diciptakan disini sehingga effek empati dan perasaan dilayani secara simpatik akan lebih memberi pengaruh positif terhadap materi yang dipesankan oleh komunikan
kepada para ibu. Kerahasiaan pribadi yang ada kalanya menghambat komunikasi terbuka dengan banyak orang, jadi lebih terbuka dan dapat dicarikan solusi.
2.7. Faktor Penghambat Konseling
Ada beberapa faktor yang menghambat proses berlangsungnya konseling yaitu faktor individual, faktor yang berkaitan dengan interaksi, faktor situasi dan
kompetensi dalam melakukan konseling. Faktor individual disini termasuk keterikatan budaya, dan ini merupakan gabungan dari faktor fisik kemampuan
melihat, mendengar, usia, jenis kelamin dan sudut pandang serta faktor sosial sejarah keluarga, status sosial dan peran dalam masyarakat. Faktor yang berkaitan
dengan interaksi adalah tujuan, harapan, sikap dan pembawaan. Faktor situasi yang berpengaruh adalah keadaan lingkungan dimana proses konseling dilakukan. Faktor
kompetensi adalah merupakan sikap kompeten dari kedua belah pihak. Dimana proses komunikasi dapat terputus karena adanya kegagalan menyampaikan informasi,
perpindahan topik pembicaraan dan salah pengertian Enjang, 2009. Di Kota Tebing Tinggi sendiri faktor penghambat konseling itu terjadi
disebabkan oleh kemampuan petugas penyuluh yang kurang akibat dari latar belakang pendidikan yang tidak kompeten, sikap dan keterbatasan jumlah sumber
daya manusia yang tidak sebanding dengan jumlah balita gizi kurang yang ada hingga penyuluhan tidak maksimal dilakukan. Faktor pengahambat dari si ibu balita itu
Universitas Sumatera Utara
sendiri adalah kemampuan menerima informasi yang berbeda-beda, kesibukan dari si ibu balita yang bekerja mencari nafkah hingga waktu yang tersedia terbatas, sikap ibu
yang acuh tak acuh terhadap kondisi kesehatan anaknya hingga bagaimanapun proses konseling dilakukan tidak akan merubah perilaku pola asuh ibu pada anak balita.
Hal ini juga diperkuat dari hasil penelitian Pujiati 2008, yang megatakan selain pengetahuan petugas , peran orang tua dan keluarga, kondisi kemiskinan juga
berperan dalam penanggulan kasus gizi kurang dan gizi buruk.
2.8. Pengaruh Konseling terhadap Perubahan Status Gizi Balita
Salah satu upaya penanggulangan masalah gizi adalah menyelenggarakan pendidikan gizi pada masyarakat khususnya ibu-ibu yang mempunyai anak balita,
contohnya adalah konseling. Agar terjadi perubahan perilaku kearah konsumsi pangan dan gizi yang sehat. Ini dicapai dengan menyusun model-model pendidikan
yang efektif dan efisien. Dengan konseling, ibu dapat mempraktekkan perilaku gizi yang baik untuk
anak, seperti menimbang berat badan balita secara rutin ke posyandu atau puskesmas, memberi ASI saja kepada bayi sejak dilahirkan sampai usia 6 bulan ASI Eksklusif,
makan beraneka ragam makanan, menggunakan garam beryodium dan minum suplemen gizi sesuai anjuran Depkes RI, 2007.
Hasil penelitian Graf, dkk 2009, dengan judul Pengaruh konseling gizi pada ibu terhadap perbaikan status gizi balita gizi kurang usia 6-11 bulan dan usia 12-24
bulan yang mendapat MP-ASI di Yogyakarta, menunjukkan bahwa kelompok
Universitas Sumatera Utara
perlakuan konseling dan MP-ASI lebih baik dari kelompok perlakuan hanya MP-ASI. Ini berarti perbaikan status gizi lebih baik pada kelompok anak yang ibunya diberi
konseling gizi sebelum dan selama pemberian MP-ASI dibandingkan status gizi pada kelompok anak yang ibunya tidak diberi konseling gizi sebelum dan selama
pemberian MP-ASI.
2.9. Pengaruh PMT dan Konseling terhadap Perubahan Status Gizi Balita