58
3. Dengan adanya pengangkatan anak, baik menurut Stbl. 1917 No. 129 atau
hukum adat, menimbulkan hak kewarisan bagi anak yang diangkat tersebut, walaupun proporsinya berbeda.
95
2. Penetapan Pengadilan
Secara khusus
belum ada
Undang-undang yang
mengatur tentang
pengangkatan anak ini. Para hakim di Pengadilan Negeri dalam hal pengangkatan anak masih mempedomani Stbl. 1917 No. 129, yang semula hanya berlaku di
lingkungan golongan Tionghoa yang belum memperoleh anak laki-laki, serta SEMA No. 2 tahun 1979, jo. No. 6 tahun 1983 jo. No. 4 tahun 1989 tentang Pengangkatan
Anak, Kep. Men. Sos. RI No. 41HukKepVII1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak yang juga memberi peluang kepada seseorang yang
belum berkeluarga untuk mengajukan diri sebagai orang tua angkat. SEMA No. 6 tahun 1983 Penyempurnaan SEMA No. 2 tahun 1979 Tentang
Pengangkatan Anak, dalam angka I bagian Umum menyebutkan: a.
Pengamatan Mahkamah Agung menghasilkan kesimpulan bahwa permohonan pengesahanpengangkatan anak diajukan kepada Pengadilan Negeri yang
kemudian diputus tampak kian bertambah. Baik yang merupakan permohonan khusus pengesahanpengangkatan anak. Yang terakhir ini menunjukkan adanya
perubahanpergeseran variasi-variasi pada motif dasarnya. b.
Keadaan tersebut merupakan gambaran, bahwa kebutuhan akan pengangkatan anak dalam masyarakat makin bertambah dan dirasakan bahwa untuk
95
Makalah Universitas Diponegoro Semarang, Temu Ilmiah Badan Kerja Sama Organisasi Notariat Se-Indonesia, Tentang Kewenangan Notaris Terhadap Pembuatan Akta Pengangkatan Anak,
Batu-Malang, 1995, hal. 14
Universitas Sumatera Utara
59
memperoleh jaminan kepastian hukum itu hanya didapat setelah memperoleh suatu putusan Pengadilan.
Pada prinsipnya prosedur pengangkatan anak dapat dibagi menjadi :
96
1 Prosedur Teknis
Prosedur teknis merupakan prosedur rutin hingga diperolehnya salinan penetapan atau putusan pengangkatan anak oleh para pihak yang mengajukan
permohonan pengangkatan anak 2
Prosedur Non Teknis Prosedur non teknis sehubungan dengan substansi pengangkatan anak belum
diatur dalam suatu perundang-undangan, maka Hakim hanya berdasarkan SEMA-RI tersebut dalam melaksanakan tugas-tugasnya dengan mengikuti
perkembangan praktek di Pengadilan dengan suatu batasan prinsip kehati-hatian dan sebagai landasannya adalah dengan mengutamakan kepentingan terbaik bagi
masa depan si anak barulah permohonan tersebut dapat dikabulkan. Sun Basana Hutagalung mengatakan bahwa prosedur pengangkatan anak
masih tetap mengacu pada SEMA RI No. 6 tahun 1983 tentang penyempurnaan SEMA RI No. 2 tahun 1979 tentang Pengangkatan Anak, yaitu antara lain:
97
1 Anak yang akan diangkat masih di bawah 12 tahun
2 Umur orang tua angkat 35 tahun sampai 53 tahun
3 Memiliki anak kandung tidak lebih dari 2 orang
4 Anak yang akan diangkat harus mempunyai akta kelahiran
96
Tetty Ruslie Naulibasa, Peranan Notaris Pada Lembaga Pengangkatan Anak, Jurnal,
Medan : Universitas Sumatera Utara, Magister Kenotariatan, hal 22.
97
Wawancara dengan Sun Basana Hutagalung SH.MH, Hakim Pengadilan Negeri di Medan, pada tanggal 16 Oktober 2013.
Universitas Sumatera Utara
60
5 Surat berkelakuan baik
6 Surat keterangan berbadan sehat
7 Surat keterangan dari dinas sosial
8 Surat pernyataan penyerahan anak dari orang tua kandung
9 Surat pernyataan calon orang tua angkat yang menyatakan bahwa tujuan dari
pengangkatan anak ini adalah demi kepentingan anak angkat 10 Surat keterangan slip gaji penghasilan
Anak yang telah mendapat pengesahan dari Pengadilan berhak mendapatkan kehidupan yang layak, pendidikan, kasih sayang dan berhak mendapatkan warisan
dari orang tua angkatnya dan berkedudukan sama seperti anak kandung. Dan anak yang diangkat hanya melalui proses adat, tidak diakui dimata hukum, sehingga
apabila dikemudian hari terdapat tuntutan dalam hal ini atas warisan keturunan Tionghoa, maka anak tersebut tidak berhak atas warisan orang tua angkatnya.
98
Pada dasarnya suatu putusan hakim harus bermanfaat, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi masyarakat. Hakim hendaknya mendasarkan putusan-
putusannya pada peraturan perundang-undangan, tetapi harus juga memperhatikan asas-asas keadilan, kesadaran dan perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Jadi hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
99
Dengan demikian hukum ditujukan untuk tercapainya sebesar- besar manfaat, keuntungankebahagiaan bagi masyarakat.
98
Ibid.
99
Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, 2001, hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
61
BAB III MOTIVASI MASYARAKAT WARGA KETURUNAN TIONGHOA
A. Hukum Waris dan Hukum Adat
Kedudukan anak angkat dalam hukum positif Indonesia diatur dalam Pasal 1 ayat 9 UU Nomor. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengemukakan
bahwa anak angkat adalah yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas
perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atas penetapan Pengadilan.
Beberapa ketentuan lain dalam Undang-undang Nomor. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang mengatur tentang pengangkatan anak, antara lain
yaitu: Pasal 39:
1 Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2 Pengangkatan
anak sebagaimana
dimaksud dalam
ayat 1,
tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua
kandungnya. 3 Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon
anak angkat. 4 Pengangkatan anak oleh warganegara asing hanya dapat dilakukan sebagai
upaya terakhir. 5 Dalam hal asal-usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan
dengan agama mayoritas penduduk setempat. Pasal 40:
61
Universitas Sumatera Utara
62
1 Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya.
2 Pemberitahuan asal-usul dan orang tua kandungnya sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dengan memperhatikan kesiapan anak yang
bersangkutan. Pasal 41:
1 Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan pengangkatan anak.
2 Ketentuan mengenai bimbingan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Umumnya bila sepasang suami isteri melakukan pengangkatan anak karena mereka belum dikaruniai anak dalam perkawinannya, mereka mengharapkan agar
supaya anak yang di angkat itu bisa menjadi saluran kasih sayang dan menjadikan semarak dalam kehidupan rumah tangga mereka.
Perkembangan kehidupan masyarakat akhir-akhir ini, menunjukkan bahwa tujuan pengangkatan anak tidak hanya sebagaimana tersebut di atas, akan tetapi lebih
luas dari pada hal tersebut, khususnya sehubungan dengan mewarisi harta peninggalan.
Pengertian waris timbul karena adanya peristiwa kematian. Peristiwa kematian ini terjadi pada seorang anggota keluarga, misalnya ayah, ibu, atau anak.
Apabila orang yang meninggal itu memiliki harta kekayaan, maka yang menjadi pokok persoalan bukanlah peristiwa kematian itu, melainkan harta kekayaan yang
ditinggalkan.
Universitas Sumatera Utara
63
Asas yang berlaku dalam hukum bahwa apabila seorang meninggal, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya beralih pada sekalian ahli warisnya.
100
Abdulkadir Muhammad memberikan rumusan “hukum waris adalah segala peraturan hukum yang mengatur tentang beralihnya harta warisan dari pewaris karena
kematian kepada ahli waris atau orang yang ditunjuk”. Unsur-unsur yang terdapat dalam pengertian hukum waris itu sebagai berikut:
1. Subyek hukum waris yaitu pewaris, ahli waris, dan orang yang ditunjuk
berdasarkan wasiat 2.
Meninggalnya pewaris 3.
Hubungan hukum waris yaitu hak dan kewajiban ahli waris 4.
Obyek hukum waris yaitu harta warisan peninggalan almarhum.
101
Terdapat 4 empat penggolongan ahli waris menurut KUHPerdata yaitu: 1.
Golongan I: Anak-anak dan keturunannya, termasuk suamiisteri 2.
Golongan II: Orang tua ayah dan ibu dan saudara-saudara sekandung danatau anak-anak keturunannya
3. Golongan III: Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu, dan
seterusnya dalam garis lurus ke atas dari pewaris 4.
Golongan IV: Sanak keluarga dalam garis ke samping sampai dengan derajat ke 6. Konsekuensi penggolongan tersebut, apabila ada ahli waris golongan I, maka
golongan ahli waris yang lain tidak berhak mewaris apabila ahli waris golongan I
100
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, hal. 266
101
Ibid, hal. 267
Universitas Sumatera Utara
64
tidak ada, maka ahli waris golongan II yang berhak mewaris, demikian seterusnya sampai dengan golongan IV.
Keturunan dari orang yang meninggal dunia merupakan ahli waris yang terpenting, karena pada kenyataannya mereka merupakan ahli waris yang berhak.
102
Hal inilah salah satu motivasi seseorang yang tidak mempunyai keturunan untuk mengangkat anak, yaitu untuk mewarisi atau mengelola harta yang ditinggalkannya.
Muderis Zaini mengungkapkan alasan-alasan pengangkatan anak atau adopsi di Indonesia sebagai berikut:
103
1. Karena tidak mempunyai anak
2. Karena belas kasihan kepada anak tersebut disebabkan orang tua si anak tidak
mampu memberikan nafkah kepadanya 3.
Karena belas kasihan disebabkan anak yang bersangkutan tidak mempunyai orang tua yatim piatu
4. Karena hanya mempunyai anak laki-laki, maka diangkatlah seorang anak
perempuan atau sebaliknya 5.
Sebagai pemancing bagi yang tidak mempunyai anak untuk dapat mempunyai anak kandung
6. Untuk menambah tenaga dalam keluarga
7. Dengan maksud anak yang diangkat mendapatkan pendidikan yang layak
8. Karena unsur kepercayaan
102
J. Satrio, Op.Cit, hal. 24
103
Muderis Zaini, Op.Cit, hal. 15
Universitas Sumatera Utara
65
9. Untuk menyambung keturunan dan mendapatkan regenerasi bagi yang tidak
mempunyai anak kandung 10. Adanya hubungan keluarga antara anak dengan orang tua angkat
11. Diharapkan anak angkat dapat menolong di hari tua dan menyambung keturunan bagi yang tidak mempunyai anak
12. Ada juga karena merasa belas kasihan atas nasib si anak yang seperti tidak terurus
13. Untuk mempererat hubungan kekeluargaan 14. Anak dahulu sering penyakitan atau sering meninggal, maka anak yang baru lahir
diserahkan kepada keluarga atau orang lain untuk diadopsi, dengan harapan anak yang bersangkutan selalu sehat dan panjang umur.
Hukum waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan.
104
Hukum waris sangat erat hubungan dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab setiap
manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan kematian. Akibat hukum yang selanjutnya timbul dengan terjadinya peristiwa hukum kematian
seseorang diantaranya adalah masalah pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban seseorang yang meninggal dunia tersebut.
105
Harta yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia merupakan objek hukum waris, sedangkan ahli waris merupakan subjek hukum waris yakni
104
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW, Refika Aditama, Jakarta, 2005, hal. 1
105
Ibid
Universitas Sumatera Utara
66
orang-orang yang berhak meneruskan hak-hak dan kewajiban dari pewaris terhadap kekayaan yang ditinggalkan tersebut.
KUHPerdata tidak ada pasal tertentu yang memberikan pengertian tentang hukum waris. Pasal 830 KHUPerdata mengemukakan bahwa pewarisan hanya
berlangsung karena kematian. Dengan demikian pengertian hukum waris Barat seperti dikemukakan KUHPerdata bahwa tanpa adanya orang yang mati dan
meninggalkan harta kekayaan maka tidak ada masalah pewarisan. Menurut Wirjono Prodjodikoro pengertian warisan adalah bahwa soal apakah
dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih
hidup.
106
Pitlo,”hukum waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan
kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang- orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan mereka,
maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga”.
107
Menurut hukum adat, dikemukakan antara lain oleh Soepomo bahwa hukum waris adalah “memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta
mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud
106
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Waris Indonesia, Sumur, Bandung, 2006, hal. 8
107
Pitlo A dan M. Isa Marif, Hukum Waris Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda, Intermasa, Jakarta, Cetakan I, 1989, hal. 1
Universitas Sumatera Utara
67
benda immateriele goederen dari suatu angkatan manusia generasi kepada turunannya”.
108
Ter Haar menyebutkan bahwa “hukum waris adat itu meliputi aturan-aturan hukum yang bertalian dengan proses dari abad ke abad yaitu yang menarik perhatian
adalah proses penerusan dan peralihan kekayaan materiil dan immateriil dari keturunan-keturunan”.
109
Iman Sudiyat merumuskan hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan
hukum yang
bertalian dengan
proses penerusan
atau pengoperan dan peralihanperpindahan harta kekayaan materiil dan immateriil dari
generasi ke generasi.
110
Hukum waris adat itu memuat ketentuan-ketentuan yang mengatur proses penerusan dan peralihan harta kekayaan baik yang berwujud maupun yang tidak
berwujud dari pewaris kepada hali waris. Siapa yang menjadi ahli waris atau yang berhak memperoleh penerusan harta
peninggalan tersebut, maka dapat dilihat dari sistem keturunan yang berlaku dalam suatu daerah tertentu.
Dikalangan masyarakat adat terdapat berbagai alasan seseorang atau pasangan suami isteri melakukan pengangkatan anak. Pada daerah-daerah yang mengikut garis
keturunan patrilineal pada prinsipnya pengangkatan anak hanya pada anak laki-laki dengan tujuan utama penerus keturunan. Sedangkan pada daerah-daerah yang
108
Soepomo., Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1996, hal. 79
109
Ter Haar Bzn., Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, 1991, hal. 231.
110
Iman Sudiyat., Op.Cit, hal. 151.
Universitas Sumatera Utara
68
mengikuti garis keturunan parental antara lain Jawa dan Sulawesi, pengangkatan anak laki-laki atau perempuan, pada umumnya dilakukan pada keponakannya sendiri
berdasarkan tujuan : 1.
Untuk memperkuat pertalian kekeluargaan dengan orang tua anak yang diangkat. 2.
Untuk menolong anak yang diangkat atas dasar belas kasihan. 3.
Atas dasar kepercayaan agar dengan mengangkat anak, kedua orang tua angkat akan dikaruniai anak sendiri.
4. Untuk membantu pekerjaan orang tua angkat.
111
Masyarakat adat mengenal berbagai macam sistem keturunan sebagai berikut: 1.
Sistem Patrilineal, yaitu sistem yang ditarik menurut garis bapak, dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya daripada kedudukan wanita dalam
pewarisan. 2.
Sistem Matrilineal, sistem ketururnan yang ditarik dari garis ibu, dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya daripada kedudukan pria di
dalam pewarisan. 3.
Sistem Parentalbilateral, yaitu keturunan yang ditarik menurut garis orangtua atau menurut garis kedua sisi bapak dan ibu, dimana kedudukan pria dan wanita
tidak dibedakan di dalam pewarisan Aceh, Sumatera Timur, Riau, Jawa, Kalimantan dan sebagainya
111
Runtung Sitepu, Pluralisma Hukum Mengenai Pengangkatan Anak Di Indonesia, Qanun, Jurnal Ilmu Hukum, Unsyiah Banda Aceh No. 39, Edisi Agustus 2004, hal. 374.
Universitas Sumatera Utara
69
4. Antara sistem keturunan yang satu dan yang lain, karena hubungan perkawinan
dapat berlaku bentuk campuran atau berganti-ganti diantara sistem patrilineal dan matrilineal, yang disebut dengan sistem Alternered.
112
Berbagai sistem kekeluargaan tersebut, akan dapat diketahui siapa yang paling dan berhak atas harta peninggalan dari seseorang pewaris. Jadi berbeda dari hukum
waris adat sebagaimana diatur dalam KUHPerdata yang menekankan pada adanya kematian seseorang dan adanya kebendaan yang ditinggalkan serta adanya ahli waris
sedangkan menurut hukum waris adat sebagaimana berlaku dikalangan berbagai masyarakat Indonesia tidak hanya mengatur bagaimana cara meneruskan dan
mengalihkan harta kekayaan baik yang berwujud atau tidak berwujud, baik yang bernilai uang atau tidak dari pewaris ketika ia masih hidup atau sudah mati kepada
para waris terutama pada ahli warisnya. Menurut Soepomo,
113
hukum adat Indonesia mempunyai corak sebagai berikut:
1. Mempunyai sifat kebersamaan atau komunal yang kuat, artinya manusia menurut
hukum adat merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat, dan rasa kebersamaan ini meliputi seluruh lapangan hukum adat.
2. Mempunyai corak religius-magis yang berhubungan dengan pandangan hidup
alam Indonesia.
112
Eman Suparman, Op.Cit, hal. 41
113
Soepomo, Op.Cit, hal. 98
Universitas Sumatera Utara
70
3. Hukum adat diliputi oleh pikiran penataan serba konkrit artinya hukum adat
sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya perhubungan hidup yang konkrit.
4. Hukum adat mempunyai sifat yang visual artinya perhubungan hukum dianggap
hanya terjadi oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat tanda yang kelihatan.
Menurut hukum waris adat, cara bagaimana pewaris itu dipengaruhi oleh struktur kekerabatan masyarakatnya yaitu bilateral atau parental. Di samping adanya
perbedaan dalam struktur kemasyarakatan kekerabatan tersebut, berlaku pula sistem pewarisan individual, kolektif dan mayorat.
Sistem pewarisan yang berlaku pada umumnya sebagaimana pendapat Hilman Hadikusuma, yang membagi sistem pewarisan itu sebagai berikut:
1. Sistem keturunan 2. Sistem pewarisan individual
3. Sistem pewarisan kolektif 4. Sistem pewarisan mayorat.
5. Sistem pewarisan Islam. 6. Sistem pewarisan Barat
114
1 Sistem Keturunan.
Masyarakat Indonesia
yang menganut
berbagai macam
agama dan
kepercayaan yang berbeda-beda mempunyai bentuk-bentuk kekerabatan dengan sistem keturunan yang berbeda-beda. Sistem keturunan ini sudah berlaku sejak
dahulu. Sebelumnya masuknya ajaran agama Hindu, Islam dan Kristen. Sistem
114
Hilman Hadikusuma, Op.Cit, hal. 36
Universitas Sumatera Utara
71
keturunan yang berbeda-beda ini tampaknya berpengaruh dalam sistem pewarisan hukum adat.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya sistem keturunan itu di Indonesia dibedakan dalam tiga corak yaitu sistem patrilineal, sistem matrilineal dan sistem
parentalbilateral. a. Sistem Patrilineal
Patrilineal adalah sistem keturunan yang ditarik menurut garis bapak, dimana kedudukan pria lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan wanita di
dalam pewarisan. Suku-suku yang bergaris keturunan kebapakan antara lain adalah Gayo, Alas, Batak, Nias, Lampung, Buru, Seram, Nusa tenggara, Irian.
b. Sistem Matrilineal Matrilineal adalah sistem keturunan yang ditarik dari garis ibu, dimana
kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya dari kedudukan pria dalam pewarisan.
Di dunia hanya beberapa suku saja yang menggunakan sistem Matrilineal ini, yakni suku Minangkabau di Sumatera Barat, Indonesia; suku Indian di
Apache Barat; suku Navajo, sebagian besar suku Pueblo, suku Crow, di Amerika Serikat; suku Khasi di Meghalaya, India Timur Laut; suku Nakhi di
Provinsi Sichuan dan Yunnan, Tiongkok; beberapa suku kecil di kepulauan Asia Pasifik.
115
115
Reza Adhiyatma Tanjuang, Matrilineal, http:kopiapung.blogspot.com201305sistem-kekerabatan- matrilineal-sistem_3176.html, diakses pada tanggal 10 Oktober 2013.
Universitas Sumatera Utara
72
Adapun ciri-ciri dari sistem Matrilineal yaitu sebagai berikut; i.
Keturunan dihitung menurut garis ibu. ii.
Suku terbentuk menurut garis ibu iii. Tiap orang diharuskan kawin dengan orang luar sukunya atau eksogami
karena di Minangkabau dilarang kawin sesuku. iv. Pembalasan dendam merupakan satu kewajiban bagi seluruh suku
v. Perkawinan bersifat matrilokal, yaitu suami mengunjungi dan tinggal di
rumah istrinya. vi. Hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak kepada kemenakannya dan
dari saudara laki-laki ibu kepada anak dari saudara perempuan.
116
c. Sistem ParentalBilateral ParentalBilateral adalah sistem keturunan yang ditarik menurut garis
orang tua, atau menurut garis dua sisi bapak-ibu, dimana kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan. Adapun suku yang bergaris
keturunan ini adalah Jawa, Sunda, Madura, dan Melayu. Sistem kekerabatan Parental dibagi menjadi 4 yaitu;
117
i. Ambilineal : yaitu sistem yang menarik garis keturunan keluarga dari
pihak ayah ibu secara bergantian.
116
Ibid
117
Sistem Kekerabatan Parental, http:ermamonicaerma.blogspot.com201211sistem- kekerabatan-parental-ips.html, diakses pada tanggal 10 Oktober 2013
Universitas Sumatera Utara
73
ii. Konsentris : yaitu sistem kekerabatan yang menarik sistem hubungan
keluarga. Contoh : Sunda yang mengenal istilah sabondoroyot, yaitu satu keturunan dari nenek moyang yang dihitung 7 generasi.
iii. PrimogeniturPrigogenitur : yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis hubungan keluarga dari ayah dan ibu yang usianya tertua saja anak
sulung. Contoh : dalam pembagian harta warisan hanya anak laki-laki atau perempuan sulung saja yang mendapatkannya.
iv. Ultimugenitur : sistem kekerabatan yang menarik garisketurunan hubungan ayahibu yang usianya muda saja bungsu jadi dalam
pembagian warisan hanya anak laki-lakiperempuan bungsu saja. Antara sistem keturunan yang satu dan yang lain dapat terjadi percampuran
dikarenakan hubungan pekawinan dapat berlaku bentuk campuran atau berganti- ganti diantara sistem partilineal dan matrilineal. Dengan catatan bahwa di dalam
perkembangannya di Indonesia sekarang nampak bertambah besarnya pengaruh dalam kekeluargaan bapak-ibu parental dan bertambah surutnya pengaruh
kekuasaan kerabat dalam hal yang menyangkut kebendaan dan kewarisan. 2
Sistem Pewarisan Individual Pewarisan dengan sistem individual atau perseorangan adalah sistem
pewarisan dimana setiap waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai atau
memiliki harta
warisan menurut
bagiannya masing-masing
tanpa membedakan antara anak laki-laki dan anak perempuan.
Universitas Sumatera Utara
74
Kebaikan Sistem Pewarisan Individual : a.
Tidak ada lagi yang berhasrat memimpin penguasaan atau pemilikan dari harta bersama
b. Para ahli waris dapat bebas menguasai dan menjual bagiannya
Kelemahan Sistem Pewarisan Individual a.
Dengan pecahnya harta warisan dapat merenggangkan tali kekerabatan yang dapat berakibat timbulnya hasrat ingin memiliki kebendaan secara
pribadi b.
Sistem individual dalam pewarisan dapat menjurus kearah nafsu yang bersifat individual
118
3 Sistem Pewarisan Kolektif
Pewarisan dengan sistem pewarisan kolektif adalah pengalihan kepemilikan harta peninggalan dari pewaris kepada waris sebagai kesatuan yang tidak terbagi-
bagi penguasaan dan pemilikannya, melainkan setiap waris berhak untuk mengusahakan, menggunakan atau mendapat hasil dari harta peninggalan itu.
Sedangkan cara pemakaiannya diatur bersama atas dasar musyawarah dan mufakat oleh semua anggota kerabat yang berhak atas harta peninggalan di
bawah bimbingan kepala kerabat.
119
118
Heru Kuswanto, Hukum Waris, Fakultas Hukum Universitas Narotama, Surabaya, 2011, hal. 27
119
Alutsyah, Pengertian, Azas dan Sistem Pewarisan Menurut Hukum Adat, http:alutsblog.blogspot.com201108pengertian-azas-dan-sistem-pewarisan.html, diakses pada
tanggal 10 Oktober 2013
Universitas Sumatera Utara
75
Kebaikan sistem kolektif, dapat memfungsikan harta kekayaan itu untuk kelangsungan
hidup keluarga
bersama. Kelemahan
sistem kolektif,
menumbuhkan cara berpikir yang selalu sempit, kurang memikirkan orang luar.
120
4 Sistem Pewarisan Mayorat
Pewarisan dengan sistem mayorat sama dengan sistem pewarisan kolektif hanya saja dalam sistem mayorat penerusan dan pengalihan hak penguasaan atas
harta tidak terbagi-bagi itu dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin rumah tangga atau kepala keluarga dengan menggantikan
kedudukan ayah dan ibu yang sebelumnya sebagai kepala keluarga.
121
Anak tertua dalam kedudukannya sebagai penerus tanggung jawab orang tua yang wafat berkewajiban mengurus dan memelihara saudara-saudaranya yang
lain terutama bertanggung jawab atas harta warisan dan kehidupan adik-adiknya yang masih kecil sampai mereka dapat berumah tangga dan berdiri sendiri dalam
suatu wadah kekerabaan mereka yang turun temurun. Seperti halnya dengan sistem kolektif setiap anggota waris dari harta bersama mempunyai hak memakai
dan hak nikmati harta bersama itu tanpa hak menguasai atau memilikinya secara perseorangan.
120
Heru Kuswanto, Op.Cit, hal. 28
121
Hilman Hadikusuma, Op.Cit, hal. 38
Universitas Sumatera Utara
76
Sistem Mayorat terdiri dari 2 macam, yaitu:
122
a. Mayorat laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertuasulung atau keturunan laki-laki merupakan ahli waris tunggal dari si pewaris, misalnya, di Lampung;
b. Mayorat perempuan, yaitu apabila anak perempuan tertua merupakan ahli waris tunggal dari pewaris, misalnya pada masyarakat Tanah Semendo di
Sumatra Selatan. Kelemahan
dan kebaikan
sistem pewarisan
mayorat terletak
pada kepemimpinan anak tertua dalam kedudukannya sebagai pengganti orangtua
yang telah wafat dalam mengurus harta kekayaan dan memanfaatkannya guna kepentingan-kepentingan semua anggota keluarga yang ditinggalkan. Anak tertua
yang penuh tanggung jawab akan dapat mempertahankan keutuhan keluarga sampai semua waris menjadi dewasa dan dapat berdiri sendiri mengatur rumah
tangga sendiri. Tetapi anak tertua yang tidak bertanggung jawab dan tidak dapat mengendalikan diri terhadap kebendaan, maupun yang boros dan lain sebagainya
jangankan dapat mengurus harta peninggalan dan saudara-saudaranya malahan sebaliknya ia yang diurus oleh anggota keluarga yang lain.
5 Sistem Pewarisan Islam
Dimana sistem pewarisan dari pewaris ke ahli waris dilakukan setelah pewaris wafat dan harta warisan harus netto. Maksud dari netto ini adalah:
a. Membiayai perawatan jenazah pewaris.
122
Blog KMN-UGM,
Sistem Kewarisan
dan Kedudukan
Suami, http:kmn-
ugm.blogspot.com200809sistem-kewarisan-dan-kedudukan-suami.html, diakses pada tanggal 10 Oktober 2013
Universitas Sumatera Utara
77
b. Membayar zakatnya, jika pewaris belum mengeluarkan zakat sebelum meninggal dunia.
c. Membayar hutang-hutangnya apabila pewaris meninggalkan hutang. d. Membayarkan wasiatnya, jika pewaris mewasiatkan sebelum meninggal
dunia.
123
Setelah dibayarkan semua, tentukan sisa harta peninggalan milik pewaris sebagai harta pusaka yang dinamai tirkah atau mauruts. Harta tersebut
kemudian dibagikan kepada ahli waris berdasarkan ketentuan Hukum Waris Islam.
6 Sistem Pewarisan Barat
Sistem pewarisan menurut hukum Barat yang dimaksud disini adalah sebagaimana diatur dalam KUHPerdata yang menganut sistem individual,
dimana harta warisan jika pewaris wafat harus diselesaikan selekas mungkin. Sendi hukum waris Barat menurut Wirjono Prodjodikoro adalah Pasal
1066 KUHPerdata yang menyatakan: 1.
Dalam hal seorang mempunyai hak atas sebagian dari sekumpulan harta benda, seorang itu tidak dipaksa membiarkan harta benda itu tetap dibagi-
bagi diantara orang-orang yang bersama-sama berhak atasnya. 2.
Pembagian harta benda ini selalu dapat dituntut, meskipun ada suatu persetujuan yang bertentangan dengan itu.
123
Rizky Soe, Sistem Kewarisan Islam, http:rizkysoe.blogspot.compsistem-kewarisan- islam.html, diakses pada tanggal 10 Oktober 2013.
Universitas Sumatera Utara
78
3. Dapat diperjanjikan, bahwa pembagian harta benda itu dipertangguhkan
selama waktu tertentu. 4.
Perjanjian semacam ini hanya dapat berlaku lima tahun tetapi dapat diadakan lagi, kalau tenggang lima tahun itu telah lalu.
124
Menurut sistem hukum waris Barat begitu pewaris wafat harta warisan harus dibagi-bagikan kepada para waris. Setiap waris dapat menuntut agar harta warisan
yang belum dibagi segera dibagikan walaupun ada perjanjian yang bertentangan dengan itu. Kemungkinan untuk menahan atau menangguhkan pembagian harta
warisan itu disebabkan ada satu dan lain hal dapat berlaku atas kesepakatan. Keberagaman kedudukan hukum anak angkat dalam Hukum Adat telah
menempatkan Yurisprudensi Mahkamah Agung sebagai landasan hukum yang sangat penting bagi pertimbangan-pertimbangan hukum di Pengadilan dalam memutuskan
hak waris bagi anak angkat. Tentang hal ini, Soedharyo Salim yang dikutip oleh Orsika
Siahaan, mengemukakan
beberapa Yurisprudensi
Mahkamah Agung
mengenai status dan kedudukan hukum anak angkat dalam hal mewaris dari kedua orang tua yang mengangkatnya yaitu :
125
1. Yurisprudensi Mahkamah Agung No.182 KSip.1959 tanggal 15 Juli 1959
menyebutkan : Anak angkat berhak mewarisi harta peninggalan orang tua
124
Wirjono Prodjodikoro., Op. Cit, hal. 14.
125
Orsika Siahaan, Tinjauan Yuridis Terhadap Kedudukan Hukum dan Hak-Hak Anak Angkat Pada Keluarga Yang Mengangkatnya, Tesis Fakultas Hukum Program Magister Kenotariatan
Universita Indonesia, Depok, 2005, hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
79
angkatnya yang tidak merupakan harta yang diwarisi oleh orang tua angkat tersebut.
2. Yurisprudensi Mahkamah Agung No.27 KSip.1959 tanggal 18 Maret 1959
menyebutkan : Menurut hukum yang berlaku di Jawa Tengah, anak angkat hanya diperkenankan mewarisi harta gono-gini dari orangtua angkatnya, jadi terhadap
barang pusaka barang asal anak angkat tidak berhak mewarisinya. 3.
Yurisprudensi Mahkamah Agung No.516 KSip.1968 tanggal 4 Januari 1969, menyebutkan : Menurut hukum adat yang berlaku di Sumatera Timur, anak
angkat tidak mempunyai hak mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya. Ia hanya dapat memperoleh hadiah hibah dari orang tua angkatnya selagi hidup.
Dari contoh-contoh Yurisprudensi tersebut di atas, kedudukan anak angkat dari berbagai daerah mencerminkan bagaimana adat istiadat masyarakat setempat
memberikan status hukum kepada anak yang diangkat.
B. Pengangkatan Anak di Indonesia
Alasan-alasan pengangkatan anak di Indonesia masih merupakan suatu permasalahan yang masih harus memerlukan berbagai pembahasan secara dini dan
setuntas mungkin. Pada kenyataannya anak belum mendapat perlindungan yang memuaskan dalam berbagai bidang pada umumnya dan lebih penting lagi dalam
bidang pengangkatan anak. Hal ini sebabkan anak angkat sebagai golongan yang
Universitas Sumatera Utara
80
lemah tidak mampu melawan tindakan-tindakan yang negatif yang dilakukan oleh orang tuanya.
126
Sedang yang lebih khusus lagi, adalah menyangkut hak waris anak angkat tersebut terhadap harta peninggalan orang tua angkatnya yang kadang kala merugikan
anak angkat tersebut. Selanjutnya dalam pasal 2 ayat 3 dan 4 Undang-undang RI Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan anak mengatakan bahwa anak berhak atas
pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah lahir. Anak angkat berhak atas perlindungan-perlindungan terhadap lingkungan hidup
yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak dengan wajar.
Dalam Pasal 12 ayat 1 dan 3 UU tersebut mengatakan bahwa pengangkatan anak
menurut hukum
adat setempat
dilaksanakan dengan
mengutamakan kesejahteraan anak. Sedangkan pengangkatan anak untuk kepentingan kesejahteraan
anak yang dilakukan di luar hukum adat setempat dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dalam pembahasan ini diuraikan mengenai pengangkatan anak
yang dilakukan menurut hukum adat. Apabila kita menyimak ketentuan-ketentuan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pengangkatan anak dilakukan menurut hukum
harus mengutamakan kesejahteraan anak tersebut. Salah satu kesejahteraan anak
tersebut, adalah menyangkut hak waris anakangkat tersebut terhadap harta orang tua angkatnya ataupun harta orang tua kandungnya.
126
Arif Gosita, Op.Cit, hal.42
Universitas Sumatera Utara
81
Apabila masalah pengangkatan anak diamati menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensional, maka kita akan melihat hal-hal yang sangat
penting, antara lain :
127
1.
Yang terlibat dalam pengangkatan anak tersebut, antara lain :
a
Pihak orang tua kandung, yang menyediakan anaknya untuk diangkat
b
Pihak orang tua baru, yang mengangkat anak;
c
Hakim atau petugas lain yang berwenang mengesahkan pengangkatan anak;
d
Pihak perantara, secara individual maupun kelompok;
e
Anggota kerabat masyarakat lain yang mendukung atau menghambat pengangkatan anak ;
f
Anak yang diangkat.
2.
Sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya pengangkatan anak oleh orang tua baru, antara lain:
a
Ingin mernpunyai keturunan ;
b
Ingin mempunyai teman untuk dirinya sendiri atau untuk anak-nya karena kesepian ;
c
Ingin mewujudkan rasa sosial, belas kasihannya terhadap orang lain yang dalam kesulitan hidup sesuai dengan kemampuannya;
d
Anjuran dari pihak-pihak lain untuk kepentingan tertentu.
127
Ibid, hal. 44
Universitas Sumatera Utara
82
3.
Sebab-sebab ikut sertanya orang tua kandung dalam pengangkatan anak, antara lain :
a
Merasa tidak mempunyai kemampuan membesarkan anaknya;
b
Melihat kesempatan untuk meringankan beban dirinya oleh karena ada yang ingin mengangkat anaknya ;
c
Adanya imbalan berdasarkan persetujuan dari orang yang mengangkat anaknya;
d
Nasehat atau pandangan orang lain;
e
Ingin agar selanjutnya anaknya tertolong secara materil;
f
Masih mempunyai beberapa anak lagi ;
g
Tidak mempunyai rasa tanggung jawab untuk membesarkan anaknya sendiri
h
Merasa bertanggung jawab atas masa depan anaknya;
i T
idak menghendaki lagi anak yang dikandungnya, karena hubungan yang tidak sah.
Selanjutnya Djaja.
S. Meliala,
yang mengatakan
alasan-alasan pengangkatan anak, adalah :
1.
Rasa belas kasihan terhadap anak terlantar atau anak yang orang tuanya tidak mampu untuk memeliharanya;
2.
Tidak mempunyai anak dan ingin mempunyai anak untuk menjaga dan memeliharanya di kemudian hari;
Universitas Sumatera Utara
83
3.
Adanya kepercayaan bahwa dengan adanya anak di rumah, maka akan mempunyai anak sendiri;
4.
Untuk mendapatkan teman bagi anaknya yang sudah ada;
5.
Untuk menambah atau mendapatkan tenaga kerja;
6.
Untuk mempertahankan ikatan perkawinan.
128
Berdasarkan data-data yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa
alternatif yang
digunakan sebagai
dasar dilaksanakannya
suatu pengangkatan anak :
129
1. Dilihat dari sisi adoptan, karena adanya alasan:
a. Keinginan untuk mempunyai keturunan atau anak b. Keinginan untuk mendapatkan teman bagi dirinya sendiri atau anaknya
c. Kemauan untuk menyalurkan rasa belas kasihan terhadap anak orang lain yang membutuhkan
d. Adanya ketentuan hukum yang memberikan peluang untuk melakukan pengangkatan anak
e. Adanya pihak yang menganjurkan pelaksanaan pengangkatan anak untuk kepentingan pihak tertentu
2. Dilihat dari sisi orang tua anak, karena adanya alasan:
a. Perasaan tidak mampu untuk membesarkan anaknya sendiri
128
Djaja S. Meliala, Op.Cit, hal. 4.
129
Irma Setyowati Soemitro, Op.Cit, hal. 40.
Universitas Sumatera Utara
84
b. Kesempatan untuk meringankan beban sebagai orang tua karena ada pihak yang ingin mengangkat anaknya
c. Imbalan-imbalan yang dijanjikan dalam hal penyerahan anak d. Saran-saran dan nasihat pihak keluarga atau orang lain
e. Keinginan agar anaknya hidup lebih baik dari orang tuanya f. Ingin anaknya terjamin materiel selanjutnya
g. Masih mempunyai beberapa anak lagi h. Tidak mempunyai rasa tanggung jawab untuk membesarkan anak sendiri
i. Keinginan melepaskan anaknya karena rasa malu sebagai akibat hubungan tidak sah
j. Keinginan melepas anaknya karena rasa malu mempunyai anak yang tidak sempurna fisiknya.
C. Motivasi Masyarakat Warga Keturunan Tionghoa Mengangkat Anak
Warga keturunan Tionghoa menganut sistem patrilineal, sehingga dalam keluarga masyarakat Tionghoa anak laki-laki lebih diutamakan demi penerusan
marga she dan pemujaan arwah nenek moyang voorouder verrering. Namun dengan perkembangan zaman, sekarang ini telah sering dilakukan pengangkatan anak
terhadap perempuan. Pengangkatan anak pada masyarakat Tionghoa dilakukan bukan semata-mata
untuk melanjutkan keturunan maupun pemujaan arwah nenek moyang, namun sudah berkembang menjadi :
Universitas Sumatera Utara
85
1 Demi kepentingan anak itu sendiri, rasa kasih sayang, rasa kemanusiaan dan
kesejahteraan anak; 2
Demi kepentingan orang tua angkat, guna memelihara dan merawatnya di masa tua dan sebagai pancingan bagi mereka yang telah lama belum juga dikaruniai anak oleh
Yang Maha Kuasa; 3
Demi kepentingan orang tua kandung atau keluarga anak tersebut, orang tua kandung tidak sanggup untuk membiayai dan membesarkan anak tersebut.
4 Untuk mempertahankan kebahagiaan dan keharmonisan perkawinan;
130
Melihat praktek anak angkat tersebut maka dapat dikatakan bahwa informan lebih memilih mengangkat anak yang berumur di bawah 6 enam tahun serta
mengangkat anak yang jauh lebih muda dibandingkan dengan usia orang tua angkatnya. Hal tersebut seiring dengan apa yang disebutkan dalam Staatblaad Tahun
1917 No. 129 yang menyatakan bahwa anak angkat sekurang-kurangnya harus berumur lebih muda dari laki-laki yang mengangkatnya dan sekurang-kurangnya 15
tahun lebih muda dari perempuan yang kawin atau janda yang mengangkat. Tradisi pengangkatan anak dalam masyarakat WNI keturunan Tionghoa di
Kota Medan, pengangkatan anak tidak sekedar dilakukan untuk kepentingan regenerasi marga nama keluarga tetapi dapat juga dilakukan dengan motif atau
alasan lain sesuai dengan kebutuhan dari anak angkatnya dan orang tua angkat.
130
Wawancara dengan Ven Vipasyana Jnana Sthavira, Suhu Vihara Borobudur Medan, pada tanggal 3 Desember 2013.
Universitas Sumatera Utara
86
Masyarakat WNI keturunan Tionghoa di Kota Medan lebih cenderung
melakukan pengangkatan anak dengan adat masyarakat Tionghoa, dari pada melalui akta Notaris seperti yang dimaksud dalam Staatblaad 1917 No. 129 dan
permohonanpengesahan pengangkatan anak di Pengadilan Negeri seperti yang dimaksud dalam SEMA No. 2 Tahun 1979 jo SEMA No. 6 Tahun 1983.
Urusan pengangkatan anak pada intinya adalah bertujuan untuk kesejahteraan keluarga baik keluarga angkat, anak angkat, orang tua kandung anak angkat, terutama
di dalam bagaimana memelihara, membesarkan, dan mendidik anak dengan baik. Sedangkan urusan pewarisan pada dasarnya merupakan urusan pribadi setiap
keluarga yang mengangkat anak, artinya mengenai apakah anak angkat akan menerima hak warisan atau tidak dan berapa besarnya baik dari keluarga angkat
maupun kelurga kandung semua itu diserahkan sepenuhnya kepada kebijakan keluarga yang bersangkutan.
Masyarakat tersebut pada dasarnya anak angkat dapat menerima hak pemeliharaan dari keluarga angkat maupun keluarga kandung, namun semua itu
tergantung dari kebijaksanaan keluarga masing-masing. Dalam praktek pengangkatan anak yang dilakukan oleh para informan telah dianggap sah menurut adat Tionghoa.
Meskipun pengangkatan anak dilakukan karena motif yang berbeda, tapi dari segi adat kebiasaan masyarakat
Tionghoa telah dianggap sah. Oleh karena itu menurut para informan anak angkat perempuan atau laki-laki akan mendapat hak dan
kewajiban yang sama dengan anak kandung baik laki-laki maupun perempuan dalam
Universitas Sumatera Utara
87
hal perawatan, perhatian, pendidikan dan pekerjaan. Namun ketentuan-ketentuan ini telah mengalami perubahan dan perkembangan.
Dalam SEMA No. 2 tahun 1979, pada bagaian I angka 3 menyebutkan : “Semula di lingkungan golongan penduduk Tionghoa Stbl. 1917 No. 129 hanya
dikenal adopsi terhadap anak-anak laki-laki dengan motif untuk memperoleh keturunan laki-laki, tetapi setelah Yurisprudensi tetap menganggap sah pula
pengangkatan anak perempuan, maka kemungkinan bertambahnya permohonan semacam itu semakin besar.”
Perkembangan pengangkatan terhadap anak perempuan tersebut bahkan telah berlangsung sejak tahun 1963, seperti dalam kasus pengangkatan anak perempuan
yang dikabulkan
oleh Pengadilan
Negeri Istimewa
Jakarta No.
9071963Pengangkatan tertanggal 29 Mei 1963 dan keputusan Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta No. 5881963 tertanggal 17 Oktober 1963. Bahkan pada tahun yang
sama pada kasus lain mengenai perkara pengangkatan anak perempuan Pengadilan Negeri Jakarta dalam suatu putusannya antara lain menetapkan bahwa Pasal 5, 6 dan
15 ordonansi Staatblaad tahun 1917 No.129 yang hanya memperbolehkan pengangkatan anak laki-laki dinyatakan tidak berlaku lagi, karena bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar 1945.
131
Kedudukan anak angkat di dalam keluarga angkatnya, mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan anak kandung terutama pemeliharaan, pemberian
perhatian dan pendidikan, dengan demikian anak angkat telah dianggap anak kandung sendiri dan dapat mewarisi bersama-sama anak kandung.
131
J.Satrio, Op.Cit, hal. 202
Universitas Sumatera Utara
88
Menurut hasil wawancara penulis dengan Bapak Halim, Ketua Hubungan Masyarakat Angsapura, pengangkatan anak dalam adat Tionghoa ada 3 bentuk,
yaitu:
132
1. Khe kia – pengangkatan anak yang dilakukan demi kebaikan anak tersebut
Suku Tionghoa mempercayai bahwa ada beberapa shio yang tidak cocok antara orang tua kandung dengan anak yang akan memberikan dampak buruk
bagi anak tersebut. Oleh karena itu anak tersebut diangkat oleh orang lain yang shionya cocok dengan anak tersebut. Ataupun mengangkat anak demi
meringankan beban orang tua kandung dan kesejahteraan anak tersebut. Anak tersebut tinggal bersama orang tua kandungnya dan boleh memakai
marga dari orang tua kandung ataupun orang tua angkat serta mewarisi dari orang tua kandung.
Contoh : Jessica sebagai anak dengan shio kelinci memiliki orang tua yang keduaduanya shio tikus. Sehingga pada masa kecilnya Jessica sakit-sakitan,
kemudian Jessica diangkat oleh orang yang bershio anjing. Setelah pengangkatan ini dilakukan Jessica menjadi sehat dan jarang sakit.
133
Contoh : Ibu Linna mengangkat seorang anak yang bernama Kristine yang merupakan anak dari teman baiknya untuk membantu dan meringankan
bebannya.
134
132
Wawancara dengan Halim Loe, SE, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Angsapura, pada tanggal 30 Agustus 2013
133
Wawancara dengan Jessica selaku anak angkat, pada tanggal 20 Oktober 2013
134
Wawancara dengan Linna selaku orang tua angkat, pada tanggal 22 Oktober 2013
Universitas Sumatera Utara
89
2. Kue pang – pergantian marga
Dalam hal ini marga Ayah terlalu berat bagi anak atau demi kelangsungan marga dari pihak Ibu. Sehingga anak tersebut diangkat oleh orang lain dengan
marga yang berbeda atau memakai marga dari pihak Ibu. Anak tersebut tinggal bersama orang tua angkat dan memakai marga dari orang tua yang
mengangkatnya. Mewarisi dari orang tua angkat. Namun dalam hal untuk kelangsungan marga dari pihak Ibu, maka anak
tersebut tetap tinggal bersama orang tua kandung dan mewaris dari orang tua kandung.
Contoh : F sebagai anak kandung dari A dan B, namun oleh karena pada masa kecilnya F memiliki masalah dalam pernapasan maka F dibawa ke Vihara dan
Suhu mengatakan bahwa marga dari A terlalu berat bagi dirinya sehingga F memakai marga dari adik laki-laki B, kemudian F memanggil A dan B dengan
sebutan paman dan bibi. F tetap tinggal bersama kedua orang tuanya yaitu A dan B.
135
3. Iang kia – orang tua tidak memiliki anak
Anak tersebut menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari orang tua yang mengangkatnya dan mewarisi dari orang tua angkat.
Iang kia dapat diambil dari saudara kandung ataupun orang lain. Dahulu apabila ada saudara kandung dalam perkawinannya tidak memiliki anak, maka
135
Wawancara dengan F selaku anak dari A dan B, pada tanggal 12 Januari 2014.
Universitas Sumatera Utara
90
saudara lainnya wajib memberikan anak kepada saudara yang tidak memiliki anak tersebut.
Contoh : Paman yang tidak pernah menikah mengangkat seorang anak laki- laki demi penerusan marga. Anak tersebut dirawat dan dipelihara seperti
layaknya anak kandung. Dan mewaris dari Pamannya.
136
Dalam kasus Jessica dan Kristine tidak terjadi perubahan maupun tambahan dalam Akta Kelahiran mereka, dikarenakan khe kia hanya sekedar mengangkat
seorang Ibu demi kepentingan anak tersebut. Menurut Bapak Halim Loe, hak mewaris merupakan urusan pribadi anggota
keluarganya, yang artinya anak angkat akan diberi warisantidak diberi warisan beserta jumlahbesarnya tergantung dari kesepakatan keluarganya. Pertimbangannya
adalah karena anak yang diangkatnya telah mendapatkan hak pemeliharaan dan pendidikan yang baik dari keluarga angkat sehingga tidak perlu menuntut warisan.
Dan anak angkat tersebut bisa menjadi ahli waris dari keluarga kandungnya dan untuk berapa besarjumlah warisan yang akan diperoleh tergantung dari keluarga
kandungnya sendiri. Pengangkatan anak yang dilakukan oleh Bapak dan Ibu Tan adalah anak
angkat tinggal bersama keluarga angkat, anak angkat mempunyai hak hak dan kewajiban yang sama dengan anak kandung terutama dalam pemeliharaan, pemberian
perhatian, dan pendidikan, dengan demikian anak angkat telah dianggap anak
136
Wawancara dengan DT salah satu keponakan yang tidak mau disebutkan namanya, pada tanggal 22 Oktober 2013.
Universitas Sumatera Utara
91
kandung sendiri dan mendapat mewaris. Namun informan tidak mengatakan secara tegas dan rinci berapa bagian hak mewaris anak angkat, namun informan mengatakan
bahwa bagian warisan bagi anak angkat akan tergantung dari kebijakan dari anggota keluarga kandungnya.
Hak pemeliharaan dan hak mewaris anak angkat terhadap orang tuakeluarga kandungnya sendiri menurut Bapak Halim Loe, bahwa anak yang mereka angkat
tidak dilarang untuk menerima hak pemeliharaan dan perhatian serta hak mewaris dari keluarga kandung anak angkatnya karena hal tersebut merupakan hak dari
keluarga kandung anak angkatnya untuk memberi perhatian dan warisan kepada anak kandungnya yang diangkat orang lain.
Hak pengasuhan pada masyarakat adat Tionghoa di Kota Medan, lebih
ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak keluarga pada saat pelaksanaan acara pengangkatan anak baik dilakukan atau tidak dilakukan dengan
cara adat etnis Tionghoa. Hak pengasuhan tersebut meliputi hak dan kewajiban untuk membesarkan, merawat, mendidik, dan hak-hak serta kewajiban lainnya sebagaimana
mengasuh anak kandung. Hal pewarisan, dari praktek pengangkatan yang dilakukan para informan, baik
anak laki-laki maupun anak perempuan, pengangkatan anak tersebut tidak secara langsung memberikan hak kepada anak angkat sebagai ahli waris terhadap orang tua
angkatnya.
Universitas Sumatera Utara
92
Alasan-alasan yang digunakan para informan sejalan dengan pandangan para ahli yang mengedepankan suatu pengangkatan anak dimaksudkan untuk menjadi
bagian dari suatu keluarga dan demi kesejahteraan anak tersebut. Untuk itu kedudukan anak angkat menjadi sama dengan anak kandung sehingga anak angkat
tersebut berhak mendapat kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan dan semua kebutuhannya lainnya dengan layak, selain itu anak angkat juga berkewajiban untuk
membaktikan diri kepada orang tua angkatnya. Alasan utama masyarakat Tionghoa memutuskan untuk mengadopsi anak :
1. Dilihat dari sisi kepentingan orang tua :
a Ingin memperbesar keluarga b Menginginkan anak dengan jenis kelamin tertentu
c Situasi keluarga yang mengharuskan seorang anak diadopsi. d Penerusan keturunan marga.
e Karena belum memiliki anak. f Karena anaknya meninggal
g Untuk menjaga dan merawat di hari tua h Demi kelangsungan dan kebahagiaan keluarga
i Pancingan untuk mendapatkan anak 2.
Dilihat dari sisi anak : a Karena rasa kasih sayang.
b Demi kesejahteraan anak.
Universitas Sumatera Utara
93
c Karena alasan peperangan, dimana banyak anak-anak yang terlantar karena kehilangan orangtuanya.
d Alasan ekonomis, dimana keluarga sianak sudah tidak sanggup lagi memelihara dan mendidiknya.
Universitas Sumatera Utara
94
BAB IV AKIBAT HUKUM DARI PENGANGKAT ANAK DALAM
HUKUM ADAT MASYARAKAT TIONGHOA
Pengangkatan anak secara adat Tionghoa dilakukan yaitu dengan :
137
a Mencocokkan shio antara anak dengan orang tua yang akan mengangkatnya
b Persiapan ibadah adat, sembayang kepada Tuhan dengan mempersiapkan :
i. Meja merah ii. Lilin
iii. Teh 3 gelas iv. Buah-buahan 3 macam dengan 3 buah tiap macam.
v. Dupa c
Sembayang kepada leluhur yang telah meninggal dengan mempersiapkan lilin dan 3 gelas teh serta pembakaran kertas.
d Pemujaan dilakukan dengan mengatakan bahwa “pada hari ini, tanggal, kami
orang tua angkat mengangkat seorang anak laki-laki atau perempuan yang bernama, yang kemudian akan dijadikan sebagai anak dalam keluarga kami.
e Disaksikan oleh keluarga
Pengangkatan anak secara adat adalah sah bagi masyarakat Tionghoa. Anak yang telah diangkat tersebut menjadi anak yang lahir di dalam keluarga tersebut,
kedudukan dan berderajat sama seperti anak kandung, memakai marga dari keluarga
137
Wawancara dengan Ven Vipasyana Jnana Sthavira, Suhu vihara Borobudur Medan, pada tanggal 3 Desember 2013.
Universitas Sumatera Utara
95
yang mengangkatnya, dan mendapat warisan yang sama seperti anak kandung.
138
Namun untuk melindungi kedudukan anak tersebut baik di mata hukum dan adat, hendaknya anak tersebut mendapatkan penetapan dari Pengadilan.
A. Pewarisan dan Kewarisan Menurut KUHPerdata
Pasal 830 KUHPerdata terdapat 2 dua unsur utama dari pewarisan yaitu adanya orang yang meninggal dan adanya harta kekayaan yang ditinggalkan dari
orang yang meninggal.
139
Kata waris adalah semua orang yang mendapat harta warisan. Sedangkan kata ahli waris adalah orang-orang yang berhak mewaris harta warisan, dalam arti berhak
untuk meneruskan penguasaan dan pemilikan harta warisan atau berhak untuk memiliki bagian-bagian yang telah ditentukan dalam pembagian harta warisan
menurut hukum yang berlaku.
140
Hukum Waris Barat, Hukum Waris Adat dan hukum Waris Islam tidak ada kesamaan dalam penentuan siapa-siapa yang mejadi ahli waris dan waris. Namun
pada umumnya yang dijadikan dasar penentuan para waris adalah dikarenakan pertalian darah, pertalian perkawinan, atau pertalian adat, dan berdasarkan ketentuan
perundangan menurut Hukum Waris Barat, berdasarkan adat kekerabatan dan perkawinan menurut Hukum Waris Adat, atau berdasarkan ketentuan di dalam kitab-
kitab suci menurut hukum waris agama.
138
Ibid.
139
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Indonesia Menurut : Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Hindu-Islam, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 5
140
Ibid, hal. 51
Universitas Sumatera Utara
96
Hukum waris barat KUHP tidak dibedakan antara waris pria dan wanita, begitu pula tidak dipermasalahkan asal-usul harta warisan, yang penting bahwa harta
warisan itu bernilai ekonomis. Yang dibedakan dalam hukum waris KUHPerdata adalah para ahli waris ab-intestato menurut Undang-undang dan testamenter, yang
ditunjuk dalam surat wasiat. Pasal 832 KUHPerdata dikatakan bahwa: “Menurut Undang-undang yang
berhak untuk menjadi ahli waris ialah para keluarga sedarah, baik sah ataupun luar kawin, dan si suami atau istri yang hidup terlama”.
Tidak ada keluarga sedarah ataupun yang hidup terlama diantara suami istri, maka semua harta warisan yang wafat itu menjadi milik negara, yang akan
berkewajiban melunasi semua hutang pewaris sebatas harta-harta warisan yang cukup untuk itu.
Sistem kewarisan atau keturunan yang dianut oleh KUHPerdata adalah sistem parental atau bilateral terbatas, dimana setiap anggota keluarga menghubungkan
dirinya pada keturunan ayah dan ibunya. Dikatakan bilateral terbatas karena hubungan keturunan itu, terutama hanya sampai orang tua, tidak ditarik lagi jauh
keatas seperti dalam masyarakat hukum adat. Kemudian sistem kewarisan yang dianut KUHPerdata sebagaimana yang
dikatakan Abdul Kadir Muhammad adalah sistem individual bilateral, artinya ahli waris berhak menuntut pembagian harta warisan dan memperoleh bagian yang
Universitas Sumatera Utara
97
menjadi haknya, baik harta warisan dari ibunya maupun harta warisan dari ayahnya.
141
Adanya hak menuntut bagi para waris untuk menuntut bagian warisannya itu menunjukan bahwa sifat kewarisan yang diatur dalam KUHPerdata adalah Individual
Mutlak. Dalam hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro, dasar hukumnya tercantum dalam Pasal 1066 KUHPerdata.
142
Sistem kewarisan barat bersifat mutlak mesti dilakukan pembagian secara individual, dan jika ditangguhkan hanya boleh dilakukan dalam tenggang waktu lima
tahun berturut-turut.
B. Syarat Terjadinya Pewarisan
Mengenai pengertian pewarisan menurut hukum adat Tionghoa, tidak akan dijumpai suatu ketentuan yang tertulis dengan tegas, sehingga untuk mendapatkan
suatu gambaran atau untuk dapat dijadikan sebagai pedoman dalam pembahasan selanjutnya, maka dihubungkan dengan pengertian menurut Hukum Adat secara
umum. Pewarisan adalah suatu perbuatan meneruskan harta kekayaan yang akan
ditinggalkan pewaris atau perbuatan melakukan pembagian harta warisan kepada ahli waris. Jadi pewarisan pada ketika pewaris masih hidup berarti penerusan atau
penunjukan. Dan pewarisan ketika pewaris sudah matiwafat, berarti pembagian harta warisan.
141
Abdul Kadir Muhammad, Op.Cit, hal. 29
142
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hal. 14
Universitas Sumatera Utara
98
Hal yang penting dalam masalah warisan ini adalah bahwa pengertian pewarisan itu memperlihatkan adanya tiga unsur, yang masing-masing merupakan
unsur essensial mutlak, yakni: 1. Seseorang peninggal warisan yang pada wafatnya meninggalkan harta
kekayaan 2. Seorang atau lebih ahli waris yang berhak menerima kekayaan yang
ditinggalkan itu 3. Harta warisan atau harta peninggalan, yaitu kekayaan “in concreto” yang
ditinggalkan dan sekali beralih kepada para ahli waris itu.
143
Masing-masing unsur tersebut, pada pelaksanaan proses penerusan serta pengoperan kepada yang berhak menerima harta kekayaan itu, selalu menimbulkan
persoalan-persoalan sebagai berikut. Unsur pertama menimbulkan persoalan, bagaimana dan sampai dimana
hubungan seseorang peninggal warisan dengan kekayaannya dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan dimana si peninggal warisan itu berada.
Unsur kedua akan menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai dimana harus ada tali kekeluargaan antara yang meninggal, warisan dan ahli waris.
Unsur ketiga akan menimbulkan persoalan bagaimana dan sampai dimana wujud kekayaan yang beralih itu, dipengaruhi oleh sifat lingkungan kekeluargaan
dimana si peninggal warisan dan si ahli waris bersama-sama berada.
143
Hilman Hadikusuma, Op.Cit. hal. 23.
Universitas Sumatera Utara
99
Seseorang peninggal warisan yang pada wafatnya meninggalkan harta kekayaan lazim disebut dengan pewaris. Tanpa adanya pewaris tersebut, sudah pasti
tidak akan pernah terjadi pewarisan. Justru pewarisan akan terjadi bilamana unsur yang pertama sudah ada yaitu adanya pewaris.
Namun demikian adanya pewaris saja tanpa adanya orang yang berhak dan harta peninggalan dari pewaris tersebut yang lazim disebut dengan ahli waris, juga
tidak akan terjadi pewarisan. Hanya saja siapa yang berhak menerima harta warisan tersebut berbeda antara berbagai daerah hukum adat di seluruh wilayah Indonesia.
Tegasnya, bahwa sebagai unsur ketiga untuk adanya pewarisan adalah adanya harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris yang akan dilanjutkan pengurusannya
atau pemilikannya oleh para ahli waris. Berdasarkan uraian tersebut, dapatlah disimpulkan bahwa unsur warisan
adalah: 1.
Adanya pewaris 2.
Adanya ahli waris 3.
Adanya harta warisan Selama pembagian warisan itu berjalan baik, rukun dan damai di antara para
ahli waris, maka tidak perlu adanya campur tangan orang luar. Campur tangan dan kesaksian tua-tua adat atau para pemuka masyarakat, hanya diperlukan apabila
ternyata jalannya musyawarah untuk mencapai mufakat menjadi seret dan tidak lancar.
Universitas Sumatera Utara
100
Pembagian warisan yang berlaku menurut hukum adat pada umumnya, khususnya menurut hukum adat Tionghoa adalah berdasarkan pada musyawarah dan
mufakat diantara para ahli waris. Tetapi bila tidak diperoleh pembagian secara musyawarah antara para ahli waris tersebut maka pemuka masyarakat setempat akan
turut campur tangan sebagai penengah.
C. Akibat Hukum Pengangkatan Anak Dalam Keluarga
Sebagaimana diketahui bahwa pengangkatan anak adalah merupakan suatu perbuatan hukum, yang berarti dengan dilakukannya perbuatan pengangkatan anak
tersebut maka akan timbul berbagai akibat hukum. Akibat hukum yang terpenting dari adopsi, ialah soal-soal yang masuk
kekuasaan orang tua ouderlijke macht, hak waris, hak alimentasi pemeliharaan dan juga soal nama”.
144
1. Staatsblad 1917 Nomor 129