dan tindakan yang harus mereka lakukan dalam penggunaan obat. Dengan pengetahuan yang rinci mengenai obat, apoteker memiliki kemampuan untuk menghubungkan gejala klinis yang dialami pasien dengan kemungkinan efek yang merugikan dari terapi obat tersebut. Farmasis harus memastikan bahwa interaksi obat dapat


(52)

diminimalkan dengan menghindari obat-obatan yang berpotensi menimbulkan interkasi obat pada pasien, sehingga apoteker berperan penting dalam mencegah, mendeteksi dan melaporkan adanya interaksi obat dalam pengobatan pasien (Syamsudin, 2011).

D. Keterangan Empiris

Penelitian ini diharapkan memberikan informasi mengenai interaksi obat peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember Tahun 2013.


(53)

32 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian dengan judul “ Studi Literatur Interaksi Obat Pada Peresepan Pasien Gagal Ginjal Kronik Di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode Desember Tahun 2013” termasuk jenis penelitian deskriptif dengan data retrospektif. Penelitian ini bersifat deskriptif karena hanya melihat gambaran interaksi obat yang diresepkan dan tidak dianalisis dengan mengadakan wawancara dengan pasien maupun dokter tetapi dibahas berdasarkan pustaka yang ada. Penelitian ini bersifat retrospektif karena pengambilan data berdasarkan rekam medis pasien pada periode waktu lampau yang telah ditentukan (Notoatmodjo, 2010).

B.Variabel dan Definisi Operasional

1. Pasien gagal ginjal kronik adalah pasien di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Desember Tahun 2013 yang telah didiagnosis oleh dokter dan dituliskan di rekam medis pasien mengalami gagal ginjal kronik dengan komplikasi, tanpa komplikasi dan dengan penyakit penyerta.

2. Karakteristik pasien gagal ginjal kronik meliputi umur dan jenis kelamin. Umur dapat dibagi menjadi dua kelompok meliputi adult dan geriatri. Adult memiliki rentang umur 15 sampai dengan 59 tahun dan geriatri memiliki rentang umur lebih besar dari atau sama dengan 60 tahun. Jenis kelamin terdiri dari perempuan dan laki-laki.


(54)

3. Gambaran umum pola peresepan pasien gagal ginjal kronik merupakan gambaran peresepan obat pada pasien gagal ginjal kronik yang menjalani Rawat Jalan di RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Desember 2013 yang meliputi kelas terapi obat (golongan dan jenis) obat, jumlah obat, dan cara pemberian obat.

4. Interaksi obat adalah pemberian terapi berupa 2 atau lebih jenis obat secara bersamaan yang dapat menghasilkan efek menguntungkan ataupun merugikan yang dikaji secara teoritis berdasarkan studi literatur yang mengacu pada Tatro (2007), Baxter (2010), Chelmow et al., (2014) dan Hasten and Horn (2002). Interaksi obat yang dikaji merupakan interaksi antara obat antihipertensi dengan obat antihipertensi, obat antihipertensi dengan obat lain dan obat lain dengan obat lain. Pengkajian interaksi obat tersebut karena penggunaan obat antihipertensi memiliki persentase tertinggi dalam pola peresepan pasien gagal ginjal kronik.

5. Jenis interaksi obat yang diteliti adalah interaksi farmakokinetik dan farmakodinamik yang terjadi pada peresepan pasien gagal ginjal kronik. Interaksi farmakokinetik merupakan interaksi yang terjadi antara dua obat atau lebih yang mempengaruhi proses absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi salah satu obat atau lebih. Interaksi farmakodinamik merupakan interaksi antara dua obat atau lebih yang dapat menimbulkan efek obat yang aditif, sinergisme atau antagonisme.

6. Katagori signifikansi klinis interaksi obat merupakan level atau tingkat signifikansi dari beberapa obat yang saling berinteraksi. Pengkajiannya


(55)

dilakukan secara teoritis berdasarkan literatur dengan mengacu pada Tatro (2007), Chelmow et al., (2014) dan Hansten and Horn (2002).

C.Subyek dan Bahan Penelitian

1. Subyek penelitian meliputi seluruh pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Desember 2013. Kriteria inklusi dari subyek penelitian adalah pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul yang menerima resep pengobatan gagal ginjal kronik dengan komplikasi atau tidak atau dengan penyakit penyerta. Kriteria eksklusi dari subyek penelitian adalah rekam medis pasien yang tidak lengkap.

2. Bahan penelitian yang digunakan berupa lembar rekam medis pasien yang menerima resep pengobatan gagal ginjal kronik dengan komplikasi atau tidak atau dengan penyakit penyerta di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember tahun 2013 yang ditulis oleh dokter dan perawat mengenai data pengobatan pasien.

D. Alat atau Instrumen

Alat atau instrumen penelitian berupa lembar kerja yang bertujuan untuk mempermudah dalam pengambilan data penelitian terhadap peresepan pengobatan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013. Lembar kerja ini memuat tanggal pengobatan, nomor RM, jenis kelamin, diagnosis, terapi obat yang diberikan (jenis obat, regimen dosis, dan cara pemberian obat), dan data klinik atau data laboratorium pasien.


(56)

E. Tata Cara Penelitian

Penelitian mengenai “Studi Literatur Interaksi Obat Pada Peresepan Pasien Gagal Ginjal Kronik Di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode Desember Tahun 2013” meliputi beberapa tahap yaitu:

1. Tahap orientasi

Pada tahap ini, peneliti melakukan survei untuk mencari informasi mengenai rumah sakit yang akan dipilih sebagai lokasi penelitian, untuk mengetahui prevalensi penyakit yang terjadi di rumah saikt tersebut, untuk mengetahui adanya kebutuhan mengenai evaluasi peresepan pasien pada penyakit tertentu serta tata cara dalam pengambilan data penelitian di rumah sakit tersebut. 2. Tahap penentuan subyek penelitian

Pada tahap ini peneliti mencari informasi mengenai jumlah pasien terkait dengan cara pengambilan data subyek penelitian. Pada penelitian ini jumlah populasi pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember tahun 2013 adalah sebanyak 65 pasien yang digunakan sebagai subyek penelitian.

3. Tahap pengambilan data

Tahap pengambilan data, diawali dengan mencatat nomor registrasi subyek penelitian dibagian catatan medik. Selanjutnya nomor registrasi pasien digunakan untuk mencari nomor rekam medis subyek penelitian. Nomor rekam medis digunakan untuk menemukan rekam medis subyek penelitian yang digunakan sebagai bahan penelitian. Data yang diambil meliputi tanggal


(57)

pengobatan, nomor rekam medis, umur, jenis kelamin, diagnosa medis, terapi obat yang diberikan meliputi jenis obat, regimen dosis, dan rute pemberian, serta data klinik atau data laboratorium pasien.

F. Tata Cara Analisis dan Penyajian Hasil Penelitian 1. Tata cara analisis data

Berdasarkan hasil pengumpulan data rekam medis pasien, data yang diperoleh diolah dengan metode statistika deskriptif dengan menghitung presentasenya, meliputi :

a. Karakteristik pasien gagal ginjal kronik. Persentase karakteristik pasien gagal ginjal kronik yang meliputi umur dan jenis kelamin dihitung dengan cara jumlah umur dan jenis kelamin dibagi dengan jumlah keseluruhan pasien dikalikan 100%.

b. Gambaran umum pola peresepan pasien gagal ginjal kronik. Gambaran umum pola peresepan pasien gagal ginjal kronik dihitung dengan cara kelas terapi obat (golongan dan jenis) obat, jumlah obat, dan cara pemberian obat dibagi dengan keseluruhan jumlah obat dikalikan 100%. c. Persentase interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik.

Interaksi obat pada pasien gagal ginjal kronik di Intalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013, dilakukan pengkajian secara teoritis berdasarkan studi literatur yang mengacu pada Tatro (2007), Baxter (2010), Chelmow et al., (2014) dan Hastern and Horn (2002), selanjutnya dihitung persentase interaksi obat


(58)

dengan cara jumlah interaksi obat dibagi dengan keseluruhan jumlah resep dikalikan 100%.

d. Kategori signifikansi klinis interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik. Kategori signifikansi klinis interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember tahun 2013, dikaji secara teoritis berdasarkan studi literatur yang mengacu pada Tatro (2007), Chelmow et al., (2014) dan Hastern and Horn (2002)., selanjutnya dihitung dengan cara kategori signifikansi klinis interaksi obat dibagi dengan jumlah keseluruhan kategori signifikansi klinis interaksi obat dikalikan 100%.

2. Penyajian hasil data penelitian

Data yang diperoleh dari rekam medis pasien akan disajikan dalam bentuk tabel dan gambar. Hasil analisis data mencakup karakteristik pasien gagal ginjal kronik, gambaran umum pola peresepan pasien gagal ginjal kronik, persentase interaksi obat dan kategori signifikansi klinis interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember tahun 2013.

G.Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah tidak dapat mengkonfirmasi data terkait aturan pakai, cara pemberian obat dan dosis obat yang dapat mempengaruhi terjadinya interaksi obat.


(59)

38 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian tentang studi literatur interaksi obat dengan obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Desember 2013 dibagi dalam 3 bagian. Bagian pertama mengenai karakteristik pasien gagal ginjal kronik. Bagian kedua berisi tentang gambaran pola peresepan pasien gagal ginjal kronik. Bagian ketiga berisi tentang studi literatur interaksi obat pada pasien gagal ginjal kronik. Jumlah lembar resep pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan pada periode Desember tahun 2013 sebanyak 65 lembar resep yang terdiri dari 65 pasien.

A.Karakteristik Pasien Gagal Ginjal Kronik

Karakteristik pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Desember 2013 pada penelitian ini meliputi umur dan jenis kelamin.

1. Umur pasien gagal ginjal kronik

Umur pasien secara tidak langsung dapat mempengaruhi besarnya kasus gagal ginjal kronik. Berdasarkan data yang diperoleh pengelompokkan umur pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 dibagi menjadi dua kelompok umur yaitu adult dan geriatri. Adult memiliki rentang umur 15 tahun hingga 59 tahun dan geriatri memiliki rentang umur lebih besar dari atau sama dengan 60 tahun (Ahmad, 2001) dan (Madhu and Sreedevi, 2013). Persentase umur pada pasien gagal ginjal kronik dapat dilihat pada Gambar 1.


(60)

Gambar 1. Diagram persentase umur pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati

Bantul Yogyakarta periode Desember 2013

Berdasarkan data yang diperoleh dari 65 pasien, persentase pasien gagal ginjal kronik yang paling banyak terdapat pada kelompok umur adult atau dewasa sebesar 58,5% (38 pasien), kemudian diikuti dengan kelompok geriatri sebesar 41,5% (27 pasien). Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Peradnyani (2006) yang juga meneliti pasien gagal ginjal kronik pada semua kelompok umur (pediatri, adult dan geriatri). Hasil yang paling banyak terdapat pada kelompok umur adult (dewasa) sebanyak 69, 9%.

Pada kondisi saat ini dengan gaya hidup yang kurang sehat, dimana terdapat banyaknya bahan makanan dan minuman yang mengandung bahan kimia yang sering dikonsumsi oleh kalangan muda maupun dewasa, diduga sebagai pemicu terjadinya penyakit ginjal kronik. Merokok, minuman beralkohol, penggunaan obat-obatan, serta makanan siap saji (fast food) yang sering dikonsumsi juga dapat berakibat munculnya penyakit ginjal kronik yang dapat

0,00% 10,00% 20,00% 30,00% 40,00% 50,00% 60,00% 70,00%


(61)

menyerang berbagai kalangan usia. Kurangnya kesadaran tentang pentingnya hidup sehat sangat berpengaruh pada kesehatan. Hal yang sederhana seperti kurangnya meminum air putih juga dapat menyebabkan timbulnya penyakit ginjal kronik (Mahdiana, 2011).

2. Jenis kelamin pasien gagal ginjal kronik

Pengelompokkan pasien gagal ginjal kronik berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Diagram persentase jenis kelamin pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul

Yogyakarta periode Desember 2013

Dilihat dari Gambar 2 di atas persentase pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 lebih banyak berjenis kelamin laki-laki yaitu sebesar 62% (40 orang) dibandingkan dengan perempuan yaitu 38% (25 orang). Berdasarkan hasil penelitian terdahulu oleh Peradnyani (2006), diperoleh hasil bahwa proporsi jenis kelamin laki-laki lebih banyak menderita gagal ginjal kronik dibandingkan

38%

62%

Perempuan Laki-laki


(62)

dengan perempuan. Hal ini juga sesuai dengan sebuah penelitian meta analisis yang menyebutkan bahwa laki-laki lebih cepat progresif mengalami kerusakan ginjal (non diabetik) dari pada perempuan. Pasien laki-laki yang mengalami gagal ginjal kronik kemugkinan disebabkan karena kebiasaan yang kurang baik pada laki-laki seperti merokok, minum minuman yang beralkohol, dan jarang berolahraga yang dapat memicu timbulnya suatu penyakit. Keadaan tersebut kurang diperhatikan, sehingga lambat laun dapat menyebabkan penyakit ginjal (Diantary, 2007).

B.Gambaran Pola Peresepan Pasien Gagal Ginjal Kronik Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode Desember

Tahun 2013

Gambaran pola peresepan pada pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember Tahun 2013 yang disajikan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu pertama gambaran umum pola peresepan meliputi jumlah obat tiap lembar rekam medik pasien dan cara pemberian obat. Kedua adalah gambaran pola peresepan berdasarkan kelas terapi obat.

1. Gambaran umum pola peresepan

Gambaran umum pola peresepan meliputi jumlah obat tiap lembar rekam medik pasien dan cara pemberian obat.

a. Jumlah obat yang digunakan pada pola peresepan pasien gagal ginjal kronik. Pada pengobatan pasien gagal ginjal kronik, pasien mendapatkan lebih dari satu jenis obat. Pemberian obat tersebut memungkinkan terjadinya interaksi


(63)

antara obat dengan obat. Jumlah obat yang digunakan pada tiap lembar rekam medik pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 disajikan dalam Tabel II di bawah ini.

Tabel II. Distribusi jumlah obat tiap lembar resep pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013

No Jumlah obat Jumlah lembar

resep (N= 65)

Persentase (%)

1 1-2 1 1,5

2 3-4 27 41,5

3 5-6 27 41,5

4 7-8 7 10,8

5 9-10 3 4,7

Total lembar resep 65 100

Pada Tabel II di atas, menunjukkan bahwa pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 menggunakan obat berjumlah tiga sampai empat jenis dan lima sampai enam jenis memiliki persentase terbesar yaitu 41,5%. Banyaknya gejala-gejala penyakit yang menyertai penyakit gagal ginjal kronik mengakibatkan pasien menerima obat-obatan yang bervariasi sehingga jumlah obat yang digunakan lebih dari satu jenis obat (Dipiro et al., 2008).

b. Cara pemberian obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik. Cara pemberian obat secara umum pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di


(64)

Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 dapat dilihat pada Tabel III dibawah ini.

Tabel III. Distribusi cara pemberian obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul

Yogyakarta periode Desember 2013

No Cara Pemberian Obat Jumlah Obat

(N = 326)

Persentase (%)

1 Per oral 307 94,2

2 Sub Kutan 18 5,5

3 Topikal 1 0,3

Total obat 326 100

Berdasarkan Tabel III, cara pemberian obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik dapat dibedakan menjadi 3 bagian yaitu secara per oral, sub kutan dan topikal dengan persentase tertinggi adalah pemberian secara per oral sebesar 94,2 %. Dalam peresepan ini, persentase pemberian secara per oral memiliki persentase tertinggi karena penggunaan obat pada peresepan ini kebanyakan merupakan obat antihipertensi dan obat lain dengan rute pemberian secara per oral. Terdapat juga cara pemberian secara sub kutan maupun topikal karena dalam peresepan ini pasien juga menerima insulin, eritropoietin, dan betametason untuk mengobati penyakit penyerta. Beragamnya cara pemberian obat pada gagal ginjal kronik dikarenakan banyaknya penyakit penyerta (Sudoyo, 2006).

2. Gambaran pola peresepan berdasarkan kelas terapi obat

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, sebagian besar pasien gagal ginjal kronik memperoleh pengobatan lebih dari 1 macam obat (polifarmasi). Polifarmasi merupakan pemakaian banyak obat sekaligus pada seorang pasien,


(1)

Lampiran 1. Surat Keterangan Izin Penelitian di Instalasi Rawat Jalan

RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta


(2)

Lampiran 2. Surat Keterangan Izin Penelitian di Instalasi Rawat Jalan

RSUD Panembahan Senopati Bantul dari BAPPEDA Bantul


(3)

(4)

Lampiran 4. Formulir Pengambilan Data Penelitian Peresepan Obat Pada Pasien Gagal Ginjal Kronik Di Instalasi Rawat Jalan

RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta Periode Desember 2013

No

Tanggal

Pengobatan

No RM

Pasien

Diagnosa Medik

Terapi Obat yang diberikan

Data Laboratorium dan data

klinis

Umur

L/P

Obat

Rute

pemberian

Jenis Obat

Regimen

dosis


(5)

No Nama Generik Nama Dagang

1 Clopidogrel Clopidogrel

2 Irbesartan Irbesartan, Irtan

3 Candesartan Candesartan

4 Valsartan Valsartan

5 Telmisartan Micardis

6 Amlodipin Amlodipin, Amdixal, Intervask

7 Nifedipin Nifedipin

8 Diltiazem Diltiazem

9 Captopril Captopril

10 Klonidin Klonidin

11 Bisoprolol Bisoprolol

12 HCT HCT

13 Furosemid Furosemid

14 ISDN ISDN

15 Digoksin Digoksin

16 Simvastatin Simvastatin

17 Gemfibrosil Gemfibrosil

18 Asam Folat Anemolat

19 Sulfasferrosus Hemafort

20 Eritropoetin Beta Recormon

21 Kalsium Karbonat Osteocal

22 Kalsium Asetat Lenal Ace

23 Vitamin B12 Sohobion

24 Calcium Polystyrene Sulfonat Kalitake

25 Kalium Klorida KSR

26 Mix Insulin Analog Novomix

27 Glikuidon Glidiab

28 Glimepirid Glimepirid

29 Akarbose Eclid

30 Alopurinol Alopurinol

31 Metoklopramid Metoklopramid

32 Ranitidin Ranitidin

33 Lansoprazol Lansoprazol

34 Sukralfat Mucogard

35 Betahistin Mesilat Vastigo, Versilon

36 Amitriptilin Amitriptylin

37 Parasetamol Parasetamol

38 Cefixim Cefixim

39 Ciprofloxacin Ciprofloxacin

40 Levofloxacin Levofloxacin

41 Ketoconazole Ketoconazole

42 Ambroxol Ambroxol

43 OBH OBH

44 Cetirizin Cetirizin


(6)

127

BIOGRAFI PENULIS

Chelsyana Herdyani Nagi merupakan anak pertama

dari pasangan Bapak Kristoforus Nagi dan Ibu Yarit

Lette yang lahir pada tanggal 26 Juli tahun 1993.

Pendidikan dimulai dari Taman Kanak-Kanak St.

Maria Dili pada tahun 1997-1998, kemudian

pendidikan Sekolah Dasar Katolik St. Maria

Asumpta Kupang pada tahun 1999-2005. Penulis

melanjutkan pendidikan SMP di SMPK Kartini

Mataloko

pada

tahun

2005-2008,

kemudian

pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMAK

Frateran Ndao Ende pada tahun 2008-2011.

Pada tahun 2011, penulis melanjutkan pendidikan di

Fakultas Farmasi Sanata Dharma Yogyakarta.

Selama menjadi mahasiswa penulis mendapat

kesempatan untuk menjalankan Program Pengabdian

kepada Masyarakat yang didanai DIKTI, serta aktif

dalam kegiatan seperti menjadi Panitia Desa Mitra,

Pharmacy Days

, Sumpahan Apoteker, Kampanye


Dokumen yang terkait

HUBUNGAN PENAMPILAN PERAN DENGAN STRES PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK DI UNIT HEMODIALISA RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL

0 2 85

Evaluasi penggunaan obat antihipertensi pada pasien geriatri di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul.

0 1 50

Evaluasi peresepan antibiotika pada pasien diare dengan metode gyssens di instalasi rawat inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode April 2015.

0 4 213

Evaluasi interaksi penggunaan obat hipoglikemi pada pasien rawat inap di Bangsal Cempaka RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Agustus 2015.

0 1 92

Evaluasi interaksi penggunaan obat antihipertensi pada pasien rawat inap di Bangsal Cempaka RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Agustus 2015.

0 4 109

Evaluasi pelayanan informasi obat pada pasien di instalasi farmasi RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta.

8 69 110

Studi pustaka interaksi obat pada peresepan pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013.

1 7 142

Studi pustaka interaksi obat pada peresepan pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013 - USD Repository

0 0 140

Studi literatur interaksi obat pada peresepan pasien diabetes melitus tipe 2 di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 - USD Repository

0 1 205

Studi literatur interaksi obat pada peresepan pasien hipertensi di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember tahun 2013 - USD Repository

0 0 144