Studi pustaka interaksi obat pada peresepan pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013.

(1)

SENOPATI BANTUL PERIODE OKTOBER-DESEMBER 2013 Christiana Putri Mahardika

118114063 INTISARI

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman

Mycobacterium Tuberculosis. Pengobatan pasien TB terdiri dari Obat Anti Tuberkulosis

(OAT) dan obat lain yang penggunaannya dilakukan pada waktu bersamaan, sehingga terdapat kemungkinan terjadinya interaksi obat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien, gambaran pola peresepan pasien, jumlah dan kategori signifikansi klinis interaksi obat pada peresepan pasien TB di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013. Penelitian ini termasuk jenis penelitian observasional deskriptif evaluatif dengan rancangan penelitian studi potong lintang yang bersifat retrospektif. Pengambilan data berdasarkan rekam medik pasien dan dikaji secara teoritis berdasarkan studi pustaka.

Terdapat 83 kasus pasien TB, dengan kasus terbanyak pada kelompok umur anak 0-14 tahun (79,5%), pasien perempuan (53%) dan pasien tuberkulosis kategori 1 (97,6%). Pada keseluruhan peresepan pasien menggunakan OAT golongan I lini pertama dengan jenis obat yang paling sering digunakan adalah isoniazid (31,1%), rifampicin (31,1%), dan pyrazinamid (31,1%). Kombinasi obat yang paling banyak digunakan adalah isoniazid, rifampicin, dan pyrazinamid (78,3%) dan rute pemberian obat yang paling banyak diberikan adalah secara per oral (99,7%). Pada penelitian ini, keseluruhan peresepan pasien mengalami interaksi obat dengan jenis interaksi terbanyak adalah interaksi farmakokinetik (66,%). Kategori signifikansi klinis interaksi obat pada peresepan pasien yang paling banyak adalah signifikan (6 kasus). Kata kunci : tuberkulosis, interaksi obat, kategori signifikansi klinis interaksi obat


(2)

Tuberculosis (TB) is an infectious disease caused by Mycobacterium tuberculosis. Therapy of TB patients consists of Anti-Tuberculosis Drugs (OAT) and other drug use is done at the same time, so there is the possibility of drug interactions. This research is aimed to investigate the characteristics of the patient, the overview patterns of tuberculosis patient prescription, to identify potential drug interactions and evaluate the clinical significance level of the drugs interaction of Tuberculosis Prescription in Outpatient Unit of Panembahan Senopati Hospital Bantul on October to December 2013. This research is a descriptive observational with cross-sectional retrospective study design.

There are 83 cases of TB patients, with most cases in the age group 0-14 years (79,5%), female patients (53%) and tuberculosis patient with category 1 (97.6%). In the overall patient prescription use OAT group I first line with the type most commonly used drugs are isoniazid (31.1%), rifampicin (31.1%), and pyrazinamid (31.1%). The most used of drugs combination are isoniazid, rifampicin, and pyrazinamid (78.3%) and the most route of administration drugs is per oral (99.7%). In this research, the overall prescribing patients have drug interactions with most types of interaction is pharmacokinetic interaction (66,7%). The most category clinical significance of drug interactions in patient prescriptions is significant (6 cases). Keyword : tuberculosis, drug interaction, clinical significance of drug interactions


(3)

i

STUDI PUSTAKA INTERAKSI OBAT PADA PERESEPAN PASIEN TUBERKULOSIS DI INSTALASI RAWAT JALAN RSUD PANEMBAHAN

SENOPATI BANTUL PERIODE OKTOBER-DESEMBER 2013

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Farmasi

Oleh :

Christiana Putri Mahardika NIM : 118114063

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

(5)

Pengesahan Skripsi Beriudul

STUDI PUSTAKA INTERAKSI OBAT PADA PERESEPAN PASIEN

TUBERKULOSIS DI INSTALASI RAWAT JALAI\ RSUD PAh{EMBAHAN

SENOPATI BAIYTUL PERIODE OIffOBER-DESEMBER 2013

Oleh:

Christiana Putri Mahardika

NIM:

118114063

Dipertahankan di hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi

Universitas Sanata Dharma pada tanggal

:

1l

inuari

rotl

.Si., Apt., Ph.D.

Tanda T

2. a J.

4.


(6)

(7)

v 23 Januari 2015


(8)

vi

“Itulah sebabnya kita berjerih payah dan berjuang, karena kita menaruh pengharapan kita kepada Allah yang hidup, Juruslamat semua manusia, terutama mereka yang percaya”

1 Timotius 4:10

Kupersembahkan untuk: Yesus Kristus yang selalu ku andalkan Papi dan mami beserta keluarga yang selalu ada disaat senang maupun susah


(9)

vii

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang

berjudul “Studi Pustaka Interaksi Obat Pada Peresepan Pasien Tuberkulosis Di

Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Periode Oktober-Desember 2013” sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana farmasi di Fakultas Farmasi Sanata Dharma Yogyakarta. Proses penyusunan skripsi ini banyak mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, sehingga penyusun ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Aris Widayati, M.Si., Apt sebagai Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma yang telah membimbing dan memberi arahan selama penulis menjadi mahasiswa di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma

2. Direktur RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta, dr I Wayan Sudana yang telah memberikan izin penelitian kepada penulis

3. Ibu Aris Widayati, M.Si., Apt sebagai dosen pembimbing utama yang telah membimbing selama proses penyusunan skripsi

4. Ibu Witri Susila Astuti, S.Si., Apt sebagai dosen pembimbing pendamping yang telah membimbing selama proses penyusunan skripsi

5. Ibu Maria Wisnu Donowati M.Si., Apt dan Ibu Dita Maria Virginia M.Sc., Apt selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan, kritik, dan saran untuk kesempurnaan skripsi ini


(10)

(11)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

PRAKATA ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

INTISARI ... xv

ABSTRACT ... xvi

BAB I PENGANTAR ... 1

A. Latar Belakang ... 1

1. Perumusan masalahan ... 4

2. Keaslian Penelitian ... 5

3. Manfaat Penelitian ... 6

B. Tujuan Penelitian ... 6

1. Tujuan Umum ... 6

2. Tujuan Khusus ... 7

BAB II PENELAAH PUSTAKA ... 8

A. Tuberkulosis ... 8

1. Mycobacterium Tuberculosis ... 8

2. Etiologi ... 8

3. Patogenesis ... 10


(12)

x

5. Kategori pasien tuberkulosis ... 11

6. Diagnosis pasien tuberkulosis ... 12

B. Pengobatan Tuberkulosis ... 16

1. Prinsip pengobatan ... 16

2. Strategi pengobatan ... 17

C. Interaksi Obat ... 23

1. Jenis interaksi obat ... 24

2. Kategori signifikansi klinis interaksi obat ... 30

D. Keterangan Empiris ... 34

BAB III METODOLOGI PENELITIAN... 35

A. Jenis Dan Rancangan Penelitian ... 35

B. Variabel Dan Definisi Operasional ... 35

C. Subyek Dan Bahan Penelitian ... 37

D. Alat Atau Instrumen Penelitian ... 37

E. Tata Cara Penelitian ... 38

F. Tata Cara Analisis ... 39

G. Penyajian Hasil ... 41

H. Keterbatasan Penelitian ... 42

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 43

A. Karakteristik Pasien Tuberkulosis ... 43

1. Umur pasien tuberkulosis ... 43

2. Jenis kelamin pasien tuberkulosis ... 46

3. Kategori pasien tuberkulosis ... 47

B. Gambaran Pola Peresepan Pada Pasien Tuberkulosis ... 49

1. Gambaran pola peresepan secara umum ... 49

2. Gambaran pola peresepan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) pada pasien tuberkulosis ... 54

C. Studi Pustaka Interaksi Obat Pada Peresepan Pasien Tuberkulosis ... 61


(13)

xi

2. Proporsi interaksi obat antar Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan antara Obat

Anti Tuberkulosis (OAT) dengan obat lain pada peresepan pasien ... 63

3. Proporsi jenis interaksi obat pada peresepan pasien ... 65

4. Distribusi kategori signifikansi klinis interaksi obat pada peresepan pasien ... 67

5. Mekanisme dan efek interaksi obat antar Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan Dengan obat lain ... 71

D. Ringkasan Pembahasan ... 89

1. Karakteristik pasien tuberkulosis ... 89

2. Gambaran pola peresepan pada pasien tuberkulosis ... 90

3. Studi pustaka interaksi obat pada peresepan pasien tuberkulosis ... 91

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 93

A. Kesimpulan ... 93

B. Saran ... 93

DAFTAR PUSTAKA ... 95

LAMPIRAN ... 99


(14)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel I. Sistem skoring gejala dan pemeriksaan penunjang tuberkulosis ... 14

Tabel II. Golongan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) ... 19

Table III. Dosis OAT FDC pasien tuberkulosis kategori 1 ... 20

Tabel IV. Dosis OAT FDC pasien tuberkulosis kategori 2 ... 21

Tabel V. Dosis OAT pada anak ... 22

Tabel VI. Dosis OAT FDC sisipan ... 23

Tabel VII. Distribusi jumlah obat tiap peresepan pasien ... 51

Tabel VIII.Distribusi cara pemberian OAT dan obat lain pada peresepan pasien ... 53

Tabel IX. Distribusi jumlah OAT pada tiap peresepan pasien ... 56

Tabel X. Distribusi jenis OAT pada tiap peresepan ... 57

Tabel XI. Distribusi kombinasi OAT pada tiap peresepan ... 59

Tabel XII.Distribusi cara pemberian OAT pada tiap peresepan ... 60

Tabel XIII.Distribusi kategori signifikansi klinis interaksi obat pada peresepan ... 68

Tabel XIV. Mekanisme dan efek interaksi obat antar OAT ... 72

Tabel XV. Mekanisme dan efek interaksi obat antara OAT dengan obat lain ... 74


(15)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Alur diagnosis tuberkulosis pada dewasa... 13

Gambar 2. Alur tatalaksana pasien tuberkulosis anak ... 22

Gambar 3. Diagram distribusi umur pasien tuberkulosis ... 44

Gambar 4. Diagram distribusi kelompok umur anak pasien tuberkulosis ... 45

Gambar 5. Diagram distribusi jenis kelamin pasien ... 47

Gambar 6. Diagram distribusi ketegori pasien ... 48

Gambar 7. Diagram proporsi OAT dan obat lain ... 50

Gambar 8. Diagram persentase interaksi obat pada peresepan pasien ... 62

Gambar 9. Diagaram proporsi interaksi antar OAT dan antara OAT dengan obat lain pada peresepan pasien ... 64

Gambar 10.Diagram proporsi jenis interaksi obat pada peresepan pasien ... 65

Gambar 11.Diagram proporsi interaksi farmakokinetik ... 66


(16)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Alat atau instrumen pengambilan data penelitian peresepan obat pada pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013 ... 99 Lampiran 2: Data peresepan obat pada pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan

RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013 ... 100 Lampiran 3: Surat izin penelitian di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan


(17)

xv INTISARI

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis. Pengobatan pasien TB terdiri dari Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan obat lain yang penggunaannya dilakukan pada waktu bersamaan, sehingga terdapat kemungkinan terjadinya interaksi obat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik pasien, gambaran pola peresepan pasien, jumlah dan kategori signifikansi klinis interaksi obat pada peresepan pasien TB di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013. Penelitian ini termasuk jenis penelitian observasional deskriptif evaluatif dengan rancangan penelitian studi potong lintang yang bersifat retrospektif. Pengambilan data berdasarkan rekam medik pasien dan dikaji secara teoritis berdasarkan studi pustaka.

Terdapat 83 kasus pasien TB, dengan kasus terbanyak pada kelompok umur anak 0-14 tahun (79,5%), pasien perempuan (53%) dan pasien tuberkulosis kategori 1 (97,6%). Pada keseluruhan peresepan pasien menggunakan OAT golongan I lini pertama dengan jenis obat yang paling sering digunakan adalah isoniazid (31,1%), rifampicin (31,1%), dan pyrazinamid (31,1%). Kombinasi obat yang paling banyak digunakan adalah isoniazid, rifampicin, dan pyrazinamid (78,3%) dan rute pemberian obat yang paling banyak diberikan adalah secara per oral (99,7%). Pada penelitian ini, keseluruhan peresepan pasien mengalami interaksi obat dengan jenis interaksi terbanyak adalah interaksi farmakokinetik (66,%). Kategori signifikansi klinis interaksi obat pada peresepan pasien yang paling banyak adalah signifikan (6 kasus). Kata kunci : tuberkulosis, interaksi obat, kategori signifikansi klinis interaksi obat


(18)

xvi

ABSTRACT

Tuberculosis (TB) is an infectious disease caused by Mycobacterium tuberculosis. Therapy of TB patients consists of Anti-Tuberculosis Drugs (OAT) and other drug use is done at the same time, so there is the possibility of drug interactions. This research is aimed to investigate the characteristics of the patient, the overview patterns of tuberculosis patient prescription, to identify potential drug interactions and evaluate the clinical significance level of the drugs interaction of Tuberculosis Prescription in Outpatient Unit of Panembahan Senopati Hospital Bantul on October to December 2013. This research is a descriptive observational with cross-sectional retrospective study design.

There are 83 cases of TB patients, with most cases in the age group 0-14 years (79,5%), female patients (53%) and tuberculosis patient with category 1 (97.6%). In the overall patient prescription use OAT group I first line with the type most commonly used drugs are isoniazid (31.1%), rifampicin (31.1%), and pyrazinamid (31.1%). The most used of drugs combination are isoniazid, rifampicin, and pyrazinamid (78.3%) and the most route of administration drugs is per oral (99.7%). In this research, the overall prescribing patients have drug interactions with most types of interaction is pharmacokinetic interaction (66,7%). The most category clinical significance of drug interactions in patient prescriptions is significant (6 cases).


(19)

1 BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis. Sebagian besar kuman Mycobacterium Tuberculosis menyerang paru, namun juga dapat mengenai organ tubuh lainnya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007).

Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia pernah terinfeksi oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis. Pada tahun 1995, pernah terdapat 9 juta pasien tuberkulosis baru dan 3 juta kematian akibat tuberkulosis yang terjadi di dunia. Demikian juga pada kasus kematian wanita akibat tuberkolosis, diperkirakan jumlahnya melebihi kematian karena kehamilan, persalinan ataupun nifas (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007).

Di Indonesia, tuberkulosis merupakan salah satu masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien tuberkulosis di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan Cina dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien tuberkulosis didunia (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007). Pada tahun 2006, kasus baru tuberkulosis di Indonesia berjumlah >600.000 dan sebagian besar diderita oleh masyarakat yang berada dalam usia produktif (15–55 tahun). Angka kematian karena tuberkulosis berjumlah sekitar 300 orang per hari dan terjadi >100.000 kematian per tahun (Saptawati dkk, 2012). Kasus tuberkulosis juga banyak tercatat di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan


(20)

Senopati Bantul. Dari data yang diambil pada tahun 2011 oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul, di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul, kasus tuberkulosis mencapai angka 2.098 kasus dan masuk dalam distribusi 10 besar penyakit di instalasi rawat jalan (Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul, 2012).

Kuman Mycobacterium Tuberculosis dapat menyebabkan penyakit didasarkan pada kemampuannya untuk memperbanyak diri di dalam sel-sel fagosit. Sumber penularan Mycobacterium Tuberculosis yaitu melalui batuk atau bersin dari seseorang dengan BTA (Basil Tahan Asam) positif. Kuman Mycobacterium Tuberculosis akan tersebar di udara dalam bentuk droplet dan terhirup ke dalam saluran pernafasan. Melalui saluran pernafasan kuman Mycobacterium Tuberculosis dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2005).

Risiko terinfeksi tuberkulosis berasal dari faktor ekternal dan internal. Faktor eksternal berasal dari faktor lingkungan yang tidak sehat serta pemukiman padat dan kumuh. Sedangkan faktor internal berasal dari tubuh penderita itu sendiri yang bisa disebabkan oleh terganggunya sistem kekebalan dalam tubuh, kurang gizi, infeksi HIV/AIDS, pengobatan dengan immunosupresan dan lain sebagainya (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2005).

Interaksi obat adalah efek obat yang dihasilkan dari pemberian dua obat atau lebih yang diberikan pada waktu bersamaan sehingga keefektifan atau toksisitas suatu obat dapat berubah (Kumar dkk, 2011). Obat tuberkulosis terdiri dari beberapa jenis antibiotika dan obat lain yang penggunaannya dilakukan pada


(21)

waktu bersamaan. Banyaknya jenis obat yang digunakan pada waktu bersamaan, sangat potensial menyebabkan terjadinya interaksi obat. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hasanmihardja dkk. (2007) pada pasien tuberkulosis paru anak yang mendapat terapi kombinasi obat tuberkulosis paru rifampicin dan isoniazid, terjadi interaksi obat yang signifikan secara klinis sebesar 157 pasien atau 87,71% dari keseluruhan pasien anak yang terdiagnosa tuberkulosis paru di Instalasi Rawat Jalan RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto pada tahun 2003 (Hasanmihardja dkk, 2007).

Farmasis sebagai salah satu komponen tenaga kesehatan memiliki kewajiban berperan aktif dalam pemberantasan dan penanggulangan tuberkulosis. Fokus farmasis pada penderita tuberkulosis adalah terapi yang digunakan selama pengobatan tuberkulosis seperti penggunaan obat yang baik dan benar, kemungkinan terjadinya interaksi atau kemungkinan efek samping yang timbul pada obat tuberkulosis yang digunakan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2005). Interaksi obat perlu diperhatikan karena dapat mempengaruhi respon tubuh terhadap pengobatan yang dapat menimbulkan risiko terhadap kesehatan pasien dan meyebabkan beban ekonomi pada perawatan kesehatan pasien (Soherwardi, 2012).

Berdasarkan survei pada bulan November 2013 yang dilakukan peneliti, di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul belum pernah dilakukan penelitian serta dibutuhkannya kajian mengenai interaksi obat pada peresepan pasien tuberkulosis oleh apoteker di rumah sakit. Sehingga, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit


(22)

tersebut sebagai upaya pencegahan terjadinya interaksi obat pada pengobatan pasien tuberkulosis.

Berdasarkan hal-hal tersebut maka penelitian “Studi Pustaka Interaksi Obat Pada Peresepan Pasien Tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013” perlu dilakukan. 1. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas maka dapat dirumuskan permasalahan seperti di bawah ini.

a. Seperti apa karakteristik pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013 yang meliputi umur, jenis kelamin dan kategori pasien tuberkulosis? b. Seperti apa gambaran umum pola peresepan pasien tuberkulosis di

Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013 meliputi jumlah, golongan, jenis, dan cara pemberian obat?

c. Seperti apa interaksi obat yang terjadi, yang terdiri dari interaksi farmakokinetik dan farmakodinamik pada peresepan pasien tuberkulosis yang meliputi persentase jumlah interaksi, proporsi interaksi obat antar Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan antara OAT dengan obat lain dan persentase jenis interaksi obat yang dikaji berdasarkan studi pustaka? d. Seperti apa kategori signifikansi klinis interaksi obat yang terjadi pada


(23)

Senopati Bantul Periode Oktober-Desember 2013 berdasarkan studi pustaka?

2. Keaslian Penelitian

Terdapat beberapa penelitian mengenai tuberkulosis yang pernah dilakukan sebelumnya sejauh penelusuran penulis. Penelitian Lusiana (2007)

dengan penelitian “Penatalaksanaan Penyakit Tuberkulosis Paru Di Puskesmas Temanggung Periode Januari-Desember 2005”. Pada penelitian tersebut penderita tuberkulosis terbanyak adalah usia anak dari 0-14 tahun dan jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki. Penelitian Utomowati (2007) dengan penelitian

“Kerasionalan Pengobatan Pada Tuberkulosis Paru Pada Pasien Dewasa Di

Instalasi Rawat Jalan RS Bethesda Yogyakarta 2005”. Pada penelitian tersebut

gambaran penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) menggunakan OAT-kombipak dan OAT-FDC. Penelitian Hasanmihardja (2007) dengan penelitian

“Interaksi Obat Anti Tuberkulosis Pada Pasien Anak Rawat Jalan Di RSUD Prof.

Margono Soekarno Tahun 2003. Pada penelitian ini terdapat interaksi obat yang signifikan secara klinis antara rifampicin dan isoniazid sebesar 157 pasien atau 87,71% dari keseluruhan pasien anak yang terdiagnosa tuberkulosis paru di Instalasi Rawat Jalan RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto pada tahun 2003. Perbedaan penelitian ini dengan beberapa penelitian yang disebutkan di atas adalah terletak pada subyek penelitian, tempat penelitian, jenis interaksi dan signifikansi klinis interaksi obat. Subyek penelitian pada penelitian ini yaitu semua pasien pada semua umur di instalasi rawat jalan. Tempat penelitian di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul. Periode pengambilan


(24)

data penelitian pada bulan Oktober-Desember tahun 2013. Penelitian ini juga terfokus pada jenis interaksi obat farmakokinetik dan farmakodinamik serta kategori signifikansi klinis interaksi obat yang dikaji berdasarkan studi pustaka. Persamaan dengan penelitian terdahulu adalah terletak pada fokus kajian penyakit tuberkulosis. Berdasarkan data-data tersebut penelitian mengenai “Studi Pustaka Interaksi Obat Pada Peresepan Pasien Tuberkulosis Di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Periode Oktober-Desember 2013” belum pernah dilakukan.

3. Manfaat Penelitian

a. Secara teoritis. Penelitian ini diharapkan memberikan informasi tentang interaksi obat pada peresepan pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul yang dikaji berdasarkan studi pustaka.

b. Secara praktis. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengembangkan pelayanan farmasi klinik di RSUD Panembahan Senopati dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian, khususnya yang berkaitan dengan aspek interaksi obat pada peresepan pasien tuberkulosis.

B. Tujuan Penelitian 1. Umum

Mengetahui interaksi obat yang terjadi pada peresepan pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013 yang dikaji berdasarkan pustaka.


(25)

2. Khusus

a. Mengetahui karakteristik pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013 yang meliputi umur, jenis kelamin dan kategori pasien tuberkulosis.

b. Mengetahui gambaran umum pola peresepan pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013 yang meliputi meliputi jumlah, golongan, jenis, dan cara pemberian obat.

c. Mengetahui interaksi obat yang terjadi, yang terdiri dari interaksi farmakokinetik dan farmakodinamik pada peresepan pasien tuberkulosis yang meliputi persentase jumlah interaksi, proporsi interaksi obat antar Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan antara OAT dengan obat lain dan persentase jenis interaksi obat yang dikaji berdasarkan studi pustaka. d. Mengetahui kategori signifikansi klinis interaksi obat yang terjadi pada

peresepan pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Periode Oktober-Desember 2013 berdasarkan studi pustaka.


(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA A. Tuberkulosis 1. Mycobacterium tuberculosis

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis sebagian besar menyerang paru-paru

namun juga dapat menyerang organ lain. Mycobacterium tuberculosis merupakan basil gram positif, berbentuk batang, dan dinding sel terdiri dari asam lemak dan lipid. Mycobacterium tuberculosis tahan terhadap asam pada pewarnaan. Pada pengecatan Ziehl Neelsen, Mycobacterium tuberculosis mengikat warna pertama namun tidak luntur oleh alkohol asam 3%, sehingga tidak mampu mengikat warna kedua. Oleh karena itu Mycobacterium tuberculosis disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Mycobacterium tuberculosis cepat mati pada paparan matahari langsung, namun dapat bertahan hidup di tempat gelap dan lembab. Dalam tubuh manusia, Mycobacterium tuberculosis dapat bersifat dormant atau dapat tertidur lama selama beberapa tahun di dalam jaringan tubuh (Pieters dan McKinney, 2013).

2. Etiologi

a. Infeksi primer. Infeksi primer merupakan infeksi yang terjadi saat seseorang terpapar pertama kali Mycobacterium tuberculosis. Droplet yang terhirup berukuran sangat kecil dan masuk melalui saluran pernafasan hingga sampai


(27)

di alveolus. Proses infeksi dimulai ketika Mycobacterium tuberculosis berhasil berkembang dan mengakibatkan peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa Mycobacterium tuberculosis ke kelenjar limfe yang berada di sekitar hilus paru dan membentuk kompleks primer. Terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer berlangsung sekitar 4-6 minggu. Terjadinya infeksi dapat dibuktikan dengan melalui perubahan pada reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif (Hardjoeno, 2007).

Keberlanjutan infeksi primer akan bergantung pada jumlah

Mycobacterium tuberculosis yang masuk dan besarnya respon daya tahan

tubuh (imunitas selular). Pada umumnya daya tahan tubuh dapat menghentikan perkembangan Mycobacterium tuberculosis. Namun, beberapa

Mycobacterium tuberculosis akan menetap dan bersifat dormant. Ketika daya

tahan tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan Mycobacterium

tuberculosis, maka dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi

penderita tuberkulosis. Waktu yang diperlukan Mycobacterium tuberculosis untuk meginfeksi seseorang sampai menjadi sakit disebut masa inkubasi, yang diperkirakan sekitar 6 bulan (Hardjoeno, 2007).

b. Infeksi pasca primer (post primary). Infeksi pasca primer (post primary) terjadi beberapa bulan atau tahun setelah terjadinya infeksi primer. Hal ini dapat diakibatkan adanya penurunan daya tahan tubuh akibat suatu penyakit misalnya HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas infeksi pasca primer (post


(28)

primary) adalah terjadinya kerusakan paru yang luas dengan tanda terjadinya

kavitas atau efusi pleura (Hardjoeno, 2007). 3. Patogenesis

Penyakit tuberkulosis dikendalikan oleh sistem imun selular. Saat adanya infeksi oleh Mycobacterium tuberculosis, magrofag berperan sebagai agen efektor utama dan limfosit T sebagai agen pendukung kekebalan. Magrofag dan limfosit T akan berkerjasama untuk melakukan perlindungan tubuh terhadap Mycobacterium

tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis dapat masuk kedalam tubuh melalui tiga

jalur yaitu saluran pernafasan, saluran cerna dan melalui luka terbuka di kulit (Dipiro

et al, 2008).

Infeksi tuberkulosis terbanyak disebabkan adanya inhalasi pada jalur tuberkel di aleveolar dari parenkim paru-paru dan mengakibatkan terjadinya proses peradangan. Leukosit polimorfonuklear akan berusaha melawan Mycobacterium

tuberculosis, namun seringkali leukosit mengalami kegagalan dan akan digantikan

oleh makrofag. Alveoli yang terserang Mycobacterium tuberculosis akan mengalami infiltrasi dan membentuk sel tuberkel epiteloid. Limfosit akan mengelilingi sel tuberkel epiteloid dan proses nekrosis bagian sentral lesi akan mengalami pemadatan yang disebut nekrosis kaseosa (Hardjoeno, 2007).

4. Manifestasi Klinis

Gejala tuberkulosis antara lain yaitu batuk lebih dari 3 minggu dengan atau tanpa sputum, malaise, gejala flu, demam, nyeri dada, sesak nafas dan batuk darah.


(29)

a. Batuk atau batuk darah. Batuk terjadi akibat adanya iritasi pada bronkus. Keadaan dan kondisi bronkus pada setiap penyakit tidak sama, maka kemungkinan terjadinya batuk setelah penyakit berkembang dalam jaringan, timbul setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Sifat batuk dimulai dari batuk kering dan berlanjut menjadi batuk berdahak yang mengadung sputum didalamnya. Batuk akan berkembang ke batuk berdarah akibat pecahnya pembuluh darah. Pecahnya pembuluh darah pada penderita tuberkulosis karena terjadi ulkus pada dinding bronkus.

b. Malaise. Penyakit tuberkulosis merupakan penyakit yang bersifat peradangan menahun. Gejala malaise sering ditemukan berupa anoreksia, penurunan berat badan, nyeri pada kepala, meriang, nyeri pada otot, dan sering berkeringat pada malam hari. Gejala malaise semakin lama semakin berat dan gejala ini muncul dan hilang secara teratur.

c. Demam. Penderita tuberkulosis mengalami demam mulai dari 37,50C sampai dengan 410C. Demam akan hilang dan muncul kembali sesuai daya tahan tubuh penderita dan berat ringannya infeksi yang terjadi.

d. Nyeri dada. Nyeri dada timbul apabila infiltrasi radang sudah sampai pada bagian pleura sehingga menimbulkan pleuritis, yaitu terjadinya gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepas nafasnya (Sukandar dkk, 2009). 5. Kategori pasien tuberkulosis

Kategori pasien tuberkulosis terbagi menjadi dua kategori. Pasien tuberkulosis kategori 1 adalah pasien baru tuberkulosis paru dengan BTA positif atau


(30)

pasien tuberkulosis baru dengan BTA negatif namun memiliki foto toraks positif atau pasien tuberkulosis ekstra paru. Pasien tuberkulosis kategori 2 adalah pasien tuberkulosis yang telah diobati sebelumnya, namun mengalami kekambuhan, pengobatan yang gagal atau pengobatan yang terputus (Dipiro et al, 2008).

6. Diagnosis tuberkulosis

a. Diagnosis pada pasien dewasa. Diagnosis pada suspek tuberkulosis dapat ditegakkan dengan ditemukan BTA pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis. Penderita tuberkulosis harus diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari berturut-turut, yaitu sewaktu, pagi, sewaktu (SPS). Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga SPS tersebut BTA positif (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

Jika hanya satu spesimen yang positif perlu diadakan lebih lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan SPS diulang. Jika hasil foto rontgen mendukung tuberkulosis, maka penderita didiagnosis sebagai penderita tuberkulosis BTA positif. Jika dalam rontgen tidak mendukung tuberkulosis maka pemeriksaan lain dapat dilakukan. Alur diagnosis tuberkulosis pada dewasa dapat dilihat pada Gambar 1 (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011).


(31)

Gambar 1. Alur diagnosis tuberkulosis pada dewasa (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011)

Suspek tuberkulosis

Pemeriksaan dahak mikroskopis, Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS)

Hasil BTA - - - Hasil BTA + - - Hasil BTA + + + ; + + - Pemeriksaan rontgen dada Antibiotik Non-OAT Hasil mendukung TB Hasil tidak mendukung TB Ada perbaikan Tidak ada perbaikan Pemeriksaan ulang SPS Hasil BTA - - - Hasil BTA + + + ; +++ ; + - -

Pemeriksaan rotgen dada

Hasil tidak mendukung TB Hasil mendukung TB Bukan TB, penyakit lain BTA negatif rontgen positif Penderita TB BTA


(32)

b. Diagnosis pada pasien anak

Diagnosis untuk pasien tuberkulosis paling tepat dilakukan melalui pemeriksaan BTA pada sputum. Namun pada anak-anak pemeriksaan BTA pada sputum sulit dilakukan, sehingga diagnosis tuberkulosis pada anak didasarkan pada gambaran klinis, foto rontgen dada, dan uji tuberkulin. Seorang anak dicurigai terinfeksi tuberkulosis apabila memiliki riwayat kontak erat atau serumah dengan penderita tuberkulosis dan mengalami gejala-gejala umum tuberkulosis. Selain itu diagnosis tuberkulosis pada anak digunakan sistem skor, yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang ditemukan (Mulyani, 2006).

Pasien anak dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6, harus ditatalaksana sebagai pasien tuberkulosis dan mendapat Obat Anti Tuberkulosis (OAT). Skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan kearah tuberkulosis kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan lainnya sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, patologi anatomi, fungsi lumbal, fungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi, CT-scan, dan lain-lain (Mulyani, 2006).

Tabel I. Sistem skoring gejala dan pemeriksaan penunjang tuberkulosis (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007)

Parameter 0 1 2 3 Jumlah

Kontak tuberkulosis

Tidak jelas

Laporan keluarga, BTA

negatif/tidak tahu, BTA

BTA positif


(33)

Parameter 0 1 2 3 Jumlah tidak jelas

Uji tuberkulin Negatif Positif,

≥10mm, atau ≥5mm pada keadaan imunosup-resi Berat badan/keadaan gizi Bawah garis merah (KMS) atau BB/U <80% Klinis gizi buruk (BB/U <60%) Demam tanpa sebab yang jelas

≥2minggu

Batuk ≥3minggu

Pembesaran kelenjar limfe koli, aksila, inguinal ≥1cm, jumlah > 1, tidak nyeri Pembengkakan tulang/sendi panggul, lutut, falang Ada pembeng-kakan Foto rontgen toraks Normal/ tidak jelas Jumlah


(34)

Catatan:

 Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.

 Batuk dimasukan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik lainnya seperti asma, sinusitis, dan lain-lain.

 Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat langsung didiagnosis tuberkulosis.

 Berat badan dinilai saat pasien datang kemudian dilampirkan pada tabel berat badan.  Foto toraks bukan alat diagnotik utama pada TB anak.

 Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul<7 hari setelah penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skor tuberkulosis anak.

 Anak didiagnosis TB jika skor >6, (skor maksimal 14).

 Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut.

B. Pengobatan Tuberkulosis 1. Prinsip pengobatan

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip sebagai berikut.

a. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) harus diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan dan hindari penggunaan monoterapi. Pemakaian OAT-FDC (Fixed Dose Combination) akan lebih menguntungkan dan dianjurkan.

b. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

c. Pengobatan tuberkulosis diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011).


(35)

2. Strategi pengobatan

Tujuan pengobatan tuberkulosis adalah menyembuhkan pasien, mencegah kematian dan kekambuhan, memutus rantai penularan, dan mencegah terjadinya resistensi kuman. Sasaran terapinya adalah Mycobacterium tuberculosis yang menginfeksi organ paru maupun ekstra paru. Strategi terapi untuk menanggulangi tuberkulosis dilakukan melalui terapi nonfarmakologi dan terapi farmakologi (Sukandar dkk., 2009).

a. Nonfarmakologi

1. Mengisolasi ruangan pasien yang dirawat, dengan menggunakan sinar UV dan dilengkapi lubang ventilasi yang aman.

2. Operasi untuk membersihkan organ atau jaringan yang terinfeksi karena adanya lesi (Dipiro et al, 2008).

b. Farmakologi

Terapi farmakologi untuk mengatasi tuberkulosis dikenal dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short Course Chemoterapy). Dalam strategi DOTS, pengobatan tuberkulosis dilakukan baik dengan pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dalam bentuk tablet terpisah maupun dengan pemberian OAT-FDC (Fixed Dose Combination). Obat tuberkulosis yang dipakai adalah antimikroba dan anti infeksi sintetis untuk membunuh kuman Mycobacterium Tuberculosis. Obat


(36)

golongan I lini pertama yang umum dipakai adalah rifampicin (R), isoniazid (H), pyrazinamid (Z), ethambutol (E), dan streptomycin (S) (Departemen Kesehatan Republik Indonsia, 2011).

Rifampicin, isoniazid, pyrazinamid, dan streptomycin bersifat bakterisid sedangkan ethambutol bersifat bakteriostatik. Isoniazid bekerja dengan mengganggu sintesa mycolic acid yang diperlukan dalam membangun dinding sel bakteri sehingga membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa hari pertama pengobatan. Rifampicin bekerja dengan membunuh kuman semi dormant yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid. Mekanisme kerja rifampicin dengan mengganggu sintesis RNA polimerasi bakteri. Pyrazinamid bekerja dengan membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam. Mekanisme aksi obat ini didasarkan pada pengubahannya menjadi asam pyrazinamidase yang berasal dari basil tuberkulosa. Mekanisme aksi ethambutol dengan menghambat sintesis RNA pada kuman yang sedang membelah serta menghindarkan terbentuknya mycolic acid pada dinding sel bakteri. Streptomycin bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman lewat jalan pengikatan pada RNA ribosomal, sehingga dapat membunuh kuman yang sedang melakukan pembelahan (Sukandar dkk, 2009).

Penggunaan obat-obat golongan II, III, dan IV seperti para aminosalisilat, kanamicin, rifabutin, levofloxacin, ciprofloxacin, ofloxacin, dan etionamid digunakan bila terjadi resistensi obat golongan I lini pertama. Rifabutin digunakan sebagai


(37)

alternatif untuk rifampicin dalam pengobatan kombinasi OAT (Departemen Kesehatan Republik Indonsia, 2011).

Tabel II. Golongan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011)

Golongan I lini pertama Golongan II lini kedua Golongan III golongan floroquinolone Golongan IV bekteriostatik lini kedua Golongan IV (non WHO) Isoniazid, rifampicin, pyrazinamid, ethambutol, streptomycin Kanamycin, amikacin, capreomycin Ofloxacin, levofloxacin, moxifloxacin Ethionamide, prothionamide, cycloserine, para amino salisilat, terizidone Clofazimine, linezolid, amoxilin-clavulanate, thioacetazone, clarithromycin, imipenem

Panduan OAT-FDC yang digunakan berdasarkan Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (2011) yaitu pasien tuberkulosis kategori 1 mendapat terapi 2(HRZE)/4(HR)3, pasien tuberkulosis kategori 2 mendapat terapi 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3, kategori anak 2HRZ/4HR dan kategori sisipan. Dosis OAT disesuaikan dengan berat badan pasien dan dikemas dalam 1 paket untuk 1 pasien (Departemen Kesehatan Republik Indonsia, 2011).

Paket kombipak terdiri dari obat lepas yang dikemas dalam 1 blister harian, yaitu rifampicin, isoniazid, pyrazinamid, dan ethambutol. Sedangkan OAT FDC dan penggunaannya dijelaskan antara lain sebagai berikut.


(38)

1) Kategori 1: 2(HRZE)/4(HR)3

Tahap intensif diberikan 2(HRZE), lama pengobatan 2 bulan dan pengobatan diberikan harian yang terdiri dari rifampicin, isoniazid, pyrazinamid, dan ethambutol berbentuk FDC. Tahap lanjutan adalah 4(HR)3, lama pengobatan 4 bulan. Pengobatan diberikan 3 kali seminggu. Isoniazid dan rifampicin diberikan dalam bentuk FDC (Departemen Kesehatan Republik Indonsia, 2011).

Tabel III. Dosis OAT FDC pasien tuberkulosis kategori 1 (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011)

Berat badan Tahap intensif tiap hari selama 56 hari HRZE

(150/75/400/275)

Tahap lanjutan 3 kali seminggu selama 16 minggu HR (150/150)

30-37 kg 4FDC 2 tablet 2FDC 2 tablet

38-54 kg 4FDC 3 tablet 2FDC 3 tablet

55-70 kg 4FDC 4 tablet 2FDC 4 tablet

≥71 kg 4FDC 5tablet 2FDC 5 tablet

2) Kategori 2: 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3

Tahap intensif diberikan 2(HRZE)S/(HRZE), lama pengobatan 3 bulan. Rifampicin, isoniazid, pyrazinamid, dan ethambutol diberikan dalam bentuk FDC dan streptomycin diberikan selama 2 bulan pertama dalam bentuk suntikan setiap hari. Tahap lanjutan adalah 5(HR)3E3, lama pengobatan 5


(39)

bulan. Isoniazid dan rifampicin diberikan dalam bentuk FDC dan ethambutol diberikan secara lepas. Pengobatan diberikan 3 kali seminggu.

Tabel IV. Dosis OAT FDC pasien tuberkulosis kategori 2 (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011)

Berat Badan

Tahap lanjutan 3 kali dalam seminggu HR

(150/150) + E (275) Selama 56 hari Selama 28

hari

Selama 20 minggu 30-37 kg 4FDC 2 tab + 500 mg

streptomycin inj.

4FDC 2 tab 2FDC 2 tab + 2 tab Ethambutol

38-54 kg 4FDC 3 tab + 750 mg streptomycin inj.

4FDC 3 tab 2FDC 3 tab + 3 tab ethambutol

55-70 kg 4FDC 4 tab + 1000 mg streptomycin inj.

4FDC 4 tab 2 FDC 4 tab + 4 tab ethambutol

≥71 kg 4FDC 5 tab + 1000 mg

streptomycin inj.

4FDC 5 tab 2FDC 5 tab + 5 tab ethambutol

3) Kategori anak

Pada sebagian besar kasus tuberkulosis anak, pengobatan cukup dilakukan selama 6 bulan dan dievaluasi setiap 2 bulan. Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang. Evaluasi klinis tuberkulosis anak merupakan parameter terbaik untuk menilai keberhasilan pengobatan. Prinsip pengobatan tuberkulosis anak adalah menggunakan 3 jenis obat dalam waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan

Tahap intensif HRZE (150/75/400/275) + S


(40)

setiap hari, baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan dan dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak (Departemen Kesehatan Republik Indonsia, 2011).

Gambar 2. Alur tatalaksana pasien tuberkulosis anak (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011)

Tabel V. Dosis OAT pada anak (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011)

Jenis obat Berat badan < 10 kg

Berat badan 10-19 kg

Berat badan 20-32 kg

Rifampicin 75 mg 150 mg 200 mg

Isoniazid 50 mg 100 mg 300 mg

Pyrazinamid 150 mg 300 mg 600 mg

Skor 6

Beri OAT selama 2 bulan dan dievaluasi

Respon +

Teruskan terapi, sambil mencari penyebabnya

Respon -


(41)

4) OAT sisipan

OAT sisipan sama seperti pengobatan pada pasien tuberkulosis kategori 1 tahap intensif yang diberikan selama 28 hari. Penggunaan OAT golongan II lini kedua seperti kanamicin tidak dianjurkan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT golongan I lini pertama dan dapat menyebabkan risiko resistensi pada OAT golongan II lini kedua (Departemen Kesehatan Republik Indonsia, 2011).

Tabel VI. Dosis OAT FDC sisipan (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011)

Berat badan Tahap intensif tiap hari selama 28 hari HRZE (150/75/400/275) 30-37 kg 4FDC 2 tablet

38-54 kg 4FDC 3 tablet 55-70 kg 4FDC 4 tablet

≥71 kg 4FDC 5 tablet

C. Interaksi Obat

Interaksi obat adalah fenomena perubahan efek atau farmakokinetik dari suatu obat yang disebabkan oleh obat lain ketika diberikan secara bersamaan. Interaksi obat yang terjadi dapat membahayakan atau mengurangi khasiat dari suatu


(42)

obat. Namun juga dapat terjadi interaksi obat yang menguntungkan atau yang diinginkan (Becker, 2011).

1. Jenis interaksi obat

Terdapat tiga jenis interaksi obat yaitu interaksi farmakokinetik, interaksi farmakodinamik dan interaksi farmasetik.

a. Interaksi farmakokinetik. Obat dapat dikatakan berinteraksi melalui interaksi farmakokinetik apabila interaksi antara dua obat atau lebih mempengaruhi proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi salah satu obat atau lebih di dalam tubuh (Hacker, 2009). Interaksi dapat diukur pada perubahan parameter farmakokinetik yaitu konsentrasi maksimal (Cmax), konsentrasi obat di dalam tubuh persatuan waktu (AUC), waktu paruh eliminasi dan total obat yang diekskresikan lewat urin (Cl) (Tatro, 2007).

1) Interaksi pada proses absorpsi

Interaksi pada proses absorpsi adalah ketika dua obat atau lebih digunakan pada waktu yang bersamaan, maka laju absorpsi dari salah satu atau kedua obat mengalami perubahan. Interaksi pada proses absorpsi dapat dipengaruhi oleh perubahan pada pH saluran pencernaan, kelarutan obat, metabolisme saluran pencernaan, flora usus, mukosa usus, adsorpsi, khelasi, perubahan motilitas saluran pencernaan, induksi atau inhibisi dari protein transporter obat, malabsorpsi yang disebabkan oleh obat dan mekanisme kompleks lainnya (Tatro, 2007).


(43)

Salah satu obat dapat menghambat, menurunkan atau meningkatkan laju absorpsi obat yang lain. Hal ini dapat terjadi dengan cara memperpendek atau memperpanjang waktu pengosongan lambung dengan menambah pH lambung dan dengan membentuk kompleks dengan obat. Obat-obatan yang dapat meningkatkan kecepatan pengosongan lambung seperti laksatif, narkotik dan antikolinergik dapat meningkatkan motilitas lambung dan usus halus sehingga dapat menyebabkan peningkatan laju absorpsi obat (Syamsudin, 2011).

Interaksi obat pada proses absorpsi terjadi di dalam usus halus. Usus merupakan lokasi utama untuk absorpsi obat karena wilayah absorpsi yang sangat luas, daya serap obat yang lebih tinggi dan jumlah aliran darah melalui kapiler usus lebih besar sehingga obat yang diserap dapat diangkut ke sirlukasi sistemik (Syamsudin, 2011). Pada perubahan motilitas saluran pencernaan, respon suatu obat dapat berubah karena terdapat obat lain yang mengubah motilitas saluran pencernaan. Apabila waktu transit obat ke dalam saluran pencernaan mengalami peningkatan atau terjadi penurunan maka obat akan terabsorpsi cepat atau lambat (Albert, 2008).

2) Interaksi pada proses distribusi

Setelah obat mengalami proses absorpsi ke dalam darah maka obat tersebut akan bersirkulasi secara cepat ke seluruh jaringan tubuh, saat darah mengalami sirkulasi obat bergerak dari aliran darah kemudian masuk ke


(44)

jaringan tubuh. Distribusi obat adalah perjalanan obat dari darah ke beberapa jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jaringan otak. Obat masuk ke dalam jaringan yang berbeda memiliki kecepatan yang berbeda tergantung pada kecepatan obat menembus membran (Tatro, 2007). Terjadi interaksi pada fase distribusi jika dua obat yang berikatan tinggi dengan protein atau albumin bersaing untuk mendapatkan tempat pada protein atau albumin di dalam plasma. Akibatnya terjadi penurunan dalam pengikatan dengan protein pada salah satu atau kedua obat itu sehingga lebih banyak obat bebas yang bersikulasi dalam plasma dan meningkatkan kerja obat, efek ini dapat menimbulkan toksisitas obat (Syamsudin, 2011).

3) Interaksi obat pada tahap metabolisme

Proses metabolisme adalah proses mengubah obat yang masuk ke dalam tubuh menjadi lebih polar agar dapat dieksresikan oleh ginjal dan menghasilkan metabolit inaktif. Terdapat dua fase pada proses metabolisme obat yaitu fase I terdiri dari reaksi oksidasi, reduksi dan hidrolisis sedangkan fase II terdiri dari reaksi konjugasi. Reaksi fase I bertujuan mengubah obat menjadi senyawa yang lebih polar dan reaksi fase II bertujuan membuat senyawa menjadi inaktif (Syamsudin, 2011).

Didalam proses metabolisme, sitokrom P450 (CYP450) dan keluarganya merupakan enzim-enzim yang berperan penting dalam proses metabolisme fase I. Suatu obat dapat meningkatkan metabolisme obat lain dengan cara menginduksi atau menginhibisi enzim-enzim


(45)

CYP450 dan isoenzimnya. Inhibitor enzim merupakan obat yang dapat menurunkan metabolisme obat lain dengan cara menginhibisi enzim-enzim di hati (Becker, 2011).

Jika suatu obat dikombinasikan dengan inhibitor enzim pemetabolisme obat tersebut maka proses metabolisme obat akan menurun dan memperlambat proses eliminasi obat serta meningkatkan konsentrasi dan efek obat di dalam plasma. Proses metabolisme obat yang meningkat akan mempercepat proses eliminasi obat serta menurunkan konsentrasi obat di dalam plasma, yang berakibat menurunkan efek obat (Syamsudin, 2011).

4) Interaksi pada proses ekskresi

Ekskresi obat sebagian besar terjadi lewat ginjal melalui urin dan melalui empedu. Interaksi pada proses ekskresi dapat terjadi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu perubahan pH urin, perubahan ekskresi empedu dalam bentuk siklus enterohepatik, perubahan ekskresi aktif pada tubulus ginjal dan perubahan aliran darah ginjal (Baxter, 2010).

a) Perubahan ekskresi aktif pada tubular ginjal. Obat yang memiliki mekanisme transport yang sama dalam tubulus ginjal, dapat mengakibatkan penurunan ekskresi obat satu sama lain melalui kompetisi dalam berikatan (Syamsudin, 2011).

b) Perubahan pH urin. Obat adalah suatu asam lemah atau basa lemah, ketika urin bersifat basa maka obat-obatan basa lemah akan


(46)

direabsorpsi kedalam tubulus distal. pH urin dapat bervariasi sesuai dengan makanan yang dikonsumsi, variasi pH urin berkisar antara 4,5–8,0. Ketika pH urin asam maka obat-obat yang bersifat basa akan lebih mudah diekskresikan. Pada suasana basa atau nilai pH tinggi, obat asam lemah yang memiliki pKa 3-7 sebagian besar berada dalam bentuk terion dan tidak larut dalam lemak, sehingga obat tidak dapat berdifusi ke dalam sel tubulus ginjal dan akan tetap berada dalam urin dan dikeluarkan dari tubuh (Syamsudin, 2011).

Obat yang bersifat basa lemah dengan nilai pKa 7,5-10,5 dalam suasana basa akan berada dalam bentuk tidak terionisasi dan terlarut dalam lemak. Hal tersebut mengakibatkan obat dapat berdifusi ke dalam sel tubulus ginjal dan terjadi peningkatan konsentrasi obat. Sebaliknya pada saat suasana urin asam maka obat yang bersifat basa tersebut akan lebih mudah diekskresikan (Syamsudin, 2011).

b) Interaksi obat secara farmakodinamik. Interaksi obat secara farmakodinamik adalah interaksi antar obat yang menyebabkan terjadinya perubahan respon pasien terhadap satu obat atau lebih yang diberikan secara bersamaan tanpa mempengaruhi parameter farmakokinetik obat tersebut. Interaksi farmakodinamik menimbulkan efek-efek obat yang aditif, sinergis atau antagonis jika dua obat atau lebih yang mempunyai kerja yang serupa atau tidak serupa diberikan (Tatro, 2007).


(47)

1) Efek obat sinergis. Interaksi obat sinergis terjadi ketika dua obat atau lebih yang tidak memiliki atau memiliki efek farmakologi yang sama diberikan secara bersamaan akan memperkuat efek obat lain dan dapat menimbulkan peningkatan efek yang signifikan. Efek yang dihasilkan dapat merupakan efek yang diinginkan atau yang tidak diinginkan yang berbahaya bagi pasien yang mengkonsumsi obat tersebut (Tatro, 2007).

2) Efek obat aditif. Interaksi yang terjadi pada dua atau lebih obat yang memiliki efek terapeutik yang sama saat diberikan secara bersamaan. Efek yang dihasilkan dari pemberian obat-obat tersebut secara bersamaan merupakan jumlah dari efek kedua obat yang digabungkan secara tersendiri sesuai dengan dosis yang digunakan. Efek yang terjadi tersebut dapat merupakan efek yang diinginkan atau tidak diinginkan (Syamsudin, 2011). 3) Efek obat antagonis. Efek yang dihasilkan dari interaksi obat yang terjadi

antara dua atau lebih obat yang memiliki efek antagonis atau efek farmakologi yang berlawanan. Efek dari obat-obat yang berinteraksi tersebut akan saling meniadakan efek obat satu sama lain jika diberikan secara bersamaan (Syamsudin, 2011).

c) Interaksi farmasetik. Interaksi farmasetik merupakan interaksi yang terjadi karena pencampuran obat secara langsung baik fisik atau kimiawi. Hasil dari interaksi tersebut adalah terjadi pembentukan endapan, perubahan warna dan mungkin dapat tidak terlihat. Interaksi farmasetik terjadi di luar tubuh sebelum obat diberikan (Nah, 2007).


(48)

2. Kategori signifikansi klinis interaksi obat

Berdasarkan Chelmow et al. (2014), kategori signifikansi klinis interaksi obat dapat dibedakan menjadi tiga kategori yaitu serius, signifikan dan minor. Kategori signifikansi klinis interaksi obat serius adalah kombinasi obat tidak dapat digunakan karena dapat membahayakan keadaan pasien, sehingga dibutuhkan alternatif untuk pemilihan obat lain yang tidak membahayakan kondisi pasien (Chelmow et al., 2014). Kategori signifikansi klinis interaksi obat signifikan diperlukan adanya modifikasi dosis dan modifikasi waktu pemberian antara kedua obat, serta diperlukan monitoring khusus pada kombinasi obat yang diberikan. Kategori signifikansi klinis interaksi obat minor adalah kombinasi obat dapat diberikan kepada pasien karena tidak menimbulkan efek yang membahayakan bagi pasien (Chelmow et al., 2014).

Berdasarkan Tatro (2007), kategori signifikansi klinis interaksi obat dapat dibedakan menjadi lima kategori meliputi kategori signifikansi klinis 1, kategori signifikansi klinis 2, kategori signifikansi klinis 3, kategori signifikansi klinis 4, dan kategori signifikansi klinis 5 yang didasarkan pada onset, tingkat keparahan interaksi dan dokumentasi.

Onset adalah kecepatan efek klinis dari interaksi obat yang berpengaruh pada tingkat keparahan, sehingga diperlukan tindakan pencegahan untuk menghindari efek dari interaksi tersebut. Onset interaksi cepat ditandai dengan timbulnya efek interaksi obat yang terlihat dalam waktu kurang dari 24 jam setelah pemberian obat. Pada onset interaksi obat cepat perlu dilakukan penanganan medis untuk mencegah


(49)

timbulnya efek dari interaksi tersebut. Onset interaksi lambat ditandai dengan timbulnya efek dari interaksi obat yang terlihat dalam waktu lebih dari 24 jam setelah pemberian obat. Pada onset interaksi lambat tidak perlu dilakukan penanganan medis untuk mencegah timbulnya efek dari interaksi tersebut (Tatro, 2007).

Tingkat keparahan interaksi adalah suatu potensi keparahan yang ditimbulkan akibat interaksi obat. Tingkat keparahan interaksi obat digunakan untuk menilai risiko dan manfaat terapi yang telah diberikan. Dilakukan penyesuaian dosis atau modifikasi waktu atau jalur administrasi pemberian obat agar efek negatif dari interaksi obat dapat dihindari (Tatro, 2007).

Tingkat keparahan interaksi obat dibedakan menjadi tiga yaitu major, moderat dan minor. Tingkat keparahan major interaksi obat berpotensi mengancam nyawa atau dapat menyebabkan kerusakan permanen. Tingkat keparahan moderat interaksi obat menyebabkan penurunan kondisi klinis pasien sehingga diperlukan terapi tambahan untuk menangani interaksi obat yang terjadi, sedangkan tingkat keparahan minor interaksi obat menghasilkan efek yang relatif ringan dan tidak diperlukan pengobatan tambahan (Tatro, 2007).

Dokumentasi adalah tingkat kepercayaan bahwa interaksi obat dapat menyebabkan perubahan pada suatu respon klinis. Tingkat dokumentasi adalah evaluasi kualitas dan relevansi klinis dari pustaka utama yang mendukung terjadinya interaksi. Lima tingkat dokumentasi interaksi obat yaitu established, probable,


(50)

Tingkat dokumentasi established adalah interaksi obat yang sangat jelas terjadi, yang terbukti terjadi secara klinis berdasarkan hasil banyak penelitian. Tingkat dokumentasi probable adalah interaksi obat dapat terjadi, namun tidak terbukti secara klinis. Tingkat dokumentasi suspected adalah interaksi obat diduga dapat terjadi, terdapat beberapa penelitian yang memerlukan studi lebih lanjut untuk memastikan interaksi obat yang terjadi. Tingkat dokumentasi possible adalah interaksi obat yang belum pasti dapat terjadi, terdapat data penelitian yang mendukung namun sangat terbatas. Tingkat dokumentasi unlikely adalah interaksi obat kemungkinan tidak terjadi, tidak terdapat bukti terjadinya perubahan efek klinis pada pasien (Tatro, 2007).

Berdasarkan Tatro (2007), signifikansi klinis interaksi obat dapat dirangkum sebagai berikut:

1. Kategori signifikansi klinis 1, tingkat keparahan major adalah risiko yang ditimbulkan berpotensi mengancam jiwa individu atau dapat menyebabkan kerusakan yang permanen, sehingga kombinasi obat harus dihindari. Dokumentasi mengenai interaksi obat meliputi established, probable atau

suspected.

2. Kategori signifikansi klinis 2, tingkat keparahan moderat adalah risiko yang ditimbulkan dapat menyebabkan terjadinya penurunan dari kondisi klinis pasien sehingga dibutuhkan terapi tambahan atau perawatan di rumah sakit. Dokumentasi mengenai interaksi obat meliputi established, probable atau


(51)

3. Kategori signifikansi klinis 3, tingkat keparahan minor adalah efek yang ditimbulkan akibat interaksi obat ringan dan tidak signifikan mempengaruhi kondisi klinis pasien sehingga terapi tambahan tidak diperlukan. Dokumentasi mengenai interaksi obat meliputi established, probable atau suspected.

4. Kategori signifikansi klinis 4, tingkat keparahan major atau moderat adalah efek yang ditimbulkan berbahaya karena dapat mengubah respon farmakologi individu sehingga diperlukan terapi tambahan. Dokumentasi mengenai interaksi yaitu

possible.

5. Kategori signifikansi klinis 5, tingkat keparahan minor adalah efek yang ditimbulkan ringan, respon klinis pasien dapat mengalami perubahan atau tidak. Dokumentasi mengenai interaksi yaitu possible.

Berdasarkan Hansten and Horn (2002), terdapat tiga kategori signifikansi klinis interaksi obat yaitu kategori 1, kategori 2 dan kategori 3. Kategori signifikansi klinis kategori 1 adalah pemberian kombinasi obat harus dihindari karena efek yang ditimbulkan pada pasien lebih banyak menimbulkan risiko dan kerugian dibandingkan manfaat dan keuntungannya.

Kategori signifikansi kategori 2 adalah kombinasi obat sebaiknya dihindari, kecuali apabila manfaat dari kombinasi obat lebih besar daripada risiko yang ditimbulkan, tetapi disarankan untuk menggunakan kombinasi obat sejenis yang memiliki risiko lebih kecil. Diperlukan adanya modifikasi dosis, waktu pemberian dan rute pemberian obat apabila ingin dikombinasi untuk mengurangi terjadinya kejadian interaksi obat. Pasien harus dimonitoring selama penggunaan kombinasi


(52)

obat. Kategori signifikansi kategori 3 yaitu kombinasi obat memberikan risiko yang kecil, memiliki manfaat yang lebih banyak daripada risiko yang ditimbulkan. Pasien harus dimonitoring selama penggunaan kombinasi obat (Hansten and Horn, 2002).

D. Keterangan Empiris

Penelitian ini diharapkan memberikan informasi mengenai interaksi obat dan tingkat signifikansi klinis yang terjadi pada peresepan pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013 yang dikaji berdasarkan literatur.


(53)

35 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Penelitian dengan judul “Studi Pustaka Interaksi Obat Pada Peresepan

Pasien Tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Periode Oktober-Desember 2013” termasuk jenis penelitian observasional deskriptif evaluatif dengan rancangan penelitian studi potong lintang yang bersifat retrospektif. Penelitian observasional adalah penelitian tanpa manipulasi dan intervensi dari peneliti pada variabel subjek (Munif dan Imron, 2010). Penelitian ini disebut deskriptif karena mendeskripsikan variabel-variabel utama subyek penelitian untuk mengetahui prevalensi fenomena tertentu (Nugrahaeni, 2010).

Rancangan penelitian studi potong lintang adalah studi pengumpulan data yang dilakukan dengan pendekatan titik waktu tertentu yang relatif singkat (Swarjana, 2012). Penelitian ini bersifat retrospektif karena data yang didapat dari melihat lembar rekam medis pasien periode lampau yang ditentukan (Notoadmojo, 2010).

B. Variabel dan Definisi Operasional

1. Pasien tuberkulosis adalah pasien yang didiagnosis menderita tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013.

2. Karakteristik pasien tuberkulosis meliputi umur, jenis kelamin, dan kategori pasien tuberkulosis. Umur dibagi menjadi dua kelompok umur yaitu kelompok


(54)

umur anak 0-14 tahun dan kelompok umur dewasa ≥15 tahun. Jenis kelamin terdiri dari perempuan dan laki-laki. Kategori pasien tuberkulosis dibagi menjadi dua kelompok yaitu kategori 1 dan kategori 2. Pasien tuberkulosis kategori 1 adalah pasien baru tuberkulosis paru dengan BTA positif, pasien tuberkulosis paru dengan BTA negatif namun foto toraks positif dan pasien tuberkulosis ekstra paru. Pasien tuberkulosis kategori 2 adalah pasien yang telah diobati sebelumnya, namun mengalami kekambuhan, pengobatan yang gagal atau pengobatan yang terputus.

3. Gambaran umum pola peresepan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan obat lain meliputi jumlah, golongan, jenis dan cara pemberian obat yang digunakan pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013. Jenis obat adalah tiap zat aktif yang terdapat dalam tiap obat. Jumlah obat adalah jumlah jenis obat yang terdapat dalam tiap peresepan pasien tuberkulosis. Golongan OAT mengacu pada Panduan Nasional Pengendalian Tuberkulosis Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2011).

4. Interaksi obat adalah pemberian terapi berupa 2 atau lebih jenis obat secara bersamaan yang dapat menghasilkan efek menguntungkan ataupun merugikan yang dikaji secara teoritis berdasarkan pustaka yaitu Medscape Drug

Interaction Chacker (Chelmow et al, 2014), Drug Interaction Facts (Tatro,

2007) dan Managing Clinically Important Drug Interactions (Hansten dan horn, 2002).


(55)

5. Kategori signifikansi interaksi obat adalah penggolongan tingkat interaksi obat menurut akibat yang ditimbulkan dikaji secara teoritis berdasarkan pustaka dengan mengacu pada Medscape Drug Interaction Chacker (Chelmow et al, 2014), Drug Interaction Facts (Tatro, 2007) dan Managing Clinically

Important Drug Interactions (Hansten dan horn, 2002).

C. Subyek dan Bahan Penelitian

1. Subyek penelitian meliputi keseluruhan pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013. Kriteria inklusi subyek adalah pasien dengan penyakit tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul yang menerima peresepan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan atau tanpa obat lain periode Oktober-Desember 2013. Kriteria ekslusi adalah pasien tuberkulosis dengan rekam medik yang tidak lengkap.

2. Bahan penelitian yang digunakan adalah lembar rekam medik (medical record) pasien tuberkulosis yang menerima peresepan OAT dengan obat lain dan tanpa obat lain di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013 yang ditulis oleh dokter dan perawat mengenai data klinis pasien.

D. Alat atau Instrumen Penelitian

Pembuatan alat atau instrumen penelitian dimaksudkan untuk mempermudah pencatatan data pengobatan pasien tuberkulosis selama penelitian di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode


(56)

Oktober-Desember 2013. Alat atau instrumen yang digunakan yaitu berupa lembar kerja berbentuk tabel. Pada tabel memuat tanggal pengobatan, nomor rekam medik, umur, jenis kelamin, kategori pasien tuberkulosis, diagnosis medik, jenis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan obat lain, jumlah OAT dan obat lain, regimen dosis, dan data klinis atau data laboratorium. Tabel dapat dilihat pada Lampiran 1.

E. Tata Cara Penelitian

Penelitian mengenai “Studi Pustaka Interaksi Obat Pada Peresepan

Pasien Tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Periode Oktober-Desember 2013” dilakukan melalui beberapa tahap berikut ini. 1. Tahap orientasi

Tahap ini merupakan tahap sebelum penyusunan proposal dan tahap penyusunan proposal. Peneliti menemukan masalah yang menarik untuk topik penelitian yang diperoleh dari membaca penelitian terdahulu, disertai dengan informasi mengenai topik terkait yang berasal dari jurnal dan artikel kesehatan di media cetak maupun elektronik. Peneliti melakukan survei tempat untuk mencari informasi mengenai rumah sakit yang akan dipilih sebagai lokasi penelitian, prevalensi penyakit yang akan diteliti dan teknis pengambilan data untuk penelitian. Peneliti menyusun proposal penelitian untuk mendapatkan izin melakukan penelitian di RSUD Panembahan Senopati Bantul. Izin penelitian diajukan kepada Sekretariat Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Bantul, dan RSUD Panembahan Senopati Bantul.


(57)

2. Tahap penentuan subyek

Pada tahap ini peneliti mencari informasi jumlah pasien terkait cara pengambilan data subyek penelitian. Penelitian ini menggunakan subyek keseluruhan populasi pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013 dengan total 85 pasien.

3. Tahap pengambilan data

Pada tahap ini pengambilan data dilakukan dengan menggunakan rekam medik pasien. Data yang dikumpulkan meliputi tanggal pengobatan, nomor rekam medik, umur, jenis kelamin, kategori pasien tuberkulosis, diagnosis medik, jenis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan obat lain, jumlah OAT dan obat lain, regimen dosis, data klinis atau data laboratorium.

F. Tata Cara Analisis

Analisis interaksi obat yang terjadi antar Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan antara OAT dengan obat lain dilakukan dengan cara studi pustaka. Pengkajian dilakukan dengan mengacu pada Medscape Drug Interaction Chacker (Chelmow

et al, 2014), Drug Interaction Facts (Tatro, 2007) dan Managing Clinically

Important Drug Interactions (Hansten dan horn, 2002).

Berdasarkan hasil pengambilan data rekam medik pasien, data yang terkumpul diolah dengan metode statistika deskriptif dengan menghitung persentasenya.


(58)

1. Karakteristik pasien tuberkulosis a. Persentase umur pasien tuberkulosis

∑ tiap kelompok umur x 100%. Total pasien

b. Persentase jenis kelamin pasien tuberkulosis

∑ tiap jenis kelamin x 100%. Total pasien

c. Persentase kategori pasien tuberkulosis

∑ tiap kategori pasien x 100%. Total pasien

2. Gambaran pola peresepan pasien tuberkulosis a. Gambaran secara umum

∑ Obat Anti Tuberkulosis (OAT)/obat lain x 100%. Total pasien

∑ obat tiap peresepan x 100%. Total pasien

∑ cara pemberian obat x 100%. Total obat

b. Gambaran Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

∑ OAT tiap peresepan x 100%. Total pasien

∑ golongan OAT tiap peresepan x 100%. Total pasien

∑ jenis OAT tiap peresepan x 100%. Total jenis OAT

∑ kombinasi OAT tiap peresepan x 100%.


(59)

∑ cara pemberian OAT x 100%. Total OAT

3. Evaluasi ada tidaknya interaksi obat dilakukan berdasarkan pustaka berikut: Medscape Drug Interaction Chacker (Chelmow et al, 2014), Drug

Interaction Fact (Tatro, 2007), dan Managing Clinically Important Drug

Interactions (Hansten dan horn, 2002).

4. Studi pustaka interaksi obat pada peresepan pasien tuberkulosis a. Persentase interaksi obat

∑ peresepan yang mengalami/tidak mengalami interaksi x 100%. Total pasien

b. Proporsi interaksi antar OAT dan antara OAT dengan obat lain

∑ interaksi antar OAT/interaksi OAT dengan obat lain x 100%. Total interaksi obat

c. Proporsi jenis interaksi obat

∑ interaksi farmakokinetik/farmakodinamik x 100%. Total jenis interaksi obat

d. Proporsi kategori signifikansi klinis interaksi obat

∑ kategori signifikansi klinis interaksi obat teridentifikasi x 100%. Total interaksi obat

G. Penyajian Hasil

Hasil analisis data yang diperoleh dari rekam medik pasien disajikan dalam bentuk tabel dan gambar disertai pembahasannya. Hasil analisis data mencakup karakteristik pasien tuberkulosis, gambaran umum pola peresepan pasien tuberkulosis, persentase interaksi obat antar Obat Anti Tuberkulosis (OAT)


(60)

dan antara OAT dengan obat lain serta kategori signifikansi klinis interaksi obat pada peresepan pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013.

H. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian “Studi Interaksi Obat Pada Peresepan Pasien

Tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Periode Oktober-Desember 2013” adalah peneliti mengalami keterbatasan mengkaji interaksi obat yang terjadi hanya berdasarkan data rekam medik pasien.


(61)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Studi pustaka interaksi obat pada peresepan pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember tahun 2013 disajikan dalam tiga bagian. Bagian pertama adalah karakteristik pasien tuberkulosis. Bagian kedua adalah gambaran pola peresepan pasien tuberkulosis. Bagian ketiga adalah kajian pustaka interaksi obat pada pasien tuberkulosis. Jumlah peresepan pasien tuberkulosis pada periode Oktober-Desember 2013 di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul adalah 83 peresepan yang berasal dari 83 rekam medik atau pasien.

A. Karakteristik pasien tuberkulosis

Karakteristik pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati periode Oktober-Desember 2013 pada penelitian ini meliputi umur, jenis kelamin dan kategori pasien tuberkulosis.

1. Umur pasien tuberkulosis

Pengelompokan umur pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul dibagi menjadi dua kelompok umur yaitu kelompok umur anak 0-14 tahun dan kelompok umur dewasa ≤15 tahun. Distribusi umur pasien tuberkulosis ditunjukan pada Gambar 3.


(62)

Gambar 3. Diagram distribusi umur pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013

(n=83)

Berdasarkan Gambar 3, pasien tuberkulosis terbanyak adalah kelompok umur anak 0-14 tahun sebanyak 66 pasien (79,5%) bila dibandingkan kelompok umur dewasa ≥15 tahun sebanyak 17 pasien (20,5%). Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan Lusiana (2006), diperoleh kejadian tuberkulosis paling banyak dialami oleh pasien kelompok umur 1-14 tahun.

Berdasarkan penggolongan usia sekolah, kelompok umur anak dapat dikelompokan kembali menjadi 4 kelompok umur, < 1 tahun, 1-5 tahun, 6-12 tahun, dan >12 tahun (Citraningtyas, 2009). Distribusi kelompok umur anak berdasarkam usia sekolah ditunjukan oleh Gambar 4.


(63)

2 pasien 3%

41 pasien 62,1% 22 pasien

33,4%

1 pasien 1,5%

Umur < 1 tahun Umur 1-5 tahun Umur 6-12 tahun Umur >12tahun

Gambar 4. Diagram distribusi kelompok umur anak pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode

Oktober-Desember 2013 (n=66)

Berdasarkan Gambar 4, pasien tuberkulosis anak terbanyak adalah kelompok umur 1-5 tahun sebanyak 41 pasien (62,1%). Anak-anak pada usia 1-1-5 tahun merupakan anak-anak yang mulai aktif bermain dan bertemu banyak orang disekitar lingkungan. Mulai banyaknya orang-orang yang ditemui dilingkungan, semakin besar pula kemungkinan terjadinya penularan berbagai macam kuman penyakit contohnya tuberkulosis. Hal ini dikarenakan sistem kekebalan tubuh anak-anak usia 1-5 masih dalam masa perkembangan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Citraningtyas (2009), pasien tuberkulosis kelompok umur anak terbanyak juga terdapat pada kelompok umur 1-5 tahun.

Penularan penyakit tuberkulosis pada kelompok umur anak terjadi ketika udara yang terhirup mengandung kuman tuberkulosis dari orang-orang terdekat


(64)

seperti orang tua, saudara atau tetangga. Penderita tuberkulosis dewasa seringkali menganggap bahwa gejala-gejala penyakit yang dialami bukan gejala penyakit tuberkulosis, sehingga gejala-gejala tersebut sering diabaikan. Penularan akan semakin mudah ketika anak mengalami kontak erat (serumah) dengan penderita tuberkulosis. Kondisi lingkungan yang tidak sehat dan konsumsi gizi yang kurang mencukupi pada anak akan semakin meningkatkan perkembangan kuman tuberkulosis pada kelompok umur anak (Dipiro et al., 2008).

2. Jenis kelamin pasien tuberkulosis

Pengelompokan pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013 berdasarkan jenis kelamin ditunjukan oleh Gambar 5. Berdasarkan Gambar 5, pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013 yang terbanyak adalah berjenis kelamin perempuan sebanyak 44 pasien (53%).

Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan Citraningtyas (2009), angka kejadian pasien tuberkulosis terbanyak terjadi pada pasien berjenis kelamin perempuan pada usia anak. Tidak ada permasalahan terkait persentase jenis kelamin pada penderita tuberkulosis karena baik laki-laki maupun perempuan memiliki resiko yang sama menderita tuberkulosis. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, penderita tuberkulosis didominasi oleh laki-laki karena adanya faktor resiko lebih besar akibat rokok (Dipiro et al., 2008).


(65)

Gambar 5. Diagram distribusi jenis kelamin pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember

2013 (n=83)

3. Kategori pasien tuberkulosis

Kategori pasien tuberkulosis pada penelitian ini dikelompokan menjadi dua kategori yaitu pasien kategori 1 dan pasien kategori 2. Pasien kategori 1 meliputi pasien baru tuberkulosis paru dengan BTA positif, pasien tuberkulosis paru dengan BTA negatif namun foto toraks positif dan pasien tuberkulosis ekstra paru. Pasien kategori 2 meliputi pasien yang telah diobati sebelumnya, namun mengalami kekambuhan, pengobatan yang gagal atau pengobatan yang terputus (Dipiro et al., 2008). Distribusi kategori pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul ditunjukan oleh Gambar 6.

39 pasien 47% 44 pasien

53%

Laki-laki Perempuan


(66)

Berdasarkan Gambar 6, kategori pasien tuberkulosis terbanyak adalah pasien tuberkulosis kategori 1 sebanyak 81 pasien (97,6%). Banyaknya pasien tuberkulosis kategori 1 disebabkan banyaknya penderita tuberkulosis dengan BTA positif yang tidak melakukan pemeriksaan dan pengobatan tuberkulosis (Boekiwetan, 2009). Menurut penelitian Aditama dkk. (2005), tingginya penderita tuberkulosis dengan BTA positif tanpa pengobatan akan meningkatkan resiko penyebaran Mycobacterium

Tuberculosis ke individu sehat disekitarnya. Semakin tinggi jumlah penderita

tuberkulosis dengan BTA positif yang tidak melakukan pemeriksaan dan pengobatan tuberkulosis, maka akan meningkat pula jumlah pasien tuberkulosis baru yang termasuk dalam pasien tuberkulosis ketegori 1.

Gambar 6. Diagram distribusi kategori pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013


(67)

B. Gambaran Pola Peresepan Pada Pasien Tuberkulosis

Gambaran pola peresepan untuk pasien tuberkulosis terdiri dalam dua bagian. Bagian pertama mengenai gambaran umum pola peresepan pasien tuberkulosis dan bagian kedua mengenai gambaran pola peresepan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) pada pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013.

1. Gambaran umum pola peresepan pasien tuberkulosis

Gambaran umum pola peresepan pasien tuberkulosis meliputi proporsi penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan obat lain, jumlah obat tiap peresepan serta cara pemberian obat pada peresepan pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013.

a. Proporsi penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan obat lain pada peresepan pasien tuberkulosis. Penggunaan obat pada peresepan pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember tahun 2013 terdiri dari Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan obat lain. Distribusi jumlah obat tersebut ditunjukkan oleh Gambar 7.

Berdasarkan pada Gambar 7, penggunaan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) pada peresepan pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalam RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013 yang terbanyak adalah penggunaan OAT sebanyak 267 obat (71,8%). Sasaran terapi pasien tuberkulosis


(68)

adalah kuman Mycobaterium tuberculosis pada pasien tuberkulosis. Sehingga, terapi utama yang diberikan adalah terapi antimikroba untuk membunuh

Mycobaterium tuberculosis. Berdasarkan Panduan Nasional Pengendalian

Tuberkulosis Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2011) prinsip pengobatan tuberkulosis diberikan secara kombinasi yang terdiri dari beberapa jenis OAT. Tidak hanya mendapatkan OAT, pasien tuberkulosis juga mendapatkan obat lain yang digunakan untuk mengobati tanda dan gejala yang ditimbulkan akibat tuberkulosis atau penyakit penyerta yang dialami pasien. Obat lain pada peresepan pasien tubrkulosis digunakan untuk mencegah memburuknya kondisi pasien (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2005).

Gambar 7. Diagram proporsi Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan obat lain yang digunakan oleh pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD


(69)

b. Jumlah obat tiap peresepan pada pasien tuberkulosis. Pasien tuberkulosis dalam peresepan tuberkulosis mendapatkan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dan dapat disertai obat lain. Jumlah obat pada peresepan pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013 pada tiap peresepan ditunjukan pada Tabel VII.

Berdasarkan Tabel VII, pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013 yang menggunakan obat berjumlah tiga sampai empat jenis memiliki persentase yang paling besar (71,1%).

Tabel VII. Distribusi jumlah obat pada tiap peresepan pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode

Oktober-Desember 2013 No. Jumlah obat

tiap peresepan

Jumlah peresepan

(n=83)

Persentase (%)

1 1-2 0 0,0

2 3-4 59 71,1

3 5-6 15 18,1

4 7-8 5 6,0

5 9-10 1 1,2

6 10 3 3,6


(70)

Pada peresepan pasien tuberkulosis, penggunaan tiga sampai empat jenis obat didominasi oleh penggunaan OAT. Besarnya persentase pasien yang menggunakan tiga sampai empat jenis obat terkait banyaknya pasien tuberkulosis kategori 1 tahap intensif di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013. Penggunaan OAT pada pengobatan pasien tuberkulosis kategori 1 tahap intensif diberikan secara kombinasi yang terdiri dari minimal tiga jenis OAT.

Berdasarkan Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis (2011), pengobatan pasien tuberkulosis kategori 1 tahap intensif dibagi menjadi pengobatan pada pasien dewasa dan pada pasien anak. Pasien tuberkulosis dewasa kategori 1 tahap intensif akan mendapatkan empat jenis OAT yang terdiri dari isoniazid, rifampicin, pyrazinamid dan ethambutol. Sedangkan pasien tuberkulosis anak kategori 1 akan mendapatkan tiga jenis OAT yang terdiri dari isoniazid, rifampicin, dan pyrazinamid (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2011).

Pada peresepan pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Periode Oktober-Desember 2013 tidak terdapat pasien yang menggunakan satu sampai dua jenis obat. Tidak terdapat pasien yang menggunakan satu sampai dua jenis obat karena tidak terdapat pasien tuberkulosis kategori 1 tahap lanjutan yang pengobatannya terdiri dari dua jenis OAT. Penggunaan OAT pada pasien tuberkulosis tersebut dapat dilengkapi


(1)

119

81 28/12/2013 520

062 6,2 L PKTB Baru Isoniazid 1x170mg Pyridoxin 1x5mg 3 1

Thorax AP:

Intensif Rifampicin 1x250mg PKTB

Pyrazinamid 2x170mg

82 28/12/2013 484

938 2,1 P PKTB Baru Isoniazid 1x75mg 3 0

Intensif Rifampicin 1x110mg

Pyrazinamid 2x75mg

83 31/12/2013 518

502 3,7 L PKTB Baru Isoniazid 1x100mg 3 0

Thorax AP:

Intensif Rifampicin 1x150mg PKTB

Pyrazinamid 2x100mg

84 28/12/2013 461

861 2,8 L PKTB Baru Isoniazid 1x150mg 3 0

Intensif Rifampicin 1x225mg

Pyrazinamid 2x110mg

85 27/12/2013 519

053 1,4 P PKTB Baru Isoniazid 1x75mg Albuterol 3x0,75mg 3 1

Thorax AP:

Intensif Rifampicin 1x100mg PKTB

Pyrazinamid 2x200mg

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(2)

(3)

120

LAMPIRAN 3. Surat izin penelitian di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(4)

(5)

122

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


(6)

BIOGRAFI PENULIS

Penulis bernama lengkap Christiana Putri Mahardika, lahir di Banjarmasin tanggal 08 Desember 1992 dan merupakan anak pertama dari dua bersaudara pasangan R. Didik Krisbiantoro dan Ernawati. Pendidikan penulis dimulai dari TK Sanjaya Putra Banjarbaru (1998-1999), kemudian dilanjutkan ke SD Sanjaya Putra Banjarbaru (1999-2005), SMP Negeri 1 Banjarbaru (2005-2008), dan SMA Negeri 1 Banjarbaru (2008-2011). Pada tahun 2011 penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang Perguruan Tinggi di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Selama menjalani perkuliahan, penulis aktif dalam kepanitian dan kepengurusan Unit Kegiatan Fakultas (UKF), seperti PP (Pharmacy Performence), PPnEC (Pharmacy Performence and Event Cup), INSADHA (Inisiasi Sanata Dharma) dan Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) Apostolos sebagai bendahara. Selain itu, penulis pernah menjadi asisten Praktikum Anatomi Fisiologi Manusia (2013) dan Compounding Lab Work (2014). Pada Oktober 2014, penulis terlibat dalam The 14th Asian Conference on Clinical Pharmacy sebagai Oral Presentor di Kuala Terengganu, Malaysia.


Dokumen yang terkait

Evaluasi penggunaan obat antihipertensi pada pasien geriatri di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul.

0 1 50

Evaluasi peresepan antibiotika pada pasien diare dengan metode gyssens di instalasi rawat inap RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode April 2015.

0 4 213

Evaluasi interaksi penggunaan obat hipoglikemi pada pasien rawat inap di Bangsal Cempaka RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Agustus 2015.

0 1 92

Evaluasi interaksi penggunaan obat antihipertensi pada pasien rawat inap di Bangsal Cempaka RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Agustus 2015.

0 4 109

Evaluasi penggunaan obat Hipoglikemia pada pasien di instalasi rawat inap bangsal Bakung RSUD Panembahan Senopati Bantul Periode Agustus 2015.

1 6 117

Studi literatur interaksi obat pada peresepan pasien gagal ginjal kronik di instalasi rawat jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013.

7 45 147

Evaluasi penggunaan obat antihipertensi pada pasien geriatri di Instalasi Rawat Inap RSUD Panembahan Senopati Bantul

0 0 48

Studi pustaka interaksi obat pada peresepan pasien tuberkulosis di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul periode Oktober-Desember 2013 - USD Repository

0 0 140

Studi literatur interaksi obat pada peresepan pasien diabetes melitus tipe 2 di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember 2013 - USD Repository

0 1 205

Studi literatur interaksi obat pada peresepan pasien hipertensi di Instalasi Rawat Jalan RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta periode Desember tahun 2013 - USD Repository

0 0 144