29
B. Pengangkatan Anak Angkat
Anak angkat adalah anak orang lain yang dijadikan anak dan secara lahir batin diperlakukan
seakan-akan sebagai
anak kandung
sendiri “ada
kecintaankesayangan”
50
. Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak menyebutkan : “Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan
keluarga, orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam
lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan Pengadilan”.
Hukum adat mengenal 2 dua macam pengangkatan anak, yaitu
51
: 1.
Pengangkatan anak yang dilakukan secara terang dan tunai, artinya pengangkatan anak dilakukan secara terbuka dihadiri segenap keluarga, pemuka adat terang
dan seketika itu juga diberikan pembayaran uang adat tunai. Akibatnya hubungan hukum antara anak dengan orang tua biologisnya putus.
2. Pengangkatan anak secara tidak terang dan tidak tunai, artinya pengangkatan
anak dilakukan secara diam-diam tanpa mengundang keluarga seluruhnya atau hanya dihadiri oleh keluarga tertentu dan tidak dihadiri oleh pemuka adat atau
desa, dan tidak dengan pembayaran uang adat.
50
Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1999, hal. 32
51
Suci Wulansari, Pengangakatan Anak, http:forumadopsianak.wordpress.com20120411pengangkatan-anak , diakses pada tanggal 10
Agustus 2013.
Universitas Sumatera Utara
30
Pengangkatan anak model ini, akibatnya tidak memutuskan hubungan antara
anak tersebut dengan orang tua aslinya. Oleh karena itu ia mewaris dari 2 dua sumber yaitu dari orang tua asli atau orang tua biologisnya dan orang tua
angkatnya. Pelaksanaan pengangkatan anak secara diam-diam lazimnya dilakukan pada masyarakat Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan.
52
Perbedaan antara pengangkatan anak secara terang dan tunai dengan pengangkatan anak secara tidak terang dan tidak tunai terletak pada akibat hukumnya,
yaitu pengangkatan anak secara terang dan tunai, hubungan anak tersebut dengan orang tua biologisnya putus dan ia masuk menjadi keluarga orang tua angkatnya serta
mewaris dari orang tua angkatnya dan tidak mewaris dari orang tua aslinya. Sebaliknya pengangakatan anak secara tidak terang dan tidak tunai, anak tersebut
masih bertempat tinggal dengan orang tua aslinya dan hubungan hukum dengan orang tua aslinya tidak putus. Dengan demikian anak angkat itu masih tetap mempunyai hak
mewaris dari orang tua aslinya. Untuk memberikan pengertian tentang pengangkatan anak, dapat dibedakan
dari dua sudut pandang, yaitu pengertian secara etimologi dan secara terminologi. 1. Pengertian secara etimologi, pengangkatan anak merupakan terjemahan dari
kata “adoptie” bahasa Belanda atau “adopt” bahasa Inggris. Pengertian dalam bahasa Belanda menurut kamus hukum, berarti pengangkatan seorang
anak untuk sebagai anak kandungnya sendiri. Sedangkan dalam bahasa Inggris berarti pengangkatan anak dalam keluarga.
2. Pengertian secara terminologi, yaitu dalam kamus umum bahasa Indonesia dijumpai arti anak angkat, yaitu anak orang lain yang diambil dan disamakan
dengan anaknya sendiri. Dalam ensiklopedia umum disebutkan bahwa
52
Hilman Hadikusuma, Op.Cit, hal. 33
Universitas Sumatera Utara
31
pengangkatan anak adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan perundang-undangan.
53
Menurut Iman Sudiyat, pengertian dari pengangkatan anak adalah “suatu perbuatan memungut seorang anak dari luar ke dalam kerabat, sehingga terjalin suatu
ikatan sosial yang sama dengan ikatan kewangsaan biologis.
54
Berdasarkan tuntutan masyarakat dan karena dalam KUHPerdata tidak ada aturan tentang pengangkatan anak, sedang pengangkatan anak itu sendiri sangat lazim
terjadi di masyarakat, maka pada waktu itu pemerintah Hindia Belanda berusaha untuk membuat suatu aturan yang tersendiri tentang pengangkatan anak.
Pada tahun 1917, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Stbl. No. 129, khusus Pasal 5 sampai 15 mengatur masalah pengangkatan anak untuk
golongan masyarakat Tionghoa. Sejak saat itulah Stbl. 1917 No. 129 menjadi ketentuan hukum tertulis yang mengatur adopsi bagi kalangan masyarakat
Tionghoa yang biasa dikenal dengan golongan Timur Asing.
55
Pengangkatan anak merupakan salah satu perbuatan hukum yang termasuk perbuatan hukum di bidang hukum perdata dan merupakan bagian dari hukum
kekeluargaan, bagaimanapun juga lembaga pengangkatan anak ini akan mengikuti perkembangan dari masyarakat itu sendiri, yang terus beranjak ke arah kemajuan.
Pengangkatan anak dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu pengangkatan anak dari aspek kepastian hukum status anak yang diangkat dan aspek kesejahteraan sosial,
yaitu meningkatkan kesejahteraan anak. Adapun
ketentuan hukum
tentang pengangkatan
anak yang
dapat dikategorikan berlaku bagi anak angkat golongan WNI keturunan Tionghoa adalah:
53
WJS. Poerwadarmina, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1998, , hal. 4
54
Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, 1981, hal. 102
55
Muderis Zaini, Op. Cit., hal. 33
Universitas Sumatera Utara
32
1. Stbl. 1917 No. 129.
Pengangkatan anak yang khusus berlaku bagi WNI keturunan Tionghoa
istilah yang digunakan untuk pengangkatan anak dalam ketentuan ini adalah “adoptie”. Menurut ketentuan ini yang dapat mengangkat anak adalah seorang
laki-laki atau telah pernah beristri tak mempunyai keturunan laki-laki yang sah dalam garis laki-laki, baik keturunan karena kelahiran maupun keturunan karena
pengangkatan anak, maka bolehlah ia mengangkat seorang anak laki-laki sebagai anaknya.
56
Dalam Pasal 6 dan Pasal 7 disebutkan bahwa yang boleh diangkat hanyalah orang-orang Tionghoa laki-laki yang tidak beristeri dan tidak beranak, serta yang
tidak telah diangkat oleh orang lain. Orang yang diangkat harus paling sedikitnya 18 tahun lebih muda dari pada suami dan paling sedikitnya 15 tahun lebih muda
dari pada si isteri atau janda yang mengangkatnya.
57
Anak angkat tersebut selanjutnya menggunakan nama keluarga orang tua angkatnya dan mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan anak kandung
dari orang tua angkatnya serta terputus hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua kandungnya.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pengangkatan anak bagi orang-orang golongan Warga Negara Indonesia
56
Staatsblad 1917 Nomor 129, Pasal 5.
57
Staatsblad 1917 Nomor 129, Pasal 6 dan Pasal 7.
Universitas Sumatera Utara
33
keturunan Tionghoa sebagaimana diatur dalam Stbl. 1917 No. 129 adalah untuk meneruskan atau melanjutkan keturunan dalam garis laki-laki.
58
Namun ketentuan-ketentuan dalam Staatsblaad 1917 telah mengalami perubahan dan perkembangan antara lain dengan adanya putusan dari beberapa
Pengadilan Negeri seperti yang dikemukakan dalam media ‘PROJUSTITIA’ yang antara lain disebutkan:
59
a. Pada tahun 1963 telah terjadi pengangkatan anak perempuan yang dilakukan oleh Pengadilan Negei Istimewa Jakarta dalam putusannya tanggal 29 Mei
1963 Nomor 9071963; b. Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta tanggal 17 Oktober 1963 Nomor
5881963 G, yang sering disebut Jurisprudensi untuk pengangkatan anak perempuan;
c. Penetapan Pengadilan Negeri Bandung dalam penetapannya tanggal 26 Pebruari 1970 Nomor 321970 mengenai pengangkatan anak perempuan oleh
seorang wanita yang tidak menikah, dengan pertimbangan sebagai berikut: “menimbang, bahwa menurut hemat kami yang harus
dipertimbangkan lebih dari segalanya adalah kepentingan dari pada si anak dan seterusnya”
2. UU. No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
Dalam ketentuan UU. No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dengan jelas disebutkan bahwa motif pengangkatan anak yang dikehendaki dalam
58
Tamakiran S, Asas-Asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum, CV. Pionir Jaya, Bandung, 2000, hal. 18
59
Muderis Zaini, Op.Cit, hal.4.
Universitas Sumatera Utara
34
pengaturan hukum tentang pengangkatan anak, yaitu demi kepentingan kesejahteraan anak. Dapat diketahui dari perumusan ketentuan Pasal 12 yang
selengkapnya berbunyi: aPengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan
mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak. bKepentingan kesejahteraan anak yang dimaksud dalam ayat 1 diatur lebih
lanjut dengan peraturan pemerintah. cPengangkatan anak untuk kepentingan kesejahteraan anak yang dilakukan di
luar adat dan kebiasaan, dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang- undangan.
60
Sedangkan yang dimaksud dengan kesejahteraan anak dalam UU ini adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan yang dapat menjamin pertumbuhan dan
perkembangannya dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial.
61
3. UU. No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Kondisi ekonomi nasional yang kurang mendukung sangat mempengaruhi kondisi perekonomian keluarga dan berdampak pada tingkat kesejahteraan anak
Indonesia. Kenyataan yang kita jumpai sehari-hari di dalam masyarakat masih banyak kita jumpai anak-anak yang hidup dalam kondisi yang tidak
menguntungkan, dimana banyak ditemui anak jalanan, anak terlantar, yatim piatu dan anak penyandang cacat dengan berbagai permasalahan yang kompleks yang
memerlukan penanganan, pembinaan dan perlindungan, baik dari pihak Pemerintah maupun masyarakat.
60
Pasal 12 UU. No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
61
Lihat Penjelasan Pasal 12 UU. No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Universitas Sumatera Utara
35
Komitmen Pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap anak telah ditindak lanjuti dengan disahkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang perlindungan anak. Yang mengatur tentang berbagai upaya yang dilakukan dalam rangka perlindungan, pemenuhan hak-hak dan peningkatan
kesejahteraan anak. Salah satu solusi untuk menangani permasalahan anak yang dimaksud yaitu dengan memberi kesempatan bagi orang tua yang mampu untuk
melaksanakan pengangkatan anak. Tujuan pengangkatan anak hanya dapat dilakukan bagi kepentingan terbaik anak dan harus berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku danatau berdasarkan pada adat kebiasaan setempat.
Dalam Bab VIII bagian kedua ketentuan UU ini, yaitu yang mengatur tentang pengangkatan anak. Dalam Pasal 39 disebutkan bahwa:
a Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. b Pengangkatan
anak sebagaimana
dimaksud dalam
ayat 1,
tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua
kandungnya. c Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon
anak angkat. d Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai
upaya terakhir. e Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan
dengan agama mayoritas penduduk setempat.
62
62
Pasal 39 UU. No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Universitas Sumatera Utara
36
Sedangkan bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak diatur dalam ketentuan Pasal 41 yang berbunyi:
aPemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak.
bKetentuan mengenai bimbingan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
4. Surat Edaran Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan No. JHA 112
tanggal 24 Pebruari 1978 tentang Prosedur Pengangkatan Anak Warga Negara Indonesia oleh Orang Asing.
Berdasarkan Surat Edaran tersebut, pengangkatan anak
Warganegara Indonesia oleh orang asing hanya dapat dilakukan dengan suatu penetapan
Pengadilan Negeri. Tidak dibenarkan apabila pengangkatan anak tersebut dilakukan dengan akta Notaris yang dilegalisir oleh Pengadilan Negeri.
63
Selanjutnya dalam Surat Edaran
tersebut ditentukan
pula syarat-syarat
permohonan pengangkatan anak WNI oleh orang asing dan ditentukan bahwa: a. Permohonan itu harus diajukan di Pengadilan Negeri di Indonesia di mana
anak yang akan diangkat berdiam. b. Pemohon harus berdiam atau berada di Indonesia, dan pemohon beserta isteri
harus menghadap sendiri dihadapan hakim, agar hakim memperoleh keyakinan bahwa pemohon betul-betul cakap dan mampu untuk menjadi
orang tua angkat.
63
Soedharyo Soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, Sinar Grafika, Jakarta, 2004 , hal. 29
Universitas Sumatera Utara
37
c. Pemohon beserta isteri berdasarkan peraturan perundang-undangan negaranya mempunyai surat izin untuk mengangkat anak.
64
Surat Edaran ini ditujukan kepada semua Notaris, wakil Notaris sementara dan Notaris pengganti di seluruh Indonesia serta berdasarkan alasan karena pada
saat itu jumlah pengangkatan anak WNI oleh orang asing ternyata makin meningkat.
5. SEMA RI No. 6 tahun 1983 tentang penyempurnaan SEMA RI No. 2 tahun 1979
mengenai Pengangkatan Anak. Dalam Surat Edaran ini ditentukan antara lain tentang syarat-syarat
permohonan pengesahan pengangkatan anak antara WNI oleh orang tua angkat WNA inter country adoption, pengangkatan yang langsung dilakukan antara
orang tua kandung dan orang tua angkat private adoption dan juga tentang pengangkatan anak yang dapat dilakukan oleh seorang Warga Negara Indonesia
yang tidak terikat dalam perkawinan yang sahbelum menikah single parent adoption.
65
Surat Edaran tersebut ditujukan kepada semua Ketua, Wakil Ketua, Hakim- hakim Pengadilan Tinggi dan semua Ketua, Wakil Ketua, Hakim-hakim
Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia. Surat Edaran ini dikeluarkan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan
pengamatan Mahkamah
Agung yang
menghasilkan kesimpulan
bahwa
64
Ibid, hal. 30
65
Rahmat Jhowanda, Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Aceh Studi Kabupaten Aceh Barat, Tesis, Fakultas Hukum Sumatera Utara Medan, 2010, hal. 47.
Universitas Sumatera Utara
38
permohonan pengesahan pengangkatan anak yang diajukan kepada Pengadilan Negeri yang kemudian diputus tampak semakin hari semakin bertambah baik
yang merupakan suatu bagian tuntutan gugatan perdata, maupun yang merupakan permohonan
khusus pengesahan
pengangkatan anak.
Keadaan tersebut
merupakan gambaran bahwa kebutuhan akan pengangkatan anak dalam masyarakat makin bertambah dan dirasakan bahwa untuk memperoleh jaminan
kepastian hukum untuk itu hanya didapat setelah memperoleh suatu keputusan Pengadilan.
66
6. Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia RI No. 41HUKKEPVII1984,
tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak. Surat Keputusan Menteri Sosial yang mengatur tentang petunjuk pelaksanaan
perizinan pengangkatan anak ini dirasa perlu untuk melengkapi Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983.
Dalam Bab II, lampiran Keputusan Menteri tersebut menyebutkan bahwa petunjuk pelaksanaan ini merupakan suatu pedoman dalam rangka pemberian
izin, pembuatan laporan sosial serta pembinaan dan pengawasan pengangkatan anak, agar terdapat adanya kesamaan dalam bertindak dan tercapainya tertib
administrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
67
Pengangkatan anak dalam petunjuk pelaksanaan ini meliputi:
66
Husnah, Pelaksanaan Pengangkatan Anak adopsi yang Dilakukan oleh Warga Masyarakat di Indonesia, Skripsi Universitas Indonesia, Depok, 2009
67
Ibid
Universitas Sumatera Utara
39
d. Pengangkatan anak antara Warga Negara Indonesia khusus yang berada dalam asuhan organisasi sosial.
e. Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing. f. Pengangkatan anak Warga Negara Asing oleh Warga Negara Indonesia.
7. SEMA RI No. 4 tahun 1989, tentang Pengangkatan Anak.
Dalam SEMA ini, menyebutkan bahwa mengulang-tegaskan kepada seluruh Pengadilan Negeri untuk mengirimkan salinan putusanpenetapan Pengadilan
Negeri mengenai pengangkatan anak kepada instansi terkait dan satu salinan kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.
68
Dalam SEMA ini juga menyebutkan bahwa sehubungan dengan pengangkatan anak, yaitu untuk lebih mengetahui dan meneliti keadaan para pemohon, anak
yang akan diangkat dan orang tua kandung beserta kelengkapan dan kebenaran surat-surat bukti yang harus dipenuhi, maka dalam hal menerima, memeriksa dan
mengadili permohonanpengesahan pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia domestic adoption, harus disertai surat keterangan laporan sosial
atas dasar penelitian petugaspejabat social setempat dari pemohoncalon orang tua angkat WNI, anak yang akan diangkat dan orang tua kandung WNI sebagai
salah satu alatsurat bukti.
69
68
Ibid, hal. 40
69
Ibid
Universitas Sumatera Utara
40
C. Prosedur dan Syarat-Syarat Pengangkatan Anak.