24
penelitian dilakukan, dimana lokasi penelitian ini terletak di wilayah administratif Kota Medan.
Dipilihnya Kota Medan sebagai lokasi penelitian dengan alasan bahwa Kota Medan adalah salah satu Kota yang banyak dihuni oleh etnik Tionghoa.
4. Alat Pengumpul data
Informan yang akan diteliti oleh penulis dalam hal ini adalah pihak yang berkaitan dengan pelaksanaan pengangkatan anak di Kota Medan, yakni:
1 Data primer:
a Orang tua yang melaksanakan pengangkatan anak pada keluarga keturunan Tionghoa di Kota Medan.
b Pemuka adat Tionghoa di Kota Medan. Adapun alat yang dipergunakan untuk memperoleh data tersebut adalah:
a Wawancara, yaitu melakukan tanya jawab secara langsung dengan membuat daftar pertanyaan yang sudah direncanakan dan diajukan terhadap informan
yang berhubungan dengan penelitian ini yaitu 5 lima anak atau orang tua angkat.
b Observasi, yaitu mengadakan penelitian langsung pada obyek yang diteliti. Data yang diperoleh dari hasil observasi dianalisis dan disimpulkan.
2 Data sekunder adalah data yang sudah dalam bentuk jadi, seperti data dalam
dokumen dan publikasi.
44
Dengan kata lain data tersebut didapat melalui studi
44
Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Granit, Jakarta, 2004, hal. 57.
Universitas Sumatera Utara
25
kepustakaan maupun dokumen-dokumen yang diperoleh pada waktu awal penelitian, maupun pada saat penelitian dilapangan.
5. Analisis Data
Analisis data pada penelitian ini dilakukan secara kualitatif, yaitu dari data yang diperoleh disusun secara sistematis, kemudian dianalisa secara kualitatif untuk
mencapai kejelasan terhadap masalah yang akan dibahas. Analisis data kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa
yang dinyatakan oleh informan secara tertulis atau lisan dan juga perilakunya yang nyata, diteliti dan dipelajari secara utuh.
45
Pengertian analisis di sini dimaksudkan sebagai suatu penjelasan dan penginterpretasian secara logis, dan sistematis. Logis sistematis menunjukkan cara
berfikir deduktif-induktif dan mengikuti tata tertib dalam penulisan laporan penelitian ilmiah. Setelah analisis data selesai maka hasilnya akan disajikan secara deskriptif,
yaitu dengan
menuturkan dan
mengambarkan apa
adanya sesuai
dengan permasalahan yang diteliti.
46
45
H.B. Sutopo. Metodologi Penelitian Hukum Kualitatif Bagian II, UNS Press, Surakarta. 1998, hal. 37
46
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri,: Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 51
Universitas Sumatera Utara
26
BAB II PENGATURAN HUKUM PENGANGKATAN ANAK PADA WARGA
TIONGHOA DI KOTA MEDAN A. Kedudukan Hukum Anak Dalam Hukum Keluarga
Menurut M. Yahya Harahap yang dikutip oleh Denilah Shofa Nasution bahwa dari defenisi perkawinan yang disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 ditemui beberapa pengertian yang terkandung di dalamnya, yaitu : 1 Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri 2 Ikatan lahir batin dan ditujukan untuk membentuk keluarga rumah tangga
yang bahagia, kekal dan sejahtera. 3 Dasar ikatan lahir batin dan tujuan bahagia yang kekal itu berdasarkan pada
Ketuhanan Yang Maha Esa.
47
Dari pengertian di atas jelas terlihat bahwa perkawinan itu bukanlah semata- mata sekedar hubungan keperdataan, akan tetapi merupakan ikatan yang suci yang
melibatkan agama dan sosial sebagai suatu indikator keabsahan suatu perkawinan. Hal ini juga dapat diperhatikan dalam Penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 yang menyatakan bahwa : Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila pertamanya ialah
Ketuhanan Yang Maha Esa maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali
dengan agamakepercayaan,
sehingga perkawinan
bukan saja
mempunyai unsur lahir jasmani, tetapi unsur batinrohani juga mempunyai
47
Denilah Shofa Nasution, Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Yang Diakui Atas Harta Peninggalan Orang Tuanya Kajian Pada Etnis Tionghoa di Kota Medan, Tesis Program
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2004, hal. 13.
26
Universitas Sumatera Utara
27
peranan penting. Membentuk keluarga yang bahagia erat hubungannya dengan keturunan yang merupakan tujuan perkawinan pemeliharaan dan
pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.
Istilah hukum keluarga berasal dari terjemahan kata familie recht Belanda atau law of family Inggris. Ali Afandi mengatakan bahwa hukum keluarga diartikan
sebagai keseluruhan ketentuan mengenai hubungan hukum yang bersangkutan
dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan.
48
Sedangkan menurut Algra, dkk, yang dikutip oleh Salim HS, menyebutkan bahwa hukum keluarga adalah mengatur hubungan hukum yang timbul dari ikatan
keluarga. Yang termasuk dalam hukum keluarga ialah peraturan perkawinan, peraturan kekuasaan orang tua dan peraturan perwalian.
49
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pasal 298 disebutkan bahwa: tiap-tiap anak dalam umur berapa pun juga, wajib menaruh kehormatan dan
keseganan terhadap Bapak dan Ibunya. Si Bapak dan si Ibu keduanya wajib memelihara dan mendidik sekalian anak mereka yang belum dewasa.
Kehilangan hak untuk memangku kekuasaan orang tua atau untuk menjadi wali tak membebaskan mereka dari kewajiban, memberi tunjangan-tunjangan
dalam
keseimbangan dengan
pendapatan mereka,
guna membiayai
pemeliharaan dan pendidikan itu Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 45 sampai dengan Pasal
49, mengatur tentang hak dan kewajiban orang tua dan anak, sebagai berikut: 1.
Pasal 45 mengatakan “kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak- anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua berlaku sampai anak itu kawin
atau dapat berdiri sendiri”.
48
Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Rieneka Cipta, Jakarta, 1997, hal. 93.
49
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis BW, Penerbit Sinar Grafika, 2001, hal. 56.
Universitas Sumatera Utara
28
2. Pasal 46 mengatakan “anak wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik dan jika telah dewasa, ia wajib memelihara menurut
kemampuannya, orang tua dan keluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka memerlukan bantuannya”.
3. Pasal 47 mengatakan “anak yang belum mencapai umur 18 delapan belas tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, ada di bawah kekuasaan orang
tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya dan orang tua mewakili anak di bawah umur dan belum pernah kawin mengenai segala perbuatan hukum
di dalam dan di luar Pengadilan. 4. Pasal 48
mengatakan “orang tua tidak boleh memindahkan
hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berusia 18
delapan belas tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali kepentingan si anak menghendakinya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang Perkawinan tidak memberikan pembatasan apakah hal
tersebut hanya berlaku terhadap anak sah, anak angkat ataupun anak di luar kawin. Kondisi ini merupakan kondisi yang ideal yang diharapkan oleh undang-undang
untuk hubungan antara seorang anak dengan orang tuanya.
Universitas Sumatera Utara
29
B. Pengangkatan Anak Angkat
Anak angkat adalah anak orang lain yang dijadikan anak dan secara lahir batin diperlakukan
seakan-akan sebagai
anak kandung
sendiri “ada
kecintaankesayangan”
50
. Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak menyebutkan : “Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan
keluarga, orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam
lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan Pengadilan”.
Hukum adat mengenal 2 dua macam pengangkatan anak, yaitu
51
: 1.
Pengangkatan anak yang dilakukan secara terang dan tunai, artinya pengangkatan anak dilakukan secara terbuka dihadiri segenap keluarga, pemuka adat terang
dan seketika itu juga diberikan pembayaran uang adat tunai. Akibatnya hubungan hukum antara anak dengan orang tua biologisnya putus.
2. Pengangkatan anak secara tidak terang dan tidak tunai, artinya pengangkatan
anak dilakukan secara diam-diam tanpa mengundang keluarga seluruhnya atau hanya dihadiri oleh keluarga tertentu dan tidak dihadiri oleh pemuka adat atau
desa, dan tidak dengan pembayaran uang adat.
50
Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1999, hal. 32
51
Suci Wulansari, Pengangakatan Anak, http:forumadopsianak.wordpress.com20120411pengangkatan-anak , diakses pada tanggal 10
Agustus 2013.
Universitas Sumatera Utara
30
Pengangkatan anak model ini, akibatnya tidak memutuskan hubungan antara
anak tersebut dengan orang tua aslinya. Oleh karena itu ia mewaris dari 2 dua sumber yaitu dari orang tua asli atau orang tua biologisnya dan orang tua
angkatnya. Pelaksanaan pengangkatan anak secara diam-diam lazimnya dilakukan pada masyarakat Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan.
52
Perbedaan antara pengangkatan anak secara terang dan tunai dengan pengangkatan anak secara tidak terang dan tidak tunai terletak pada akibat hukumnya,
yaitu pengangkatan anak secara terang dan tunai, hubungan anak tersebut dengan orang tua biologisnya putus dan ia masuk menjadi keluarga orang tua angkatnya serta
mewaris dari orang tua angkatnya dan tidak mewaris dari orang tua aslinya. Sebaliknya pengangakatan anak secara tidak terang dan tidak tunai, anak tersebut
masih bertempat tinggal dengan orang tua aslinya dan hubungan hukum dengan orang tua aslinya tidak putus. Dengan demikian anak angkat itu masih tetap mempunyai hak
mewaris dari orang tua aslinya. Untuk memberikan pengertian tentang pengangkatan anak, dapat dibedakan
dari dua sudut pandang, yaitu pengertian secara etimologi dan secara terminologi. 1. Pengertian secara etimologi, pengangkatan anak merupakan terjemahan dari
kata “adoptie” bahasa Belanda atau “adopt” bahasa Inggris. Pengertian dalam bahasa Belanda menurut kamus hukum, berarti pengangkatan seorang
anak untuk sebagai anak kandungnya sendiri. Sedangkan dalam bahasa Inggris berarti pengangkatan anak dalam keluarga.
2. Pengertian secara terminologi, yaitu dalam kamus umum bahasa Indonesia dijumpai arti anak angkat, yaitu anak orang lain yang diambil dan disamakan
dengan anaknya sendiri. Dalam ensiklopedia umum disebutkan bahwa
52
Hilman Hadikusuma, Op.Cit, hal. 33
Universitas Sumatera Utara
31
pengangkatan anak adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan perundang-undangan.
53
Menurut Iman Sudiyat, pengertian dari pengangkatan anak adalah “suatu perbuatan memungut seorang anak dari luar ke dalam kerabat, sehingga terjalin suatu
ikatan sosial yang sama dengan ikatan kewangsaan biologis.
54
Berdasarkan tuntutan masyarakat dan karena dalam KUHPerdata tidak ada aturan tentang pengangkatan anak, sedang pengangkatan anak itu sendiri sangat lazim
terjadi di masyarakat, maka pada waktu itu pemerintah Hindia Belanda berusaha untuk membuat suatu aturan yang tersendiri tentang pengangkatan anak.
Pada tahun 1917, pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan Stbl. No. 129, khusus Pasal 5 sampai 15 mengatur masalah pengangkatan anak untuk
golongan masyarakat Tionghoa. Sejak saat itulah Stbl. 1917 No. 129 menjadi ketentuan hukum tertulis yang mengatur adopsi bagi kalangan masyarakat
Tionghoa yang biasa dikenal dengan golongan Timur Asing.
55
Pengangkatan anak merupakan salah satu perbuatan hukum yang termasuk perbuatan hukum di bidang hukum perdata dan merupakan bagian dari hukum
kekeluargaan, bagaimanapun juga lembaga pengangkatan anak ini akan mengikuti perkembangan dari masyarakat itu sendiri, yang terus beranjak ke arah kemajuan.
Pengangkatan anak dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu pengangkatan anak dari aspek kepastian hukum status anak yang diangkat dan aspek kesejahteraan sosial,
yaitu meningkatkan kesejahteraan anak. Adapun
ketentuan hukum
tentang pengangkatan
anak yang
dapat dikategorikan berlaku bagi anak angkat golongan WNI keturunan Tionghoa adalah:
53
WJS. Poerwadarmina, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1998, , hal. 4
54
Iman Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, 1981, hal. 102
55
Muderis Zaini, Op. Cit., hal. 33
Universitas Sumatera Utara
32
1. Stbl. 1917 No. 129.
Pengangkatan anak yang khusus berlaku bagi WNI keturunan Tionghoa
istilah yang digunakan untuk pengangkatan anak dalam ketentuan ini adalah “adoptie”. Menurut ketentuan ini yang dapat mengangkat anak adalah seorang
laki-laki atau telah pernah beristri tak mempunyai keturunan laki-laki yang sah dalam garis laki-laki, baik keturunan karena kelahiran maupun keturunan karena
pengangkatan anak, maka bolehlah ia mengangkat seorang anak laki-laki sebagai anaknya.
56
Dalam Pasal 6 dan Pasal 7 disebutkan bahwa yang boleh diangkat hanyalah orang-orang Tionghoa laki-laki yang tidak beristeri dan tidak beranak, serta yang
tidak telah diangkat oleh orang lain. Orang yang diangkat harus paling sedikitnya 18 tahun lebih muda dari pada suami dan paling sedikitnya 15 tahun lebih muda
dari pada si isteri atau janda yang mengangkatnya.
57
Anak angkat tersebut selanjutnya menggunakan nama keluarga orang tua angkatnya dan mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan anak kandung
dari orang tua angkatnya serta terputus hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua kandungnya.
Dari ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pengangkatan anak bagi orang-orang golongan Warga Negara Indonesia
56
Staatsblad 1917 Nomor 129, Pasal 5.
57
Staatsblad 1917 Nomor 129, Pasal 6 dan Pasal 7.
Universitas Sumatera Utara
33
keturunan Tionghoa sebagaimana diatur dalam Stbl. 1917 No. 129 adalah untuk meneruskan atau melanjutkan keturunan dalam garis laki-laki.
58
Namun ketentuan-ketentuan dalam Staatsblaad 1917 telah mengalami perubahan dan perkembangan antara lain dengan adanya putusan dari beberapa
Pengadilan Negeri seperti yang dikemukakan dalam media ‘PROJUSTITIA’ yang antara lain disebutkan:
59
a. Pada tahun 1963 telah terjadi pengangkatan anak perempuan yang dilakukan oleh Pengadilan Negei Istimewa Jakarta dalam putusannya tanggal 29 Mei
1963 Nomor 9071963; b. Keputusan Pengadilan Negeri Jakarta tanggal 17 Oktober 1963 Nomor
5881963 G, yang sering disebut Jurisprudensi untuk pengangkatan anak perempuan;
c. Penetapan Pengadilan Negeri Bandung dalam penetapannya tanggal 26 Pebruari 1970 Nomor 321970 mengenai pengangkatan anak perempuan oleh
seorang wanita yang tidak menikah, dengan pertimbangan sebagai berikut: “menimbang, bahwa menurut hemat kami yang harus
dipertimbangkan lebih dari segalanya adalah kepentingan dari pada si anak dan seterusnya”
2. UU. No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
Dalam ketentuan UU. No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak dengan jelas disebutkan bahwa motif pengangkatan anak yang dikehendaki dalam
58
Tamakiran S, Asas-Asas Hukum Waris Menurut Tiga Sistem Hukum, CV. Pionir Jaya, Bandung, 2000, hal. 18
59
Muderis Zaini, Op.Cit, hal.4.
Universitas Sumatera Utara
34
pengaturan hukum tentang pengangkatan anak, yaitu demi kepentingan kesejahteraan anak. Dapat diketahui dari perumusan ketentuan Pasal 12 yang
selengkapnya berbunyi: aPengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan
mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak. bKepentingan kesejahteraan anak yang dimaksud dalam ayat 1 diatur lebih
lanjut dengan peraturan pemerintah. cPengangkatan anak untuk kepentingan kesejahteraan anak yang dilakukan di
luar adat dan kebiasaan, dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang- undangan.
60
Sedangkan yang dimaksud dengan kesejahteraan anak dalam UU ini adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan yang dapat menjamin pertumbuhan dan
perkembangannya dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial.
61
3. UU. No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Kondisi ekonomi nasional yang kurang mendukung sangat mempengaruhi kondisi perekonomian keluarga dan berdampak pada tingkat kesejahteraan anak
Indonesia. Kenyataan yang kita jumpai sehari-hari di dalam masyarakat masih banyak kita jumpai anak-anak yang hidup dalam kondisi yang tidak
menguntungkan, dimana banyak ditemui anak jalanan, anak terlantar, yatim piatu dan anak penyandang cacat dengan berbagai permasalahan yang kompleks yang
memerlukan penanganan, pembinaan dan perlindungan, baik dari pihak Pemerintah maupun masyarakat.
60
Pasal 12 UU. No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
61
Lihat Penjelasan Pasal 12 UU. No. 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
Universitas Sumatera Utara
35
Komitmen Pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap anak telah ditindak lanjuti dengan disahkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang perlindungan anak. Yang mengatur tentang berbagai upaya yang dilakukan dalam rangka perlindungan, pemenuhan hak-hak dan peningkatan
kesejahteraan anak. Salah satu solusi untuk menangani permasalahan anak yang dimaksud yaitu dengan memberi kesempatan bagi orang tua yang mampu untuk
melaksanakan pengangkatan anak. Tujuan pengangkatan anak hanya dapat dilakukan bagi kepentingan terbaik anak dan harus berdasarkan pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku danatau berdasarkan pada adat kebiasaan setempat.
Dalam Bab VIII bagian kedua ketentuan UU ini, yaitu yang mengatur tentang pengangkatan anak. Dalam Pasal 39 disebutkan bahwa:
a Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. b Pengangkatan
anak sebagaimana
dimaksud dalam
ayat 1,
tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua
kandungnya. c Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon
anak angkat. d Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai
upaya terakhir. e Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan
dengan agama mayoritas penduduk setempat.
62
62
Pasal 39 UU. No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Universitas Sumatera Utara
36
Sedangkan bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak diatur dalam ketentuan Pasal 41 yang berbunyi:
aPemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak.
bKetentuan mengenai bimbingan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
4. Surat Edaran Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan No. JHA 112
tanggal 24 Pebruari 1978 tentang Prosedur Pengangkatan Anak Warga Negara Indonesia oleh Orang Asing.
Berdasarkan Surat Edaran tersebut, pengangkatan anak
Warganegara Indonesia oleh orang asing hanya dapat dilakukan dengan suatu penetapan
Pengadilan Negeri. Tidak dibenarkan apabila pengangkatan anak tersebut dilakukan dengan akta Notaris yang dilegalisir oleh Pengadilan Negeri.
63
Selanjutnya dalam Surat Edaran
tersebut ditentukan
pula syarat-syarat
permohonan pengangkatan anak WNI oleh orang asing dan ditentukan bahwa: a. Permohonan itu harus diajukan di Pengadilan Negeri di Indonesia di mana
anak yang akan diangkat berdiam. b. Pemohon harus berdiam atau berada di Indonesia, dan pemohon beserta isteri
harus menghadap sendiri dihadapan hakim, agar hakim memperoleh keyakinan bahwa pemohon betul-betul cakap dan mampu untuk menjadi
orang tua angkat.
63
Soedharyo Soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, Sinar Grafika, Jakarta, 2004 , hal. 29
Universitas Sumatera Utara
37
c. Pemohon beserta isteri berdasarkan peraturan perundang-undangan negaranya mempunyai surat izin untuk mengangkat anak.
64
Surat Edaran ini ditujukan kepada semua Notaris, wakil Notaris sementara dan Notaris pengganti di seluruh Indonesia serta berdasarkan alasan karena pada
saat itu jumlah pengangkatan anak WNI oleh orang asing ternyata makin meningkat.
5. SEMA RI No. 6 tahun 1983 tentang penyempurnaan SEMA RI No. 2 tahun 1979
mengenai Pengangkatan Anak. Dalam Surat Edaran ini ditentukan antara lain tentang syarat-syarat
permohonan pengesahan pengangkatan anak antara WNI oleh orang tua angkat WNA inter country adoption, pengangkatan yang langsung dilakukan antara
orang tua kandung dan orang tua angkat private adoption dan juga tentang pengangkatan anak yang dapat dilakukan oleh seorang Warga Negara Indonesia
yang tidak terikat dalam perkawinan yang sahbelum menikah single parent adoption.
65
Surat Edaran tersebut ditujukan kepada semua Ketua, Wakil Ketua, Hakim- hakim Pengadilan Tinggi dan semua Ketua, Wakil Ketua, Hakim-hakim
Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia. Surat Edaran ini dikeluarkan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan
pengamatan Mahkamah
Agung yang
menghasilkan kesimpulan
bahwa
64
Ibid, hal. 30
65
Rahmat Jhowanda, Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Waris Adat Pada Masyarakat Aceh Studi Kabupaten Aceh Barat, Tesis, Fakultas Hukum Sumatera Utara Medan, 2010, hal. 47.
Universitas Sumatera Utara
38
permohonan pengesahan pengangkatan anak yang diajukan kepada Pengadilan Negeri yang kemudian diputus tampak semakin hari semakin bertambah baik
yang merupakan suatu bagian tuntutan gugatan perdata, maupun yang merupakan permohonan
khusus pengesahan
pengangkatan anak.
Keadaan tersebut
merupakan gambaran bahwa kebutuhan akan pengangkatan anak dalam masyarakat makin bertambah dan dirasakan bahwa untuk memperoleh jaminan
kepastian hukum untuk itu hanya didapat setelah memperoleh suatu keputusan Pengadilan.
66
6. Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia RI No. 41HUKKEPVII1984,
tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak. Surat Keputusan Menteri Sosial yang mengatur tentang petunjuk pelaksanaan
perizinan pengangkatan anak ini dirasa perlu untuk melengkapi Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983.
Dalam Bab II, lampiran Keputusan Menteri tersebut menyebutkan bahwa petunjuk pelaksanaan ini merupakan suatu pedoman dalam rangka pemberian
izin, pembuatan laporan sosial serta pembinaan dan pengawasan pengangkatan anak, agar terdapat adanya kesamaan dalam bertindak dan tercapainya tertib
administrasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
67
Pengangkatan anak dalam petunjuk pelaksanaan ini meliputi:
66
Husnah, Pelaksanaan Pengangkatan Anak adopsi yang Dilakukan oleh Warga Masyarakat di Indonesia, Skripsi Universitas Indonesia, Depok, 2009
67
Ibid
Universitas Sumatera Utara
39
d. Pengangkatan anak antara Warga Negara Indonesia khusus yang berada dalam asuhan organisasi sosial.
e. Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing. f. Pengangkatan anak Warga Negara Asing oleh Warga Negara Indonesia.
7. SEMA RI No. 4 tahun 1989, tentang Pengangkatan Anak.
Dalam SEMA ini, menyebutkan bahwa mengulang-tegaskan kepada seluruh Pengadilan Negeri untuk mengirimkan salinan putusanpenetapan Pengadilan
Negeri mengenai pengangkatan anak kepada instansi terkait dan satu salinan kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia.
68
Dalam SEMA ini juga menyebutkan bahwa sehubungan dengan pengangkatan anak, yaitu untuk lebih mengetahui dan meneliti keadaan para pemohon, anak
yang akan diangkat dan orang tua kandung beserta kelengkapan dan kebenaran surat-surat bukti yang harus dipenuhi, maka dalam hal menerima, memeriksa dan
mengadili permohonanpengesahan pengangkatan anak antar Warga Negara Indonesia domestic adoption, harus disertai surat keterangan laporan sosial
atas dasar penelitian petugaspejabat social setempat dari pemohoncalon orang tua angkat WNI, anak yang akan diangkat dan orang tua kandung WNI sebagai
salah satu alatsurat bukti.
69
68
Ibid, hal. 40
69
Ibid
Universitas Sumatera Utara
40
C. Prosedur dan Syarat-Syarat Pengangkatan Anak.
Di negara Indonesia belum ada ketentuan hukum tentang pengangkatan anak yang bersifat nasional. Sedangkan dalam praktek, prosedur pengangkatan anak
dilakukan dengan dua cara yaitu melalui: 1
Prosedur formal, yaitu dengan adanya penetapan dari PN. 2
Prosedur informal, yaitu menurut adatkebiasaan masyarakat. Pengangkatan anak secara informal sering menimbulkan sengketa di
kemudian hari dalam penetapan apakah anak angkat tersebut menjadi ahli waris atau bukan dari subjek yang mengangkat adoptan karena tidak adanya bukti tertulis.
Pengangkatan anak WNI keturunan Tionghoa menggunakan prosedur
pengangkatan anak secara formal, yaitu melalui penetapan dari Pengadilan Negeri.
70
Prosedur formal pengangkatan anak bagi WNI golongan Tionghoa sebelum dikeluarkan SEMA No. 2 tahun 1979, yang kemudian disempurnakan dengan SEMA
No. 6 tahun 1983 tentang pengangkatan anak, yang berwenang melakukan pengangkatan anak adalah Notaris.
71
Dalam Stbl. 1917 nomor 129, Bab II Pasal 10 ayat 1, diatur tentang pengangkatan anak, yang berisikan bahwa pengangkatan anak
hanya dapat terjadi dengan adanya akta Notaris dan Pasal 10 ayat 4 Stbl. 1917 No. 129 menentukan bahwa “Setiap orang yang berkepentingan dapat meminta agar pada
akta kelahiran orang yang diangkat, pada sisi akta itu dicantumkan tentang pengangkatan anak itu”.
70
Edison, Op.Cit, hal. 5.
71
Soedharyo Soimin, Op.Cit, hal. 67.
Universitas Sumatera Utara
41
Penetapan Pengadilan Negeri tentang Pengangkatan Anak adalah salah satu dokumen
hukum pengangkatan
anak yang sangat penting,
karena dengan ditetapkannya seorang anak menjadi anak angkat dari suatu pasangan suami isteri
sebagai orang tua angkatnya, maka dapat dipandang bahwa anak angkat tersebut seolah-olah sebagai anak yang baru lahir di tengah-tengah keluarga itu, dengan segala
hak dan kewajibannya yang dipersamakan dengan anak kandung.
72
Setelah dibuatnya akta Notaris mengenai pengangkatan anak, akta tersebut di daftarkan di Kantor Catatan Sipil dan di Kantor Catatan Sipil akta tersebut di catat
pada marginpinggir akta lahir anak tersebut, kemudian akan dikeluarkan petikan akta kelahiran yang baru yang menyebutkan bahwa anak tersebut adalah anak dari orang
tua angkat yang mengangkatnya.
73
Dalam hal terjadinya pemalsuan pada Akta Kelahiran misalnya merubah tempat kelahiran dan tahun kelahiran, dapat
dikategorikan sebagai perbuatan memasukan sebuah keterangan yang tidak benar atau palsu ke dalam akta otentik,
dimana akta lahir anak tersebut berisi keterangan yang tidak benar dapat diancam dengan ancaman pidana Pasal 266 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Namun hal penting yang harus diingat disini ialah, Akta kelahiran yang dikeluarkan tersebut harus tetap dianggap benar isinya sampai ada putusan
72
Rahmat Jhowanda, Op.Cit, hal. 42.
73
Pasal ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dinyatakan identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya yang dituangkan dalam akta
kelahiran.
Universitas Sumatera Utara
42
pengadilan lainnya yang sudah berkekuatan hukum tetap, membatalkan Akta kelahiran tersebut atau menyatakan sebaliknya.
Setelah dikeluarkannya
SEMA No.
2 tahun
1979 yang
kemudian disempurnakan dengan SEMA No. 6 tahun 1983 tentang pengangkatan anak, terdapat
perubahan yang mendasar, di mana untuk sahnya pengangkatan anak bukan diharuskan dengan adanya akta Notaris, tetapi adanya putusan atau penetapan dari
Pengadilan Negeri di mana anak tersebut berdomisili.
74
Sehingga bagi golongan WNI keturunan Tionghoa berlaku juga prosedur pengangkatan anak formal untuk sahnya
pengangkatan anak, yaitu dengan adanya penetapan dari Pengadilan Negeri. Adapun prosedur pengangkatan dan syarat-syarat pengangkatan anak
ditentukan sebagai berikut:
75
1. Syarat dan bentuk surat permohonan
a. Surat permohonan bersifat voluntair. b. Permohonan pengangkatan anak hanya dapat diterima apabila ternyata telah
ada urgensi yang memadai, misalnya ada ketentuan undang-undang. c. Permohonan pengangkatan anak dapat dilakukan secara lisan atau tertulis
berdasarkan ketentuan hukum acara yang berlaku. d. Surat permohonan pengangkatan anak dapat ditandatangani oleh pemohon
sendiri atau oleh kuasa hukumnya
74
Soedharyo Soimin, Op.Cit, hal. 70
75
Ahmad Kamil dan H.M Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hal.59
Universitas Sumatera Utara
43
e. Surat permohonan pengangkatan anak ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri atau Ketua Pengadilan Agama.
2. Isi surat permohonan pengangkatan anak
a. Dalam bagian dasar hukum permohonan pengangkatan anak, harus secara jelas diuraikan motivasi yang mendorong niat untuk mengajukan permohonan
pengangkatan anak b. Harus diuraikan secara jelas bahwa permohonan pengangkatan anak, terutama
didorong oleh motivasi untuk kebaikan danatau kepentingan calon anak angkat, didukung dengan uraian yang memberikan kesan bahwa calon orang
tua angkat benar-benar memiliki kemampuan dari berbagai aspek bagi masa depan anak angkat menjadi lebih baik.
c. Isi petitum permohonan pengangkatan anak bersifat tunggal, yaitu hanya memohon “agar anak bernama A ditetapkan sebagai anak angkat dari B.”
tanpa ditambah permintaan lain seperti “agar anak bernama A ditetapkan sebagai ahli waris dari si B.”
Syarat bagi perbuatan pengangkatan anak antar WNI yang harus dipenuhi antara lain sebagai berikut:
76
1. Syarat bagi calon orang tua angkat pemohon:
a. Pengangkatan anak yang langsung dilakukan antara orang tua kandung dengan orang tua angkat private adoption diperbolehkan.
76
Ibid, hal. 74
Universitas Sumatera Utara
44
b. Pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang tua yang berstatus kawin dan kurang lebih sudah menikah 5 tahun
c. Pengangkatan anak yang dilakukan oleh seorang yang tidak terikat dalam perkawinan sahbelum menikah single parent adoption diperbolehkan.
d. Pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang tua tunggal duda janda. Tetapi bagi janda yang ditinggal mati suaminya dan terdapat wasiat dari suami
yang tidak menginginkan untuk mengadopsi anak, maka janda tersebut tidak bisa melakukan adopsi anak posthumous adoptie. Harus mendapat
persetujuan dari keluarga sedarah dalam garis laki-laki dari pihak mendiang suaminya.
2. Syarat bagi calon anak yang diangkat:
a. Dalam hal calon anak angkat tersebut berada dalam asuhan suatu Yayasan Sosial harus dilampirkan surat izin tertulis Menteri Sosial bahwa Yayasan
yang bersangkutan telah diizinkan bergerak di bidang kegiatan pengangkatan anak.
b. Calon anak angkat yang berada dalam asuhan Yayasan Sosial yang dimaksud di atas harus pula mempunyai izin tertulis dari Menteri Sosial atau Pejabat
yang ditunjuk bahwa anak tersebut diizinkan untuk diserahkan sebagai anak angkat.
Setelah permohonan disetujui Pengadilan, akan menerima salinan Keputusan Pengadilan mengenai pengadopsian anak. Salinan tersebut harus dibawa ke kantor
Catatan Sipil untuk menambahkan keterangan dalam Akta kelahirannya. Dalam akta
Universitas Sumatera Utara
45
tersebut dinyatakan bahwa anak tersebut telah diadopsi dan di dalam tambahan itu disebutkan pula nama orang tua angkatnya.
77
D. Perlindungan Hak Waris Anak Angkat.
Hukum Waris adalah hukum yang mengatur tentang peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan seseorang yang meninggal serta akibatnya bagi para ahli
warisnya.
78
Sebagai akibat dari pengangkatan anak menurut ketentuan dalam Stbl 1917 No. 129 bahwa pengangkatan anak bagi golongan WNI keturunan Tionghoa,
menyebabkan kedudukan anak angkat dipersamakan dengan anak kandung oleh orang tua yang mengangkat, sehingga anak angkat berhak mewaris harta kekayaan
dari orang tua angkatnya. Hukum waris mengatur tentang cara hak-hak dan kewajiban-kewajiban atas
harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia akan beralih kepada orang-orang lain yang masih hidup.
79
Ketentuan mengenai pengangkatan anak termasuk hak waris anak angkat WNI keturunan Tionghoa tidak di atur dalam BW, begitu juga dalam
UU Perkawinan UU No. 1 Tahun 1974. Pasal 833 ayat 1 KUHPerdata, ahli waris karena hukum memiliki barang-
barang, hak-hak, dan segala piutang dari orang yang meninggal dunia. Hal ini disebut, mereka ahli waris mempunyai “saisine”. Kata itu di ambil dari bahasa
77
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum APIK Jakarta, Adopsi Anak : Tata Cara dan Akibat Hukumnya, http:www.lbh-apik.or.idadopsi.htm, diakses pada tanggal 21 Desember 2013.
78
Effendi Parangin, Hukum Waris, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 3.
79
Shanty Dellyana, Wanita dan Anak Di Mata Hukum, Liberty, Yogyakarta, 2004, hal. 181
Universitas Sumatera Utara
46
Prancis: “le mort saisit le vif”, artinya yang mati di anggap digantikan oleh yang hidup.
80
Cara untuk mendapatkan warisan, yaitu sebagai berikut:
81
1. Mewaris menurut Undang-undang ab intestato
a. Mewaris berdasarkan kedudukan sendiri uit eigenhoofde Dilakukan berdasarkan kedudukan masing-masing ahli waris yang berhak
mendapatkan warisan menurut golongan-golongan yang sudah ditentukan di dalam KUHPerdata.
b. Mewaris berdasarkan penggantian bij plaatsvervulling Dilakukan dengan jalan penggantian tempat terhadap ahli waris yang berhak
mendapatkan, namun oleh karena sesuatu hal, maka hak ahli waris tersebut digantikan oleh ahli waris yang lain pada kedudukan yang lebih dengan ahli
waris yang berhak mendapatkan harta waris. Para ahli waris pengganti ini dapat ditempati oleh saudara kandung, orang tua, cucu, anak luar kawin.
2. Pewarisan berdasarkan wasiat testament – Pasal 874 KUHPerdata
Adanya akta autentik yang berisi pernyataan sepihak untuk menyatakan kehendak si pewaris.
Ahli waris, dalam KUHPerdata digolongkan menjadi 4 golongan, yaitu:
80
Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Waris Kodifikasi, Airlangga University Press, Surabaya, 2000, hal. 6
81
Surini Ahlan Sjarif, Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat Pewarisan Menurut Undang-Undang, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal.16
Universitas Sumatera Utara
47
1. Anak atau keturunannya dan isteri suami yang masih hidup
2. Orang tua bapak dan ibu dan saudara pewaris
3. Kakek dan nenek, atau leluhur lainnya dalam garis lurus ke atas Pasal 853
KUHPerdata 4.
Sanak keluarga dalam garis kesamping sampai derajat ke enam Pasal 861 ayat 1 KUHPerdata.
Golongan ahli waris ini ditetapkan secara berurutan, artinya jika terdapat orang-orang dari golongan pertama, mereka itulah yang bersama-sama berhak
mewaris semua harta peninggalan pewaris. Jika tidak terdapat anggota keluarga dari golongan pertama, maka orang-orang yang termasuk dalam golongan kedualah yang
berhak sebagai ahli waris. Jika tidak terdapat anggota keluarga dari golongan kedua, maka orang-orang yang termasuk dalam golongan ketigalah yang berhak mewaris.
Jika semua golongan ini tidak ada barulah mereka yang termasuk dalam golongan ke empat secara bertingkat berhak mewaris. Jika semua golongan ini sudah tidak ada,
maka negaralah yang mewaris semua harta peninggalan pewaris.
82
Para ahli waris dalam garis baik kebawah maupun ke atas, berhak atas suatu “legitieme portie”, yaitu suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak dapat
dihapuskan oleh orang yang meninggalkan warisan, dengan kata lain mereka itu tidak dapat “onterfd”. Hak atas legitieme portie, barulah timbul bila seseorang dalam
82
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000,, hal. 49
Universitas Sumatera Utara
48
keadaan sungguh-sungguh tampil ke muka sebagai ahli waris menurut Undang- undang.
83
Apabila para
ahli waris
menurut Undang-undang
tersebut ternyata
dikesampingkan onterfd, mereka mempunyai hak untuk menuntut atas hak waris tersebut. Vollmar mengatakan bahwa “mereka yang dapat mengemukakan hak untuk
memperoleh bagian warisan menurut Undang-undang, yaitu yang disebut para legitimaris, mereka itu hanyalah para kerabat sedarah dalam garis lurus”.
84
Mengenai hak untuk menuntut secara hukum untuk memperoleh harta warisan dikenal dengan
istilah asas Hereditatis Petitio yang di atur dalam ketentuan Pasal 834 dan 835 KUHPerdata.
E. Tatacara Pengangkatan Anak Pada Keluarga Tionghoa
Tata cara pengangkatan anak dalam warga Tionghoa dapat dilakukan dengan akta Notaris dan penetapan Pengadilan.
1. Akta Notaris